SELAMAT TINGGAL INDONESIA ?
SELAMAT TINGGAL INDONESIA ?
panjimasyarakat.com
Pengesahan Undang-Undang Ibu Kota Negara “Nusantara”, Selasa (18/1/2022), yang menimbulkan polemik tajam, mengingatkan saya pada kedatangan seorang sahabat pengusaha pada awal 2000an, yang membawa sebuah naskah buku berjudul “Selamat Tinggal Indonesia.”
Naskah tersebut ditulis oleh 6 orang anak muda kelahiran Aceh dan Sumatera Utara yang tinggal di Medan. Keenam anak muda ini melakukan kajian tentang nama-nama orang, kota dan negara, serta kebiasaan berganti nama pada berbagai suku di Nusantara; termasuk kebiasaan dan kepercayaan yang berlaku di masyarakat dunia tentang makna sesuatu nama berdasarkan susunan huruf, baik ditinjau dari padanan huruf alfabetis dan jumlahnya seperti : a = 1, b = 2, c = 3 dan seterusnya sampai dengan y = 25 dan z = 26.
Mungkin anda juga tertarik untuk menelisik nama anda dengan hasil kajian mereka, terutama tentang makna, susunan dan jumlah masing-masing huruf dari sesuatu nama. Ada puluhan nama asing maupun Indonesia yang telah mereka kupas. Hasilnya, menurut mereka, kaidah nama yang baik dan produktif adalah yang memiliki atau terdiri dari :
(1) tiga huruf yang sama misalkan Abraham Lincoln, Majapahit, Makassar, Marco Polo, Banjarmasin.
(2). Semua hurufnya berbeda misalkan Golda Meir, Jepang, Jerman, Kuwait, Socrates, Bone, Medan, Sumitro.
(3).Huruf tengahnya ganda seperti Jenggala, Achmad Dahlan, Hasyim Muzadi, Fahmi Idris.
(4). Huruf tengah bersusun atau berutan misalkan Wirabumi, Blambangan dan Karl Marx.
(5). Terdapat huruf tengah yang bersusun tersembunyi di antara dua huruf yang terdapat di tengah nama tersebut, misalkan Tarumanegara. Nama ini memiliki huruf tengah a dan n, sedangkan di antara huruf a dan n terdapat huruf tengah yang urut yaitu gh (abcdefghijklmn).
(6). Memiliki dua huruf sama yang bila digabung berjumlah tiga buah atau lebih, seperti Singasari dengan huruf s, i dan a kembar. Contoh lain Borobudur, Aristoteles, Christoper Columbus, Thomas Jefferson, Jatiingrat.
(7). Memiliki arti yang baik misalkan Ajinegoro, Dewi Fortuna, Abdul Hakim, Hamonangan, Bangkit.
Sekarang bagaimana halnya dengan nama Indonesia? Saya pribadi meski tanpa melihat hasil kajian tersebut, dari semenjak puluhan tahun yang lalu tatkala mengetahui arti dan asal-asul katanya saja, sudah tidak sreg. Kurang mantab.
Nama "Indonesia" berasal dari dua kata Yunani yaitu, Indus yang berarti "India" dan kata Nesos yang berarti pulau/kepulauan, jadi "Indo-nesia" berarti "kepulauan India". Ini mengacu pada pengetahuan bangsa-banga Eropa yang menyebut wilayah yang membentang luas di antara Persia dan Tiongkok, semuanya disebut Hindia. Ada Hindia Muka ada Hindia Belakang. Sementara kepulauan di wilayah Asia Tenggara mereka namakan Kepulauan Hindia atau Hindia Timur (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales.
Nama Hindia Timur ini pulalah yang kemudian dipakai sebagai nama dari kongsi dagang atau persekutuan perusahaan Belanda yang beroperasi di Asia Tenggara khususnya di anak benua maritim Nusantara yang kita kenal sebagai Kongsi Dagang Hindia Timur atau VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), yang didirikan pada 20 Maret 1602. Melalui invasi dagang VOC inilah Belanda menjajah negeri maritim Nusantara selama tiga setengah abad.
Adapun nama Indonesia mulai disebut tahun 1850 dalam sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: "Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur"), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang kemudian diperkuat oleh seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865),
Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations ("Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia"). Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia ("nesos" dalam bahasa Yunani berarti "pulau", sama dengan nusa dalam bahasa Jawa kuno). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari Bahasa Inggris):
"... Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi "Orang Indunesia" atau "Orang Malayunesia"". (https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_nama_Indonesia)
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilanka saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia. Logan kemudian memilih nama Indunesia yang disingkirkan Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia
Itu menunjukkan bahwa masyarakat Eropa tetap meyakini bahwa penduduk di kepulauan ini adalah orang India, sebuah julukan yang dipertahankan karena sudah terlanjur akrab di Eropa.
Sejak itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel ("Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu") sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian, padahal Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.
Nah, setelah kita tahu asal usul dan arti kata Indonesia yang seperti itu, Kepulauan India, mengapa kita bersikukuh mempertahankannya? Bersikukuh dengan yang tidak pas? “Memang apalah artinya sebuah nama?,ungkap pujangga Inggris William Shakespeare. Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi. Mungkin bagi sebagian orang bisa saja seperti itu. Namun bagi sebagian besar bangsa kita, nama itu dipercaya sama dengan doa. Maka memberi nama kepada anak, sebaiknya dengan makna yang baik, penuh harapan kejayaan dan kebanggaan.
Sekarang mari coba kita tengok apa kata anak-anak muda di atas tentang nama Indonesia? Anda boleh percaya boleh tidak. Nama Indonesia tidak memiliki serta tidak tersusun dari huruf-huruf yang kuat, bahkan huruf tengahnya yaitu huruf n merupakan huruf yang lemah. Nama dengan huruf n menurut mereka menggambarkan kondisi yang selalu pasang surut, naik turun, maju mundur, yang jika dipakai terus maka tidak akan mencapai kejayaan yang berjangka panjang, bahkan akan terombang-abing sepanjang masa, tulis mereka dengan sejumlah uraian detail. Bangsa dan negara yang seperti itu juga akan mengalami semacam “amnesia”, lupa terhadap hal-hal baik termasuk kebaikan ataupun keunggulannya sendiri.
Sekarang, negeri maritim nan besar, luas serta kaya akan sumber daya alam ini, yang membentang dari Sabang – Merauke atau sama panjang dengan bentangan London – Moskow, dalam kenyataannya memang sedang mengalami masalah besar dalam banyak hal.
Kalau begitu apakah tepat bila kita ganti dan pindahkan saja Ibu Kota Negara dari Jakarta ke lain daerah, sesuai UU yang disahkan 18 Januari lalu, yakni dari Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Secara pribadi, saya tidak sependapat dengan rencana pemindahan tersebut, karena risiko – konsekuensi dan dampatnya amat sangat luas, meliputi banyak aspek. Saya lebih suka memilih secara bertahap memindahkan dan menyebarkan kementerian/lembaga negara ke berbagai propinsi, sehingga menghasilkan pusat-pusat pertumbuhan wilayah baru di segenap penjuru tanah air, yang berarti pemerataan pembangunan.
Sementara pemakaian Nusantara sebagai nama baru ibukota negara, saya pun tidak sependapat. Nusantara ialah sebuah istilah yang berasal dari perkataan dalam bahasa Jawa kuno, yang terjemahan secara harfiahnya berarti pulau dan antara. Sedangkan makna secara luas adalah suatu negeri yang terdiri dari banyak pulau dengan lautan di antara pulau-pulau tersebut, atau sederhananya, negeri maritim, negeri kepulauan. Jadi berarti suatu wilayah yang luas, bukan sekedar sebuah ibukota negeri, melainkan negerinya itu sendiri.
Lagi pula, makna kepulauan kok dijadikan nama sebuah kota? Jika kita menganut keyakinan nama samadengan doa, apa kita doakan ibukota negara kita yang akan datang di Penajam kelak, merupakan wilayah lautan air dengan pulau-pulau yang berupa gedung-gedung megah di antaranya? Naudzubillah.
Nama Nusantara apalagi jika ditambah dan digabung menjadi Nusantara Raya, nampaknya lebih cocok untuk menggantikan nama Indonesia. Mengapa tidak? Inggris Raya atau Britania Raya hanya terdiri dari 2 pulau besar yaitu Britania, Irlandia ditambah pulau Wight, Anglesey, Shetland serta seribuan pulau-pulau kecil dengan luas keseluruhan 234.402 km2, jauh lebih sedikit dan lebih kecil dibanding kepulauan Nusantara yang terdiri lebih dari 17.500 pulau dengan luas wilayah 1.904.569 km2.
Maka tidak ada kata terlambat. Marilah kita kaji kembali secara lebih saksama, arief lagi bijaksana. Allahumma amin.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda