http://www.teropongsenayan.com/93092-jenderal-yoga-tentang-sikon-menjelang-g30s-3-perang-urat-syaraf
Dalam peperangan, baik perang fisik maupun non fisik, dikenal ada suatu divisi dan
sekaligus senjata perang yang disebut perang urat syaraf, yaitu
suatu bentuk perang dalam menggalang opini objek sasaran agar menjadi dan mengikuti apa yang diinginkan. Perang urat saraf
ini sudah ada semenjak zaman kerajaan kuno, bahkan secara
substansi sudah ada semenjak awal peradaban manusia, sejalan
dengan perasaan kejiwaan manusia.
Perang urat syaraf berkembang sesuai zaman dan perkembangan teknologinya,
semakin lama semakin canggih dan semakin banyak varian dan
metodenya. Dalam bahasa yang sederhana, perang urat syaraf adalah
propaganda ofensif menggunakan segala cara dan media dari sesuatu
pihak guna mempengaruhi dan menggalang kondisi psikologis, pikiran, sikap, dan
pada akhirnya perbuatan dari masyarakat maupun pihak yang menjadi target sasaran. Oleh sebab itu perang
urat syaraf bisa berupa penyesatan opini serta manipulasi data dan
fakta.
Di zaman kerajaan Majapahit, perang urat syaraf dilancarkan Gajah Mada dengan
menghembuskan bahwa Raja Jayanegara telah wafat di persembunyiannya, guna mengetahui reaksi
masyarakat luas dan para elite kerajaan Majapahit. Dengan itu bisa diketahui siapa kawan siapa
lawan. Padahal Raja Jayanegara masih sehat walafiat.
Pada pra dan saat berlangsungnya Gerakan 30 September oleh Dewan Revolusi, hawa
perang urat syaraf dalam berbagai bentuk dan modelnya sangat keras menerpa. Aneka penyesatan
informasi dan framing atau penggalangan serta pembingkaian opini bisa dirasakan, tetapi
sulit dibuktikan. Akibatnya masyarakat mudah bingung,
terombang-ambing antara isu yang satu dan yang lain.
Salah satu perang urat syaraf yang sedang berlangsung tatkala Yoga baru tiba
kembali di tanah air awal Februari adalah kasus pro kontra Badan
Pendukung Soekarnoisme, disusul gelombang anti Amerika Serikat, dan pengusiran William Palmer,
kemudian penemuan dokumen Gilchrist, istilah dan seruan Ganyang Kapitalis Birokrat—Setan Kota
dan Setan Desa, Kebudayaan Setan, Ideologi Setan, isyarat Senam
Revolusioner, Ibu Pertiwi Hamil Tua, dan lain-lain.
Kelak, kita mengetahui dari pengakuan agen intelijen Cekoslovakia,
Ladislav Bittman yang bekerja sama dengan intelijen Uni Soviet,
menggalang perasaan dan gerakan anti Blok Barat khususnya Amerika
Serikat di berbagai belahan bumi termasuk Indonesia. Di Indonesia dilancarkan apa yang disebut
Operasi Palmer dan penyebaran dokumen palsu Gilchrist. Kedua, operasi ini semula berjalan baik sesuai scenario mereka, tetapi pada ujung akhirnya gagal dan berbalik menjadi bumerang
lantaran PKI berpaling dan mengikuti skenario Beijing (Ladislav
Bittman, The Deception Game, Syracuse University Research Corporation
1972).
Untuk mengelola isu-isu perang urat syaraf tersebut, dalam struktur organisasi
PKI dibentuk bagian yang khusus menangani agitasi dan propaganda yang sangat dikenal dengan nama
Agitprop (Agitasi dan Propaganda) yang didukung oleh berbagai media mass baik yang resmi
sebagai alat organisasi maupun simpatisannya.
Pada 1 Oktober 1965 tatkala G30S meletus, Dewan Revolusi sangat memahami
peranan propaganda seperti itu. Oleh karena itu di samping melakukan
penculikan Jenderal-Jenderal, mereka juga menduduki serta menguasai Gedung Pusat Telekomunikasi
dan Radio Republik Indonesia (RRI).
Siaran pertama Dewan Revolusi diumumkan pertama kali pada sekitar jam 07.20,
yang menyatakan telah melancarkan Gerakan 30 September guna
membersihkan dan menangkap Jenderal-Jenderal anggota Dewan Jenderal.
Agak siang, beredar radiogram Perintah Harian Menteri/ Panglima Angkatan
Udara Omar Dhani yang dikeluarkan pukul 9.00 pagi, untuk
mendukung G30S. Isinya:
“Pada tanggal 30 September 1965 malam telah diadakan Gerakan oleh G30S
1965, untuk mengamankan dan menyelamatkan revolusi terhadap
subversi CIA. Dengan demikian telah diadakan pembersihan dalam tubuh
Angkatan Darat daripada anasir-anasir yang didalangi oleh subversi
asing dan yang membahayakan revolusi Indonesia. AURI akan
menyokong gerakan tersebut. Diperintahkan kepada kesatuan-kesatuan AURI untuk
tetap waspada.”
Siaran RRI kedua berlangsung antara pukul 11.00 sampai 12.00, berupa Pengumuman
Presiden yang disampaikan oleh Komandan Resimen Cakrabirawa Brigjen Sabur, yang menyatakan
Presiden Soekarno dalam keadaan sehat walafiat dan tetap menjalankan pimpinan negara.
Pengumuman tersebut diulang-ulang dan disusul dengan pengumuman
tentang Dewan Revolusi. Pukul 14.00,
pengumuman pembentukan Dewan Revolusi diulang, disusul dengan susunan Anggota Dewan
Revolusi.
Jam 18.30 RPKAD lewat radio komunikasi melaporkan ke markas Kostrad bahwa RRI
dan Telkom telah berhasil direbut kembali. Dengan segera Kepala
Penerangan Angkatan Darat Brigjen Ibnu Subroto dan Brigjen Soegandhi dengan truk RPKAD menuju
RRI serta mengumumkan pengambilalihan RRI oleh Pimpinan AD dan menyatakan bahwa
G30S adalah kontra revolusioner. Diumumkan pula bantahan
pencantuman enam nama jenderal yang sebelumnya telah diklaim oleh
Dewan Revolusi sebagai anggotanya. Enam orang itu tidak tahu
menahu serta menolak namanya dicantumkan dalam Dewan Revolusi.
Mereka adalah Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen Amir Machmud, Mayjen
Umar Wirahadikusuma, Brigjen Solihin, Brigjen Ryacudu, dan Brigjen Andi Rivai.
Terhadap media cetak, Markas Kostrad pun bergerak cepat. Pada sore itu pula,
Pangdam Jaya Umar Wirahadikusuma dengan surat perintah No: 01/Drt/10/1965 melarang semua
penerbitan tanpa izin khusus kecuali Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata. Juga diperintahkan
untuk segera menguasai semua perusahaan percetakan, kecuali yang mencetak Berita Yudha di
Gang Gelap Kota dan pencetak harian Angkatan Bersenjata di Petojo. Di percetakan kedua media tadi
justru dilakukan pengamanan fisik yang kuat.
Meskipun demikian, koran PKI Harian Rakyat pada hari Sabtu 2 Oktober
masih sempat terbit dengan dukungan terhadap G30S. Demikian pula HRMinggu
yang sudah beredar Sabtu sehari
sebelumnya.
Pada malam hari itu pula, kelompok penerbitan Merdeka memperoleh izin
untuk menerbitkan harian sore API, yang baru bisa mulai terbit 6
Oktober. Izin terbit juga diberikan terutama ke berbagai media massa
yang pada bulan Februari 1965 diberangus. (B.Wiwoho: Nomer 3 dari 5,
dikutip dari buku: Jenderal Yoga, Loyalais di Balik Layar halaman 76 – 79).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda