Serat Nitimani, secara kata-kata apa adanya bisa diterjemahkan
sebagai Memahami Sperma, ditulis selama lima tahun oleh Aryasugada dan
selesai pada tahun 1888. Meskipun namanya seperti itu, bahkan dalam
bahasa Jawa pun terkesan vulgar, namun isinya tidaklah demikian. Bagian
yang menjelaskan salah satu tanda yang menunjukkan pasangan wanita
mencapai puncak olah asmara, yang sebagian juga dikutip dalam kitab
Kawruh Sanggama, aslinya adalah, “sinenggol pucuking pasta, ing kono
dipun turuta, sakarsanireng wanodya, yen pinareng datan lami, wanita
amudar prasa, yekti ana wataranya, gara-gara jroning baga, anyendhol
pucuking pasta, iku saka kira-kira laraping reca gupala, kabukaning kang
wiwara, jenenging Hyang Kamajaya, aliya tandha mangkana, kang sayekti
kawistara, kawawas sawarnanira, ing hangga sakojur wanda, angler
kaoncatan yitma, lesu ngalumpruk marlupa, kadi-kadi tan kuwawa,
anyandhang enaking rahsa, sesambate melas arsa, karya trenyuh ing
wardaya. ”Sebuah gambaran tentang wanita yang tengah mencapai
klimaks hubungan seks, tetapi diungkapkan dalam bahasa Jawa halus atau
kromo inggil, melalui berbagai kiasan. Padahal isinya sederhana,
pokoknya tubuhnya lunglai bagaikan pakaian basah yang jatuh dari
jemuran, nglumpruk – nglempreg, mendesah-desah bahkan mengeluh tidak
karuan seolah-olah hendak mati.
Serat Nitimani yang disajikan dalam bentuk tanya jawab, sesungguhnya
adalah sebuah ajaran kehidupan manusia yang dimulai semenjak alam ruh,
diturunkan untuk hidup di bumi melalui sepasang manusia, yaitu
ibu-bapaknya, untuk suatu tujuan mulia yakni hamemayu hayuning bawana,
melestarikan sekaligus membangun alam raya. Hidup di dunia itu hanya
sekedar singgah minum sejenak. Lebih sepertiga dari isi kitab ini
merupakan kajian tasawuf yang sudah pada tahap hakikat dan makrifat.
Sebagian besar di antaranya membahas isi kitab Wirid Hidayat Jati karya
Raden Ngabehi Ranggawarsita. Sementara itu hampir dua pertiga bagian
membahas hubungan pria – wanita. Sebagian dari itu pada hemat penulis
mengambil dari Serat Centhini yang selesai ditulis 64 tahun sebelumnya.
Sebagai kitab tasawuf, maka hubungan pria – wanita yang hampir dua
pertiga bagian tersebut ditempatkan dalam rangka menyiapkan benih anak
manusia menjadi seorang insan kamil nan mulia.
Erotika, seks dan mistis.
Perihal Serat Centhini, ini memang sungguh kitab yang luar biasa,
yang berisi mengenai berbagai pernik kehidupan masyarakat Jawa, ada
tentang penanggalan Jawa, rumah, makanan, obat-obatan, kebiasaan hidup
sehari-hari termasuk seks yang dikupas tuntas mulai dari bagaimana
mengenal serta memahami perilaku seks seorang perempuan berdasarkan
ciri-ciri fisiknya, sampai bagaimana melakukan adegan sanggama secara
liar dan nakal dengan berbagai posisi dan cara, adegan sesama lelaki,
satu lelaki dengan dua bahkan tiga perempuan sampai ke adegan sanggama
secara mistis dan sakral. Karena itu maka banyak para pengamat sastra
Jawa yang menyebut Centhini lebih dahsyat dibanding kitab seks Kamasutra
dari India yang sangat mendunia.
“Memang ada yang menyebut seperti itu, tapi saya kira Centhini
bercerita tentang banyak hal. Lebih luas daripada Kamasutra,” kata
Elizabeth D. Inandiak, seorang Perancis yang menggubah dan menerjemahkan
Serat Centhini ke Bahasa Indonesia dan Perancis. “Saya tak pernah
membayangkan sama sekali bahwa seks bisa bergabung dengan mistik, dan
itu ada di Centhini” katanya dalam kuliah umum “Erotika Nusantara: Serat
Centhini” di Teater Salihara, Jakarta, 10 Maret 2012 (http://historia.co.id/artikel/3/978/Majalah-Historia/Meleburkan_Seks_dan_Mistik).
Sebagai lelaki Jawa yang dibesarkan di daerah Pantai Utara, sedari
kecil penulis sering mendengar tentang kesenian tayub, ledhek, ronggeng
dan sejenisnya, baik di Jawa terutama di daerah Jawa Timur, Blora,
Surakarta, Banyumas dan Jakarta.Namun
saya belum pernah dengan mata kepala sendiri menyaksikan secara
langsung. Saya hanya tahu dari surat kabar dan majalah serta cerita dari
mulut ke mulut. Pada benak saya kesenian jenis itu sangat seronok dan
biasanya disertai mabuk-mabukan.
Secara kebetulan pada sekitar akhir 1980-an, di suatu tengah malam,
dengan dua orang teman, penulis bepergian dari Pati menuju Solo menembus
pegunungan Kendeng melewati daerah Grobogan dan Purwadadi. Di tengah
jalan kami menjumpai ada suatu pertunjukkan tayub yang agak ramai.
Lantaran belum pernah melihat, tak pelak lagi kami berhenti menonton
tiga perempuan penari tayub mengibing di atas panggung dikerubuti
sejumlah lelaki, sambil sesekali para lelaki menyawer, memberikan uang
saweran kepada para penari perempuannya. Sementara itu masyarakat di
bawah panggung, menonton dengan kadang-kadang bersorak sorai
menyemangati para penari. Walau begitu, seluruh suasana berlangsung
tertib, tidak nampak ada yang minum bermabuk-mabukkan, tidak ada nuansa
vulgar, jorok apalagi tidak senonoh. Sungguh berbeda jauh dengan
gambaran acara tayuban yang dikisahkan hampir di sepanjang Serat
Centhini.
Dalam Serat Centhini, pertunjukkan tayub dengan ronggengnya, bahkan
sendratari Panji dengan iringan rebana di rumah Bupati dan di lingkungan
pesantren pun, diwarnai tingkah polah beberapa orang untuk mengumbar
nafsu seksnya secara liar menerjang norma-norma kesusilaan dan agama
yang berlaku.
Lantaran diungkapkan dalam bentuk tembang-tembang puisi macapat,
serta dalam bahasa peralihan Jawa Tengahan ke Jawa Baru, bagi masyarakat
sekarang, Centhini tidak mudah dipahami. Namun jika sudah diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia, dan penulis belum pernah membacanya, sulit
membayangkan bagaimana mengungkapkan aneka macam adegan serta perilaku
seks dan sanggama yang benar-benar vulgar sesuai apa adanya itu, ke
dalam bahasa Indonesia yang mudah dimengerti oleh orang kebanyakan
termasuk anak-anak. Apalagi bila dipengggal-penggal diambil hanya bagian
adegan-adegan sanggamanya saja, niscaya menjadi bacaan yang amat sangat
porno.
Tetapi bagi orang dewasa, jika disajikan secara utuh disertai ulasan
yang membahas segi-segi buruk dan baiknya, Centhini patut dibaca.
Terutama apabila sebagaimana diungkapkan Elizabeth Inandiak, kecabulan
dan kekotoran bahasa Serat Centhini terhapus lewat keindahan tembang
dengan paduan gamelan dan pesinden. “Pembacaan Serat Centhini sejatinya
memang ditembangkan. Dengan demikian, para pembaca tak tenggelam ke
lautan kata-kata kotor dan cabul sehingga keindahan erotika Serat
Centhini tetap dapat ditangkap.”
Beberapa pelajaran dan hikmah akibat seks bebas misalkan, digambarkan
pada diri tokoh penganut seks bebas Kulawirya, yang menderita penyakit
kelamin raja singa atau syphilis. Sementara itu kecerobohan orangtua
dalam melakukan hubungan-hubungan seks, sehingga menjadi bahan intipan
dan tontonan rutin tiga anak gadisnya yakni Banem, Banikem dan Baniyah,
membuat ketiga anak gadisnya liar tak mengenal rasa malu. Akibatnya,
mereka langsung bernafsu mencoba mempraktekkan persanggamaan kedua
orangtuanya, tatkala menerima tamu pria yang menginap di rumahnya.
Sebagaimana kelaziman yang berlangsung semenjak runtuhnya Kerajaan
Majapahit dan berdirinya Kesultanan Demak, pengajaran-pengajaran dari
orangtua ke anak atau dari pandita dan ulama kepada para santrinya,
dilakukan dengan menggubah serat atau kitab, bahkan juga suluk, dalam
bentuk tembang-tembang macapat. Isi kandungan serat atau kitab adalah
bebas, bisa langsung berupa ajaran-ajaran, tapi bisa pula merupakan
kisah roman sejarah seperti halnya Serat Damarwulan. Sedangkan suluk,
yang berasal dari bahasa Arab, yang berarti cara atau jalan, berisi
ajaran mengenai cara mendekatkan diri kepada Gusti Allah (berbagai
tulisan mengenai suluk, bisa dilihat dalam https://islamjawa.wordpress.com).
Dengan aneka tembang macapat yang digubah oleh para wali, berbagai hal
dan tata nilai kehidupan, diajarkan kepada masyarakat secara halus lagi
indah, mengikuti rasa seni di kedalaman batin setiap insan.
Kisah asmara paling halus dalam Serat Centhini menjadi milik pasangan
Amongraga dan Tambangraras. Amongraga, putra tertua Sunan Giri, duduk
berhadapan dengan Tambangraras, istrinya, di kamar pengantin pada malam
pertama pernikahannya. Amongraga berada di buritan ranjang pengantin,
sedangkan Tambangraras duduk di haluan. Jarak antara keduanya cukup
jauh. Riuh-rendah tetamu yang masih berpesta dan mabuk di luar kamar
masih terdengar, sedangkan suasana di dalam kamar sangat tenang dan
damai.
Amongraga tak lantas bersanggama dengan istrinya. Dan terus begitu
hingga malam keempat puluh. Selama itu, Amongraga mengajarkan sejumlah
rahasia kepada istrinya agar persanggamaan mereka mencapai penyatuan
sejati. Sebelum tibanya malam itu, keduanya hanya saling menatap dan
berbicara. Mereka bertelanjang secara bertahap sesuai dengan tingkatan
mistiknya. Semakin tinggi tingkatan mistiknya, semakin tinggi pulalah
ketelanjangannya.
Tingkatan mistik tercapai berkat ajaran-ajaran Amongraga yang diambil
dari mistisisme Islam dan asmaragama (seni bercinta Jawa). Ajaran
Islamnya bersumber dari buah pikir sufi Timur Tengah seperti Al-Jili,
Abdul Qadir al-Jailani, Al-Ghazali, dan Rumi. Sedangkan ajaran
asmaragama bersumber dari tradisi tantrisme dan falsafah Jawa Kuno.
Karena asmaragama, banyak yang menganggap Serat Centhini sebagai
Kamasutra Jawa. “Memang ada yang menyebut seperti itu, tapi saya kira
Centhini bercerita tentang banyak hal. Lebih luas daripada Kamasutra,
”kata Elizabeth Inandiak.
Amongraga menyadari sepenuhnya apa yang diajarkannya selama empat
puluh malam, pun juga dengan Tambangraras. Jiwa mereka terbakar dalam
api asmara. Dan mencapai puncaknya pada malam ke empatpuluh. Saat
itulah, mereka menyatukan tubuh. Tak ada laki-laki, tak ada perempuan.
Manunggal. Demikianlah puncak erotika. Inandiak menyebut itu sebagai
paduan sir (nafsu dalam bahasa Jawa) dan sir (rahasia dalam bahasa
Arab). “Nafsu yang mengangkat asmaragama ke alam gaib (rahasia),”.
Sesuatu yang pada hematnya menjadi padanan kata paling tepat untuk
erotika dan tidak ditemukan dalam alam pikiran orang Barat melalui
pembacaannya terhadap karya sastra mereka. “Sepanjang pengetahuan saya,
mudah-mudahan saya salah, tak ada kesusastraan Eropa yang menggabungkan
seks dan mistik seperti ini,” katanya menutup diskusi. (BERSAMBUNG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar