Selasa, 31 Desember 2013

Seri Tasawuf, Salon Kecantikan Jiwa di Era Globalisasi (1): Gelombang Globalisasi II.


Catatan: Seri tulisan ini merupakan Bab Penutup dari naskah buku penulis yang berjudul: "Bertasawuf di Era Globalisasi." Semoga berkenan.


Sahabatku, judul buku ini yaitu Bertasawuf di Era Globalisasi, memiliki dua pengertian yang dipadukan menjadi satu.Yang pertama, bertasawuf atau menjalankan tasawuf dalam kehidupan kita sehari-hari. Yang kedua, di era globalisasi, yaitu di suatu zaman yang seluruh dunia diibaratkan bagai selembar kain yang rata tanpa ada lipatan atau bekas lipatan sama sekali. Di zaman yang juga disebut sebagai era kesejagatan ini, sebuah kejadian di sebuah titik atau tempat, dalam tempo hanya sekejap sudah bisa diketahui oleh seluruh penghuni dunia lainnya.

Dalam era globalisasi sekarang, terjadi suatu gelombang kehidupan yang dahsyat yang membuat seluruh penduduk dunia bagai tidak berjarak lagi. Gelombang ini saya sebut Gelombang Globalisasi-II, yang ditandai antara lain dengan hadirnya sebuah teknologi informasi yang super canggih, yang dikendalikan oleh kekuatan modal yang juga berskala global, yang kita namakan Kapitalisme Global.
Gelombang Globalisasi-I, telah terjadi pada abad 19 dan terus berlangsung sampai Perang Dunia II tahun 1940-an. Setelah Perang Dunia II, Gelombang Globalisasi-I, sedikit mereda, namun bangkit kembali menjelang akhir abad 19 dalam bentuk Gelombang Globalisasi-II.

Seperti halnya Gelombang Globalisasi-II, Gelombang Globalisasi-I juga ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diawali oleh James Watt dari Inggris yang menemukan mesin uap pada tahun 1765.Empat tahun berikutnya, penemuan ini dipatenkan dan mulai memicu hadirnya mesin-mesin industri moderen berkapasitas produksi tinggi, yang kemudian menjadi dasar lahirnya Revolusi Industri yang terus berkembang dan kita kenal sampai sekarang.

Dua puluh delapan tahun berikutnya, yaitu 1807, Robert Fulton bersama keluarga Robert R.Livingston, secara spektakuler mengoperasikan kapal komersial pertama yang digerakkan oleh mesin uap, yang mampu menempuh  jarak 300 mil antara New York City – Albany, dalam tempo 62 jam.

Penemuan-penemuan yang mampu mengubah wajah dunia ini, terus berlanjut dengan ditemukannya teknologi komunikasi jarak jauh, telegraf, oleh Samuel Finley Breese Morse tahun 1837, disusul pula dengan penemuan telpon oleh Alexander Graham Bell tahun 1876.

Hampir bersamaan dengan itu, jalur transportasi yang menghubungkan benua Eropa dengan Asia, yang semula hanya bisa ditempuh melalui tiga jalur, bertambah satu jalur lagi secara sangat berarti pada tahun 1870. Sebelum itu jalur perhubungan terdiri dari, pertama sepenuhnya jalur darat melalui “Jalur Sutra (Utara dan Selatan)” menembus kaki gunung Himalaya dan gurun Gobi yang sulit tiada tara. Kedua sepenuhnya jalur laut mengelilingi benua Afrika dengan lautannya yang ganas. Ketiga, kombinasi laut dan darat melalui kawasan Timur Tengah. Adapun jalur keempat adalah Terusan Suez, yang merupakan terusan buatan manusia terbesar yang menghubungkan Mesir dengan semenanjung Sinai sejauh 163 kilometer dengan lebar 300 meter atau terpanjang kedua di dunia.Terusan ini dibuat selama hampir sebelas tahun, selesai pada tahun 1869 dan mulai dioperasikan tahun 1870. Terusan terpanjang adalah Terusan Laut Putih – Baltik di Rusia sepanjang 227 km, yang dibuka pada 1933.

Melalui terusan Suez, apalagi dengan kapal-kapal bertenaga uap yang menggantikan kapal-kapal layar, jalur perhubungan antara Eropa dan Asia termasuk Indonesia, menjadi jauh lebih mudah, aman dan cepat. Semua itu kian berkembang dengan keberhasilan Wright Bersaudara, yaitu Orvile Wright dan Wilbur Wright, membuat pesawat terbang tahun 1903.

Berbagai penemuan tadi, membangkitkan syahwat kekuasan dan pesona dunia para pemilik modal dan negara-negara Barat, khususnya Eropa. Syahwat hegemoni kekuasaan  yang memang selalu melekat pada diri siapa pun para penguasa dan pemilik uang semenjak zaman baheula, mendorong mereka berusaha menguasai wilayah dan aset-aset dunia yang penduduk dan penguasanya lemah atau bisa dilemahkan. Syahwat kekuasaan dan pesona dunia itulah yang menyerbu serta melanda dunia, bergulung-gulung bagai gelombang yang dikendalikan oleh para pemilik modal atau para kapitalis.Dan demi mempertahankan area yang sudah dikuasainya, mereka selanjutnya membangun imperium-imperium kekuasaan. Maka timbullah apa yang disebut dengan kapitalisme-imperialisme, yang secara menyolok merupakan penjajahan terhadap bangsa-bangsa lain.

Sejarah mengajarkan, sesungguhnya penjajahan serta penguasaan manusia dan suatu bangsa atas yang lain, telah berlangsung semenjak awal peradaban manusia.Lebih-lebih sesudah revolusi industri mampu menghasilkan produk-produk konsumsi yang masal, yang harus dipasarkan dan terjual, supaya menghasilkan keuntungan besar bagi para pemodalnya. Sejarah juga mengajarkan, selalu saja ada pihak yang dikorbankan demi memberikan kepuasan besar yang tiada batas kepada pihak lain.

Kekuasaan mutlak, penindasan, penjajahan dan perbudakan serta  penyimpangan tata nilai pada akhirnya juga akan memicu kesadaran pihak yang tertindas, yang bisa tumbuh bergelora menjadi ideologi pembebasan. Dalam sejarah peradaban, ideologi pembebasan telah mampu mengorbarkan “perang pembebasan” melawan rezim-rezim penindas yang mapan, zalim dan atau yang menjungkirbalikkan akhidah ketuhanan.Maka Kanjeng Nabi Ibrahim sebagai Bapak dari agama-agama langit, bangkit melawan Raja Namrud dan ayah kandungnya sendiri,yang dimulai dengan menghancurkan berhala-berhala sesembahan mereka. Kanjeng Nabi Musa menyulut api perlawanan terhadap struktur politik dan agama sekaligus, melawan kekuasaan tirani Raja Fir’aun, ayah angkatnya yang zalim dan mengaku sebagai Tuhan.

Baginda Rasul, Kanjeng Nabi Muhammad Saw, menyulut api revolusi dan perjuangan spiritual keagamaan dalam suatu tatanan masyarakat yang secara sosial politik dan ekonomi termasuk mapan pada zamannya.

Sementara itu, Proklamator kita, Bung Karno dan Bung Hatta, bahkan bukan hanya mengobarkan perang kemerdekaan Indonesia, tetapi juga semangat kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika lainnya. Dengan ideologi pembebasan yang bercirikan sosio-nasionalisme, keduanya bersama kekuatan rakyat berhasil memanfaatkan momentum Perang Dunia II, mengusir penjajahan dari bumi Nusantara, dan untuk sementara membendung Gelombang Globalisasi-I.

Pasca Perang Dunia-II, Gelombang Globalisasi-I nampak mereda dalam situasi yang disebut “Perang Dingin”, yang terjadi antara dua kekuatan super power, yaitu antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet.Tetapi Perang Dingin itu pun akhirnya meletihkan dan berakhir pelan-pelan, dimulai dengan tampilnya kaum pragmatis di Republik Rakyat China (RRC) yang dipimpin Deng Hsiaoping setelah Mao Zedong wafat Januari 1978.Deng menyadari bahwa ideologi komunis yang berlandaskan pada Marxisme/Leninisme yang menjadi andalan Blok Timur ternyata tidak dapat menjawab semua persoalan yang dihadapi RRC. Oleh karena itu ia kemudian menyesuaikan penerapan ideologi komunisme dengan tuntutan nyata pembangunan RRC, terutama demi mengejar berbagai ketertinggalannya.

Deng Hsiaoping selanjutnya melancarkan program pembaharuan yang mencakup empat bidang, yaitu pertanian, industri, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta militer. Guna menunjang itu semua, RRC  harus membuka diri  untuk memperoleh bantuan dan kerjasama luar negeri. (Memori Jenderal Yoga, Bab 17: Perubahan Di Negara-Negara Komunis, B.Wiwoho dan Banjar Chaeruddin, Bina Rena Pariwara, 1991).

Setelah RRC membuka tirai bambunya, demikian julukan terhadapnya, Uni Soviet yang dipimpin oleh Mikhail Gorbachev pada dasa warsa 1980an, juga ikut membuka tirai besinya.Ia melancarkan kebijakan baru yang dikenal sebagai perestroika atau restrukturisasi ekonomi dan glasnost atau keterbukaan.Dengan itu Soviet mengambil langkah besar dalam memperbaiki hubungan dengan Blok Barat, serta memberikan kesempatan kepada negara-negara sekutu dan satelitnya buat memempuh jalan masing-masing.Dalam pidato di Vladivostok 28 Juli 1986, Gorbachev menegaskan “Kita butuh perdamaian.” Dan dengan segera pula ia menarik 100.000 lebih tentara Soviet dari Afghanistan yang sudah diintervensi dan dikuasainya semenjak 1979.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda