Senin, 25 Desember 2023

Marsekal Chappy Hakim Menulis 53 Buku.

 

Marsekal Chappy Hakim Menulis 53 Buku.

Seorang Purnawirawan Perwira Tinggi (Pati) bintang empat, sampai Desember 2023 ini menurut yang bersangkutan,  telah menulis 53 judul buku, 27 di antaranya diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas (PBK). Luar biasa. Pati itu ialah Marsekal (Purn) Chappy Hakim, mantan Kepala Staf Angkatan Udara periode 2002 – 2005, kelahiran 17 Desember 1947. 


Dua bukunya yang terbaru yaitu “Keamanan Nasional dan Penerbangan”  dan “Pesawat Terbang itu Berbahaya” yang diterbitkan oleh PBK, diluncurkan Jumat 15 Desember 2023 di Djakarta Theater, dalam suatu forum bedah buku yang bertema  “Jaga Angkasa, Jaga Nusa Bangsa”, dengan menampilkan para pembicara antara lain Marsekal (Purn) Hadi Tjahjanto, wartawan Parni Hadi, Guntur Soekarnoputra dan sejarawan Peter Carey.

Bagi bangsa dan negara, buku tentang pengetahuan, jejak langkah serta pengalaman seseorang pejabat yang sudah purna tugas, sangat besar arti dan manfaatnya. Karena dari buku-buku seperti itu masyarakat terutama generasi penerus bisa belajar banyak hal, baik yang positif maupun yang negatif, kelebihan dan kekurangan; kita bisa melihat sejumlah tonggak-tonggak perjalanan bangsa. Tentu kita tidak bisa berharap semua buku seperti itu bebas dari hal-hal subyektif dan 100 persen akurat.

Jika bangunan sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara diibaratkan sebuah kompleks gedung pencakar langit, maka kesaksian, pengetahuan serta pengalaman seseorang, tentulah pada posisi di mana yang bersangkutan pernah berada atau bertugas. Bisa jadi di bagian depan gedung, di belakang, di lantai dasar, di lantai paling atas, atau pernah berada di mana-mana meski hanya sebentar. Sementara seseorang yang lain berada di posisi atau titik yang berbeda, dengan bidang tugas dan sudut pandang yang lain pula bahkan berseberangan. Perbedaan ataupun hal-hal yang kurang akurat - jika ada - tidak jadi masalah, dan sangat biasa dalam proses penyusunan sejarah. Setidaknya kesaksian-kesaksian yang diungkapkan dalam buku-buku tersebut bisa saling melengkapi serta mengoreksi,  dan menjadi bahan kajian para ahli sejarah, yang secara bersama akan memutuskan dalam suatu “Mahkamah Sejarah”.

Bagi pribadi tokoh yang bersangkutan, menulis jejak langkah dan tonggak-tonggak perjalanan kehidupannya, juga besar arti dan manfaatnya. Orang yang sudah purna tugas dan lansia, lanjut usia, perlu punya kesibukan guna mengisi waktu kosongnya. Sedangkan menulis buku adalah kesibukan yang positif bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat.

Penerbang, penulis buku dan musisi.

Kembali ke tokoh kita, Chappy Hakim, di masa mudanya adalah penerbang Angkatan Udara yang tamat dari Akademi Angkatan Udara (1971), Sekolah Penerbang (1973), Sekolah Instruktur Penerbang (1982) serta berbagai jenjang pendidikan dan latihan baik di dalam maupun di luar negeri.

Tatkala menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Udara berlangsung suatu peristiwa yang jika salah menangani, bukan tidak mungkin bisa terjadi pertempuran dengan Amerika Serikat (AS). Peristiwa itu dikenal sebagai “Kasus Bawean”, 3 Juli 2003. Hari itu ada Armada Ketujuh Amerika Serikat, yang salah satunya berupa Kapal induk kelas Nimitz, USS Carl Vinson yang sedang berlayar dari arah Barat ke Timur bersama dua kapal Fregat dan sebuah Kapal perusak Angkatan Laut Amerika Serikat. Ketika berada di perairan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), 5 pesawat tempur jenis F/A-18 Hornet Angkatan Laut Amerika Serikat, terbang dan melakukan manuver yang cukup membahayakan penerbangan sipil, dan terlihat secara visual oleh awak pesawat Boeing 737-200 Bouraq Indonesia Airlines yang sedang menuju Surabaya, sekitar pukul 15:00 WIB. Kejadian itu  dilaporkan ke Pemandu lalu lintas udara Bali, yang  kemudian diteruskan kepada Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional Indonesia, Marsekal Muda Wresniwiro dan selanjutnya ke Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Chappy Hakim.

Pesawat AS tersebut terbang dan melakukan berbagai manuver. Karena tidak memiliki izin dan tidak berkomunikasi sebagaimana yang diatur dalam ketentuan penerbangan, dua pesawat F16 TNI AU terbang dari Lanud Iswahyudi Madiun untuk melaksanakan identifikasi. Pesawat-pesawat tempur itu saling berhadapan dan sempat terjadi perang elektronika antara keduanya. Dua dari lima Hornet AL AS mengambil sikap bermusuhan (hostile) dan melakukan aksi "jamming" terhadap F-16 TNI AU. Perang ECM (Eletronic Counter Measure) dilawan dengan menghidupkan perangkat anti-jamming, sehingga usaha untuk menutup "mata" pesawat-pesawat TNI AU gagal. Kelima Hornet AL AS terpantau dengan jelas di radar kedua Falcon TNI AU, dan mereka bisa saja melepaskan rudal AIM-9 Sidewinder. Sikap bermusuhan Hornet, baru mereda ketika Falcon 1, melakukan manuver rocking-the-wing, yang menandakan bahwa Falcon 2 tidak mengancam mereka. (Chappy Hakim & Supri Abu, Penegakan Kedaulatan Negara di Udara, 2019 dan Chappy Hakim, Imelda Bachtiar, ed. Dari Segara Ke Angkasa, Dari Prajurit Udara Ke Penulisan Dan Guru, 2018).

Peristiwa tadi mengilhami Chappy Hakim menulis beberapa buku, salah satunya yaitu Penegakan Kedaulatan Negara di Udara, membahas secara khusus masalah jalur udara di atas ALKI.

Alur Laut Kepulauan Indonesia adalah Alur laut yang ditetapkan sebagai alur untuk pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan berdasarkan konvensi hukum laut internasional. Alur ini merupakan alur untuk pelayaran dan penerbangan yang dapat dimanfaatkan oleh kapal atau pesawat udara asing di atas laut tersebut secara damai dan normal. Penetapan ALKI dimaksudkan agar pelayaran dan penerbangan internasional dapat terselenggara secara terus menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang oleh perairan dan ruang udara teritorial Indonesia. ALKI ditetapkan untuk menghubungkan dua perairan bebas, yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Semua kapal dan pesawat udara asing yang mau melintas ke utara atau ke selatan harus melalui ALKI yang terdiri dari 3 jalur. ALKI I melintasi Laut Cina Selatan, Selat Karimata, Laut Jawa, Selat Sunda, Samudra Hindia. ALKI II melintasi Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores, Selat Lombok. ALKI III Melintasi Samudra Pasifik, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, Laut Sawu, Samudra Hindia (B.Wiwoho, buku 3 Trilogi TONGGAK-TONGGAK ORDE BARU hal 242, Elmatera 2021).

 


Kasus Bawean baru satu kasus dalam masa jabatan Chappy Hakim sebagai prajurit TNI selama 34 tahun. Dari pengalaman selama itu pula ia telah menulis 53 buku, dan insya Allah akan masih terus menulis sambil menjadi musisi. Melalui tulisan-tulisannya, Chappy ingin melihat bangsanya maju, memiliki harga diri sekaligus disegani bangsa-bangsa lain, menggalang pertahanan keamanan nasional yang kuat lagi tangguh, dan secara lebih khusus lagi membangun  penerbangan nasional yang handal.

Bagaimana Chappy Hakim mengatur waktunya agar tidak jenuh dengan terus menulis? Ia juga mempertahankan hobbynya semenjak remaja untuk relaksasi, yakni bermain musik. Bersama grup bandnya, The Playsets, Chappy menjadi vokalis sekaligus memainkan saxophone dan kadang-kadang gitar, bersama timnya yaitu Alam pemain drum, Ari pemain bas, Roy pada gitar, Djoko dan Yance bermain saxophone, Finggo pemain gitar dan Nadjib Oesman di keyboard/piano. Selama ini The Playsets sering tampil di Klub Eksekutif Persada Halim Perdanakusuma dan Lagoon Lounge Hotel Sultan. Jika sudah begitu, ia nampak sangat menikmati, sangat asyik dan seperti lupa pada segala hal kecuali bermusik-ria.

Semoga bermunculan “Chappy-Chappy Hakim” lain,  tokoh-tokoh di berbagai bidang kehidupan yang mau, bisa dan tekun menuliskan, mendokumentasi melalui berbagai cara, pengetahuan dan pengalamannya sehingga menjadi sumber pengetahuan masyarakat luas, terutama generasi masa depan negeri maritim Nusantara ini. Meski terlambat, selamat ulang tahun ke 76 pak Chappy, sehat bahagia berkah melimpah. Amin. (B.Wiwoho , https://panjimasyarakat.com/2023/12/22/marsekal-chappy-hakim-menulis-53-buku/)

Selasa, 10 Oktober 2023

DIASPORA, KAKI TANGAN INDONESIA DI MANCA NEGARA.

 

Sebuah buku yang mengisahkan sepak terjang, kiprah dan potensi sekitar 10 juta orang Indonesia di manca negara, telah terbit dengan judul Diaspora Bangga Berbangsa. Buku itu ditulis oleh Fenty Effendy yang didukung oleh Tim Pengarah Kartini Sarsilaningsih (Presiden Indonesia Diaspora Network-Global, IDN-Global 2021-2023) dan Lusie Susantono (Sekretaris Jenderal IDN – Global 2021 – 2023, serta diterbitkan oleh  Penerbit Buku Kompas 2023.

Fenty Effendy, wartawan yang telah malang melintang di majalah Forum Keadilan, Metro TV, ANTV, tvOne dan sekarang tekun menjadi penulis buku/biografer sejumlah tokoh, menuturkan hal itu  secara menarik, mengesankan lagi penuh bahan pelajaran,  terutama kiprah mereka semenjak IDN-Global didirikan tahun 2012, dalam buku setebal 264 halaman (xiv+250).

Diaspora adalah sekumpulan orang atau etnik yang meninggalkan tanah air tradisionalnya, menyebar ke wilayah atau negara lain. Sedangkan diaspora Indonesia adalah masyarakat Indonesia yang tinggal di luar negeri. Mereka terdiri dari Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA) yang merupakan anak dari WNI, eks WNI dan anak dari eks WNI.

Diaspora Indonesia diperkirakan mencapai 10 juta orang (halaman 25), hampir menyamai penduduk  Swedia (10,4 juta) dan Austria (8,9 juta). Jika ditambah dengan orang asing yang mencintai Indonesia, antara lain para mantan diplomat dan orang asing yang pernah bertugas di Indonesia, jumlahnya akan jauh lebih besar lagi. Orang-orang asing yang seperti itu mudah kita jumpai di berbagai negara. Dalam menggalang hubungan baik Indonesia – Amerika Serikat misalkan, ada  organisasi yang dinamakan USINDO (The United Stated – Indonesia Society), yang pendiriannya diprakarsai oleh mantan Duta Besar AS untuk Indoneasi Edward Masters dan Paul Wolfowitz bersama Prof.Dr.Sumitro Djojihadikusumo, Prof.Dr.Emil Salim dan Laksamana Pertama Eddy Tumengkol (B.Wiwoho, dalam buku ke 2 Tonggak-Tonggak Orde Baru halaman 69). Ketika Timor Leste masih bergabung dengan Indonesia, dan pada awal 1990an pers serta aktivis internasional gencar menyerang Indonesia, mereka para pecinta Indonesia itu sering tampil di hadapan publik membela keras Indonesia. Pada suatu acara di New York, saya menyaksikan sendiri, bagaimana Edward Masters (almarhum dan sejumlah mantan diplomat berbicara sembari menyeka air mata.

Buku Diaspora menurut Kartini Sarsilaningsih dalam Kata Pengantarnya, merupakan album dari potret-potret  kegiatan, asa dan karya para diaspora yang tersebar di berbagai negara, yang disusun demi menggalang semangat kecintaan mereka terhadap Indonesia, sehingga mereka menjadi bagian dari bangsa Indonesia.

Dalam kancah globalisasi terutama dalam era Perang Asimetris, diaspora Indonesia adalah human capital sekaligus social capital yang strategis untuk di tempatkan di barisan depan.

Sejak didirikan tahun 2012,  IDN-Global telah secara konsisten  dan penuh antusiasme mendorong kolaborasi yang erat antara diaspora Indonesia – Pemerintah dan masyarakat Indonesia di Tanah Air. IDN-Global  aktif menghubungkan sumber daya, bakat dan pengetahuan diaspora Indonesia, dengan berbagai pihak yang membutuhkan baik di kalangan diaspora itu sendiri maupun para pemangku kepentingan lainnya terutama di Indonesia.

IDN-Global didirikan dalam Kongres Pertama Diaspora Indonesia di Los Angeles, Amerika Serikat  6 – 8 Juli 2012 yang diikuti oleh lebih 2000 peserta, yang diprakarsasi oleh Dubes RI utk AS Dino Patti Djalal. Kongres ini juga dihadiri oleh Dubes Afrika Selatan untuk AS, Ebrahim Rasool, yang berdarah Indonesia. Dalam buku Membaca Nusantara dari Afrika, Menelusuri Jejak Para Pejuang yang Terbuang (B.Wiwoho, Pustama IIMaN, 2021 halaman 95), Ebrahim Rasool disebut termasuk tokoh muslim yang ikut perjuangan menentang politik rasialis di Afrika Selatan, semenjak pertengahan abad 20 sampai terwujudnya kebebasan dan persamaan ras pada 1990-an.

Presiden RI ke 3 B.J.Habibie dalam sambutan tertulisnya menegaskan, diaspora  Indonesia bisa belajar bagaimana negara atau bangsa yang telah maju dapat memecahkan permasalahan dan bagaimana mereka meningkatkan produktivitas, daya saing serta kemandirian untuk menjadi negara maju dan diperhitungkan.

Betapa potensialnya para diaspora, buku menampailkan sebuah contoh sukses dari  Sehat Sutardja, lahir di Jakarta 1961, yang memiliki 270an hak paten. Perusahaan Marvell Technology Group yang didirikan bersama sang isteri, Weili Dai dan adiknya Pantas Sutardja, merupakan perusahaan semikonduktor terbaik ketiga di dunia. Pada tahun 1995, Sehat termasuk dalam Forbes 400 Best Big Company, terdaftar sebagai orang terkaya ke – 891 di dunia, dan  pada 2007, majalah Forbes memasukkan Sehat Sutardja sebagai 10 orang terkaya di Amerika Serikat (halaman 4,5,16 dan Wikipedia).

Menlu Marty M.Natalegawa (halaman 19) dalam Kongres  IDN ke 2 di Jakarta tahun 2013 yang dihadiri 4000an diaspora menegaskan, diaspora Indonesia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari misi politik luar negeri dan diplomasi Indonesia. Diaspora  Indonesia juga termasuk soft power bagi Indonesia.

Tentang bagaimana Indonesia bisa mewarnai dunia, diaspora Indonesia di Meksiko, Evi Yuliani Siregar menyatakan,” Jadikan kami kaki tangan Indonesia. Diaspora dengan kualifikasi serupa saya ini pasti ada di kota lain. Tinggal di data saja,“ tutur dosen di El Colegio de Mexico ini.

 


Dari brain drain menjadi brain gain. 

Diaspora yang pada awalnya dianggap sebagai brain drain, yaitu berimigrasinya kaum intelektual – professional ke negara lain dan tidak nasionalis (karena menukar kewarganegaraannya), ternyata kini bisa menjadi brain gain. Mendatangkan keuntungan secara ekonomi, bahkan menarik investasi, serta berkontribusi dan mengakselerasi kemajuan negaranya pada bidang-bidang  yang memang lebih mereka kuasai dari pada saudara-saudaranya di tanah air.  India dan China telah membuktikan hal itu (halaman 26).

Dari 450an ribu  China yang belajar di luar negeri yang dimulai oleh Deng Xiaoping (1978), berangsur pulang dan pada tahun 2000, sekitar 150 ribu kaum terdidik dan terlatih China  yang tersebar di Amerika dan Eropa, kembali ke China, di antaranya membawa kerjasama  dengan perusahaan-perusahaan berteknologi canggih kaliber dunia. Pada tahun 2008, China telah mengunduh panen raya diaspora.

Kisah bagaimana China mendayagunakan serta menggalang peranan para Cina perantauan, telah dituangkan dalam buku Jenderal Yoga, Loyalis di Balik Layar (B.Wiwoho, Penerbit Buku Kompas, 2018 halaman 264 dan seterusnya). Pemimpin China Deng Xiao Ping – pasca Mao Zedong – menggalang hubungan secara serius dengan orang-orang Cina di perantauan di seluruh dunia, yang jumlahnya diperkirakan sekitar 22,5 juta orang, 21 juta di antaranya berada di negara-negara Asia Tenggara. China juga mengirimkan para mahasiswanya untuk belajar di berbagai negara, sehingga sampai dengan medio 1980-an telah mencapai lebih dari 100.000 mahasiswa.

Orang yang pernah berkunjung ke China, sebut saja setelah pemulihan hubungan diplomatik Indonesia – China tahun 1990, apalagi di masa-masa sebelumnya, dapat membandingkan kemajuan yang luar biasa di awal tahun 2000an.

Buku Diaspora mengisahkan lebih lanjut, India juga melakukan hal yang sama dengan China, tatkala melakukan reformasi ekonomi besar-besaran pada awal 1990-an, Perdana Menteri Rajiv Gandhi memanggil pulang diaspora India , ada sekitar 100 ribu orang yang berpendidikan tinggi, alumnus universitas terkenal di luar negeri dan yang bekerja di perusahaan multinasional besar  dengan banyak pengalaman. Mereka memperoleh berbagai fasilitas dari negara untuk mengembangkan keahlian, pengalaman dan investasinya.

Ada yang menarik dan patut menjadi perhatian kita semua, yang ditorehkan Fenty Effendy, di bagian akhir buku yaitu: “IDN-Global ini sangat seksi. Orang-orangnya jelas, pendidikannya jelas, dan pekerjaannya jelas,”kata diaspora Indonesia di Singapura, Stephanus Titus Widjaja. “Barangkali kekurangannya di database, tapi, jangankan IDN-Global, tanya saja ke kedutaan, apakah mereka punya database diaspora? Enggak.”  Yang juga ajaib, lanjutnya, ada pejabat kementerian datang dan bertanya, “Pak Steve, punya nggak database perusahaan Indonesia di Singapura? “What? Kata saya. Nggak kebalik tuh? Ha ha ha.”                                                          

Semoga menjadi pekerjaan rumah yang cepat diselesaikan oleh para diplomat Yang Mulia. Amin.                                                       

Selamat serta berkah melimpah Mbak Fenty dan Diaspora Indonesia. (B.Wiwoho).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Rabu, 27 September 2023

SEJARAH YANG CEPAT BERULANG; Hati-Hati Dengan Isyu Perpanjangan Kekuasaan.

 

Pada akhir November 2022, muncul wacana agar kita kembali ke UUD 1945 Asli, dan terkait dengan itu, masa jabatan Presiden yang sekarang perlu diperpanjang 2 – 3 tahun. Isyu tadi, hari ini (Rabu 27 September 2023) menghangat kembali di media sosial setelah Seminar yang digelar Forum Doktor dan Cendekiawan IndonesiA di Komplek Parlemen, Jakarta Selasa 26 September 2023. Sebagai referensi sejarah, bersama ini penulis sajikan pengalaman Indonesia dalam hal perpanjangan kekuasaan. Semoga bermanfaat.

 


Pasca dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966, Orde Baru bangkit mengibarkan semangat melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dalam rangka itu Sidang Umum MPRS tahun 1966 mengeluarkan ketetapan no XI/MPRS tanggal 5 Juli 1966, yang menggariskan untuk menyelenggarakan pemilihan umum paling lambat 5 Juli 1968. Untuk itu Presiden bersama DPR harus sudah membuat dan menyelesaikan berbagai UU yang terkait selambat-lambatnya 6 bulan sesudah ketetapan tersebut, yakni UU Pemilu, UU Susunan MPR – DPR dan DPRD.

 

Penyusunan berbagai Undang-Undang yang terkait dengan penyelenggaraan pemilu tadi macet antara lain  karena perdebatan soal sistem, apakah sistem proporsional atau distrik; juga tentang jumlah anggota yang akan diangkat. Lobi pemerintah menghendaki 50% diangkat oleh Presiden, sedangkan partai-partai tidak setuju. Demikian pula mengenai pengangkatan keanggotaan ABRI, apakah cukup di MPR saja atau juga di  DPR. Akibatnya target penyelesaian UU pemilu tak tercapai.  Padahal menurut perhitungan Ketua MPRS Jenderal A.H.Nasution, idealnya pemilu baru bisa diselenggarakan sekitar satu setengah tahun setelah UU pemilu disahkan.[i])

 

Sebagaimana lazim pada suatu kebangkitan rezim penguasa baru sepanjang sejarah di mana pun, terjadi polarisasi dan kristalisasi kekuatan dalam rangka pembangunan kekuasaan di dalam rezim baru tersebut. Di awal pendirian kerajaan Majapahit tahun 1290-an misalkan, tak lama setelah Raden Wijaya dan kawan-kawannya berhasil mendirikan Majapahit dan ia naik tahta, terjadi perpecahan di antara orang-orang dekatnya seperti Ranggalawe, Arya Wiraraja, Sora, Nambi dan Kebo Anabrang.

 

Jenderal Nasution meggambarkan terjadinya polarisasi kekuasaan di  sekitar Soeharto, di lingkaran dalam, di kabinet, di dalam lingkungan ABRI, merambah ke DPR dan MPR, tak lama setelah Sidang MPRS Maret 1967 mencabut Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno serta mengangkat Jenderal Soeharto menjadi Pejabat Presiden. [ii])

 

Sementara penyusunan UU pemilu berlangsung alot dan macet, di lingkungan DPR dan MPR juga berlangsung pembersihan anggota, terutama yang berindikasi kuat terlibat PKI, pendukung dan simpatisannya.

Pembersihan dan penggantian anggota DPR dan MPR ini memang dilematis. Di satu sisi, pembersihan lazim dilakukan dalam suatu pergantian rezim yang berlangsung karena pergolakan seperti halnya dari Orde Lama ke Orde Baru, yang hanya bersifat sementara dalam keadaan darurat, sambil menunggu pergantian yang benar-benar dilakukan secara demokratis, melalui pemilihan umum yang jujur, adil dan terbuka.

Namun pemilihan umum yang semula ditetapkan harus berlangsung paling lambat tanggal 5 Juli 1968, berdasarkan permintaan Pejabat Presiden Soeharto tanggal 10 Januari 1968 kepada MPR, akhirnya ditunda dan baru berlangsung 3 tahun kemudian, 5 Juli 1971. Penundaan pemilu terutama disebabkan UUnya belum bisa dibuat (baru bisa ditetapkan dengan UU no.15 tahun 1969 tanggal 17 Desember 1969). [iii])

Bagi Soeharto, belum terselenggaranya pemilu akan memberikan keleluasaan kepada Pemerintah untuk melakukan kegiatan-kegiatan rehabilitasi dan stabilisasi yang produktif, yang apabila berjalan lancar akan membantu dan mendorong menciptakan stabilitas politik.[iv])                          

Tetapi yang kemudian terjadi adalah  awal dari sebuah ironi. Penundaan pemilu juga memberikan kesempatan kepada Mandataris MPR merombak pemberi mandatnya, dengan menempatkan orang-orang pilihan sendiri, yang berfungsi nyaris satu periode penuh masa jabatan anggota DPR/MPR. Dengan berbagai dalih dan cara, kondisi yang setara itu berlangsung sepanjang pemerintahan Orde Baru, membentuk pemerintahan yang sentralistik. Presiden menguasai lembaga legislatif, baik DPR maupun lembaga tertinggi negara MPR. Hal itu kembali terjadi antara lain karena tidak ada sistem yang bebas dari kepentingan penguasa,  baik dalam bentuk Undang-Undang atau pun ketetapan MPR, yang mengatur susunan dan kedudukan MPR khususnya tentang pemilihan utusan golongan dan utusan daerah.

Sementara itu partai-partai politik membentuk Fraksi-Fraksi yang mengendalikan dan berkuasa atas anggota-angotanya di DPR/MPR. Sistem fraksi ini berlangsung terus sampai ke era Reformasi, yang bersama pimpinan parpolnya, berkuasa penuh dan setiap saat bisa merecall serta mengganti keanggotaan di DPR/MPR, meskipun keanggotaan mereka dipilih oleh rakyat secara langsung melalui Pemilu, dan bukan oleh partainya. Sistem Fraksi telah membajak kedaulatan rakyat yang diamanahkan rakyat pemilih kepada wakil yang dipilihnya untuk duduk di lembaga legislatif.

Di samping mandataris menguasai pemberi mandat, dalam hal pemusatan kekuasan, sejarah juga kembali terulang. Setelah Bung Karno memegang banyak wewenang dalam satu tangan, yaitu sebagai Mandataris MPRS/Presiden Seumur Hidup/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Ketua Front Nasional, maka Jenderal Soeharto juga memegang wewenang selaku Presidium Kabinet, Wakil Perdana Menteri Hankam, Panglima AD, Pangkopkamtib, Kepala Staf KOTI, Pengemban Supersemar, kemudian Presiden yang bisa berulangkali dipilih kembali menjadi Presiden hingga kejatuhannya di tahun 1998.

 

Kekuasaan yang cenderung mengarah dan menjadi sentralistis, bukan hanya terjadi di masa Orde Lama dan Orde Baru, tetapi gejalanya juga berlangsung di Era Reformasi. Mengapa kita menjadi mengabaikan pesan jasmerah Bung Karno? Jangan sekali-kali melupakan sejarah? Selain kita enggan belajar dari sejarah, nampaknya kita juga mengabaikan nasihat-nasihat tentang kekuasan dan kepemimpinan dari  para  bijak di masa lalu seperti filsuf Yunani Plato dan Socrates serta filsuf muslim Al Ghazali.  Bahkan Al Ghazali mengagumi kedua filsuf Yunani tersebut serta mengutipnya dalam bukunya yang termashur At-Tibbr Al-Masbuk fi Nasihat Al Muluk.

 

Satu dari nasihat Al Ghazali yang kurang atau bahkan tidak dijalankan oleh baik Bung Karno, Pak Harto dan penguasa-penguasa Era Reformasi adalah menghargai orang tua dan orang bijak. Sebaliknya cenderung tertipu dengan 3 hal yang paling berbahaya yaitu kekuasaan, kekuatan dan kesenangan akan pendapat serta pengetahuannya sendiri.

 

Kelemahan  yang mudah menghinggapi penguasa, menurut Al Ghazali karena melupakan musyawarah, dan menyerahkan kekuasaan kepada para petugas yang tak berpengalaman. Mereka telah menyia-nyiakan kesempatan dan peluang yang tepat, tidak banyak berpikir tentang peluang itu, dan tiada pula melaksanakan pada saat yang diperlukan. Mereka kurang tanggap pada tempat yang harus siap segera, dan kurang cepat menggunakan kesempatan serta kesibukan untuk memenuhi segala keperluan. Para utusan dan pembantu yang tidak jujur serta berkhianat dalam menyampaikan risalah, hanya karena kepentingan perut mereka, pada hemat Al Ghazali, juga sangat menimbulkan keburukan. Betapa banyak kerajaan menjadi hancur karena ulah mereka.[v])

 

Kembali pada Orde Baru, dengan kewenangan sebesar itu, dimulailah gagasan untuk merancang pembangunan 5 tahun (Pelita). Namun gagasan ini perlu stabilitas pemerintahan. Untuk itu perlu Pejabat Presiden dikukuhkan menjadi Presiden penuh, juga selama 5 tahun.  Terkait dengan itu  pemilu perlu ditunda, sedangkan susunan DPR dan MPR harus dirombak sesuai kewenangan Supersemar.

Yang memprihatinkan, dalam catatan Nasution, tak lama setelah benteng Orde Lama tumbang, maka mulailah pergolakan di kalangan benteng Orde Baru. Ironisnya, pergolakan itu diwarnai dengan unsur-unsur SARA. Mula-mula Orba disebut sebagai akronim dari Orde Batak. Kemudian muncul isu antaragama, rasial, antarsuku, antara pusat dan daerah. Ada isu negara Islam, isu kristenisasi serta isu penyusupan tokoh-tokoh Cina di pusat kekuasaan. (B.Wiwoho dalam buku ke-3 TONGGAK-TONGGAK ORDE BARU: Kejatuhan Soeharto dan Ancaman Pembelahan Bangsa, halaman 193 -197)

 



[i]   Nasution, A.H.DR. Memenuhi Panggilan Tugas, jilid 7 – CV.Haji Masagung 1989 : 234.

 

[ii]  Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas jilid 7 dan 8.  Lihat juga buku ini  Bab: Nasution – Soeharto dan Bab: Nasution Disikat.

[iii]  Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas, jilid 7: 234.

 

[iv]  PEMILU DITUNDA, H.M.Soeharto, Menggapai Tinggal Landas (https://soeharto.co/pemilu-ditunda/).

 

 

[v]  Al Ghazali, At-Tibbr Al-Masbuk  fi Nasihat Al Muluk (Nasihat Untuk Penguaasa), Mizan 1994.   Dibahas juga cukup panjang lebar oleh Dr.Achmad Mubarok MA dan B.Wiwoho dalam Etika dan Moral Kepemimpinan, dengan pengantar Prof. K.H.Ali Yafie dan Try Sutrisno, Bina Rena Pariwara, 2003 terutama halaman 35 – 37.