Ronggowarsito adalah pujangga
ternama yang oleh para pengamat sosial politik dan kebudayaan, dikenal dengan
tulisannya tentang “Zaman Edan”. Ia adalah
bangsawan Jawa yang lahir di Surakarta 23 Maret 1802 dan wafat 24 Desember
1873, yang sejak berumur 12 tahun telah masuk menjadi santri di Pesantren
Gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo (tetangga desa Gontor). Menjadi santri yang
cemerlang, ia sangat disayang sang kyai, yaitu Kyai Hasan Besari. Di kemudian
hari para pengagumnya percaya, Ronggowarsito memperoleh anugerah dari Yang Maha
Kuasa berupa kemampuan menyingkap tirai, hijab, yang membatasi antara hamba dan
Sang Pencipta, sehingga mampu melukiskan keadaan-keadaan masa depan melalui
beberapa tulisannya, Wallaahu ‘alam (Pengembaraan Batin Orang Jawa di Lorong
Kehidupan, B.Wiwoho, Bina Rena Pariwara2009, halaman 24).
Ronggowarsito
yang bernama kecil Bagus Burhan adalah ulama pujangga yang sangat produktif, yang
karya sastra yang ditulis atas namanya sendiri berjumlah tidak kurang dari 27
(dua puluh tujuh). Para ahli sastra Jawa memperkirakan karya sesungguhnya lebih
dari itu, mungkin lebih dari 56 (lima puluh enam), namun ditulis dengan nama
samaran atau orang lain. Yang luar biasa, sebagian dari karya sastranya mampu
jauh menembus zaman, sering dikutip dan menjadi sumber referensi sampai
sekarang. Bahkan Ramalan Jayabaya versi yang sering dikutip orang, menilik gaya
bahasanya juga diduga karya Ronggowarsito. Sungguh bersyukur, saya memperoleh
anugerah sempat mengunjungi bekas pesantrennya yang tak jauh dari Pesantren
Gontor di Ponorogo, serta berziarah ke makamnya di desa Palar, kecamatan
Trucuk, Klaten.
Di masa
lalu, banyak orang tua yang mengajarkan kepada anak-anaknya semenjak kecil
beberapa falsafah ilmu kepemimpinan seperti (1) hasta brata; (2) sastra jendra
hayuningrat pangruwating diyu; (3) suro diro joyoningrat lebur dening
pangastuti, yang diajarkan oleh beberapa pujangga
Keraton Surakarta.
Ajaran hasta brata sudah kita bahas dalam tulisan terdahulu, sedangkan
mengenai sastra jendra, bermula dari
istilah Sastra Harjendra Yuning Rat
yang bersumber dari serat Arjuna-Sasra
Bau karya pujangga R.Ng.Sindusastra (Van Den Broek, 1870:31,33). Sastra
jendra mengajarkan bagaimana seorang pemimpin harus menjaga kselematan dan
kelestarian alam semesta dengan menguasai dirinya dari pengaruh kekuasan hawa
nafsu, terutama hawa nafsu yang dikuasai iblis baik yang berwujud raksasa
maupun makhluk halus lainnya.
Adapun ilmu kepemimpinan suro diro joyoningrat lebur dening
pangastuti, berasal dari Serat
Witaradya yang merupakan ajaran kehidupan yang dikemas dalam sebuah novel
fiktif, yang mengisahkan gemblengan Prabu Aji Pamasa dari Kerajaan Witaradya
kepada Putera Mahkotanya yaitu Raden
Citrasoma. Lantaran menggunakan nama yang sama, yakni Aji Pamasa, orang juga
sering rancu atas Serat Witaradya dan
Serat Aji Pamasa yang mengajarkan hasta brata.
Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti yang bermakna kedigdayaan dan keangkaramurkaan dapat
dihancurkan oleh kesabaran dan kelembutan, disajikan dalam bentuk tembang
sebagai berikut:
jagra angkara
winangun;
sudira marjayeng westhi;
puwaka kasub kawasa;
sastraning jro wedha muni;
sura dira jayaningrat;
lebur dening pangastuti.
Dalam Serat tersebut, ajaran itu dilukiskan dalam suatu kisah
tentang berkobarnya nafsu Raden Citrasoma nan sakti mandraguna, kepada isteri
anak buahnya, Tumenggung Suralathi yang bernama Nyi Pamekas, seorang wanita
cantik jelita yang berhati suci. Dengan kelembutan dan kesabaran namun teguh
dalam menjaga kesuciannya sebagai seorang isteri, Nyi Pamekas berhasil menolak
dan menundukkan nafsu jalang Putera Mahkota junjungannya, tanpa mempermalukan
dan melukai perasaan sang Pangeran. Bahkan dengan itu Raden Citrasoma berterima
kasih karena memperoleh hikmah, yang kemudian dinamakan ajaran sastra jendra hayuningrat lebur dening
pangastuti.
Dalam buku Kepemimpinan
Jawa, Falsafah dan Aktualisasi yang kami sunting (Penerbit Bina Rena
Pariwara, Februari 1998 halaman 18 – 19, pakar kebudayaan Jawa Karkono Kamajaya
Partakusumo mengupas nasihat Prabu Aji Pamasa sebelum lengser keprabon atau
turun tahta, kepada Raden Citrasoma yang disebut Panca Pratama (lima yang terbaik) yaitu:
Pertama,
mulat
(awas, hati-hati), agar seksama dalam memberi tugas kepada
punggawanya. Yang keahliannya pekerjaan halus, jangan sampai diberi pekerjaan
kasar dan demikian pula sebaliknya. Dalam kata lain, serahkanlah segala sesuatu
kepada ahlinya. Juga waspadalah terhadap anak buah dengan mengetahui yang baik
dan yang buruk.
Kedua,
amilala (memelihara, memanjakan),
mengganjar dan menaikkan pangkat anak buah yang baik pekerjaannya. Ketiga, amiluta (membujuk, membelai,
menyayangi), mendekati punggawa dengan kata-kata yang menyenangkan,
membangkitkan kecintaan dan pengabdian kepada raja (negara).
Keempat,
miladarma (menghendaki kebijakan),
mengajarkan hal-hal yang demi terwujudnya keselamatan dan kesejahteraan rakyat
lahir batin. Kelima, parimarma (belas
kasih), bersifat pemaaf demi terjaga ketenteraman negara.
Sementara
itu kepada Patih Sukarta, Prabu Aji Pamasa mengajarkan Panca Guna (lima faedah), yakni: Pertama, rumeksa atau menjaga negara seisinya bagaikan milik sendiri,
terutama apabila terjadi marabahaya. Janganlah menunggu perintah untuk
mengamankannya, dan segeralah bertindak demi keselamatan bangsa dan negaranya.
Kedua,
menjaga (a) ilat (lidah), dengan berkata sopan dan berperilaku
santun, menyenangkan hati orang; (b) ulat
(air muka), menjaga air muka atau wajah supaya selalu nampak menyenangkan,
menyesuaikan dengan tempat dan keadaan. Karena itu akan mendatangkan
kebahagiaan; (c) ulah (tingkah laku),
agar membawa diri dan berperilaku mantap (jangan peragu) sehingga memperoleh
kasih sayang raja.
Ketiga,
rumasuk (meresap), artinya penjagaan
kepada negara dilakukan dengan seia-sekata, serta menjaga kekompakan di antara
sesame punggawa. Keempat, rumesep
(menyenangkan), bakti kepada raja harus mantap dan tidak renggang serambut pun.
Demikian pula jangan berhenti mengasuh punggawa yang lebih rendah. Kelima, rumangsa (merasa), tetap merasa sebagai
abdi raja dan kerajaan, dan jangan sekali-kali sombong dan tak mau kalah.
Sahabarku,
demikianlah ajaran kepemimpinan versi pujangga tersohor Ronggowarsito, sebagai
penutup ajaran kepemimpinan yang bersumber dari kearifan Jawa. Insya Allah
berikutnya sebagai pelengkap, kita coba bahas KEPEMIMPINAN TAO & KHONG HU CU.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda