Semakin
besar kekuasaan yang melekat pada kepemimpinan seseorang, semakin besar pula
tanggungjawab yang dituntut darinya. Oleh karena itulah para cerdik pandai dan
filsuf dari masa ke masa, memberi bobot etika dan moral yang tinggi terhadap
para pemimpin, penguasa negara dan penyelenggara pemerintahan.
Konsep
pertama yang cukup lengkap tentang pemerintahan dan negarawan dibuat oleh Plato
(filsuf Yunani 427 – 347 SM). Negara menurut Plato adalah manusia dalam ukuran
besar. Kita tidak dapat mengharapkan jadi baik, apabila kelakuan seseorang
tidak baik. Oleh sebab itu pemerintahan harus dipimpin oleh ide yang tertinggi,
yaitu ide kebaikan, yang kemauan untuk melaksanakannya tergantung pada budi. Tujuan pemerintahan
yang benar pada hematnya ialah mendidik warganya mempunyai budi, sementara itu
negara yang ideal harus berdasarkan pada keadilan.
Sesudah
Plato, konseptor berikutnya yang amat tegas mencita-citakan suatu negara yang
berdasarkan akal budi dan moral keagamaan adalah St.Augustine (354 – 430 M).
Dalam bukunya ”Civitate Dei (Negara
Tuhan)”, ia menggambarkan adanya dua moral yang terdapat pada manusia,
yakni moral baik dan moral buruk.
Terjadinya
perkelahian dan pembunuhan antara kedua
putera Adam, tidak lain merupakan gambaran dari perjuangan atara pemimpin yang
bermoral baik yang membentuk “Negara
Tuhan” dengan pemimpin bermoral jahat yang membentuk “Negara Setan (Civitate Diaboli)”. Konsep ini dipakai oleh umat
Khatolik untuk mendirikan “Negara Gereja”
yang dipimpin oleh Paus sebagai wakil tertinggi dari Tuhan di dunia.
Negara-negara Barat
selanjutnya juga memiliki tokoh Machievelli, lahir di Italia (1469 – 1527), yang menulis buku “Il Principe (Sang Pangeran)”. Sang Pangeran menguraikan tindakan yang bisa
atau perlu dilakukan seseorang untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Nama
Machiavelli, kemudian diasosiasikan dengan hal yang buruk, yaitu menghalalkan segala
cara demi mencapai tujuan. Orang yang melakukan tindakan seperti ini
disebut makiavelis.
Jauh sebelum Machiavelli
lahir dan menulis buku, dunia Islam pun memiliki Al Ghazali (1058 – 1111),
filsuf kaliber dunia yang lahir dan sudah menulis banyak buku 4 (empat) abad sebelum
Machiavelli. Dalam berbagai buku dan karya tulisnya, terutama dalam “Ihya Ulumuddin” dan “Nasihat Bagi Penguasa (Al-Tibbr Al-Masbuk
fi Nasihat Al Muluk)”, Al Ghazali menguraikan pengalaman dan
pengejawantahan dari ajaran akhlak atau moral Islami, khususnya akhlak pemimpin
masyarakat, pemimpin negara dan ulama.
Sayang sekali, banyak para
pemimpin dan politisi kita bahkan yang muslim, yang lebih mengenal dan
diam-diam mengamalkan ajaran Machiavelli dengan “Sang Pangeran”nya, dibanding Al Ghazali dengan “Nasihat Bagi Penguasa”nya. Berikutnya: Nasihat Al Ghazali Tentang Negara Bermoral.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda