DARI FILOSOFI
IDEOLOGI KE PRAGMATISME.
Meskipun dalam symposium “Tracee Baru” yang menjadi sinyal
kemunculan para arsitek ekonomi Orde Baru, reformasi pajak sudah diusulkan, namun
perlu waktu 17 tahun buat mewujudkannya. Citra buruk dan trauma pajak di masa
lalu memaksa Pemerintah baik Orde Lama maupun Orde Baru, untuk tidak menjadikan
pajak sebagai tumpuan penerimaan negara. Kedua Orde Pemerintahan tersebut sadar
betul bahwa selama ratusan tahun masa penjajahan, pajak dikelola sesuai
kepentingan penjajah, sehingga memicu berbagai pergolakan dan pemberontakan di
berbagai daerah. Oleh karena itu Pemerintahan Orde Lama bahkan lebih memilih
mengambil risiko mencetak uang dengan berbagai efek negatifnya. Sementara
itu Pemerintah Orde Baru yang memilih kebijakan
stabilisasi guna mengatasi krisis ekonomi dengan hyper inflasinya, juga
menghindari dua hal yaitu, pertama, melambungnya harga-harga kebutuhan pokok
khususnya pangan; kedua, menggenjot penerimaan pajak. Sejalan dengan itu dibuka
kesempatan luas bagi usaha-usaha penanaman modal asing dan dalam negeri.
Kebijakan stabilisasi dan rehabilitasi yang
memadukan antara prinsip ekonomi yaitu keseimbangan pengeluaran dan pemasukan,
dengan pertumbuhan yang membuka pintu masuk selebar-lebarnya bagi arus
investasi, membuka cakrawala filosofi baru dalam pembangunan yang disebut
pragmatisme pembangunan, menggeser secara dramatis filosofi pembangunan yang
menganut pemahaman ideologi secara ekstrim dan emosional. Jika pragmatisme
fokus pada hal-hal yang bisa membuahkan hasil nyata, maka pemahaman ideologi
fokus pada faham-faham pemikiran tertentu.
Pergeseran filosofi yang dramatis itu, tentu saja penuh
risiko. Namun keberanian dan kekompakan Pemerintah dalam mengambil risiko
kebijakan, yang ditunjang dengan tekad politik yang kuat, terbukti merupakan
kunci keberhasilan utama, bahkan menurut Radius Prawiro dalam bukunya
“Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi, Pragmatisme Dalam Aksi”, lebih penting
dibanding semua teori.
Disamping berhasil mengendalikan hyper inflasi dari 650% di
tahun 1966 menjadi 120% tahun 1967 dan 85% tahun 1968, serta penundaan pembayaran hutang-hutang warisan Orde Lama, juga
terjadi perubahan struktur perekonomian ke arah yang lebih seimbang. Apabila
dalam tahun 1968 peranan sektor pertanian-kehutanan-perikanan masih di atas 50%
dari produksi nasional, maka pada tahun 1973 turun menjadi sekitar 40%. Di lain
pihak, sektor-sektor produksi lain termasuk industri, pertambangan, listrik dan
bangunan mulai bergerak tumbuh dari 15% ke 23%. Sedangkan sektor jasa yang meliputi
pengangkutan, komunikasi, perdagangan, bank, lembaga keuangan, perumahan dan
lain-lain bergerak dari 34% ke 37%.
Di bidang ekspor pun terjadi pertumbuhan yang signifikan.
Dalam tahun 1968 nilai ekspor berjumlah US.$.872
juta, yang terdiri dari ekspor di luar minyak bumi US.$.569 juta dan ekspor
minyak bumi US.$.303 juta, sedangkan dalam tahun 1973/1974 mencapai US.$.3.613
juta terdiri dari ekspor di luar minyak bumi US.$.1.905 juta dan ekspor minyak
bumi US.$.1.708 juta.
Sementara itu impor juga melonjak namun masih menghasilkan
surplus dibanding ekspor, yaitu US.$.831 juta pada tahun 1968 menjadi US.$.3.053 juta
pada tahun 1973/1974. Sebagai catatan, mulai tahun 1969 dilakukan perubahan tahun anggaran dari tahun kalender (Januari sampai dengan
Desember) ke tahun anggaran yang dimulai pada 1 April 1969 dan berakhir pada 31
Maret 1970, sehingga selanjutnya dipakai tahun 1969/1970 dan seterusnya.
Berbagai perubahan positif, tentu saja mempengaruhi
struktur penerimaan dalam negeri yang terdiri dari tiga penerimaan utama yaitu
(1) Pajak Langsung, (2) Pajak Tidak Langsung dan (3) Penerimaan Bukan Pajak, tercatat
total penerimaan tahun 1968 Rp. 149,7 milyar yang berasal dari Pajak Langsung
Rp. 51 milyar, Pajak Tidak Langsung Rp. 94 milyar dan Penerimaan Bukan Pajak
Rp. 4,7 milyar. Tahun 1973/1974 menjadi Pajak Langsung Rp.505 milyar, Pajak
Tidak Langsung Rp. 412,9 milyar dan Penerimaan Bukan Pajak Rp. 49,8 milyar,
sehingga total mencapai Rp. 967,7 milyar. 6).
Angka-angka tersebut menunjukkan, meskipun Pemerintah belum
melakukan reformasi perpajakan, penerimaan dari pajak selama periode
Pembangunan Lima Tahun Tahap I (Pelita I: 1969/1970 – 1973/1974) masih jauh
lebih tinggi dibanding penerimaan bukan pajak, dalam hal ini penerimaan minyak
bumi. Struktur penerimaan tersebut mulai tahun 1974/1975 berubah drastis
sebagai dampak dari Perang Teluk yang membuat Negara-Negara Arab Pengeskpor
minyak melakukan embargo minyak bumi ke beberapa negara Barat. Akibatnya harga
minyak bumi melonjak dari hanya sekitar US.$.1,67/barrel
menjadi US.$.12/barrel.
Sebuah lonjakan dahsyat yang juga menghembuskan angin perubahan bagi Indonesia, baik secara ekonomis maupun budaya,
tata nilai dan gaya
hidup, bersinergi dengan filosofi pragmatisme pembangunan.(Bersambung).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda