Seni
kepemimpinan telah banyak diajarkan orang dari masa ke masa, mulai dari
rangkaian mitologi Yunani yang amat terkenal, Tao dan Sun Tzu dari Cina,
Nasihat Bagi Penguasa-nya Al Ghazali, Sang Penguasa-nya Niccolo Machiavelli, serta
sejumlah ajaran Jawa seperti Hasta Brata, Raja Kapa-Kapa, Wulangreh dan
Wedhatama, sampai ratusan mungkin ribuan buku-buku teks kepemimpinan abad 20
misalkan The Art of The Leader-nya
William A.Cohen dan The Charismatic
Leader-nya Jay A.Conger dan sebagainya.
Dari
berbagai buku dan riwayat hidup para pemimpin besar dunia, kita bisa
mempelajari bahwa kemampuan kepemimpinan itu tidak jatuh dari langit, melainkan
merupakan suatu proses panjang, tempaan keras dan jatuh bangun dalam kehidupan
seseorang sebelum menjadi pemimpin. Bagaikan membuat senjata, sang pemimpin
tidaklah diperoleh tiba-tiba langsung jadi dari bongkahan tanah, tetapi
dikumpulkan dari sejumlah bijih logam, kemudian dibakar api sampai membara dan
ditempa terus menerus, sambil sesekali dimasukkan ke dalam air, sampai
terbentuk sebuah senjata andalan.
Dalam
kamus kehidupan, mereka kenyang menghadapi ujian-ujian kehidupan, diterpa
berbagai badai dahsyat serta gelombang pasang surut, sehingga dari waktu ke
waktu kearifan, pengalaman dan kapasitasnya sebagai pemimpin semakin meningkat.
Mereka terus menerus mengalami pengayaan hidup, dan bukanlah tipe orang yang
selalu hidup senang bermanja-manja. Perjalanan dan pengayaan kemampuan kepemimpinannya bisa diibaratkan lingkaran spiral,
yang dimulai dari lingkaran paling luar yang paling besar, yang secara bertahap
semakin masuk ke dalam menjadi lingkaran yang semakin mengecil, sampai kemudian
menjadi inner circle atau lingkaran
terdalam dan pada akhirnya menjadi ujung akhir lingkaran terdalam.
Sejarah
dunia dan juga Indonesia mengajarkan, para pemimpin yang tidak mengalami
tempaan mengikuti spiral kehidupan yang seperti itu, pada umumnya akan gagal.
Mereka akan menjadi pemimpin boneka atau pemimpin yang hanya mengumbar pesona
dunia, serakah, tamak, penuh curiga, licik dan kejam. Dalam sejarah Cina
misalkan, banyak dijumpai kaisar-kaisar boneka. Sebagai contoh adalah Kaisar
Xian atau Liu Xie (181 – 234) yang merupakan Kaisar terakhir dari Dinasti Han
yang memerintah dari tahun 189 sampai 220. Contoh lain adalah Kaisar Puyi (1906
– 1967) yaitu Kaisar Cina terakhir yang kisahnya diangkat ke dalam film layar
lebar yang amat terkenal yaitu film The Last Emperor. The Last Emperor versi
Hongkong diproduksi tahun 1986 oleh sutradara Li Han-hsing, sedangkan versi Hollywood
diproduksi tahun 1987 oleh sutradara Bernardo Bertolucci dan memenangkan
penghargaan Academy Award.
Di
Indonesia, baru-baru ini saya memperoleh kiriman catatan dari sahabat Agus
Sunyoto (penulis buku Atlas Walisongo). Catatan itu sebetulnya untuk
menunjukkan peristiwa kejatuhan sesuatu rezim yang ditandai dengan amuk atau
amok massa, namun semuanya tidak terlepas dari perilaku dan kepemimpinan penguasanya.
Menurut
mas Agus Sunyoto, pejabat serakah, rakus, tamak, dalam sejarah kekuasaan di
Nusantara selalu jadi pemicu amok massa yang merusak-binasakan segalanya. Tahun
1400 Saka, Majapahit karam dalam lautan darah – yang ditandai sebagai sirna ilang kertaning bhumi. Tahun 1546
Demak karam dalam lautan darah bahkan bekas keratonnya pun hilang. Tahun 1579
Pangeran Banowo sah saking kedhaton
Pajang, pergi meninggalkan keraton Pajang, mendirikan pesantren di Parakan.
Tahun 1670 Amangkurat l lari ke Tegal dan wafat di sana setelah Kotagede
dijarah pemberontak. Selanjutnya sang pengganti, Amangkurat ll pindah ke
Kartosuro. Tahun 1743 Kartosuro pun karam dalam kekisruhan akibat geger
Pacinan. Deretan kerusuhan yg melibatkan amok massa terus jadi penanda
pergantian rezim. Tahun 1942 saat Jepang masuk, pecah kasus
"penggedoran" di Tangerang-Jakarta- Bekasi dengan korban 6000 org
tewas. Tahun 1945 amok massa pecah di Surabaya, tentara Jepang yang ditawan di
penjara militer Koblen, diseret massa untuk disembelih dan darahnya diminum
rame-rame. Tahun 1965 saat Soekarno runtuh massa mengamuk menyerang PKI. Demikian
pula amok massa yang terjadi pada saat kejatuhan rezim Orde Baru tahun 1998.
Yang
cukup mengkuatirkan dan wajib diantisipasi adalah, Orde Baru tidak membangun
sistem kaderisasi kepemimpinan secara terpola terencana dan membiarkan berjalan
secara alami, sehingga kejatuhannya secara mendadak mematahkan pola alami
spiral kepemimpinan. Akibatnya pola rekrutmennya berlangsung secara bebas
sembarangan, sehingga siapa saja termasuk kaum marginal yang semula berada di
lingkaran spiral terluar, bisa tiba-tiba saja masuk ke dalam spiral terdalam.
Yang
memprihatinkan dalam situasi seperti ini adalah munculnya kekuataan uang yang
membajak sistem demokrasi yang sehat. Munculnya para pengusaha yang sekaligus menjadi penguasa. Tujuan mereka
berkuasa bukanlah untuk menjalankan fungsi kewahyuannya, fungsi menyejahterakan
masyarakat dan mewujudkan rahmat bagi semesta alam, melainkan memang
semata-mata untuk berkuasa dengan mengumbar nafsu pesona dunia yang tak kan
pernah bisa terpuaskan.
Ciri-ciri
penguasa yang tidak mengemban amanah kewahyuannya di samping ketidaktulusan dan
ketidakikhlasan, antara lain adalah mereka gegabah dalam melakukan sesuatu, tidak konsisten dan ucapannya tidak bisa dipegang bahkan sering berbantahan satu
sama lain. Padahal sebagaimana nasihat Al Ghazali di awal bukunya Nasihat Untuk Penguasa, seorang penguasa
akan dapat mempertahankan kekuasaannya dengan baik dan bisa menyejahterakan
rakyatnya, apabila ia tidak pernah melakukan sesuatu tanpa perhitungan dalam
arti tidak gegabah, selalu konsisten dan
tak pernah meralat.
Yang
terakhir itu merupakan benang merah yang kuat dalam seni kepemimpinan Jawa,
yaitu agar berwibawa, maka seorang penguasa atau raja harus memegang teguh Sabda Pandhita Ratu, tan kena wolak-walik. Artinya,
seorang penguasa harus memegang teguh satu kata dan perbuatan. Ucapannya
bagaikan ucapan seorang pendeta sakti nan manjur, yang segera menjadi
kenyataan. Ludahnya ludah api yang sekali dilontarkan langsung mewujudkan keinginannya.
Ucapannya istiqomah dan tidak mencla
mencle. Tidak pagi tempe sore dele. Pagi sudah menjadi tempe, sore hari
mentah kembali menjadi kedelai. Ini juga
sekaligus mengajarkan bahwa seorang pemimpin tidak boleh berkata atau bertindak
semaunya sendiri, menggampangkan persoalan apalagi ngawur, karena dampaknya
sangat luas bagi rakyat banyak yang tak berdosa.
Seorang
pemimpin tertinggi dalam suatu negara atau kerajaan, dalam bahasa Jawa disebut
Ratu, yang berasal dari kata rat yang
berarti jagat atau alam raya. Seseorang bisa menjadi raja atau ratu menurut
kepercayaan Jawa, karena ia memperoleh wahyu keratuan atau wahyu kedaton atau lebih
tepatnya amanah selaku utusan Allah di jagad raya (khalifah fil ard), guna
mewujudkan rahmat bagi alam semesta dan seisinya. Tempat tinggal seorang ratu
disebut keraton atau kedaton yang berasal dari kata dzat sing katon, maksudnya tempat tinggal wakil dzat Allah yang
kelihatan.
Karena
mengemban tugas sebagai utusan dan wakil Gusti Allah di muka bumi, maka si
penerima wahyu juga harus bisa mencerminkan berbagai sifat mulai Allah,
meneladani Kanjeng Nabi Muhammad Saw. menjauhi perilaku tercela, meninggalkan
ujub dan riya, jujur, adil serta sungguh-sungguh ikhlas dalam mengemban amanah
mewujudkan rahmat bagi jagat raya seisinya.
Seorang penerima wahyu juga harus
memegang teguh sifat-sifat satria utama yaitu “Sumungkem ing Pangeran, bekti ing bapa biyung, welas asih ing
sapada-pada. Berbudi bawa leksana, ambeg adil para marta ing liyan, dosa lara
diapura, dosa pati diuripi, kuat drajat kuat pangkat. Artinya, sujud dan
taat kepada Gusti Allah, berbakti kepada ayah-bunda, belas kasih kepada
sesamanya. Berbudi luhur yang diamalkan dalam kehidupan, bersikap adil dan
menyejahterakan tanpa membeda-bedakan orang, memaafkan orang yang menyebabkan
kita sakit (dalam arti luas termasuk menderita), memberikan hak hidup orang
yang menyebabkan kematian (terutama kematian pada keluarga kita). Kuat
mengemban derajat dan pangkat.” Jika tidak, maka wahyu kedaton bisa oncat atau
pergi meninggalkannya, menjadi orang yang tidak kuat memikul derajat dan
amanah, bahkan bukan tidak mungkin tercampakkan luluh lantak. Naudzubillah.
Semoga
kita bangsa Indonesia khususnya para elit penguasa, diampuni dan dianugerahi
kesadaran dan kemampuan untuk bisa menjadi pemimpin yang amanah dalam mengemban
wahyu kepemimpinannya, yakni mewujudkan rahmat bagi semesta alam, khususnya
dalam membasmi kezaliman, mewujudkan ketenteraman dan menegakkan keadilan serta
menyejahterakan rakyat. Dan bukan pemimpin boneka yang jadi obyek permainan
orang-orang di sekelilingnya nan zalim. Aamiin. Berikutnya : TANDA-TANDA PEMIMPIN YANG MEMPEROLEH WAHYU.
1 Komentar:
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda