Sejarah
itu berulang. Maka tepatlah nasihat Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia,
Bung Karno : “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Jangan sekali-kali
melupakan sejarah”. Peringatan sekaligus
nasihat tersebut dikemukakan Bung Karno pada pidato di depan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara, 17 Agustus 1966, dan kemudian terkenal dengan
singkatan Jasmerah.
Dalam
rangka belajar dari sejarah itulah berikut ini saya kutipkan catatan yang di
buat oleh Yoga Sugomo, seorang perwira intelijen tamatan Akademi Militer Jepang
dan Pendidikan Intelijen Inggris yang amat bergengsi M-16, tentang suasana,
situasi dan kondisi Indonesia khususnya Jakarta menjelang, selama dan sesudah
peristiwa berdarah yang terjadi pada tanggal 30 September 1965. Banyak saksi
hidup, terutama sejumlah wartawan senior, yang menjadi sahabat penulis dewasa
ini. Catatan Yoga Sugomo yang kemudian sempat menjadi Kepala Badan Koordinasi
Intelijen Negara selama 15 tahun secara non stop terus-menerus, disampaikan
kepada B.Wiwoho dan Banjar Chaeruddin, yang selanjutnya diterbitkan oleh
Penerbit Bina Rena Pariwara (1990) dan
edisi revisi oleh Penerbit Buku Kompas (2018) dengan judul “Jenderal Yoga: Loyalis Di Balik Layar”, yang kali ini akan kami
muat bersambung sebanyak 5 (lima) kali. Semoga berkah melimpah untuk kita
bangsa Indonesia yang bersatu dalam damai dan sejahtera (B.Wiwoho).
Angkatan Kelima &
Perlawanan TNI-AD.
5
Februari 1965, Yoga Sugomo tiba di Jakarta, setelah ditarik dari penugasan
sebagai Atase Militer di Yugoslavia. Baru beberapa hari di tanah air, Yoga langsung
merasakan sengatan suhu politik di Jakarta yang amat panas. Suasana perang dingin 3 pusat
kekuatan dunia, yaitu Amerika Serikat, Uni Soviet dan China, yang ia ikuti
secara saksama selama bertugas di Yugoslavia,menjadi salah satu penyebabnya.
Demonstrasi-demonstrasi terhadap Amerika Serikat, bahkan sudah menyasar ke kediaman Duta Besar Amerika
Serikat untuk Indonesia, Howard Jones.
Beberapa hari sebelumnya, yaitu pada tanggal 23 Februari 1965, dalam rapat umum
“Maju Tak Gentar” di Istora Senayan Jakarta, menyambut ulang
tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ke-19, Bung Karno meneguhkan keputusannya untuk
menyetujui tuntutan media-media binaan PKI untuk memberangus media masa anti-PKI
khususnya yang terlibat dalam Barisan Pendukung Soekarnoisme (BPS),
sebagai tindak lanjut dari pembubaran BPS.
BPS adalah sebuah perkumpulan yang bertujuan melawan serta membendung pengaruh
PKI terhadap Bung Karno yang semakin kuat, dengan jalan menggalang kekuatan nonkomunis,
serta menyebarluaskan tulisan-tulisan yang mengangkat orisinalitas pemikiran Bung
Karno. BPS diprakarsai antara lain oleh B.M. Diah, Adam Malik, Sayuti
Melik, Sukowati, dr. Amino, Djoehartono, dan didukung secara tidak langsung oleh
Menteri Penerangan Achmadi serta Panglima Angkatan Darat Ahmad Yani. Atas desakan PKI,
bersama PNI, Partindo, dan organisasi- organisasi massanya, pada tanggal 17 Desember 1964, Bung Karno membubarkan BPS.
Sehari setelah rapat umum “Maju Tak Gentar” tadi, Menteri Penerangan Achmadi
menutup 21 media massa, disusul delapan media massa sebulan berikutnya. Tak pelak lagi, hal
tersebut kian menyulut pertentangan dan menjadi bahan perbincangan yang luas. Penutupan
media massa antikomunis tadi juga mendapat perlawanan dari para
perwira tinggi Angkatan Darat dengan menampung sejumlah wartawan dari media-media yang
diberangus untuk bekerja dalam surat kabar baru, yaitu Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata.
Sementara itu, organisasi-organisasi massa pendukung PKI sangat aktif
melakukan aksi-aksi yang semakin memanaskan situasi. Pada tanggal 28
Februari, misalnya, sekelompok demonstran menyerbu tempat kediaman Dubes AS di Jakarta, Howard
Jones. Disusul pada tanggal
1 April, demonstran menyerbu vila milik Willam (Bill) Palmer di Gunung Mas.
Palmer adalah manajer Gabungan Importir Film Amerika (Association of
American Film Importers) yang dituding PKI sebagai agen Badan
Intelijen Amerika Central Inteligence Agency (CIA). Ia juga
menjabat sebagai Direktur American Motion Picture Association in
Indonesia (AMPAI). Kampanye anti AMPAI juga dilakukan secara
intensif dengan tuduhan bahwa Palmer melakukan kontak-kontak
rahasia dengan sejumlah perwira militer Indonesia untuk kepentingan
CIA.
Pada pertengahan Maret, sekitar 1.000 orang yang diyakini sebagai anggota
organisasi mantel PKI menyerbu kantor AMPAI di Jakarta. Mereka
menuntut agar kantor tempat Palmer bekerja itu ditutup.
Aksi tersebut mendapat dukungan internasional, khususnya dari Republik Rakyat
China. Radio Peking (sekarang Beijing) dalam siarannya memuji langkah para penyerbu sebagai
tindakan revolusioner. Radio itu menyatakan AMPAI merupakan alat subversi dan agresi
imperialis di bidang kebudayaan untuk melemahkan revolusi Indonesia.
Sementara itu, gagasan mempersenjatai massa sukarelawan terus berlanjut. Hal
tersebut jelas merupakan strategi PKI, yang mengharapkan bisa
menangani pendistribusian senjata dari China. Massa yang
bersenjata, apalagi bila terkonsentrasi di Jawa, akan sangat berbahaya
karena sebagian besar pasukan Angkatan Darat sudah ditugaskan ke
luar Pulau Jawa dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia, sehingga kekuatan riil AD di Jawa
pada waktu itu tidak terlalu kuat, bahkan sesungguhnya lemah.
Pada aspek lain, dengan dalih mendukung dan mensukseskan Nasakom (Nasionalis,
Agama, Komunis), PKI berhasil menancapkan pengaruhnya yang semakin besar. PKI bahkan mampu
memojokkan partai-partai politik lainnya, di samping melakukan konfrontasi langsung terhadap
sejumlah ormas yang menjadi lawannya, seperti SOKSI yang didukung
oleh TNI, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS),
dan para budayawan yang bergabung dalam kelompok Manikebu.
Usul Asmu untuk mempersenjatai massa rakyat kemudian dipertegas lagi oleh
Ketua Umum Central Commite Partai Komunis Indonesia (CC-PKI), D.N. Aidit. Dalam sebuah pidatonya
pada bulan Februari 1965, ia menekankan perlunya pembentukan Angkatan Kelima yang
bersenjata. Ia juga mengusulkan agar di setiap angkatan (Angkatan Darat,
Laut, Udara dan Kepolisian) dibentuk Komisaris Politik. Lembaga itu
akan bertanggung jawab sepenuhnya dalam membina ideologi, doktrin, dan ajaran perjuangan bagi
setiap prajurit.
Presiden Soekarno, pada tanggal 28 Mei 1965 mengemukakan kepada para Panglima
Militer bahwa ia menemukan bukti-bukti mengenai rencana Nekolim (Neo Kolonialisme) untuk membunuhnya. Menteri
Luar Negeri/Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) Dr. Subandrio dan Menteri/Panglima Angkatan
Darat Letjen Ahmad Yani, katanya, juga termasuk tokoh yang menjadi sasaran pembunuhan.
Bila rencana tersebut gagal, tentara Nekolim (maksudnya Inggris
dan Malaysia) akan menyerbu Indonesia dengan bantuan kaki tangan
mereka.
Sejak pernyataan Presiden Soekarno itu, beredar desas-desus di Jakarta mengenai
adanya Dewan Jenderal yang anggotanya terdiri atas sejumlah perwira tinggi AD yang tidak
loyal kepada Bung Karno. Seperti bunyi pepatah Jawa, ”sedawa-dawane lurung, isih dawa gurung.” Artinya, betapa pun panjangnya lorong, masih tetap lebih panjang
kerongkongan yang menghasilkan desas-desus, pergunjingan, dan
sejenisnya. Demikianlah, desas-desus tersebut semakin santer
dengan adanya dokumen yang menyebutkan sekelompok perwira AD akan membantu pasukan Inggris
dan AS menyerbu Indonesia.
Menurut Yoga Sugomo, diperkirakan atau patut
diduga, dengan maksud memperoleh liputan internasional,
Menlu/Kepala BPI Subandrio memberitahukan penemuan dokumen bertanggal 25 Maret
1965 itu kepada wartawan surat kabar Al Ahram di Kairo. Dokumen tersebut, katanya, berupa surat Dubes Inggris di Jakarta,
Gilchrist, yang ditujukan kepada Sekretaris Muda Kementerian Luar
Negeri Inggris, Sir Harold Casia.
Beberapa Jenderal yang didesas-desuskan tidak loyal kepada Bung Karno itu yang
juga diisukan menjalin kerja sama dengan pihak asing. Desas-desus yang berbau tuduhan itu, bila
dibiarkan, hanya akan menyeret konfrontasi yang lebih jauh dengan Malaysia, suatu keadaan yang
sama sekali tidak diinginkan karena hanya akan menguntungkan
strategi PKI. Namun, melakukan bantahan secara terbuka merupakan
tindakan yang juga tidak bijaksana.
Pidato-pidato Presiden Soekarno yang dikenal menggelegar berhasil memompakan
semangat rakyat melawan Malaysia. Salah satu pidatonya yang disiarkan Radio Republik Indonesia
(RRI) adalah: ”Jawabanku atas bantuan aktif yang diberikan Amerika Serikat
kepada Malaysia ialah: Kita tidak takut, Kita tidak akan dapat
ditakut-takuti. Walaupun negara imperialis yang lain juga memberikan
bantuan aktif kepada Malaysia, kita sebagai kekuatan internasional
di kalangan negara-negara Nefos (The New EmergingForces), dengan rakyatnya
sebanyak dua miliar jiwa, kita akan bersama-sama menghadapi negara-negara imperialis ini.” ( Nomer 1 dari 5, dikutip dari buku: Jenderal
Yoga, Loyalis di Balik Layar halaman 50 – 54).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda