Jika
dalam uraian-uraian terdahulu banyak dikemukakan contoh dan referensi dari
Barat, Islam dan Jawa, mungkin menarik juga untuk melihat pembanding dari Cina,
sebuah bangsa, sebuah negeri dan budaya yang amat tua.
Setidaknya
ada empat ahli filsafat yang terkait dengan kehidupan, kepemimpinan dan juga
peperangan Cina kuno, yang melegenda sampai sekarang. Falsafah dan buah pikirnya
ditulis entah dalam berapa banyak buku, mungkin tak terhitung, dalam berbagai
bahasa, dalam berbagai versi mulai dari buku teks yang serius sampai dalam
bentuk komik ilmiah populer. Mereka adalah Lao Tzu atau Lautze, Khong Hu Cu,
Sun Tzu dan Zhuge Liang.
Lao
Tzu (570 – 470 SM) dengan Tao Te Ching-nya, telah mempersembahkan karya sastra
dan moral keagamaan klasik yang dikenal amat indah, yang telah menjadi sumber
kebijakan selama lebih dari 2500 tahun. Tao Te Ching atau buku Tao ini
mengajarkan Kepemimpinan Tao, antara lain menyatakan, pemimpin bijak hendaknya
seperti air, membersihkan dan menyegarkan semua makhluk tanpa pandang bulu. Air
dengan bebas tanpa rasa takut menembus ke dalam permukaan suatu benda. Air
bersifat cair dan responsif. Air mengikuti hukum secara bebas.
Sebagaimana
juga dalam falsafah Hasta Brata,
hakikat filsafat air ini luar biasa. Apalagi jika kita menyadari dan dikaitkan
dengan kenyataan bahwa tubuh manusia itu sesungguhnya 60 – 70 persen dari berat
badannya terdiri dari air.
Kepemimpinan
yang benar menurut Lao Tzu selanjutnya, adalah pelayan, bukan mementingkan diri
sendiri. Pemimpin dapat tumbuh dan berakhir lebih lama apabila
dapat menghilangkan pamrih pribadi, serta menempatkan kesejahteraan semua di
atas kesejahteraan sendiri (bandingkan dengan berbagai hadis dan sunah Kanjeng
Nabi Muhammad Saw). Pemimpin juga harus memegang teguh tiga hal yaitu,
mengasihi semua makhluk, sederhana dan hemat, rasa persamaan dan sopan.
Pemimpin bijak pada hematnya, juga wajib mencontoh perilaku spiritual dan hidup
dalam harmoni bersama nilai-nilai spiritual.
Agar
seseorang bisa hidup harmonis dan sukses memimpin orang banyak, kecuali
menguasai hal-hal di atas maka terlebih dahulu harus bisa mengenal serta
memahami dirinya sendiri, baru kemudian mengenal dan memahami orang lain dan
masyarakatnya. Dengan memahami masyarakatnya, seorang pemimpin akan bisa
menjaga ketenangan masyarakat dan negaranya, dan tidak bising. Negara dengan
masyarakatnya yang tenang akan mudah diajak mewujudkan cita-cita bersama.
Khong Hu Cu.
Pada
kurun waktu yang hampir sama, Tuhan juga menurunkan Khong Hu Cu (551 – 479 SM).
Khong Hu Cu disebut dalam sejarah pernah menjumpai Lao Tzu untuk belajar
tentang kesopanan dan kesantunan. Dalam hal kerendahan hati, Khong Hu Cu memang
jagonya. Ia mengajarkan pada murid-muridnya, agar dengan rendah hati sudi
belajar dari siapa saja. “Jika engkau bepergian dengan dua orang, salah satu
pasti bisa jadi gurumu.” Saya bersyukur mengenal salah satu keturunan langsung
Khong Hu Cu, yaitu Prof Kong Huan Zhe, yang pada tahun 1993 bahkan sempat
berkunjung ke rumah saya di Depok.
Dari
sekian banyak buku mengenai ajaran-ajaran Khong Hu Cu, saya menemukan sebuah
buku populer, amat sederhana dan mudah dipahami, yang berjudul “Loyalty” yang disusun oleh Profesor Song Shouxiang dari
Chongqing Jianzhu University, Cina. Ajaran dan falsafah Khong Hu Cu yang
dikenal sebagai Confucianisme adalah
aliran pemikiran etika yang menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan
lainnya.
Etika
menurut Khong Hu Cu berpusat pada makna dasar kebaikan, berisikan bentuk-bentuk
nilai moral utama, dengan bagian yang paling penting bakti pada orang tua serta tugas-tugas luhur,
kesetiaan dan kebajikan. Dua yang terakhir tadi, yakni kesetiaan dan kebajikan,
adalah prinsip penuntun dalam hubungan antar manusia. Lebih khusus tentang
kesetiaan, Khong Hu Cu berujar, “Kepada siapa pun kamu mengabdi, bertindaklah
loyal.” Terlepas itu kepada negara, masyarakat atau teman, seseorang harus
tetap teguh dalam memegang prinsip kesetiaan dan kejujuran.
Dengan
mengacu pada kebajikan, ia memberikan suatu nasihat yang kemudian menjadi
kata-kata mutiara yang mendunia, yakni “Jangan melakukan sesuatu kepada orang
lain apa yang tidak kamu inginkan dperbuat orang lain kepadamu.”
Mencius, murid tersohor Khong Hu Cu mengembangkan falsafah kebajikan
tersebut lebih lanjut. Ia mengajar setiap orang agar berupaya mewujudkan kesejahteraan umat manusia, menempatkan
kebajikan dan kebenaran moral sebagai kualitas tertinggi dalam standar moral.
Kebajikan pada hematnya adalah perhatian afektif terhadap orang lain, kebenaran
moral adalah memiliki perasaan malu, kesopanan adalah hormat pada orang yang
lebih tua, dan kebijaksanaan adalah kemampuan untuk mengucapkan kebenaran atas
kesalahan.
Uraian
Mencius dikembangkan lagi oleh Guanzi
dengan menyatakan kesopanan, kebenaran moral, integritas dan kehormatan sebagai
empat nilai luhur yang membentuk kerekatan sosial. Sebuah negara akan hancur
jika keempat nilai luhur tersebut tidak dipegang teguh.
Sejarah
di berbagai belahan bumi memang menunjukkan, integritas suatu pemerintahan,
keteraturan dan harmoni sosial adalah faktor-faktor yang memiliki dampak
langsung terhadap hukum dan moralitas masyarakat. Apakah negeri kita Indonesia
sekarang ini memiliki dan memegang teguh keempat nilai luhur di atas? Dan
apakah kita khususnya saudara-saudara sebangsa dan setanah air yang berasal dari keturunan Cina dan lebih
khusus lagi para pemeluk “agama Khong Hu Cu” juga memahami dan menghayati
ajaran-ajaran Lao Tzu dan Kong Hu cu yang mulia itu? Semoga. Berikutnya: KEPEMIMPINAN SUN TZU & ZHUGE LIANG.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda