Minggu, 01 Agustus 2021

Parni Hadi: PERINGATAN BAGI BANGSA INDONESIA.

 

Buku Membaca Nusantara Dari Afrika, Menelusuri Jejak Para Pejuang yang Terbuang ini, memberi peringatan bahaya yang mengancam Indonesia.

Sejarah adalah kisah masa lampau. Tidak semua masa lampau itu indah dan benar. Tapi masa lampau itu perlu untuk pembelajaran. Sejarah adalah wasilah dari generasi ke generasi. Generasi yang belakangan mengambil hikmah dari pengalaman keberhasilan dan kegagalan generasi sebelumnya untuk diikuti, diteladani, dan atau dihindari. Pengalaman adalah guru terbaik. Oleh karena itu, Bung Karno menyerukan “Jas merah” (Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah). Ini bagi orang atau bangsa yang mau belajar, kecuali orang atau bangsa itu bahlul.

Buku yang Anda baca ini berisikan catatan perjalanan wartawan senior, Bambang Wiwoho, bersama istrinya ke Afrika Selatan akhir 2017. Isi buku ini menceritakan para pejuang Nusantara yang dibuang ke Afrika Selatan yang kemudian mengilhami perjuangan Nelson Mandela, tokoh dan pemimpin Afrika Selatan, untuk pembebasan manusia dari diskriminasi ras kaliber dunia. Di antara pejuang itu adalah Syekh Yusuf dari Makassar, penyebar Islam di Afrika Selatan. Dan, Cakraningrat IV Pangeran dari Madura yang memusuhi Belanda.

Para pemimpin yang berasal dari berbagai pulau di Nusantara itu dibuang Belanda ke Afrika Selatan bersama para pengikutnya secara bergelombang. Jumlahnya, jika digabung dengan para budak, mencapai ribuan. Mayoritas mereka beragama Islam. Sekalipun dikurung dalam penjara Belanda, mereka tetap berjuang untuk syiar Islam dan menginspirasi gerakan pembebasan dari penjajahan bangsa asing. Mereka sangat dimuliakan, dianggap wali mursyid, waliulah, dan makam mereka dikeramatkan.

Ziarah yang dilakukan dan kemudian ditulis oleh Mas Wiwoho patut diteladani oleh wartawan muda dan anak bangsa Indonesia pada umumnya. Mas Wi, demikian saya biasa memanggilnya, telah memenuhi harapan para leluhur orang Jawa untuk mikul dhuwur mendhem jero. Artinya, menjunjung setinggi-tingginya nama baik leluhur dan memendam sedalam-dalamnya kekurangan mereka. Sebagai wartawan senior, usia berkepala tujuh, ia telah memberi contoh bagaimana seorang wartawan seharusnya bekerja, yakni mengamati dengan cermat, mencatat, mengasosiasikan dengan data dan berbagai bahan bacaan lainnya, merenungkannya, dan kemudian menuliskannya menjadi sebuah riwayat baru dengan misi atau pesan tertentu demi kebaikan.

Sejarah adalah sebuah buku yang tergelar atau terbuka lebar. Siapa pun dapat membuka, membaca, belajar, dan memetik hikmahnya. Salah satu pesan terpenting dari buku ini adalah bangsa asing yang semula datang sebagai pedagang kemudian berubah menjadi penjajah. Itulah yang dilakukan oleh bangsa Belanda terhadap bangsa Indonesia selama tiga setengah abad sebelum proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.

Korporatokrasi

Fitrah manusia adalah ingin terus berkembang untuk menggapai yang lebih baik karena dorongan nafsu untuk berkuasa. Apalagi kalau manusia itu menggeluti profesi sebagai pedagang. Yang dikejar selalu untung yang lebih besar. Kapitalisme yang mula-mula tumbuh di negeri Barat sekarang telah mendominasi peradaban global. Tapi, menurut Bung Karno, kapitalisme adalah ibu dari imperialisme.

Dengan segala upaya dan cara, kasar halus, bujuk rayu, tipu daya adu domba, upeti dan uang sogokan untuk membeli dukungan, bekerja sama dengan raja-raja, penguasa lokal, bangsa Belanda berhasil menguasai Nusantara. Mula-mula Belanda menguasai ekonomi, setelah itu menjamah, menjarah-rayah, dan menjajah wilayah peri kehidupan lainnya, termasuk bidang sosial, budaya, dan politik. Demokrasi liberal juga lahir dari rahim kapitalisme.

Buku ini memberi peringatan kepada bangsa Indonesia untuk ekstra waspada agar peristiwa seperti itu tidak terulang lagi. Apa yang baik dari bangsa asing kita ambil, mensinergikannya dengan nilai-nilai kearifan lokal, yang buruk kita buang.

Seorang futurolog Indonesia, Dr. A. Dedi Mulawarman, dalam bukunya 2024 Hijrah untuk Negeri, tahun terbit 2016, memperkenalkan istilah korporatokrasi, yang saya maknai secara bebas sebagai pemerintahan (yang diatur) oleh korporasi. Para pengusaha pemilik korporasi menyediakan dana, dan sebagai imbalannya, menyetir para penguasa politik dalam menjalankan roda pemerintahan dengan tujuan untuk menguntungkan perusahaan.

Korporatokrasi berjalan mulus berkat kerjasama erat dengan para penguasa yang suka korupsi. Jadilah korporatokrasi berkelindan dengan kleptokrasi. Artinya, pemerintahan yang dikuasai oleh persekongkolan pengusaha, pemilik korporasi, dan penguasa (pemimpin politik) yang diwarnai oleh politik uang dan menyulut maraknya korupsi. Alias, pemerintahan oleh gabungan para pemodal dan pencuri, yang menindas rakyat. Ini pernah terjadi dalam sejarah Nusantara. Tidak percaya? Baca buku ini baik-baik, terutama bab mengenai cara raja-raja Jawa mempertahankan kekuasaan.

Kapitalisme mungkin memang tidak bisa dibendung karena ia memenuhi hasrat hidup hampir setiap manusia untuk kebebasan. Yang harus dihindari adalah praktik kapitalisme yang primitif, naif, kotor, hegemonik dan rakus. Atau kapitalisme Bob Asu - Biar Orang Buntung Asal Saya Untung. (Lebih lengkap, simak dalam buku MEMBACA NUSANTARA DARI AFRIKA, MENELUSURI JEJAK PARA PEJUANG YANG TERBUANG):

 Buku diterbitkan oleh Pustaka IIMaN Group, dengan ukuran 13,5 X 20 Cm, tebal 265 halaman.   Telp: 081380582795.

*) Parni Hadi, wartawan senior sekaligus budayawan, lahir di Madiun, Jawa Timur, 13 Agustus 1948. Memulai karier sebagai wartawan di Kantor Berita ANTARA tahun 1973, pendiri/kepala perwakilan LKBN ANTARA untuk wilayah Eropa di Hamburg, Jerman Barat, pemimpin umum/pemimpin redaksi lembaga Kantor Berita ANTARA(1998–2000), direktur utama Radio Republik Indonesia (2005–2010), pendiri/inisiator/ketua dewan pembina Dompet Dhuafa, serta penulis buku “Jurnalisme Profetik.”


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda