Kamis, 11 Agustus 2011

ARAH EKONOMI MENGANCAN MASA DEPAN ANAK CUCU KITA.


Harian terkemuka, Kompas, tanggal 6 dan 7 Juli menurunkan laporan diskusi "yang mengagetkan" dari para pakar ekonomi dan pengusaha, baik yang sudah pada tingkat Begawan Ekonomi seperti Prof.Dr.Ali Wardhana dan tokoh-tokoh seangkatannya, maupun yang masih muda belia seperti Dr.Firmansyah dkk. Para tokoh tersebut, sebagian juga masih punya hubungan dekat -- pribadi, keilmuan + pekerjaan -- dengan arsitek-arsitek perekonomian Kabinet-Kabinet Orde Reformasi, termasuk Kabinet yang sekarang.

Para tokoh tersebut menyimpulkan, kondisi perekonomian nasional jangka panjang kian merisaukan. Program yang dijalankan dengan koordinasi yang buruk antar kementerian dan kepemimpinan yang lemah membuat roh pembangunan rakyat hilang. Jurang masyarakat kaya dan miskin pun melebar.
Pemerintah yang sejumlah menterinya adalah kader-kader arahan mereka, menurut mereka juga masih harus menuntaskan pekerjaan rumahnya dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif. Dunia usaha masih menghadapi ekonomi biaya tingggi, infrastruktur belum memadai, keterbatasan pasokan energi, kebijakan pusat - daerah tidak sejalan. Bahkan lebih mengerikan lagi, mereka menilai, kebijakan ekonomi jangka panjang telah kehilangan panduan.
Nah lho. Kok baru sekarang bicara?
Kemana saja mereka selama ini? Ngapain saja mereka? Padahal banyak orang dan media massa telah menyuarakan hal tersebut tatkala Penguasa Orde Reformasi yang antara lain dimotori Amin Rais mulai mengobrak-abrik berbagai tatanan ekonomi melalui pembuatan berbagai Undang-Undang yang mengobral murah "tanah-air".

Karena tekanan kapitalisme global dengan strategi globalismenya, para elit membuat beberapa UU dan kebijakan yang bertentangan dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan, bahkan menyerahkan begitu saja tanah air (bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) pada cengkeraman neo-liberal dan globalisme serta takluk pada instrumen mekanisme pasar bebasnya.

UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU 20/2002 tentang Kelistrikan, UU 19/2003 tentang BUMN, UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air dan UU 25/2007 tentang Penanaman Modal serta berbagai peraturan lainnya misalkan penambangan di hutan lindung, membuat negara tidak cukup lagi memiliki kuasa atas pengelolaan (produksi dan distribusi) kekayaan kita yang melimpah.
Ini menyebabkan perusakan dan eksploitasi besar-besaran untuk kepentingan kekuatan modal semata-mata, sehingga mengakibatkan gunung kita yang berfungsi sebagai paku bumi digempur, laut diaduk, pulau dikeduk, hutan dibabat, air tanah disedot tiada terkira.
Sungguh perusakan lingkungan yang luar biasa dan perekonomian yang tidak berkeadilan, tidak berkelanjutan, tidak seimbang dan tidak mandiri dan sekaligus benar-benar menjual tanah air (bahan galian dan air mineral) secara obral dan mentah-mentah tanpa diolah lebih dulu sebagai barang jadi.

Tak pelak lagi, cengkeraman kapitalisme global dan neo liberal bersama para kolaboratornya telah menempatkan Indonesia kembali dalam belenggu penjajahan gaya baru, yang jauh lebih kejam dibanding pejajahan Belanda di masa lalu. Ditambah wabah korupsi yang merajalela, telah memunculkan kecenderungan kehidupan rakyat yang sangat mencemaskan, yang jika tidak segera dihentikan, maka akan dapat menyebabkan kehidupan rakyat bagaikan "ayam mati di lumbung padi".

Mereka sedang membunuh pelan-pelan rakyat Indonesia. Mereka menikmati dan berpesta pora di atas penderitaan demi penderitaan rakyat. Dengan demokrasi globalismenya yang ahistoris bagi Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, mereka menginfiltrasi dan menguasai perundang-undangan serta produk hukum kita, kemudian menguasai sumberdaya kita, membuat daya saing kita lemah, dan selanjutnya memperbodoh, membuat kita miskin, lemah lagi berpenyakitan. Ini adalah kemungkaran dan kezaliman yang terstruktur yang wajib diperangi.

Kini, 10 hari sudah kerisauan terlambat dari para pakar ekonomi tersebut digaungkan. Toh Pemerintah dan para elit tidak memberikan reaksi apa-apa. Mereka seperti sudah menutup mata dan telinganya terhadap kritik, membiarkan bagai "Anjing menggonggong kafilah berlalu". Tinggal anda, kawan-kawan fesbuker, apakah juga akan ikut masa bodoh. Tidak peduli terhadap masa depan anak cucu kita yang mencemaskan tersebut. Masya Allah, laa quwwata illaa billaah. (B.WIWOHO).
· · Share · Delete

    • Dana Anwari Tanah Air Indonesia yg kaya raya cuma dilihat sebagai koleteral saja oleh dunia. Rakyat penghuni Zamrud Khatulistiwa ini tidak dipikirkan kesejahteraannya. Pemimpinnya dianggap bisa disogok dan diancam agar menuruti kepemimpinan bisnis & politik para penguasa dunia. Ratu Adil dalam benak orang Indonesia, bagai Godot yg ditunggu dengan sabar...tetapi tak kunjung tiba.
      July 15, 2010 at 4:18pm ·
    • Tashudi Yanto
      ‎:Bunuh-diri kolektif, lanjutkan!!! : "..., perusakan dan eksploitasi besar-besaran untuk kepentingan kekuatan modal semata-mata, sehingga mengakibatkan gunung kita yang berfungsi sebagai paku bumi digempur, laut diaduk, pulau dikeduk, hutan dibabat, air tanah disedot tiada terkira. Sungguh perusakan lingkungan yang luar biasa dan perekonomian yang tidak berkeadilan, tidak berkelanjutan, tidak seimbang dan tidak mandiri dan sekaligus benar-benar menjual tanah air (bahan galian dan air mineral) secara obral dan mentah-mentah tanpa diolah lebih dulu sebagai barang jadi."
      July 15, 2010 at 9:30pm ·
    • Suhardi Arief Kerakusan, ketamakan dan gaya hidup hedonisme rakyat Indonesia, sebagai akibat dari kampanye konsumerisme yang massiv menyebabkan perilaku berhutang dengan menggadaikan masa depan bangsa pada setiap tingkat hidup masyarakat melahirkan pertumbuhan ekonomi yang semu dan kesejahteraan yang semu....
      July 15, 2010 at 11:52pm ·
    • Mul Izar
      ‎@ Bambang....; Tulisan yang menarik Mas. "Lebih baik terlambat daripada tidak samasekali." Mereka (sekarang) sudah bersedia ikut terlibat (kembali) untuk mendiskusikan arah dan kinerja bangsa ini. Negara (yang posisinya) ; ibarat "telur" di ujung tanduk, tertunduk "malu" di hadapan dunia, tapi masih cenderung (ikut-ikutan) dengan bangga, gaya hedonisme yang (hanya) sebuah impian (untuk mengimbangi) dijadikan "sebuah kebanggaan" di balik kemaluannya...;
      July 16, 2010 at 9:33am ·
    • Meiky Parwanti Setuju dengan P Muilizar.. better late than never.berarti masih ada rasa kepedulian dari mereka akan nasib perekonomian bagsa ini..tinggal menunggu Good will dari pemerintah , apakah akan membiarkan kolaborasi kapitalisme, neo liberaisme memposisikan negara ini pada kehancuran jiid 2.. atau menunggu keajaiban dari adanya persatuan rasa dan keinginan serta tanggung jawab untuk melakukan perubahan
      July 16, 2010 at 4:28pm ·
    • Bambang Wiwoho ‎@ Kang Darmawan, hatur nuhun jempolnya.
      @ Mas Dana, Allahumma amin akan segara datang keadilan yang kita cita2kan, tp mari terus kita perjuangkan.
      @ Mas Tashudi, naudzubillah.....
      @ Mas Suhardi, sing eling ngelingake, ayo yang sadar menyadarkan bangsanya.
      @ Bung Mulizar n @ Mbak Meiky : 1000% setuju. Ayo kita galang kejayaan negeri zamrud khatulistiwa ini.
      July 18, 2010 at 7:01am ·
    • Cak Yono
      Perencanaan ekonomi yg terukur hingga tkt program, jarang sanggup berorientasi jangka panjang. Di banyak pemerintahan daerah dan termasuk institusi saya (yakni PTN), hanya dapat berkecenderungan multi years (dalam praktek yakni dng mengikuti negosiasi anggaran hingga tingkatan Parlemen, paling2 menghasilkan agenda kerja 2-4 tahun). Jadi yg dimaksud perekonomian jangka panjang saat ini, ya sekitar 2-4 th, yakni disesuaikan dng masa rejim Parlemen serta eksekutif terkait dengan masa antar Pemilu.

      Nah beginilah ekses dari Demokrasi Liberal atau Demokrasi Terbuka per 5 tahunan. Tidak ada prinsip atau kekuatan permanent yg memimpin mekanisme antar Pemilu tsb. Masa Pemilu, merupakan masa yg "telanjang" bagi security Negara termasuk Pemda.
      Contoh, pd Pemilu 2004 segenap elemen Kabinet ber metaforsa menjadi beberapa pasang kandidat Kepresidenan. Dan dalam kampanye, saling mengungkap kelakuan masing2 pihak di dalam era sebelumnya. Begitu pula pd kampanye Kepresidenan dlm Pemilu 2009, antara pasangan SBY dan pasangan Jusuf Kalla.
      Pd lingkungan daerah pun demikian. Yg sebelumnya sbg pasangan Kepala/Wakil Kepala Daerah, pd Pilkada berikutnya berpencar sbg pasangan yg berbeda. Maka, saling menelanjangi kondisi pemerintahan sebelumnya kerap terjadi.

      Bagi masyarakat seolah-olah ada manfaatnya, yakni adanya transparansi. Tetapi yg paling menikmati manfaat yaa para intelejen Negara Asing serta kaoem Kompradornya di dalam masyarakat kita sendiri. Krn lebih terorganisir.

      Oleh krn itu hrs ada koreksi total. Bangun demokrasi lebih bersifat terpimpin, yakni terpimpin oleh fatsun2 tertentu. Jangan mengumbar informasi strategis ditengah persaingan politik pd tiap Pemilu/Pilkada, yg menguntungkan pihak asing. Koreksi total Otonomi Daerah dan sistem2 dekonsentrasi yg "merugikan" efektivitas Negara. Termasuk kendala Negara, dlm mensinkronkan agenda perekonomian jangka panjang, yakni pd praktek sehari-hari pemerintahan.
      July 18, 2010 at 6:33pm ·
    • Bambang Wiwoho Itulah Cak, demokrasi tanpa Visi-Misi.
      July 18, 2010 at 6:45pm ·

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda