Minggu, 15 November 2015

POLEMIK ANCAMAN KAUM PEDAGANG DALAM DEMOKRASI INDONESIA (4) : Dikutip dari Media Online Teropong Senayan.

Polemik Penguasa vs Pengusaha

Inilah 9 Langkah Politik Agar Negara Tak Makin Terpuruk

Minggu, 06 Sep 2015 - 15:39:50 WIB
Muchtar Effendi Harahap (Aktivis Mahasiswa 77/78), TEROPONGSENAYAN
17Edit_UNI_80051-770x512 (1).jpg
Sumber foto : Eko S Hilman/TeropongSenayan
Kabinet Kerja Presiden Jokowi
Belakangan ini sejumlah pengamat menggugat keberadaan dan kiprah saudagar atau pelaku usaha/bisnis dalam bidang  pemerintahan. Ada asumsi bahwa pelaku usaha dalam pemerintahan hanya mementingkan usaha dan ekonomi  dirinya, bukan rakyat, dan membawa kultur transaksioalisme.
Sesungguhnya dalam dunia masyarakat demokrasi sejati (cita-cita) rakyat seharusnya terdiri dari tiga komponen/bidang kehidupan: 1. Pemerintahan/negara; 2. Dunia usaha/pelaku usaha; 3. Masyarakat madani ( civil society). Terdapat diferensiasi fungsi.
Masalahnya, rakyat Indonesia telah memilih jalan ke demokrasi, bukan Islam, bukan sosialis komunis, bukan fasis, bukan totaliter diktator, bukan juga militeris, tetapi negara diperlemah. Kekuatan/pelaku usaha masuk ke bidang pemerintahan. Manusia politisi pemerintahan masuk ke dunia usaha.
Aktor masyarakat madani misalnya mantan ketua ormas Islam, masuk ke pemerintahan, dan manusia pemerintahan juga pelaku usaha masuk ke ormas madani. 'Ideologi' yang diberlakukan 'ideologi sinkritisme'.
Hal ini diperkuat lagi oleh budaya politik Jawa, yang dibawa oleh politisi Jawa dalam pemerintahan. Sebelum jadi politisi pemerintahan gaya hidupnya sederhana, jujur dan mengesankan dekat dengan rakyat atau umat.
Tetapi, setelah berkuasa dan duduk dalam pemerintahan, mengutamakan sanak famili untuk berkuasa walau melanggar ketentuan yang dibuat sendiri. Bersamaan itu, sang aktor yang tadinya sederhana, kemudian membeli tanah dan property sebanyak mungkin  sebagai 'syimbol' dan 'status' kebergasilan di masyarakat madani.
Pelaku usaha dan masyarakat madani memasuki bidang pemerintahan dengan kendaraan parpol yang membutuhkan dana sangat besar untuk bisa terbentuk, berlanjut dan bertarung dalam pemilu, pilpres dan pilkada.
Jelas fenomena negatif ini semakin menguat di era reformasi, dan menurut saya, akan terus menyingkirkan, menjerumuskan, membawa rakyat kebanyakan ke dalam lembah kemiskinan, pengangguran dan keterbelakangan.
Cita-cita pembentukan negara RI, menjadi tidak relevan, dan hanya utopia atau ilusi belaka dan sebagai bunga-bunga waktu acara 17 Agustus.
Apa yang harus dilakukan agar fenomena ini dihentikan? Minimal ada 9 keputusan politik rakyat harus diambil.
1. Pemilihan Presiden, Gubernur,Walikota dikembalikan model pemilihan oleh legislatif, bukan pemilihan langsung dari rakyat.
2. Hapuskan mekanisme penetapan calon oleh parpol.
3. Wewenang parpol dibatasi hanya rekruitmen  politik (anggota legislatif) melalui pemilu dan dihapuskan hubungan struktural parpol dan fraksi di legislatif.
4. Penegakan hukum konsekuen terhadap parpol tidak melaksanakan tugas fungsi parpol sesuai UU dan dibekukan , dibubarkan  atau dilarang ikut pemilu.
5.Hapuskan keterlibatan DPR menentukan Kapolri, Panglima TNI, Duta Besar.
6. Hapuskan Komisaris independen di BUMN dan BUMD.
7.Hapuskan staf khusus Menteri non PNS.
8. Larangan kader parpol pegang jabatan pemerintahan/negara, seperti Kajagung, KaBin, MK, KY, MA, dll.
9. Hapuskan model pelelangan eselon 1 dan 2 bagi non PNS dll.
(*)
TeropongRakyat adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda