Dalam banyak tulisan mengenai penyebaran Islam di Pulau
Jawa, baik yang di blog, media massa maupun buku- buku Pengembaraan Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan, Memaknai Kehidupan, Bertasawuf
di Zaman Edan dan Islam Mencintai Nusantara: Jalan Dakwah
Sunan Kalijaga, saya sering menyinggung dua hal, yaitu perihal ruh dan
pertemuan Islam dengan peradaban Jawa.
Soal ruh, dalam buku Memaknai
Kehidupan dari halaman 18 sampai 28 misalkan, saya awali dengan
mengutip firman Allah untuk menjadi
pegangan supaya kita tidak menyeruak ke sana-sini tanpa manfaat, yaitu Surat
Al-Isra’ ayat 85: “Dan mereka bertanya kepada engkau perihal ruh.
Katakanlah, ruh itu urusan Tuhanku, dan tidaklah diberikan kepada kamu ilmu
mengenainya melainkan sedikit.”
Buya Hamka dalam Tafsir
Al Azhar yang enak dibaca menuturkan, ada satu riwayat yang diterima dari
Ibnu Abbas bahwa ruh yang dimaksud tadi adalah malaikat. Memang ada beberapa
ayat dalam Al-Qur’an yang menyebut ruh itu sebagai malaikat (Al Qadar, 97:4 dan
An Naba’, 73:38). Tetapi sebagian besar ahli ta’wil menyatakan ruh yang
ditanyakan dalam ayat tersebut adalah ruh yang ada dalam tubuh manusia, yang
merupakan suatu perkara besar yang ilmu manusia tidaklah sampai kepadanya.
Tuhan hanya memberikan ilmu yang sekelumit supaya manusia insyaf bahwa tidaklah
kita mempunyai upaya untuk mengetahui hakikat diri kita sendiri, usahkan
mengetahui hakikat orang lain, apatah lagi Tuhan. Demikian Buya Hamka.
Beberapa ayat Qur’an lainnya yang juga menjelaskan soal
ruh antara lain:
·
Al-Araaf (7:172) tentang perjanjian Allah
Swt dengan ruh.
·
As-Sajdah (32:9) tentang peniupan ruh ke
dalam janin manusia.
·
Az-Zumar (39:42) tentang pemeliharaan ruh
oleh Tuhan.
·
Al-Jumu’ah (62:7-8) tentang kematian.
Dari ayat-ayat di atas kita dapat merumuskan sebuah
uraian tentang ruh sebagai berikut: “Allah meniupkan ruh ciptaan-Nya ke dalam
tubuh manusia ketika masih dalam kandungan. Allah mengambil kesaksian atau
membuat perjanjian dengan ruh tersebut tentang keesaan Allah, dan Allah mengilhami
jiwa tersebut dengan kefasiqan, dan Allah mengujinya dengan kebaikan dan
keburukan; dan tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.
Allah memegang jiwa atau ruh manusia tatkala tidur dan ketika mati. Dan apabila
Allah mengambil nyawa atau ruh seseorang, tak seorang pun yang dapat
mengembalikan pada tempatnya. Pada hari kiamat jiwa manusia akan mengetahui apa yang diperbuatnya sewaktu
di dunia dan Allah akan menyempurnakan pahala-Nya sesuai dengan amalnya
sendiri-sendiri, tidaklah dirugikan sedikit pun dan tidak pula dianiaya.” (Klasifikasi Kandungan Al Qur’an, Choiruddin
Hadiri, SP, Gema Insani Press, 1999).
Kita semua sependapat bahwa manusia terdiri dari dua
unsur yaitu ruh dan tubuh. Tetapi mengenai ruh dan jiwa sulit dipisahkan dan
dibedakan. Meskipun demikian, sebagian pengikut tasawuf membedakan ruh dengan
jiwa. Sebab jiwa itu merupakan perpaduan antara ruh dengan tubuh, dengan jasad
lahir. Jadi jiwa adalah kesatuan ruh dengan jasad (Nihayah al-‘Alam, DR.M.Mutawalli Asy-Sya’rawi, terjemahan Indonesia,
Rahasia Allah- di Balik Hakikat Alam Semesta, Pustaka Hidayah 1994).
Perihal pertemuan serta interaksi antara Islam dan
peradaban Jawa, saya gambarkan berlangsung secara damai dan indah dengan
melalui pendekatan budaya. Nilai-nilai Islami menyusup masuk ke dalam budaya
dan adat istiadat Jawa, menggeser setapak demi setapak, membungkus selapis demi
selapis semakin tebal bagaikan kulit bawang.
Islam masuk ke Jawa dengan menghindari pedang dan darah,
menghindari kekerasan. Prinsip tidak ada paksaan dalam agama (Al-Baqarah: 256)
dan serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat yang baik (An-Nahl:
125) menjiwai metode dakwah pada saat itu. Ulama-ulama abad permulaan Islam di
Jawa, dengan hebat dan berani telah
melakukan interpretasi dan transformasi ruh Islam ke dalam bahasa dan budaya
Jawa, membentuk peradaban baru, peradaban Jawa yang bernafaskan Islam.
Para ulama melakukan revolusi kebudayaan yang
menyeluruh. Segenap sendi kehidupan masyarakat disusupi ruh Islam. Secara sadar
mereka tidak membuat syariat-syariat baru, melainkan memanfaatkan dan
mendayagunakan tradisi serta agenda kegiatan masyarakat yang sudah ada. Suatu
metode komunikasi massa yang hebat, yang bahkan para ahli komunikasi massa
modern banyak yang kurang memahami dan tidak memanfaatkan secara baik.
Prosesi-prosesi terutama yang mengiringi perjalanan
kehidupan manusia dari semenjak lahir sampai meninggal tetap dipertahankan
dengan diberi ruh Islam, dan dijadikan sebagai sekedar adat serta tradisi, dan
bukan syariat. Sesaji-sesaji diubah niat, maksud dan tujuannya menjadi sedekah.
Peristiwa-peristiwa yang bisa dimanfaatkan untuk mengumpulkan orang banyak
didorong dan dimanfaatkan sebagai wahana dakwah dan silaturahmi.
Kesenian-kesenian asli dikembangkan sehingga lahirlah wayang kulit nan indah
dengan lakon-lakon khas yang Islami. Demikian pula gamelan, perangkatnya
dilengkapi dan diciptakan gending-gending serta irama baru, yakni tembang
mocopat nan indah khas Jawa sebagaimana kita kenal sampai sekarang.
Peluang
Multi Tafsir.
Namun demikian semua itu tidak terjadi seketika dan
langsung sempurna. Perlu waktu dan ada juga kekurangan-kekurangan yang harus
disempurnakan sambil jalan, yang disebabkan antara lain oleh dua hal. Pertama,
sikap kehati-hatian sehingga proses dakwah berlangsung menyusup halus,
menggeser setapak demi setapak dan membungkus selapis demi selapis. Kedua, budaya
dan media tulis apalagi cetak belum berkembang seperti sekarang, sehingga materi
dakwah banyak yang dibawa serta diungkapkan secara lesan dan dikenal sebagai
budaya tutur. Materi dakwah pada umumnya
disampaikan dari mulut ke mulut secara berantai dan turun-temurun, dengan
akibat bisa berkurang atau bertambah dari aslinya.
Kedua hal itu membuka peluang timbulnya multi tafsir
terutama pada masalah-masalah yang dianggap masih kurang lengkap oleh
masyarakat Jawa yang sudah berperadaban cukup tinggi, yang pada saat itu sudah
memiliki pengetahuan tentang kepercayaan dan agama lain khususnya Syiwa-Buddha.
Materi ajaran yang banyak mengundang munculnya aneka penafsiran antara lain
adalah yang bersinggungan dengan kehidupan spiritual dan meditasi, masalah ruh,
ketuhanan dan rincian hidup, kebetulan semua itu ada di dalam Serat Wirid
Hidayat Jati, terutama mulai dari Wejangan Kedua sampai dengan Kedelapan.
Aneka tafsir, metode gothak-gathik-gathuk ala Jawa dan
spekulasi yang bersifat kebatinan, mistik, spiritual bahkan klenik juga menimpa
sejumlah ajaran yang di bagian pertama seri tulisan ini saya sebut dengan serat
dan suluk. Uniknya, tafsir mistis dan klenik sesuai syahwat politik partisan,
berkembang pula di zaman milenia sekarang ini, yang tidak jarang pengutipannya
menyimpang dari teks asli.
Di dalam Wirid Hidayat Jati, uraian dan anatomi tentang
ruh dan Tuhan serta hubungan rahasia antara Tuhan dan hamba-Nya, berbalut
dengan ajaran Martabat Tujuh dan Wahdatul Wujud atau Manunggaling Kawulo-Gusti.
Akan tetapi, dalam dunia tasawuf, pemahaman mengenai Manunggaling Kawulo-Gusti
itu pun bisa berbeda satu sama lain. Bahkan sejumlah ulama menganggap Wahdatul
Wujud sebagai ajaran sesat dan kafir.
Oleh karena itu supaya kita tidak tersesat dalam
menafsirkan suluk dan serat-serat dakwah, saya senantiasa mengingatkan agar
berpegang teguh pada Al Qur’an dan hadis. Anatomi dan rincian tentang ruh dan
Tuhan misalkan, dengan jelas Al Qur’an dan hadis telah menjelaskan serta
memberikan batasan-batasan, mengapa kita harus memerincinya keluar dari
batasan-batasan tersebut? Dan apa gunanya setelah memerinci? Berdebat dan
merasa paling tahu?
Di dalam Wirid
Hidayat Jati, Wejangan Kedua sudah mulai menggambarkan rincian ciptaan manusia
yang mengikuti ajaran Martabat Tujuh, yang dimulai dari Pohon Keyakinan Sajaratulyakin, Nur Muhammad sampai Dinding Kijab. Ajaran
Martabat Tujuh diulang kembali dalam Wejangan Keenam, dengan menggambarkan alam
akadiat (ahadiyat) alam wahdat, alam wakidiyat, alam arwah, alam mitsal, alam
ajsam dan insan kamil.
Faham Manunggaling Kawulo-Gusti yang menyatakan segala
wujud pada dasarnya adalah dari satu, yaitu Allah Ta’ala, bersumber dari Abu
Abdullah Husain bin Mansur yang kemudian lebih dikenal sebagai Al Hallaj, lahir
tahun 858, tapi ada versi 866, dan wafat tahun 922 M.
Menurut Al Hallaj, Allah adalah hakikat alam, termasuk
makhluk. Alam beserta manusia merupakan aspek lahir dari suatu hakikat batin
yang tunggal, yaitu Tuhan Seru Sekalian Alam. Karena itu Tuhan bersabda,
mendengar, melihat dan berbuat dengan
meminjam tubuh dan anggota badan manusia. Tuhan terhisap dan immanent dalam diri manusia. Lahir batin
Allah telah berada pada manusia (Dr.Simuh
dalam Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, UI-Press 1988, halaman
293).
Al Hallaj yang di Jawa digambarkan sebagai Syeh Siti
Jenar, mengilhami Ibu Arabi yang lahir di Spanyol tahun 1165 dan wafat 1240,
yang mengembangkan ajaran Wahdatul Wujud menjadi Martabat Tujuh. Dalam Fusus al-Hikam yang ditulis pada
tahun1229 M, Ibnu Arabi mengajarkan Pantheisme, yakni seluruh kosmos adalah
Tuhan, terjadinya alam semesta dan
keinsankamilan.
Faham Wahdatul Wujud dan Martabat Tujuh itu selanjutnya
menyebar ke Gujarat – India yang oleh Muhammad Ibnu Fadhillah (hidup di awal abad ke 17), dituangkan ke dalam
kitab Al-Tuhfah al Mursalah ila
Ruhin-Nabi, sebagai sarana
penelaahan tentang hubungan
manusia dengan Tuhannya. Pada hematnya, Allah yang bersifat gaib bisa dikenal
sesudah bertajjali, menampakkan dalam wajah batin, melalui tujuh martabat atau
tingkatan, sehingga tercipta alam semesta dengan segenap isinya.
Pada hemat saya, konsep ajaran martabat tujuh mengenai
penciptaan alam semesta melalui tajjali Tuhan sebanyak tujuh tingkatan tidak secara langsung bersumber dari Al Qur’an dan
hadis, melainkan sebagai ikhtiar dan buah pikir manusia. Bisa saja orang
berpendapat apakah bukan tidak mungkin itu bersumber dari ayat-ayat
mutasyabihat yaitu ayat yang samar-samar? Atau mungkin juga ayat-ayat kauniyah,
yaitu ayat atau petunjuk Gusti Allah melalui tanda-tanda alam dan kehidupan di
sekitar kita? Ya silahkan saja yang berpendapat seperti itu. Namun Islam
sebagaimana juga Wejangan Pertama Wirid Hidayat Jati telah mengajarkan proses
dan hubungan Tuhan dengan makhluknya secara tegas sebagai Allah Yang
Mahahidup Dengan Sendiri-Nya, lagi
Mahasuci.
Dari anak benua India, faham Martabat Tujuh masuk ke
Samudera Pasai dan selanjutnya ke Jawa, sehingga menjelang akhir abad ke 17 di
Tegal sudah ada gubahan Serat Tuhfah dalam bahasa Jawa.
Manunggaling
Kawulo-Gusti Versi Sunan Bonang.
Mengenai versi lain faham Manunggaling Kawulo-Gusti,
kitab Al Hikam yang tersohor yang menjadi pegangan sebagian pesantren di
Nusantara (karya Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary: 1259 – 1310M) mengajarkan,
apabila jiwa manusia suci dari segala
kekeruhan yang datang dari alam lahiriah, maka naiklah jiwa tersebut ke alam
jabarut, yaitu alam yang dihuni para malaikat. Dalam keadaan begitu, tidak ada
dinding penghalang antara sang jiwa dan Sang Pencipta. Di mata orang yang
memiliki jiwa seperti itu, alam raya tampak begitu kecil, bagaikan sebutir biji sawi. Alam atau jagat raya yang
tertangkap oleh pancainderanya menjadi jagat kecil, sedangkan dirinya
menjadi jagat besar. Maka
berlangsunglah apa yang disebut
manunggaling kawulo-Gusti, manusia menyatu dengan Tuhannya, dalam arti jiwa
manusia mampu mengendalikan segala nafsu dan keinginannya , sehingga menyatu
dengan kehendak Allah. Mampu melaksanakan dengan baik tugas-tugasnya selaku wakil dan utusan Allah di muka bumi.
Pemahaman manunggaling kawulo – Gusti yang seperti itu
pula yang diajarkan oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga di Jawa. Orang yang
mampu manunggal dengan Sang Pencipta, mengalami apa yang disebut fana fillah. Orang tersebut tidak punya
kehendak pribadi karena kehendaknya telah diselaraskan, menyatu dengan kehendak
dan sifat-sifat Gusti Allah. Banyak mursyid atau guru tasawuf yang berpendapat,
suasana fana fillah, yakni
tenggelamnya kesadaran manusia terhisap ke dalam lautan serba Tuhan, adalah
puncak mistik para salik, penempuh jalan Tuhan, yang hanya dapat dialami
beberapa saat saja.
Sunan Bonang dalam Suluk
Gentur atau Suluk Bentur, yang diperjelas dan saling melengkapi dengan
karya-karyanya yang lain seperti Gita
Suluk Lastri, Suluk Khalifah, Suluk Jebeng dan terutama Suluk Wujil,
mentamzilkan suasana penyatuan atau manunggal itu bagai garam jatuh ke laut dan
lenyap, tetapi tidak dapat dikatakan menjadi laut. Pun tidak hilang dalam
kekosongan atau suwung. Demikian pula apabila manusia mencapai keadaan fana,
tidak lantas tercerap ke dalam Wujud Mutlak. Yang lenyap adalah kesadaran akan
keberadaan wujud jasmaninya (Islam
Mencintai Nusantara: Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, Bagian I – 6).
Dengan gambaran di atas, lantas bagaimana kita menyikapi
dan mempelajari Wirid Hidayat Jati serta kitab atau serat-serat sejenisnya?
Jawabnya adalah dengan penuh rasa syukur, jiwa besar tetapi kritis. Kita
bersyukur dan berterimakasih bisa memperoleh anugerah mempelajari ajaran-ajaran
ulama dan pujangga besar masa lalu, karena tidak mungkin ada masa sekarang dan
masa depan tanpa melalui masa lalu. Dalam kaitan ini, para penganut tasawuf sering
diajarkan untuk mendoakan tokoh yang ilmu serta ajarannya hendak kita tekuni
dan hayati, minimal membacakan Al Fatihah. Tetapi sebagaimana nasihat orangtua
sekaligus guru kita Puang Kyai Prof. Ali Yafie kepada penulis adalah: “Apa
yang sudah dilakukan oleh para Wali penyebar Islam di Nusantara khususnya di
Jawa, sangatlah luar biasa dan tepat pada masanya, sehingga sekarang mayoritas
penduduk kita memeluk Islam dan menjadi negara dengan penduduk muslim terbesar
di dunia. Memang jangan berharap sekaligus sempurna. Kewajiban kita dan
generasi-generasi mendatang untuk menyempurnakan, menutup lubang-lubang yang
ada, memperbaiki kekurangan dan kelemahannya, serta mengemasnya kembali sesuai
tuntutan zaman.”
Sementara itu kita pun harus kritis, tidak menelan
mentah-mentah semua ajaran orang lain meski berasal dari yang dikenal sebagai
ulama. Ini tidak berarti kita tidak menghormati yang bersangkutan, melainkan
sebuah sikap kehati-hatian. Kita ambil yang sudah jelas, yang sudah pasti baik
dan benar sesuai Al Qur’an dan hadis, dan kita sisihkan dulu yang meragukan
apalagi yang tidak sesuai tanpa harus mengecilkan apalagi menyalahkan yang
bersangkutan, karena memang tidak ada manusia yang sempurna termasuk diri kita.
Yang baik kita ambil dan yang buruk kita buang, yang meragukan kita pendam
dulu, dengan penuh rasa syukur dan terimakasih. Di dalam kehidupan, tidak
jarang kita memperoleh gagasan yang bagus dan luar biasa hebat, yang justru
timbul setelah melihat gagasan atau karya yang salah dari orang lain. Maka sudah
sepatutnya pula kita berterimakasih kepada orang lain tadi.
Sebagai penutup seri ini marilah kita pahami ajaran Al
Ghazali (1058 – 1111M) dalam Raudhatut Thalibien wa ‘Umdatus Saalikien
atau Raudah, Taman Jiwa Kaum Sufi yang menggambarkan hadis riwayat Abu Hurairah sebagai
berikut: “Suasana penyatuan antara sang hamba dengan Sang Pencipta tercapai
tatkala zat sang hamba mencapai tahap fana. Sifatnya telah sirna dan
kefanaannya lebur dalam keabadian-Nya. Maka, bagi sang hamba bisa berlaku,
‘dengan diri-Ku ia mendengar dan dengan diri-Ku ia melihat.’ Jadilah Dia yang
melimpahkan kewalian sang hamba dan menjadi kekasih sang hamba. Jika sang hamba
berkata, maka akan berkata dengan zikir-zikir-Nya. Jika memandang akan
memandang dengan cahaya-cahaya-Nya. Jika bergerak maka akan bergerak dengan
kekuasaan-Nya. Jika memukul maka akan memukul dengan limpahan keperkasaan-Nya."
Segala puji bagi Gusti Allah, Kang Urip (yang Mahahidup), Kang
Gawe Urip (yang menghidupkan hamba-hamba-Nya) dan Kang Nguripi (yang mengatur kehidupan hamba-hamba-Nya). Yaa Rahman,
Yaa Rahiim, Ya Hayyu, Ya Qayyuum.
Suluk
Hamemayu Hayuning Bawono, Beji – Depok, Ahad/Minggu Legi, 7 Dzulhijjah 1439-H
atau 7 Besar 1951-S atau 19 Agustus 2018-M.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda