Bagaimana membuat PSPN menjadi monumen nasional juga
sekaligus mesin uang? Pada masa itu, terasa amat sangat berat dan seperti
mustahil, mengingat selama ini masyarakat Indonesia, masih mengalami sindrom
dan trauma belasting, mengalami sindrom pajak. Betapa tidak, menurut para
sejarawan, di pulau Jawa saja dalam waktu 78 tahun (1830 – 1908) telah terjadi
lebih dari seratus kali pemberontakan petani. Pajak di masa kolonial
diasosiasikan dengan penderitaan, baik ekonomis maupun politis, sehingga
mengakibatkan semacam trauma bagi masyarakat. Trauma semacam ini tentu
tidak begitu saja lenyap sekalipun Indonesia telah merdeka. 2). Hal ini diakui
oleh dua orang sosiolog terkemuka Dr.Loekman Soetrisno dari Universitas Gajah
Mada dan Prof.Dr.Satjipto Rahardjo dari Universitas Diponegoro.3).
Kekuatiran terhadap masih membekasnya trauma pajak dari
masa penjajahan tersebut, juga menjadi pertimbangan utama para pengambil kebijakan
di awal Orde Baru. Dalam simposium mengenai “Tracee Baru” yang membicarakan masalah
ekonomi, di Universitas Indonesia
29 April 1966, sebenarnya sudah diusulkan upaya-upaya meningkatkan penerimaan dari
pajak. Sutanto, misalkan, menyatakan perlunya diperbaiki pemungutan pajak, bea
dan cukai dari keuntungan perusahaan-perusahaan negara. Dikemukakan pula dalam
rangka keadilan maka perlu diberlakukan pajak progresif, dimana pajak
kepemilikan harus lebih besar dari pajak penghasilan. Hal serupa pun diungkapkan
oleh Tan Goan Tiang dan Liem Bian Koen. Keduanya bahkan mengusulkan untuk
melakukan reformasi pajak. Namun demikian pada waktu itu Pemerintah masih belum
mampu melakukannya karena Pemerintah baru mencanangkan program stabilisasi
ekonomi.4).
Akan tetapi dimana ada manusia modern yang bebas dan tidak
membayar pajak? Sungguh ada dua hal yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan
manusia, yaitu kematian dan membayar pajak, demikian joke yang sering saya
kemukakan dalam berbagai kesempatan sewaktu saya ikut menangani Kampanye
Nasional Perpajakan dari tahun 1984 sampai dengan tahun 1999.
Jika negara dan Pemerintahan diibaratkan tubuh manusia,
maka pajak adalah darah yang menghidupi serta mengaliri seluruh tubuh. Karena
itu pajak sudah dikenal sejak zaman sebelum
Masehi. Sejarah menunjukkan bahwa Cina dan kerajaan
Romawi telah melaksanakan pungutan pajak
sebagai sumber pendapatan yang tetap bagi negara demi menjalankan roda
pemerintahannya. Dalam babakan selanjutnya Inggris, Belanda, Perancis dan banyak lagi negara lain melakukan
pemajakan dengan tatanan yang lebih teratur, sekalipun sistem yang digunakan relaif
masih sederhana.
Di Indonesia, memang belum ada petunjuk tahun yang pasti
sejak kapan kerajaan-kerajaan Indonesia
mulai memberlakukan pajak dan dalam bentuk apa; hanya saja sebelum kedatangan bangsa
Eropa, kerajaan-kerajaan di Indonesia sudah mengenal pajak dalam bentuk pajak
tanah dan terhadap berbagai mata dagangan, di samping kewajiban-kewajiban dalam
bentuk lain.
Kata “pajak” dalam bahasa Jawa “pajeg”, merupakan akronim dari pasok kang ajeg,
artinya upeti yang tetap, atau terus berlangsung berkesinambungan. Di luar
kewajiban pajak yang dipersembahkan
untuk “Pusat”, ada pula upeti-upeti setempat, di mana setiap pejabat pada
kerajaan berfungsi sebagai pemungut pajak. Karena setiap pejabat tersebut tidak
digaji oleh kerajaan melainkan hanya diserahi wewenang dan kekuasaan – antara
lain wewenang memungut pajak, upeti serta berbagai pungutan lain – maka
seringkali pejabat tadi menerapkan pajak secara berlebihan sehingga
menyengsarakan rakyat. Terhadap penyalahgunaan ini biasanya raja mengenakan “denda”,
bahkan mengambil kekayaan pejabat tersebut. 5).
Demikianlah, dari masa ke masa sejak zaman dahulu kala dan
di mana saja, pajak tak bisa dipisahkan dari kehidupan suatu Pemerintahan.
2). Agustini Asikin dkk, “Pajak Citra dan Upaya Pembaruannya.
Pokok-pokok Pemikiran Salamun AT, Bina Rena Pariwara, 1992 hal 33.
3). B.Wiwoho (editor), “Prospek dan Faktor Penentu Reformasi
Perpajakan”., Bina Rena Pariwara, 1990 hal 77, 78, 87 dan 95.
4). ”Radius Prawiro Kiprah, Peran dan
Pemikiran”, hal 241 – 242.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda