Sabtu, 25 Agustus 2018

WIRID HIHAYAT JATI (2): ADONAN TASAWUF, MARTABAT TUJUH dan KEJAWEN


Dalam banyak tulisan mengenai penyebaran Islam di Pulau Jawa, baik yang di blog, media massa maupun buku- buku Pengembaraan Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan, Memaknai Kehidupan, Bertasawuf di Zaman Edan dan  Islam Mencintai Nusantara: Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, saya sering menyinggung dua hal, yaitu perihal ruh dan pertemuan Islam dengan peradaban Jawa.
 
Soal ruh, dalam buku Memaknai Kehidupan dari halaman 18 sampai 28 misalkan, saya awali dengan mengutip  firman Allah untuk menjadi pegangan supaya kita tidak menyeruak ke sana-sini tanpa manfaat, yaitu Surat Al-Isra’ ayat 85: “Dan mereka  bertanya kepada engkau perihal ruh. Katakanlah, ruh itu urusan Tuhanku, dan tidaklah diberikan kepada kamu ilmu mengenainya melainkan sedikit.”

Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar yang enak dibaca menuturkan, ada satu riwayat yang diterima dari Ibnu Abbas bahwa ruh yang dimaksud tadi adalah malaikat. Memang ada beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang menyebut ruh itu sebagai malaikat (Al Qadar, 97:4 dan An Naba’, 73:38). Tetapi sebagian besar ahli ta’wil menyatakan ruh yang ditanyakan dalam ayat tersebut adalah ruh yang ada dalam tubuh manusia, yang merupakan suatu perkara besar yang ilmu manusia tidaklah sampai kepadanya. Tuhan hanya memberikan ilmu yang sekelumit supaya manusia insyaf bahwa tidaklah kita mempunyai upaya untuk mengetahui hakikat diri kita sendiri, usahkan mengetahui hakikat orang lain, apatah lagi Tuhan. Demikian Buya Hamka.

Beberapa ayat Qur’an lainnya yang juga menjelaskan soal ruh antara lain:
·        Al-Araaf (7:172) tentang perjanjian Allah Swt dengan ruh.
·        As-Sajdah (32:9) tentang peniupan ruh ke dalam janin manusia.
·        Az-Zumar (39:42) tentang pemeliharaan ruh oleh Tuhan.
·        Al-Jumu’ah (62:7-8) tentang kematian.

Dari ayat-ayat di atas kita dapat merumuskan sebuah uraian tentang ruh sebagai berikut: “Allah meniupkan ruh ciptaan-Nya ke dalam tubuh manusia ketika masih dalam kandungan. Allah mengambil kesaksian atau membuat perjanjian dengan ruh tersebut tentang keesaan Allah, dan Allah mengilhami jiwa tersebut dengan kefasiqan, dan Allah mengujinya dengan kebaikan dan keburukan; dan tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.

Allah memegang jiwa atau ruh manusia  tatkala tidur dan ketika mati. Dan apabila Allah mengambil nyawa atau ruh seseorang, tak seorang pun yang dapat mengembalikan pada tempatnya. Pada hari kiamat jiwa manusia  akan mengetahui apa yang diperbuatnya sewaktu di dunia dan Allah akan menyempurnakan pahala-Nya sesuai dengan amalnya sendiri-sendiri, tidaklah dirugikan sedikit pun dan tidak pula dianiaya.” (Klasifikasi Kandungan Al Qur’an, Choiruddin Hadiri, SP, Gema Insani Press, 1999).

Kita semua sependapat bahwa manusia terdiri dari dua unsur yaitu ruh dan tubuh. Tetapi mengenai ruh dan jiwa sulit dipisahkan dan dibedakan. Meskipun demikian, sebagian pengikut tasawuf membedakan ruh dengan jiwa. Sebab jiwa itu merupakan perpaduan antara ruh dengan tubuh, dengan jasad lahir. Jadi jiwa adalah kesatuan ruh dengan jasad (Nihayah al-‘Alam, DR.M.Mutawalli Asy-Sya’rawi, terjemahan Indonesia, Rahasia Allah- di Balik Hakikat Alam Semesta, Pustaka Hidayah 1994).

Perihal pertemuan serta interaksi antara Islam dan peradaban Jawa, saya gambarkan berlangsung secara damai dan indah dengan melalui pendekatan budaya. Nilai-nilai Islami menyusup masuk ke dalam budaya dan adat istiadat Jawa, menggeser setapak demi setapak, membungkus selapis demi selapis semakin tebal bagaikan kulit bawang.

Islam masuk ke Jawa dengan menghindari pedang dan darah, menghindari kekerasan. Prinsip tidak ada paksaan dalam agama (Al-Baqarah: 256) dan serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat yang baik (An-Nahl: 125) menjiwai metode dakwah pada saat itu. Ulama-ulama abad permulaan Islam di Jawa, dengan hebat  dan berani telah melakukan interpretasi dan transformasi ruh Islam ke dalam bahasa dan budaya Jawa, membentuk peradaban baru, peradaban Jawa yang bernafaskan Islam.

Para ulama melakukan revolusi kebudayaan yang menyeluruh. Segenap sendi kehidupan masyarakat disusupi ruh Islam. Secara sadar mereka tidak membuat syariat-syariat baru, melainkan memanfaatkan dan mendayagunakan tradisi serta agenda kegiatan masyarakat yang sudah ada. Suatu metode komunikasi massa yang hebat, yang bahkan para ahli komunikasi massa modern banyak yang kurang memahami dan tidak memanfaatkan secara baik.

Prosesi-prosesi terutama yang mengiringi perjalanan kehidupan manusia dari semenjak lahir sampai meninggal tetap dipertahankan dengan diberi ruh Islam, dan dijadikan sebagai sekedar adat serta tradisi, dan bukan syariat. Sesaji-sesaji diubah niat, maksud dan tujuannya menjadi sedekah. Peristiwa-peristiwa yang bisa dimanfaatkan untuk mengumpulkan orang banyak didorong dan dimanfaatkan sebagai wahana dakwah dan silaturahmi. Kesenian-kesenian asli dikembangkan sehingga lahirlah wayang kulit nan indah dengan lakon-lakon khas yang Islami. Demikian pula gamelan, perangkatnya dilengkapi dan diciptakan gending-gending serta irama baru, yakni tembang mocopat nan indah khas Jawa sebagaimana kita kenal sampai sekarang.

Peluang Multi Tafsir.

Namun demikian semua itu tidak terjadi seketika dan langsung sempurna. Perlu waktu dan ada juga kekurangan-kekurangan yang harus disempurnakan sambil jalan, yang disebabkan antara lain oleh dua hal. Pertama, sikap kehati-hatian sehingga proses dakwah berlangsung menyusup halus, menggeser setapak demi setapak dan membungkus selapis demi selapis. Kedua, budaya dan media tulis apalagi cetak belum berkembang seperti sekarang, sehingga materi dakwah banyak yang dibawa serta diungkapkan secara lesan dan dikenal sebagai budaya tutur.  Materi dakwah pada umumnya disampaikan dari mulut ke mulut secara berantai dan turun-temurun, dengan akibat bisa berkurang atau bertambah dari aslinya.

Kedua hal itu membuka peluang timbulnya multi tafsir terutama pada masalah-masalah yang dianggap masih kurang lengkap oleh masyarakat Jawa yang sudah berperadaban cukup tinggi, yang pada saat itu sudah memiliki pengetahuan tentang kepercayaan dan agama lain khususnya Syiwa-Buddha. Materi ajaran yang banyak mengundang munculnya aneka penafsiran antara lain adalah yang bersinggungan dengan kehidupan spiritual dan meditasi, masalah ruh, ketuhanan dan rincian hidup, kebetulan semua itu ada di dalam Serat Wirid Hidayat Jati, terutama mulai dari Wejangan Kedua sampai dengan Kedelapan.

Aneka tafsir, metode gothak-gathik-gathuk ala Jawa dan spekulasi yang bersifat kebatinan, mistik, spiritual bahkan klenik juga menimpa sejumlah ajaran yang di bagian pertama seri tulisan ini saya sebut dengan serat dan suluk. Uniknya, tafsir mistis dan klenik sesuai syahwat politik partisan, berkembang pula di zaman milenia sekarang ini, yang tidak jarang pengutipannya menyimpang dari teks asli.

Di dalam Wirid Hidayat Jati, uraian dan anatomi tentang ruh dan Tuhan serta hubungan rahasia antara Tuhan dan hamba-Nya, berbalut dengan ajaran Martabat Tujuh dan Wahdatul Wujud atau Manunggaling Kawulo-Gusti. Akan tetapi, dalam dunia tasawuf, pemahaman mengenai Manunggaling Kawulo-Gusti itu pun bisa berbeda satu sama lain.  Bahkan sejumlah ulama menganggap Wahdatul Wujud sebagai ajaran sesat dan kafir.

Oleh karena itu supaya kita tidak tersesat dalam menafsirkan suluk dan serat-serat dakwah, saya senantiasa mengingatkan agar berpegang teguh pada Al Qur’an dan hadis. Anatomi dan rincian tentang ruh dan Tuhan misalkan, dengan jelas Al Qur’an dan hadis telah menjelaskan serta memberikan batasan-batasan, mengapa kita harus memerincinya keluar dari batasan-batasan tersebut? Dan apa gunanya setelah memerinci? Berdebat dan merasa paling tahu? 

Di dalam  Wirid Hidayat Jati, Wejangan Kedua sudah mulai menggambarkan rincian ciptaan manusia yang mengikuti ajaran Martabat Tujuh, yang dimulai dari Pohon Keyakinan Sajaratulyakin, Nur Muhammad sampai Dinding Kijab. Ajaran Martabat Tujuh diulang kembali dalam Wejangan Keenam, dengan menggambarkan alam akadiat (ahadiyat) alam wahdat, alam wakidiyat, alam arwah, alam mitsal, alam ajsam dan insan kamil.

Faham Manunggaling Kawulo-Gusti yang menyatakan segala wujud pada dasarnya adalah dari satu, yaitu Allah Ta’ala, bersumber dari Abu Abdullah Husain bin Mansur yang kemudian lebih dikenal sebagai Al Hallaj, lahir tahun 858, tapi ada versi 866, dan wafat tahun 922 M. 

Menurut Al Hallaj, Allah adalah hakikat alam, termasuk makhluk. Alam beserta manusia merupakan aspek lahir dari suatu hakikat batin yang tunggal, yaitu Tuhan Seru Sekalian Alam. Karena itu Tuhan bersabda, mendengar, melihat dan berbuat  dengan meminjam tubuh dan anggota badan manusia. Tuhan terhisap dan immanent dalam diri manusia. Lahir batin Allah telah berada pada manusia (Dr.Simuh dalam Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, UI-Press 1988, halaman 293).

Al Hallaj yang di Jawa digambarkan sebagai Syeh Siti Jenar, mengilhami Ibu Arabi yang lahir di Spanyol tahun 1165 dan wafat 1240, yang mengembangkan ajaran Wahdatul Wujud menjadi Martabat Tujuh. Dalam Fusus al-Hikam yang ditulis pada tahun1229 M, Ibnu Arabi mengajarkan Pantheisme, yakni seluruh kosmos adalah Tuhan,  terjadinya alam semesta dan keinsankamilan.

Faham Wahdatul Wujud dan Martabat Tujuh itu selanjutnya menyebar ke Gujarat – India yang oleh Muhammad Ibnu Fadhillah (hidup  di awal abad ke 17), dituangkan ke dalam kitab Al-Tuhfah al Mursalah ila Ruhin-Nabi, sebagai sarana  penelaahan  tentang hubungan manusia dengan Tuhannya. Pada hematnya, Allah yang bersifat gaib bisa dikenal sesudah bertajjali, menampakkan dalam wajah batin, melalui tujuh martabat atau tingkatan, sehingga tercipta alam semesta dengan segenap isinya.

Pada hemat saya, konsep ajaran martabat tujuh mengenai penciptaan alam semesta melalui tajjali Tuhan sebanyak tujuh tingkatan tidak  secara langsung bersumber dari Al Qur’an dan hadis, melainkan sebagai ikhtiar dan buah pikir manusia. Bisa saja orang berpendapat apakah bukan tidak mungkin itu bersumber dari ayat-ayat mutasyabihat yaitu ayat yang samar-samar? Atau mungkin juga ayat-ayat kauniyah, yaitu ayat atau petunjuk Gusti Allah melalui tanda-tanda alam dan kehidupan di sekitar kita? Ya silahkan saja yang berpendapat seperti itu. Namun Islam sebagaimana juga Wejangan Pertama Wirid Hidayat Jati telah mengajarkan proses dan hubungan Tuhan dengan makhluknya secara tegas sebagai Allah Yang Mahahidup  Dengan Sendiri-Nya, lagi Mahasuci.

Dari anak benua India, faham Martabat Tujuh masuk ke Samudera Pasai dan selanjutnya ke Jawa, sehingga menjelang akhir abad ke 17 di Tegal sudah ada gubahan Serat Tuhfah dalam bahasa Jawa.

Manunggaling Kawulo-Gusti Versi Sunan Bonang.

Mengenai versi lain faham Manunggaling Kawulo-Gusti, kitab Al Hikam yang tersohor yang menjadi pegangan sebagian pesantren di Nusantara (karya Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary: 1259 – 1310M) mengajarkan, apabila jiwa manusia  suci dari segala kekeruhan yang datang dari alam lahiriah, maka naiklah jiwa tersebut ke alam jabarut, yaitu alam yang dihuni para malaikat. Dalam keadaan begitu, tidak ada dinding penghalang antara sang jiwa dan Sang Pencipta. Di mata orang yang memiliki jiwa seperti itu, alam raya tampak begitu kecil, bagaikan  sebutir biji sawi. Alam atau jagat raya yang tertangkap oleh pancainderanya menjadi jagat kecil, sedangkan dirinya menjadi  jagat besar. Maka berlangsunglah  apa yang disebut manunggaling kawulo-Gusti, manusia menyatu dengan Tuhannya, dalam arti jiwa manusia mampu mengendalikan segala nafsu dan keinginannya , sehingga menyatu dengan kehendak Allah. Mampu melaksanakan dengan baik tugas-tugasnya  selaku wakil dan utusan Allah di muka bumi.

Pemahaman manunggaling kawulo – Gusti yang seperti itu pula yang diajarkan oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga di Jawa. Orang yang mampu manunggal dengan Sang Pencipta, mengalami apa yang disebut fana fillah. Orang tersebut tidak punya kehendak pribadi karena kehendaknya telah diselaraskan, menyatu dengan kehendak dan sifat-sifat Gusti Allah. Banyak mursyid atau guru tasawuf yang berpendapat, suasana fana fillah, yakni tenggelamnya kesadaran manusia terhisap ke dalam lautan serba Tuhan, adalah puncak mistik para salik, penempuh jalan Tuhan, yang hanya dapat dialami beberapa saat saja.

Sunan Bonang dalam Suluk Gentur atau Suluk Bentur, yang diperjelas dan saling melengkapi dengan karya-karyanya yang lain seperti Gita Suluk Lastri, Suluk Khalifah, Suluk Jebeng dan terutama Suluk Wujil, mentamzilkan suasana penyatuan atau manunggal itu bagai garam jatuh ke laut dan lenyap, tetapi tidak dapat dikatakan menjadi laut. Pun tidak hilang dalam kekosongan atau suwung. Demikian pula apabila manusia mencapai keadaan fana, tidak lantas tercerap ke dalam Wujud Mutlak. Yang lenyap adalah kesadaran akan keberadaan wujud jasmaninya (Islam Mencintai Nusantara: Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, Bagian I – 6).

Dengan gambaran di atas, lantas bagaimana kita menyikapi dan mempelajari Wirid Hidayat Jati serta kitab atau serat-serat sejenisnya? Jawabnya adalah dengan penuh rasa syukur, jiwa besar tetapi kritis. Kita bersyukur dan berterimakasih bisa memperoleh anugerah mempelajari ajaran-ajaran ulama dan pujangga besar masa lalu, karena tidak mungkin ada masa sekarang dan masa depan tanpa melalui masa lalu.  Dalam kaitan ini, para penganut tasawuf sering diajarkan untuk mendoakan tokoh yang ilmu serta ajarannya hendak kita tekuni dan hayati, minimal membacakan Al Fatihah. Tetapi sebagaimana nasihat orangtua sekaligus guru kita Puang Kyai Prof. Ali Yafie kepada penulis adalah:  “Apa yang sudah dilakukan oleh para Wali penyebar Islam di Nusantara khususnya di Jawa, sangatlah luar biasa dan tepat pada masanya, sehingga sekarang mayoritas penduduk kita memeluk Islam dan menjadi negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Memang jangan berharap sekaligus sempurna. Kewajiban kita dan generasi-generasi mendatang untuk menyempurnakan, menutup lubang-lubang yang ada, memperbaiki kekurangan dan kelemahannya, serta mengemasnya kembali sesuai tuntutan zaman.”

Sementara itu kita pun harus kritis, tidak menelan mentah-mentah semua ajaran orang lain meski berasal dari yang dikenal sebagai ulama. Ini tidak berarti kita tidak menghormati yang bersangkutan, melainkan sebuah sikap kehati-hatian. Kita ambil yang sudah jelas, yang sudah pasti baik dan benar sesuai Al Qur’an dan hadis, dan kita sisihkan dulu yang meragukan apalagi yang tidak sesuai tanpa harus mengecilkan apalagi menyalahkan yang bersangkutan, karena memang tidak ada manusia yang sempurna termasuk diri kita. Yang baik kita ambil dan yang buruk kita buang, yang meragukan kita pendam dulu, dengan penuh rasa syukur dan terimakasih. Di dalam kehidupan, tidak jarang kita memperoleh gagasan yang bagus dan luar biasa hebat, yang justru timbul setelah melihat gagasan atau karya yang salah dari orang lain. Maka sudah sepatutnya pula kita berterimakasih kepada orang lain tadi.

Sebagai penutup seri ini marilah kita pahami ajaran Al Ghazali (1058 – 1111M) dalam  Raudhatut Thalibien wa ‘Umdatus Saalikien atau Raudah, Taman Jiwa Kaum Sufi  yang menggambarkan hadis riwayat Abu Hurairah sebagai berikut: “Suasana penyatuan antara sang hamba dengan Sang Pencipta tercapai tatkala zat sang hamba mencapai tahap fana. Sifatnya telah sirna dan kefanaannya lebur dalam keabadian-Nya. Maka, bagi sang hamba bisa berlaku, ‘dengan diri-Ku ia mendengar dan dengan diri-Ku ia melihat.’ Jadilah Dia yang melimpahkan kewalian sang hamba dan menjadi kekasih sang hamba. Jika sang hamba berkata, maka akan berkata dengan zikir-zikir-Nya. Jika memandang akan memandang dengan cahaya-cahaya-Nya. Jika bergerak maka akan bergerak dengan kekuasaan-Nya. Jika memukul maka akan memukul dengan limpahan keperkasaan-Nya."

Segala puji bagi Gusti Allah, Kang Urip (yang Mahahidup), Kang Gawe Urip (yang menghidupkan hamba-hamba-Nya) dan Kang Nguripi (yang mengatur kehidupan hamba-hamba-Nya). Yaa Rahman, Yaa Rahiim, Ya Hayyu, Ya Qayyuum.

Suluk Hamemayu Hayuning Bawono, Beji – Depok, Ahad/Minggu Legi, 7 Dzulhijjah 1439-H atau 7 Besar 1951-S atau 19 Agustus 2018-M.




0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda