Senin, 15 Februari 2016

KEPEMIMPINAN TAO & KHONG HU CU : Seri Etika & Moral Kepemimpinan (22).



Jika dalam uraian-uraian terdahulu banyak dikemukakan contoh dan referensi dari Barat, Islam dan Jawa, mungkin menarik juga untuk melihat pembanding dari Cina, sebuah bangsa, sebuah negeri dan budaya yang amat tua.

Setidaknya ada empat ahli filsafat yang terkait dengan kehidupan, kepemimpinan dan juga peperangan Cina kuno, yang melegenda sampai sekarang. Falsafah dan buah pikirnya ditulis entah dalam berapa banyak buku, mungkin tak terhitung, dalam berbagai bahasa, dalam berbagai versi mulai dari buku teks yang serius sampai dalam bentuk komik ilmiah populer. Mereka adalah Lao Tzu atau Lautze, Khong Hu Cu, Sun Tzu dan Zhuge Liang.

Lao Tzu (570 – 470 SM) dengan Tao Te Ching-nya, telah mempersembahkan karya sastra dan moral keagamaan klasik yang dikenal amat indah, yang telah menjadi sumber kebijakan selama lebih dari 2500 tahun. Tao Te Ching atau buku Tao ini mengajarkan Kepemimpinan Tao, antara lain menyatakan, pemimpin bijak hendaknya seperti air, membersihkan dan menyegarkan semua makhluk tanpa pandang bulu. Air dengan bebas tanpa rasa takut menembus ke dalam permukaan suatu benda. Air bersifat cair dan responsif. Air mengikuti hukum secara bebas.

Sebagaimana juga dalam falsafah Hasta Brata, hakikat filsafat air ini luar biasa. Apalagi jika kita menyadari dan dikaitkan dengan kenyataan bahwa tubuh manusia itu sesungguhnya 60 – 70 persen dari berat badannya terdiri dari air.

Kepemimpinan yang benar menurut Lao Tzu selanjutnya, adalah pelayan, bukan mementingkan diri sendiri.  Pemimpin  dapat tumbuh dan berakhir lebih lama apabila dapat menghilangkan pamrih pribadi, serta menempatkan kesejahteraan semua di atas kesejahteraan sendiri (bandingkan dengan berbagai hadis dan sunah Kanjeng Nabi Muhammad Saw). Pemimpin juga harus memegang teguh tiga hal yaitu, mengasihi semua makhluk, sederhana dan hemat, rasa persamaan dan sopan. Pemimpin bijak pada hematnya, juga wajib mencontoh perilaku spiritual dan hidup dalam harmoni bersama nilai-nilai spiritual.

Agar seseorang bisa hidup harmonis dan sukses memimpin orang banyak, kecuali menguasai hal-hal di atas maka terlebih dahulu harus bisa mengenal serta memahami dirinya sendiri, baru kemudian mengenal dan memahami orang lain dan masyarakatnya. Dengan memahami masyarakatnya, seorang pemimpin akan bisa menjaga ketenangan masyarakat dan negaranya, dan tidak bising. Negara dengan masyarakatnya yang tenang akan mudah diajak mewujudkan cita-cita bersama.

Khong Hu Cu.

Pada kurun waktu yang hampir sama, Tuhan juga menurunkan Khong Hu Cu (551 – 479 SM). Khong Hu Cu disebut dalam sejarah pernah menjumpai Lao Tzu untuk belajar tentang kesopanan dan kesantunan. Dalam hal kerendahan hati, Khong Hu Cu memang jagonya. Ia mengajarkan pada murid-muridnya, agar dengan rendah hati sudi belajar dari siapa saja. “Jika engkau bepergian dengan dua orang, salah satu pasti bisa jadi gurumu.” Saya bersyukur mengenal salah satu keturunan langsung Khong Hu Cu, yaitu Prof Kong Huan Zhe, yang pada tahun 1993 bahkan sempat berkunjung ke rumah saya di Depok.

Dari sekian banyak buku mengenai ajaran-ajaran Khong Hu Cu, saya menemukan sebuah buku populer, amat sederhana dan mudah dipahami, yang berjudul “Loyalty”  yang disusun oleh Profesor Song Shouxiang dari Chongqing Jianzhu University, Cina. Ajaran dan falsafah Khong Hu Cu yang dikenal sebagai Confucianisme adalah aliran pemikiran etika yang menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan lainnya.

Etika menurut Khong Hu Cu berpusat pada makna dasar kebaikan, berisikan bentuk-bentuk nilai moral utama, dengan bagian yang paling penting  bakti pada orang tua serta tugas-tugas luhur, kesetiaan dan kebajikan. Dua yang terakhir tadi, yakni kesetiaan dan kebajikan, adalah prinsip penuntun dalam hubungan antar manusia. Lebih khusus tentang kesetiaan, Khong Hu Cu berujar, “Kepada siapa pun kamu mengabdi, bertindaklah loyal.” Terlepas itu kepada negara, masyarakat atau teman, seseorang harus tetap teguh dalam memegang prinsip kesetiaan dan kejujuran.

Dengan mengacu pada kebajikan, ia memberikan suatu nasihat yang kemudian menjadi kata-kata mutiara yang mendunia, yakni “Jangan melakukan sesuatu kepada orang lain apa yang tidak kamu inginkan dperbuat orang lain kepadamu.”

Mencius, murid tersohor Khong Hu Cu mengembangkan falsafah kebajikan tersebut lebih lanjut. Ia mengajar setiap orang agar berupaya mewujudkan  kesejahteraan umat manusia, menempatkan kebajikan dan kebenaran moral sebagai kualitas tertinggi dalam standar moral. Kebajikan pada hematnya adalah perhatian afektif terhadap orang lain, kebenaran moral adalah memiliki perasaan malu, kesopanan adalah hormat pada orang yang lebih tua, dan kebijaksanaan adalah kemampuan untuk mengucapkan kebenaran atas kesalahan.

Uraian Mencius dikembangkan lagi oleh Guanzi dengan menyatakan kesopanan, kebenaran moral, integritas dan kehormatan sebagai empat nilai luhur yang membentuk kerekatan sosial. Sebuah negara akan hancur jika keempat nilai luhur tersebut tidak dipegang teguh.

Sejarah di berbagai belahan bumi memang menunjukkan, integritas suatu pemerintahan, keteraturan dan harmoni sosial adalah faktor-faktor yang memiliki dampak langsung terhadap hukum dan moralitas masyarakat. Apakah negeri kita Indonesia sekarang ini memiliki dan memegang teguh keempat nilai luhur di atas? Dan apakah kita khususnya saudara-saudara sebangsa dan setanah air  yang berasal dari keturunan Cina dan lebih khusus lagi para pemeluk “agama Khong Hu Cu” juga memahami dan menghayati ajaran-ajaran Lao Tzu dan Kong Hu cu yang mulia itu? Semoga. Berikutnya: KEPEMIMPINAN SUN TZU & ZHUGE LIANG.


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda