Jumat, 08 Februari 2013

Revolusi Perpajakan th 1983 (2): TRAUMA PAJAK DENGAN LEBIH 100 KALI PEMBERONTAKAN




Bagaimana membuat PSPN menjadi monumen nasional juga sekaligus mesin uang? Pada masa itu, terasa amat sangat berat dan seperti mustahil, mengingat selama ini masyarakat Indonesia, masih mengalami sindrom dan trauma belasting, mengalami sindrom pajak. Betapa tidak, menurut para sejarawan, di pulau Jawa saja dalam waktu 78 tahun (1830 – 1908) telah terjadi lebih dari seratus kali pemberontakan petani. Pajak di masa kolonial diasosiasikan dengan penderitaan, baik ekonomis maupun politis, sehingga mengakibatkan semacam trauma bagi masyarakat. Trauma semacam ini tentu tidak  begitu saja lenyap sekalipun Indonesia  telah merdeka. 2). Hal ini diakui oleh dua orang sosiolog terkemuka Dr.Loekman Soetrisno dari Universitas Gajah Mada dan Prof.Dr.Satjipto Rahardjo dari Universitas Diponegoro.3).

Kekuatiran terhadap masih membekasnya trauma pajak dari masa penjajahan tersebut, juga menjadi pertimbangan utama para pengambil kebijakan di awal Orde Baru. Dalam simposium mengenai “Tracee Baru” yang membicarakan masalah ekonomi, di Universitas Indonesia 29 April 1966, sebenarnya sudah diusulkan upaya-upaya meningkatkan penerimaan dari pajak. Sutanto, misalkan, menyatakan perlunya diperbaiki pemungutan pajak, bea dan cukai dari keuntungan perusahaan-perusahaan negara. Dikemukakan pula dalam rangka keadilan maka perlu diberlakukan pajak progresif, dimana pajak kepemilikan harus lebih besar dari pajak penghasilan. Hal serupa pun diungkapkan oleh Tan Goan Tiang dan Liem Bian Koen. Keduanya bahkan mengusulkan untuk melakukan reformasi pajak. Namun demikian pada waktu itu Pemerintah masih belum mampu melakukannya karena Pemerintah baru mencanangkan program stabilisasi ekonomi.4).

Akan tetapi dimana ada manusia modern yang bebas dan tidak membayar pajak? Sungguh ada dua hal yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan manusia, yaitu kematian dan membayar pajak, demikian joke yang sering saya kemukakan dalam berbagai kesempatan sewaktu saya ikut menangani Kampanye Nasional Perpajakan dari tahun 1984 sampai dengan tahun 1999.

Jika negara dan Pemerintahan diibaratkan tubuh manusia, maka pajak adalah darah yang menghidupi serta mengaliri seluruh tubuh. Karena itu pajak sudah dikenal sejak zaman sebelum






Masehi. Sejarah menunjukkan bahwa Cina dan kerajaan Romawi  telah melaksanakan pungutan  pajak  sebagai sumber pendapatan yang tetap bagi negara demi menjalankan roda pemerintahannya. Dalam babakan selanjutnya Inggris, Belanda, Perancis  dan banyak lagi negara lain melakukan pemajakan dengan tatanan yang lebih teratur, sekalipun sistem yang digunakan relaif masih sederhana.

Di Indonesia, memang belum ada petunjuk tahun yang pasti sejak kapan kerajaan-kerajaan Indonesia mulai memberlakukan pajak dan dalam bentuk apa; hanya saja sebelum kedatangan bangsa Eropa, kerajaan-kerajaan di Indonesia sudah mengenal pajak dalam bentuk pajak tanah dan terhadap berbagai mata dagangan, di samping kewajiban-kewajiban dalam bentuk lain.

Kata “pajak” dalam bahasa Jawa “pajeg”,  merupakan akronim dari pasok kang ajeg, artinya upeti yang tetap, atau terus berlangsung berkesinambungan. Di luar kewajiban pajak  yang dipersembahkan untuk “Pusat”, ada pula upeti-upeti setempat, di mana setiap pejabat pada kerajaan berfungsi sebagai pemungut pajak. Karena setiap pejabat tersebut tidak digaji oleh kerajaan melainkan hanya diserahi wewenang dan kekuasaan – antara lain wewenang memungut pajak, upeti serta berbagai pungutan lain – maka seringkali pejabat tadi menerapkan pajak secara berlebihan sehingga menyengsarakan rakyat. Terhadap penyalahgunaan ini biasanya raja mengenakan “denda”, bahkan mengambil kekayaan pejabat tersebut. 5).

Demikianlah, dari masa ke masa sejak zaman dahulu kala dan di mana saja, pajak tak bisa dipisahkan dari kehidupan suatu Pemerintahan.
 

2).      Agustini Asikin dkk, “Pajak Citra dan Upaya Pembaruannya. Pokok-pokok Pemikiran Salamun AT, Bina Rena Pariwara, 1992 hal 33.
3).      B.Wiwoho (editor), “Prospek dan Faktor Penentu Reformasi Perpajakan”., Bina Rena Pariwara, 1990 hal 77, 78, 87 dan 95.
4).      ”Radius Prawiro Kiprah, Peran dan Pemikiran”, hal 241 – 242.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda