Minggu, 07 Februari 2016

KEPEMIMPINAN VERSI PUJANGGA RONGGOWARSITO : Seri Etika & Moral Kepemimpinan (21).




Ronggowarsito adalah pujangga ternama yang oleh para pengamat sosial politik dan kebudayaan, dikenal dengan tulisannya tentang Zaman Edan”. Ia adalah bangsawan Jawa yang lahir di Surakarta 23 Maret 1802 dan wafat 24 Desember 1873, yang sejak berumur 12 tahun telah masuk menjadi santri di Pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo (tetangga desa Gontor). Menjadi santri yang cemerlang, ia sangat disayang sang kyai, yaitu Kyai Hasan Besari. Di kemudian hari para pengagumnya percaya, Ronggowarsito memperoleh anugerah dari Yang Maha Kuasa berupa kemampuan menyingkap tirai, hijab, yang membatasi antara hamba dan Sang Pencipta, sehingga mampu melukiskan keadaan-keadaan masa depan melalui beberapa tulisannya, Wallaahu ‘alam (Pengembaraan Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan, B.Wiwoho, Bina Rena Pariwara2009, halaman 24).

Ronggowarsito yang bernama kecil Bagus Burhan adalah ulama pujangga yang sangat produktif, yang karya sastra yang ditulis atas namanya sendiri berjumlah tidak kurang dari 27 (dua puluh tujuh). Para ahli sastra Jawa memperkirakan karya sesungguhnya lebih dari itu, mungkin lebih dari 56 (lima puluh enam), namun ditulis dengan nama samaran atau orang lain. Yang luar biasa, sebagian dari karya sastranya mampu jauh menembus zaman, sering dikutip dan menjadi sumber referensi sampai sekarang. Bahkan Ramalan Jayabaya versi yang sering dikutip orang, menilik gaya bahasanya juga diduga karya Ronggowarsito. Sungguh bersyukur, saya memperoleh anugerah sempat mengunjungi bekas pesantrennya yang tak jauh dari Pesantren Gontor di Ponorogo, serta berziarah ke makamnya di desa Palar, kecamatan Trucuk, Klaten.

Di masa lalu, banyak orang tua yang mengajarkan kepada anak-anaknya semenjak kecil beberapa falsafah ilmu kepemimpinan seperti (1) hasta brata; (2) sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu; (3) suro diro joyoningrat lebur dening pangastuti, yang diajarkan oleh beberapa pujangga Keraton Surakarta.

Ajaran hasta brata sudah kita bahas dalam tulisan terdahulu, sedangkan mengenai sastra jendra, bermula dari istilah Sastra Harjendra Yuning Rat yang bersumber dari serat Arjuna-Sasra Bau karya pujangga R.Ng.Sindusastra (Van Den Broek, 1870:31,33). Sastra jendra mengajarkan bagaimana seorang pemimpin harus menjaga kselematan dan kelestarian alam semesta dengan menguasai dirinya dari pengaruh kekuasan hawa nafsu, terutama hawa nafsu yang dikuasai iblis baik yang berwujud raksasa maupun makhluk halus lainnya.

Adapun ilmu kepemimpinan suro diro joyoningrat lebur dening pangastuti, berasal dari Serat Witaradya yang merupakan ajaran kehidupan yang dikemas dalam sebuah novel fiktif, yang mengisahkan gemblengan Prabu Aji Pamasa dari Kerajaan Witaradya kepada Putera Mahkotanya yaitu  Raden Citrasoma. Lantaran menggunakan nama yang sama, yakni Aji Pamasa, orang juga sering rancu atas Serat Witaradya dan Serat Aji Pamasa yang mengajarkan hasta brata.

Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti yang bermakna kedigdayaan dan keangkaramurkaan dapat dihancurkan oleh kesabaran dan kelembutan, disajikan dalam bentuk tembang sebagai berikut:
     jagra angkara winangun;
     sudira marjayeng westhi;
     puwaka kasub kawasa;
     sastraning jro wedha muni;
     sura dira jayaningrat;
     lebur dening pangastuti.

Dalam Serat tersebut, ajaran itu dilukiskan dalam suatu kisah tentang berkobarnya nafsu Raden Citrasoma nan sakti mandraguna, kepada isteri anak buahnya, Tumenggung Suralathi yang bernama Nyi Pamekas, seorang wanita cantik jelita yang berhati suci. Dengan kelembutan dan kesabaran namun teguh dalam menjaga kesuciannya sebagai seorang isteri, Nyi Pamekas berhasil menolak dan menundukkan nafsu jalang Putera Mahkota junjungannya, tanpa mempermalukan dan melukai perasaan sang Pangeran. Bahkan dengan itu Raden Citrasoma berterima kasih karena memperoleh hikmah, yang kemudian dinamakan ajaran sastra jendra hayuningrat lebur dening pangastuti.

Dalam buku Kepemimpinan Jawa, Falsafah dan Aktualisasi yang kami sunting (Penerbit Bina Rena Pariwara, Februari 1998 halaman 18 – 19, pakar kebudayaan Jawa Karkono Kamajaya Partakusumo mengupas nasihat Prabu Aji Pamasa sebelum lengser keprabon atau turun tahta, kepada Raden Citrasoma yang disebut Panca Pratama (lima yang terbaik) yaitu:
Pertama, mulat  (awas, hati-hati), agar seksama dalam memberi tugas kepada punggawanya. Yang keahliannya pekerjaan halus, jangan sampai diberi pekerjaan kasar dan demikian pula sebaliknya. Dalam kata lain, serahkanlah segala sesuatu kepada ahlinya. Juga waspadalah terhadap anak buah dengan mengetahui yang baik dan yang buruk.

Kedua, amilala (memelihara, memanjakan), mengganjar dan menaikkan pangkat anak buah yang baik pekerjaannya. Ketiga, amiluta (membujuk, membelai, menyayangi), mendekati punggawa dengan kata-kata yang menyenangkan, membangkitkan kecintaan dan pengabdian kepada raja (negara).

Keempat, miladarma (menghendaki kebijakan), mengajarkan hal-hal yang demi terwujudnya keselamatan dan kesejahteraan rakyat lahir batin. Kelima, parimarma (belas kasih), bersifat pemaaf demi terjaga ketenteraman negara.

Sementara itu kepada Patih Sukarta, Prabu Aji Pamasa mengajarkan Panca Guna (lima faedah), yakni: Pertama, rumeksa atau menjaga negara seisinya bagaikan milik sendiri, terutama apabila terjadi marabahaya. Janganlah menunggu perintah untuk mengamankannya, dan segeralah bertindak demi keselamatan bangsa dan negaranya.

Kedua, menjaga (a) ilat  (lidah), dengan berkata sopan dan berperilaku santun, menyenangkan hati orang; (b) ulat (air muka), menjaga air muka atau wajah supaya selalu nampak menyenangkan, menyesuaikan dengan tempat dan keadaan. Karena itu akan mendatangkan kebahagiaan; (c) ulah (tingkah laku), agar membawa diri dan berperilaku mantap (jangan peragu) sehingga memperoleh kasih sayang raja.

Ketiga, rumasuk (meresap), artinya penjagaan kepada negara dilakukan dengan seia-sekata, serta menjaga kekompakan di antara sesame punggawa. Keempat, rumesep (menyenangkan), bakti kepada raja harus mantap dan tidak renggang serambut pun. Demikian pula jangan berhenti mengasuh punggawa yang lebih rendah. Kelima, rumangsa (merasa), tetap merasa sebagai abdi raja dan kerajaan, dan jangan sekali-kali sombong dan tak mau kalah.

Sahabarku, demikianlah ajaran kepemimpinan versi pujangga tersohor Ronggowarsito, sebagai penutup ajaran kepemimpinan yang bersumber dari kearifan Jawa. Insya Allah berikutnya sebagai pelengkap, kita coba bahas KEPEMIMPINAN TAO & KHONG HU CU.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda