Minggu, 06 Desember 2015

PEMIMPIN, DILAHIRKAN ATAUKAH DARI PENDIDIKAN: Seri Etika & Moral Kepemimpinan (12).



Seni Hubungan Suami – Isteri ala Jawa Untuk Mempunyai Anak yang Berbakat Jadi Pemimpin.

Pokok bahasan yang menarik tentang kepemimpinan adalah seni kepemimpinan. Namun sebelum sampai ke hal tersebut, penulis ingin mengupas masalah yang selama ini banyak dipertanyakan orang di berbagai belahan bumi, yakni apakah seorang pemimpin itu dilahirkan artinya sudah bakat dari lahir, ataukah hasil dari suatu pendidikan. Apakah sepenuhnya sudah dipastikan oleh Tuhan ataukah masih ada ruang usaha bagi manusia?
Dalam kearifan lokal Jawa, sebagaimana diuraikan sejumlah kitab tua seperti Serat Centhini, Serat Nitimani, Serat Kawruh Sanggama dan Primbon KPH Cakraningrat, masalah seks dalam kaitan dan makna memahami serta mempersiapkan hubungan intim pria – wanita supaya bisa menurunkan anak yang baik, juga banyak dikupas. Salah satu hal yang menarik adalah nasihat bagaimana sepasang suami-isteri harus mempersiapkan diri menjelang berhubungan intim, dan apa yang harus dilakukannya pada saat sanggama, terutama apabila mengharapkan keturunan yang baik.

Secara hakikat, ajaran ini sama dengan ajaran di dalam Islam, yaitu hubungan intim tidak boleh dipaksakan, dilakukan dalam kondisi badan sehat, sebelumnya mandi dan gosok gigi atau bersih-bersih badan supaya aroma tubuhnya harum, serta dilangsungkan dalam suasana yang tenang dan nyaman. Selanjutnya berdoa atau salat hajat dua rekaat, memohon ijin dan pertolongan Gusti Allah, agar hubungan suami isteri yang akan dilakukan diridhoi, dirahmati dan diberkahi, diberi kekuatan lahir batin sehingga berlangsung harmonis, serta dijadikan sebagai bekal ibadah dan amal saleh. Doa yang paling terkenal yang diajarkan Kanjeng Nabi Muhammad adalah, ““Dengan Nama Allah, Ya Allah! Jauhkan kami dari syetan, dan jauhkan syetan agar tidak mengganggu apa (anak) yang Engkau rezekikan kepada kami” (HR. Bukhari dan Muslim)

Yang lebih penting lagi menurut ajaran kearifan Jawa, selama bersanggama hawa nafsu tidak boleh dibiarkan melesat lepas bebas tanpa kendali agar pada saat sedang mencapai orgasme, baik tatkala terjadi pada isteri atau pun  suami, masing-masing lebih utama jika bisa keduanya, mampu hening sejenak sembari berdoa di dalam hati,  agar benih yang dipancarkan bisa menjadi  anak yang soleh atau solehah dan sejumlah harapan baik lainnya bagi sang anak, termasuk menjadi pemimpin yang diberkahi Allah.
Suasana batin pasangan pria – wanita pada detik-detik saat tengah orgasme itulah yang diyakini akan menentukan watak anak yang lahir dari persetubuhan tadi. Apatah berwatak ksatria Pandawa seperti Puntadewa, Bima, Arjuna dan Kresna ataukah para Kurawa seperti Duryudana, Dursasana, Burisrawa dan Sengkuni bahkan Rahwana; berwatak Gajah Mada, Sunan Kalijaga, Bung Karno, ulama, seniman, pedagang ataukah Ken Arok, Damarwulan ataukah berandal ataukah koruptor?

Ibarat sebuah lukisan, suasana batin orang tua sewaktu mencapai puncak hubungan seksual sangat menentukan kualitas kain bahan lukisan. Apatah kain yang tipis menerawang, yang mudah robek ataukah yang tebal, kuat dan bersahabat dengan berbagai jenis cat. Adapun cat, corak, jenis dan gambar lukisan tergantung pada orangtua, guru dan masyarakat setelah sang anak lahir. Maka seperti suasana batin Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi yang lupa diri lantaran nafsu syahwatnya berkobar tanpa kendali menerjang pagar ayu atau kesusilaan, lahirlah raksasa perkasa nan angkara murka yakni Rahwana atau Dasamuka.

Di dalam legenda dan kepercayaan masyarakat Jawa, ada sejumlah tokoh besar yang lahir akibat hubungan gelap atau pun pemerkosaan. Orang yang melanggar kesusilaan dengan melakukan hubungan gelap, pada umumnya dikuasai dorongan nafsu, semangat dan tekad atau lebih tepat nekad dengan sangat kuat terutama pihak lekaki, meski tidak jarang juga pada kedua pelakunya, sehingga lahirlah anak yang memiliki semangat dan berani nekad. Lebih-lebih apabila setelah lahir, anak hasil kumpul kebo ini dibesarkan serta dididik oleh ibunya selaku orangtua tunggal dengan keprihatinan tinggi. Maka jadilah tokoh-tokoh hasil lembu peteng yang mengukir sejarah seperti halnya Ken Arok dan Bondan Kejawan, serta sejumlah tokoh lainnya yang diyakini masyarakat memiliki latar belakang hasil hubungan seks yang sama.

Tentu saja penulis tidak menganjurkan para sahabat melakukan hal yang seperti itu demi memiliki keturunan yang perkasa dan bisa menjadi penguasa ternama. Karena toh kalau anggapan seperti itu benar, berapa persen dari anak-anak hasil hubungan gelap yang bisa berkuasa, dan berapa persen yang gagal total dalam kehidupannya. Saya yakin yang gagal jauh lebih banyak. Lagi pula, keberhasilan menjadi penguasa, tidaklah menjamin yang bersangkutan mencapai ending atau akhir karier yang baik. Bahkan tidak jarang kehidupannya berakhir dengan tragis. Naudzubillah. (https://islamjawa.wordpress.com/2015/02/19/hubungan-seks-pengaruhnya-pada-anak-seks-dalam-peradaban-kebudayaan-jawa-3/ ).

Sahabatku, kita semua menyakini, seluruh kehidupan ini sudah tertulis dalam lauh mahfudz, kitab skenario atau catatan kejadian di alam semesta termasuk nasib, amal dan perbuatan manusia. Namun demikian Allah Yang Maha Agung juga masih memberikan ruang ikhtiar dan doa kepada umat manusia. Dari hikmah dan hakikat doa Rasulullah Saw serta untaian nasihat kearifan Jawa tadi, kita bisa menarik pelajaran adanya peluang ikhtiar manusia untuk memberikan pondasi kokoh pada anak keturunannya, semenjak benih dipancarkan dari sela tulang sulbinya, agar menjadi insan kamil dalam suatu peradaban nan mulia.

Insan yang sejak pembentukannya sudah diniatkan oleh kedua orang tuanya, akan bagaikan bahan baku kain lukisan kehidupan yang baik. Selanjutnya cat, corak, jenis dan gambar lukisan tergantung pada orangtua, guru dan masyarakat setelah sang anak lahir. Itulah pendidikan dan gemblengan kehidupan, yang akan menjadi lukisan pada kain. Semuanya saling terkait, saling mengisi dan melengkapi. Tentu saja, sebaik apapun bahan catnya, dan sehebat bagaimanapun pelukisnya, tapi apabila bahan kainnya buruk, tidaklah mungkin bisa dibuat lukisan kepemimpinan yang mumpuni, yang hebat dan diberkahi. Oleh karena itu marilah kita niatkan dan siapkan anak keturunan kita, generasi masa depan untuk menjadi pemimpin-pemimpin umat yang mulia dan diberkahi, semenjak belum terjadi pembuahan. Mari kita siapkan anak keturunan kita untuk memahami seni kearifan ini.  Aamiin. Berikutnya: WAHYU DAN SENI KEPEMIMPINAN.



0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda