Kamis, 21 Juli 2022

GIBAH DILARANG KECUALI UNTUK MELAWAN KEZALIMAN

 panjimasyarakat.com


                                               BUKU BERTASAWUF DI ZAMAN EDAN

Dalam beberapa hari terkahir ini, penulis sering memperoleh pertanyaan dan mendengar ucapan orang tentang dua hal terkait puasa. Pertama, “Sudahlah, ini bulan Puasa. Nggak usah bikin kegiatan macam-macam. Kita konsentrasi saja pada ibadah, tadarus Qur’an.”

Masyaa Allah. Kata ibadah ternyata masih sering dimaknai secara sempit oleh kebanyakan orang. Seolah-olah yang termasuk ibadah itu hanya salat, puasa, zakat, haji, membaca Al- Qur’an dan beberapa jenis ibadah mahdah lainnya. Sedangkan yang di luar itu dianggap tidak termasuk ibadah. (Tentang ini lihat Peristiwa Besar Selama Ramadan : Ayo puasa, tapi jangan persempit makna ibadah, https://panjimasyarakat.com/2022/04/07/peristiwa-besar-selama-ramadan-ayo-puasa-tapi-jangan-persempit-makna-ibadah/).           

Kedua, ini bulan puasa, jangan gibah termasuk ngomongin jelek penguasa. Nah, apa jika tidak bulan puasa maka kita boleh bergibah?

Mengenai gibah, bergunjing, ngrasani atau membicarakan keburukan orang lain, sudah penulis bahas dalam satu bagian dengan lima bab pada buku Bertasawuf di Zaman Edan (Penerbit BukuRepublika, 2016).

Secara hakikat gibah tidak hanya berbentuk obrolan lisan, tapi bisa juga berbentuk tulisan atau bahkan isyarat. Dosa membahas kejelekan orang lain, baik dalam bulan Ramadhan atau pun tidak, secara umum lebih besar daripada berbuat zina sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Baihaqi dan At-Thabrani dari Jabir dan Abu Sa’id: “Berhati-hatilah engkau terhadap perbuatan gibah. Karena sesungguhnya gibah itu lebih dahsyat dari zina.” Salah seorang sahabat bertanya: “Bagaimana bisa begitu?” Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya seseorang muslim yang berzina, dia lalu bertobat dan tobatnya diterima oleh Allah. Tetapi orang yang ngrasani itu tidak dapat diampuni oleh Allah, sebelum yang dirasani itu mengampuni.”

Sahabatku, gibah itu pada dasarnya memang dilarang, kecuali menjadi satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan yang benar dan sesuai dengan syara, misalkan memberitahukan bahwa seseorang dizalimi termasuk membicarakan penguasa yang zalim dan tidak amanah,  atau meminta fatwa dan nasehat, atau mengingatkan seseorang dari kejahatan, serta meminta pertolongan untuk mengubah kemungkaran. Meskipun demikian Allah berfirman: “Allah tidak menyukai kata-kata jahat yang diucapkan dengan terus terang, kecuali dari orang yang teraniaya. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (An-Nisa : 148). Ayat ini mengajarkan agar dalam mengkritisi atau membicarakan kezaliman, betapa kesal kita hendaklah tetap bisa mengendalikan diri untuk tidak mengumpat atau mengeluarkan kata-kata yang jahat dan kotor, sebagaimana yang lazim ada dalam umpatan.                                       

Tentang kebolehan melakukan gibah dalam rangka mengubah dan melawan kemungkaran, terdapat dalam seluruh nash yang berkenaan dengan amar ma’ruf nahi munkar seperti: “Hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104).                

Selanjutnya Rasulullah menambahkan, “Siapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah mengubah dengan tangannya. Bila tidak mampu, hendaklah dengan lisannya. Dan bila tidak mampu, hendaklah dengan hatinya, tetapi yang terakhir ini menunjukkan iman yang paling lemah.” (Hadis Muslim).                            

Kedua perintah untuk melawan kemungkaran, termasuk kezaliman tersebut cukup gamblang. Ironisnya justru sedikit orang yang berani melawan atau mengubahnya tatkala melawan penguasa dan kekuasaan. Banyak dalih yang yang bisa mereka kemukakan, lantaran setan sang pendukung utama kezaliman pasti akan menyiapkan sejuta alasan. Sebaliknya orang senang mengobral gunjingan demi menzalimi orang lain terutama yang lebih lemah. Tak segan menyalahkan orang banyak, yaitu rakyat yang lemah yang tak mungkin mendebatnya, dibanding penguasa yang hanya beberapa gelintir namun kuat. Hal ini memang bisa dimaklumi. Sebagaimana peringatan Kanjeng Nabi: “Sesungguhnya setan telah putus asa untuk ditaati kembali di Jazirah Arab, tetapi ia tidak putus asa untuk merusak hubungan antara yang satu dengan yang lain.”                 

Dalam rangka mengingatkan agar kita tidak sekedar beramar ma’ruf, tapi juga harus berani nahi munkar khususnya membela hak-hak rakyat, fakir miskin dan kaum dhuafa melawan kezaliman dalam segala bentuknya di era globalisasi itulah, maka kita perlu mempelajari keteladanan ulama-ulama tasawuf terkemuka di dunia, yang tak segan menegur keras para penguasa.                         

Mereka mengobarkan kebangkitan dan perlawan gigih terhadap musuh-musuh Islam, namun tetap penuh kasih sayang secara kemanusiaan, meskipun itu di tengah kancah peperangan. Mereka sangat peduli terhadap nasib dan kehidupan masyarakat, terutama dalam menghadapi penguasa dan kroni-kroninya yang zalim dan tidak amanah, sehingga mengakibatkan penderitaan rakyat banyak.

Sebagaimana Kanjeng Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya, mereka hidup di tengah masyarakatnya bersama-sama dalam suka dan duka, dan tidak menyendiri di gua-gua nan sepi, apalagi menutup mata dan telinganya dalam melihat penderitaan rakyat dan kefakiran, dengan dalih karena mengikuti jalan tasawuf. Lantaran menyadari  bahwa kefakiran itu dekat dengan kekufuran, sampai-sampai Sayidina Ali pernah bersabda, “Seandainya kemiskinan itu berupa manusia, maka akan kubunuh dia”.         

Oleh karena itu wahai Sahabatku, guna menghadapi dan menangkal berbagai godaan setan yang memang telah memperoleh mandat dan kuasa dari Allah Yang Maha Kuasa untuk menggoda kita, termasuk menggoda agar kita tak peduli terhadap kemungkaran yang ada di sekeliling kita, Kyai Mufasir dari Barubug, Ciomas, Banten, mengajarkan, kita pun harus senantiasa memohon mandat, memohon kuasa dan perlindungan dari Allah. Memohon perlindungan dari kejahatan dan bisikan setan yang biasa bersembunyi, yang membisikan kejahatan ke dalam dada manusia; setan dari golongan jin dan manusia.                                                                                                                  

Maka sungguh tepatlah wejangan doa Kyai Mufasir ini:                                                                     Duh Gusti, sungguh Paduka telah memberikan kuasa kepada setan untuk mengalahkan kami, setan itu melihat kelemahan-kelemahan kami dari tempat di mana kami tidak melihat dia.

Karena itu duh Gusti, putuskanlah harapan setan itu atas kami, sebagaimana telah Paduka putuskan harapannya dari rahmat Paduka.

Duh Gusti, putuskanlah harapan dia atas kami, atas hamba Paduka ini, sebagaimana telah Paduka putuskan pula harapannya untuk memperoleh ampunan Paduka.                                      

Juga jauhkanlah dia dari kami. Jauhkanlah dia dari hamba Paduka ini, sebagaimana telah Paduka jauhkan dia dari rahmat Paduka.

Sungguh Paduka Maha Kuasa atas segala sesuatu. Amin.                                                (B.Wiwoho).


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda