Puncak hubungan seks dan pengaruhnya pada sang anak.
Selain menggambarkan perilaku seks binal, Serat Centhini dan sejumlah
kitab lain menguraikan pula betapa sakral masalah hubungan seks bagi
para priyayi Jawa. Begitu Tambangraras menyerahkan kegadisannya
misalkan, maka segera sesudah selesai melakukan hubungan suami – isteri
untuk pertama kalinya, keluarganya langsung mengadakan kenduri dan
meracik segala macam jamu, sebagaimana diungkapkan antara lain dalam dua
bait ini:
“Tan cinatur langening pulang sih, sabab puniku kandha uliya,
saru yen kinarya wadheh, yata wau kang ibu, ngrukti titigasan ireki,
sakeh kang ila-ila, sadaya rinamut, sarta lan kendhurinira, Nyai Daya
sampun reracik ajampi, pentil delima pethak.
Inguregan ingisenan ganthi, mesoyi pucuk lawan majakan, kapulaga
lawan cengkeh, isine cubung wulung, mrapat lawe wenang ginodhi, sawuse
ingubedan, pan pinipis lembut, slasih ireng jinantonan, myang
pon-emponan panginang ketemu giring, ring bathok pauyupan.”
Masalah seks dalam makna memahami dan mempersiapkan hubungan harmonis
pria – wanita supaya bisa menurunkan anak yang baik, juga banyak
dikupas dalam berbagai kitab Primbon Jawa, terutama yang bersumber dari
babon atau kitab induk karangan Kanjeng Pangeran Harya (KPH)
Cakraningrat patih Kasultanan Yogyakarta di masa pemerintahan Sultan
Hamengkubuwono V (tahun 1820 – 1855). Sayang sekali kitab primbon
seperti itu sekarang sulit dicari, disamping banyak ditulis ulang secara
sembarangan oleh siapa saja, juga lebih dikesankan unsur-unsur mistis
dan tahayulnya, sehingga tidak menarik bagi generasi muda sekarang.
Satu hal yang seyogyanya perlu dipahami, sebagaimana diajarkan oleh
leluhur penulis, yang dalam versi lain bisa dijumpai pula dalam Serat
Centhini, Serat Nitimani, Serat Kawruh Sanggama dan Primbon KPH
Cakraningrat tersebut, adalah bagaimana sepasang suami-isteri
mempersiapkan diri menjelang berhubungan badan, dan apa yang harus
dilakukannya pada saat sanggama, terutama apabila mengharapkan
keturunan. Secara hakikat, ajaran ini sama dengan ajaran di dalam Islam,
namun rukun dan tatacaranya berbeda.
Inti ajarannya adalah hubungan sanggama tidak boleh dipaksakan,
dilakukan dalam kondisi badan sehat, sebelumnya mandi dan gosok gigi
atau bersih-bersih badan supaya aroma tubuhnya harum, serta
dilangsungkan dalam suasana yang tenang dan nyaman. Selanjutnya berdoa
atau shalat hajat dua rekaat, memohon ijin dan pertolongan Gusti Allah,
agar hubungan suami isteri yang akan dilakukan diridhoi, dirahmati dan
diberkahi, diberi kekuatan lahir batin sehingga berlangsung harmonis,
serta dijadikan sebagai bekal ibadah dan amal saleh. Yang lebih penting
lagi, selama bersanggama, hawa nafsu tidak boleh dibiarkan melesat lepas
bebas tanpa kendali agar pada saat mencapai orgasme, baik tatkala
terjadi pada isteri atau pun suami, masing-masing syukur jika bisa
keduanya, hening sejenak sembari berdoa di dalam hati, agar benih yang
dipancarkan bisa menjadi anak yang soleh atau solehah dan sejumlah
harapan baik lainnya bagi sang anak.
Suasana batin pasangan pria – wanita pada detik-detik saat mencapai
orgasme itulah yang diyakini akan menentukan watak anak yang lahir dari
persetubuhan tadi. Apatah berwatak ksatria Pandawa seperti Puntadewa,
Bima, Arjuna dan Kresna ataukah para Kurawa seperti Duryudana,
Dursasana, Burisrawa dan Sengkuni bahkan Rahwana; berwatak Gajah Mada,
Sunan Kalijaga, Bung Karno, ulama, seniman, pedagang ataukah Ken Arok,
Damarwulan ataukah berandal ataukah koruptor?
Ibarat sebuah lukisan, suasana batin orang tua sewaktu mencapai
puncak hubungan seksual sangat menentukan kualitas kain bahan lukisan.
Adapun cat, corak, jenis dan gambar lukisan tergantung pada orangtua,
guru dan masyarakat setelah sang anak lahir. Maka seperti suasana batin
Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi yang lupa diri lantaran nafsu syahwatnya
berkobar tanpa kendali menerjang pagar ayu atau kesusilaan, lahirlah
raksasa perkasa nan angkara murka yakni Rahwana atau Dasamuka.
Di dalam legenda dan kepercayaan masyarakat Jawa, ada sejumlah tokoh
besar yang lahir akibat hubungan gelap atau pun pemerkosaan. Orang yang
melanggar kesusilaan dengan melakukan hubungan gelap, pada umumnya
dikuasai dorongan nafsu, semangat dan tekad atau lebih tepat nekad
dengan sangat kuat terutama pihak lekaki, sehingga lahirlah anak yang
memiliki semangat dan berani nekad. Lebih-lebih apabila setelah lahir,
anak hasil kumpul kebo ini bisa dibesarkan serta dididik oleh ibunya
selaku orangtua tunggal dengan keprihatinan tinggi. Maka jadilah
tokoh-tokoh hasil lembu petengyang mengukir sejarah seperti halnya Ken
Arok dan Bondan Kejawan, serta sejumlah tokoh lainnya yang diyakini
masyarakat memiliki latar belakang hasil hubungan seks yang sama.
Tentu saja penulis tidak menganjurkan para sahabat melakukan hal yang
seperti itu demi memiliki keturunan yang perkasa dan bisa menjadi
penguasa ternama. Karena toh kalau anggapan seperti itu benar, berapa
persen dari anak-anak hasil hubungan gelap yang bisa berkuasa, dan
berapa persen yang gagal total dalam kehidupannya. Saya yakin yang gagal
jauh lebih banyak. Lagi pula, keberhasilan menjadi penguasa, tidaklah
menjamin yang bersangkutan mencapai ending yang baik.Bahkan tidak jarang
kehidupannya berakhir dengan tragis. Naudzubillah.
Semoga urun rembug kita ini, bisa menggugah kesadaran dan
membangkitkan keyakinan akan hikmah dan fadilah masalah seks, sebagai
bekal ibadah dan amal soleh, terutama demi terbentuknya insan-insan
kamil dalam suatu peradaban yang mulia. Allahumma aamiin.
*) Disampaikan pada acara Urun Rembug Kelirumologi “Seks Dalam
Peradaban & Kebudayaan Jawa”, yang diselenggarakan Pusat Studi
Kelirumologi – Jaya Suprana School of Performing Art, di Balairung Jaya
Suprana Institut, Mall of Indonesia, Kelapa Gading, Jakarta, Sabtu 14
Februari 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar