Sabtu, 09 Februari 2013

Revolusi Perpajakan th 1983 (3): DARI FILOSOFI IDEOLOGI KE PRAGMATISME.



DARI FILOSOFI IDEOLOGI KE PRAGMATISME.

Meskipun dalam symposium “Tracee Baru” yang menjadi sinyal kemunculan para arsitek ekonomi Orde Baru, reformasi pajak sudah diusulkan, namun perlu waktu 17 tahun buat mewujudkannya. Citra buruk dan trauma pajak di masa lalu memaksa Pemerintah baik Orde Lama maupun Orde Baru, untuk tidak menjadikan pajak sebagai tumpuan penerimaan negara. Kedua Orde Pemerintahan tersebut sadar betul bahwa selama ratusan tahun masa penjajahan, pajak dikelola sesuai kepentingan penjajah, sehingga memicu berbagai pergolakan dan pemberontakan di berbagai daerah. Oleh karena itu Pemerintahan Orde Lama bahkan lebih memilih mengambil risiko mencetak uang dengan berbagai efek negatifnya. Sementara




itu Pemerintah Orde Baru yang memilih kebijakan stabilisasi guna mengatasi krisis ekonomi dengan hyper inflasinya, juga menghindari dua hal yaitu, pertama, melambungnya harga-harga kebutuhan pokok khususnya pangan; kedua, menggenjot penerimaan pajak. Sejalan dengan itu dibuka kesempatan luas bagi usaha-usaha penanaman modal asing dan dalam negeri.  Kebijakan stabilisasi dan rehabilitasi yang memadukan antara prinsip ekonomi yaitu keseimbangan pengeluaran dan pemasukan, dengan pertumbuhan yang membuka pintu masuk selebar-lebarnya bagi arus investasi, membuka cakrawala filosofi baru dalam pembangunan yang disebut pragmatisme pembangunan, menggeser secara dramatis filosofi pembangunan yang menganut pemahaman ideologi secara ekstrim dan emosional. Jika pragmatisme fokus pada hal-hal yang bisa membuahkan hasil nyata, maka pemahaman ideologi fokus pada faham-faham pemikiran tertentu.

Pergeseran filosofi yang dramatis itu, tentu saja penuh risiko. Namun keberanian dan kekompakan Pemerintah dalam mengambil risiko kebijakan, yang ditunjang dengan tekad politik yang kuat, terbukti merupakan kunci keberhasilan utama, bahkan menurut Radius Prawiro dalam bukunya “Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi, Pragmatisme Dalam Aksi”, lebih penting dibanding semua teori.

Disamping berhasil mengendalikan hyper inflasi dari 650% di tahun 1966 menjadi 120% tahun 1967 dan 85% tahun 1968, serta penundaan  pembayaran hutang-hutang warisan Orde Lama, juga terjadi perubahan struktur perekonomian ke arah yang lebih seimbang. Apabila dalam tahun 1968 peranan sektor pertanian-kehutanan-perikanan masih di atas 50% dari produksi nasional, maka pada tahun 1973 turun menjadi sekitar 40%. Di lain pihak, sektor-sektor produksi lain termasuk industri, pertambangan, listrik dan bangunan mulai bergerak tumbuh dari 15% ke 23%. Sedangkan sektor jasa yang meliputi pengangkutan, komunikasi, perdagangan, bank, lembaga keuangan, perumahan dan lain-lain bergerak dari 34% ke 37%.

Di bidang ekspor pun terjadi pertumbuhan yang signifikan. Dalam tahun 1968 nilai ekspor berjumlah US.$.872 juta, yang terdiri dari ekspor di luar minyak bumi US.$.569 juta dan ekspor minyak bumi US.$.303 juta, sedangkan dalam tahun 1973/1974 mencapai US.$.3.613 juta terdiri dari ekspor di luar minyak bumi US.$.1.905 juta dan ekspor minyak bumi US.$.1.708 juta.

Sementara itu impor juga melonjak namun masih menghasilkan surplus dibanding ekspor, yaitu US.$.831 juta pada tahun 1968 menjadi US.$.3.053 juta pada tahun 1973/1974. Sebagai catatan, mulai tahun 1969  dilakukan perubahan tahun anggaran  dari tahun kalender (Januari sampai dengan Desember) ke tahun anggaran yang dimulai pada 1 April 1969 dan berakhir pada 31 Maret 1970, sehingga selanjutnya dipakai tahun 1969/1970 dan seterusnya.

Berbagai perubahan positif, tentu saja mempengaruhi struktur penerimaan dalam negeri yang terdiri dari tiga penerimaan utama yaitu (1) Pajak Langsung, (2) Pajak Tidak Langsung dan (3) Penerimaan Bukan Pajak, tercatat total penerimaan tahun 1968 Rp. 149,7 milyar yang berasal dari Pajak Langsung Rp. 51 milyar, Pajak Tidak Langsung Rp. 94 milyar dan Penerimaan Bukan Pajak Rp. 4,7 milyar. Tahun 1973/1974 menjadi Pajak Langsung Rp.505 milyar, Pajak Tidak Langsung Rp. 412,9 milyar dan Penerimaan Bukan Pajak Rp. 49,8 milyar, sehingga total mencapai Rp. 967,7 milyar. 6).

Angka-angka tersebut menunjukkan, meskipun Pemerintah belum melakukan reformasi perpajakan, penerimaan dari pajak selama periode Pembangunan Lima Tahun Tahap I (Pelita I: 1969/1970 – 1973/1974) masih jauh lebih tinggi dibanding penerimaan bukan pajak, dalam hal ini penerimaan minyak bumi. Struktur penerimaan tersebut mulai tahun 1974/1975 berubah drastis sebagai dampak dari Perang Teluk yang membuat Negara-Negara Arab Pengeskpor minyak melakukan embargo minyak bumi ke beberapa negara Barat. Akibatnya harga minyak bumi melonjak dari hanya sekitar US.$.1,67/barrel menjadi US.$.12/barrel. Sebuah lonjakan dahsyat yang juga menghembuskan angin perubahan bagi Indonesia, baik secara ekonomis maupun budaya, tata nilai dan gaya hidup, bersinergi dengan filosofi pragmatisme pembangunan.(Bersambung).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda