Rancang Bangun Sosial : Gerakan Membumikan Pancasila.
1.Membaca
& Memahami Kenyataan.
Berikut saya sajikan dua contoh (saja) realita dalam
kehidupan bermasyarakat.
Pertama, masalah kesenjangan sosial
ekonomi. Kompas.com
Jumat 10 Maret 2017 memuat berita “Indonesia Peringkat 20 Sebagai Negara Dengan
Milyader Terbanyak Di Dunia.” Padahal masih segar diingatan kita, beberapa
waktu sebelumnya banyak beredar berita, Indonesia masuk dalam 100 negara
termiskin dengan urutan 68, diapit oleh Djibouti (urutan 67) dan Guyana (urutan
69). Sementara itu Oxfam Indonesia bersama NGO Forum on Indonesia Development
(INFID) mengumumkan penelitiannya tentang kekayaan 4 (empat ) orang terkaya Indonesia pada 2016 samadengan 100 juta
rakyat miskin Indonesia (detikfinance. 23 Feb 2017).
Pada waktu yang hampir bersamaan, yakni awal 2017,
Lembaga Keuangan Swiss Credit Suisse
juga mengeluarkan riset mengenai ketimpangan kekayaan di berbagai negara.
Indonesia masuk dalam 9 besar negara dengan kekayaan tidak merata. Hanya satu
persen saja orang terkaya Indonesia sudah menguasasi 49,3 persen kekayaan
nasional.
Data-data di atas secara terang benderang menegaskan
bahwa ketimpangan, kesenjangan dan ketidakadilan sosial, tengah melanda
Indonesia, yang berazaskan Pancasila dengan salah satu silanya yaitu Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kesenjangan dan ketidakadilan sosial
itulah pada hemat saya musuh terbesar dan yang paling berbahaya bagi bangsa
Indonesia, yang akan terus muncul berkelindan dengan masalah-masalah lain, serta meledak kepermukaan dalam berbagai
bentuk, varian dan manifestasinya khususnya Suku – Agama – Ras - Antar Golongan dan Daerah, dalam sebuah
negara lebih dari 17.000 pulau yang secara potensial sangat rawan. Kekuatiran sekaligus
ancaman itu jauh-jauh hari juga sudah diingatkan oleh Kepala Bakin Yoga Sugama
pada tahun 1989, yang antara lain diungkapkan dalam bukunya “Memori Jenderal Yoga” bab Tantangan Masa Depan, yang terbit pada
tahun 1990 (edisi revisi terbit pertengahan Mei 2018 dengan judul “Jenderal Yoga, Loyalis di Balik Layar”).
Kedua,
korupsi dan penegakkan hukum.
Ironi besar sedang melanda kita, di negeri yang
agamis dan moralis, yang “Berketuhanan Yang Maha Esa”. Koruptor dan orang-orang
yang hidup mewah di atas penghasilan resminya tapi dermawan, dihargai dan
disanjung. Sementara orang-orang jujur yang hidup pas-pasan dianggap pelit
karena tak mampu mengobral sumbangan, atau dianggap bodoh lantaran tidak bisa
memanfaatkan posisinya. Korupsi bukan
saja telah membudaya, tetapi mulai “menyusup” ke dalam DNA (Deoxyribonucleic
Acid) atau bio molekul penyusunan sel-sel tubuh manusia. Tentu ini adalah
sebuah pengibaratan saja, guna menggambarkan betapa sudah amat
bersimaharajalelanya penyakit korupsi di Indonesia.
Karena telah “menyusup” masuk DNA maka kita tidak risih
lagi, bahkan enjoy saja melakukan aneka perbuatan dari pohon korupsi, mulai
dari akar, batang, dahan, ranting, daun dan buah korupsi. Sikap rakus dan
tamak, tidak jujur, menghalalkan segala cara, memberi dan menerima hadiah
karena pekerjaan, suap-menyuap, rekayasa memenangkan tender dan memperoleh
order kerja melalui korupsi, kolusi dan mark-up,
manipulasi spesifikasi teknis dan sejenisnya, adalah komponen-komponen dari
pohon korupsi tadi. Karena mulai “menjadi DNA”, kita tidak lagi takut pada
hukum-hukum formal buatan manusia maupun hukum-hukum Tuhan. Ibadah okey,
korupsi pun jalan terus.
2.
Cita-Cita Kemerdekaan Indonesia.
2.1. Rakyat Indonesia yang multi etnis-agama-golongan, hidup secara
harmonis dalam suasana kebhinekatunggalikaan, yang juga berdiri sederajat
secara harmonis dengan bangsa-bangsa lain di dunia dalam suatu tatanan dunia
yang menjunjung tinggi prinsip kesetaraan serta nilai-nilai kemanusiaan yang
luhur.
2.2. Rakyatnya cerdas, berjatidiri, berbudaya dan
berakhlak mulia.
2.3. Tatatanan masyarakatnya berkeadilan sosial dan
berkeadilan hukum secara taat azas.
2.4. Tatanan politiknya menjunjung tinggi sistem perwakilan dan permusyawaratan yang antara
lain dengan
terwakilinya suku/etnis, adat-budaya,
golongan dan agama yang ada di Indonesia dalam lembaga legislatif/perwakilan
rakyat.
2.5. Pemerintahannya dikelola oleh birokrasi yang
bersih, memiliki semangat pengabdian dan berdisiplin tinggi serta amanah.
3.
Ancaman Terhadap Cita-Cita Kemerdekaan.
Indonesia tidak berada di ruang hampa, melainkan dalam
tata hubungan dan pergaulan antar bangsa yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan
modal dan tekonologi super canggih yang terus berkembang pesat, yang
menggelorakan gelombang musik jiwa yang mendendangkan : (1) penggalangan alam
pikiran agar terpadu secara total pada dimensi rasionaliatas; (2) pemujaan pada
pesona dunia; (3) kebutuhan-kebutuhan palsu yang menyihir. Gelombang musik jiwa
tersebut mempengaruhi Negara-Negara Bangsa yang ada termasuk Indonesia, agar
menerima serta menghayatinya dengan mengubah tatanan kehidupan berbangsa dan
bernegara sehingga menganut (a) sistem pasar bebas; (b) sistem sosial politik
demokratis yang individualis; (c) sistem sosial budaya yang lepas bebas. Dampak
ketiga sistem tersebut, sudah mulai kita saksikan dan rasakan pada
individu-individu masyarakat yang hedonis-individualis, pragmatis
–materialis serta narsis. (Lampiran:
Kapitalisme Global & Perang Semesta).
4.
Sosialisasi Nilai-Nilai Pancasila.
Jika dewasa
ini kita hendak melakukan sosialisasi nilai-nilai Pancasila, maka kita harus
memahami dengan tepat kondisi medan yang akan kita hadapi, yang secara garis
besar kita bahas di bagian depan. Sosialisasi yang antara lain mencakup
diseminasi kebijakan dan penggalangan citra, adalah bagian dari rancang bangun
sosial, yang tidak mungkin berhasil diwujudkan tanpa didahului berbagai produk
kebijakan yang tepat dan berdayaguna, yang dalam hal Pancasila sebagai pondasi
kehidupan berbangsa dan bernegara, adalah kebijakan dan langkah-langkah
pelaksanaannya untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Tantangannya adalah
bagaimana membuat agar sila-sila dalam Pancasila, sunguh-sungguh menjiwai
seluruh kebijakan Pemerintah serta menjiwai perilaku para aparatnya mulai dari
tingkat pusat sampai daerah, dan bukan sekedar mengajari rakyat kecil untuk
menghafalnya.
Sosialiasi
termasuk penggalangan citra, juga harus dilandasi dan disertai dengan kejujuran
dan pondasi kebijakan yang kokoh. Sebab jika tidak, maka hanya akan ibarat
membangun istana pasir. Enak
dilihat namun hanya sesaat. Tatkala angin kencang datang menerpa, satu demi
satu butir-butir pasirnya akan runtuh atau terbang terbawa angin, akhirnya
luruh rata dengan permukaan tanah. Oleh
karena itu Tim Sosialiasi juga harus terlibat sejak awal, khususnya dalam
memberikan bahan masukan dan umpan balik bagi proses penyusunan kebijakan yang
digalang dalam suatu Rancang Bangun Sosial
Gerakan Membumikan Pancasila (sekedar
contoh nama gerakan).
5.
Rancang Bangun Sosial Gerakan Membumikan Pancasila.
Rancang
bangun sosial itu digambarkan dalam
bagan terlampir, yang harus diawali dengan perumusan mengenai tujuan nasional
gerakan, disusun berdasarkan pengenalan yang tepat tentang analisa Kekuatan,
Kelemahan, Peluang dan Ancaman, kemudian perumusan permasalahan yang dihadapi dan selanjutnya, sampai dengan
strategi, program, bentuk-cara-media, sasaran dan lain sebagainya. Adapun posisi,
peranan serta tugas-tugas sosialisasi dan peran media, berada di dalam kerangka besar rancang bangun sosial,
terutama harus terlihat nyata dalam progam, bentuk-cara-media dan kelompok
sasaran. (B.Wiwoho : Bahan Diskusi dalam FGD UKP Pancasila/BPIP).
Jakarta, 28 November 2017.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda