Rabu, 27 September 2023

SEJARAH YANG CEPAT BERULANG; Hati-Hati Dengan Isyu Perpanjangan Kekuasaan.

 

Pada akhir November 2022, muncul wacana agar kita kembali ke UUD 1945 Asli, dan terkait dengan itu, masa jabatan Presiden yang sekarang perlu diperpanjang 2 – 3 tahun. Isyu tadi, hari ini (Rabu 27 September 2023) menghangat kembali di media sosial setelah Seminar yang digelar Forum Doktor dan Cendekiawan IndonesiA di Komplek Parlemen, Jakarta Selasa 26 September 2023. Sebagai referensi sejarah, bersama ini penulis sajikan pengalaman Indonesia dalam hal perpanjangan kekuasaan. Semoga bermanfaat.

 


Pasca dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966, Orde Baru bangkit mengibarkan semangat melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dalam rangka itu Sidang Umum MPRS tahun 1966 mengeluarkan ketetapan no XI/MPRS tanggal 5 Juli 1966, yang menggariskan untuk menyelenggarakan pemilihan umum paling lambat 5 Juli 1968. Untuk itu Presiden bersama DPR harus sudah membuat dan menyelesaikan berbagai UU yang terkait selambat-lambatnya 6 bulan sesudah ketetapan tersebut, yakni UU Pemilu, UU Susunan MPR – DPR dan DPRD.

 

Penyusunan berbagai Undang-Undang yang terkait dengan penyelenggaraan pemilu tadi macet antara lain  karena perdebatan soal sistem, apakah sistem proporsional atau distrik; juga tentang jumlah anggota yang akan diangkat. Lobi pemerintah menghendaki 50% diangkat oleh Presiden, sedangkan partai-partai tidak setuju. Demikian pula mengenai pengangkatan keanggotaan ABRI, apakah cukup di MPR saja atau juga di  DPR. Akibatnya target penyelesaian UU pemilu tak tercapai.  Padahal menurut perhitungan Ketua MPRS Jenderal A.H.Nasution, idealnya pemilu baru bisa diselenggarakan sekitar satu setengah tahun setelah UU pemilu disahkan.[i])

 

Sebagaimana lazim pada suatu kebangkitan rezim penguasa baru sepanjang sejarah di mana pun, terjadi polarisasi dan kristalisasi kekuatan dalam rangka pembangunan kekuasaan di dalam rezim baru tersebut. Di awal pendirian kerajaan Majapahit tahun 1290-an misalkan, tak lama setelah Raden Wijaya dan kawan-kawannya berhasil mendirikan Majapahit dan ia naik tahta, terjadi perpecahan di antara orang-orang dekatnya seperti Ranggalawe, Arya Wiraraja, Sora, Nambi dan Kebo Anabrang.

 

Jenderal Nasution meggambarkan terjadinya polarisasi kekuasaan di  sekitar Soeharto, di lingkaran dalam, di kabinet, di dalam lingkungan ABRI, merambah ke DPR dan MPR, tak lama setelah Sidang MPRS Maret 1967 mencabut Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno serta mengangkat Jenderal Soeharto menjadi Pejabat Presiden. [ii])

 

Sementara penyusunan UU pemilu berlangsung alot dan macet, di lingkungan DPR dan MPR juga berlangsung pembersihan anggota, terutama yang berindikasi kuat terlibat PKI, pendukung dan simpatisannya.

Pembersihan dan penggantian anggota DPR dan MPR ini memang dilematis. Di satu sisi, pembersihan lazim dilakukan dalam suatu pergantian rezim yang berlangsung karena pergolakan seperti halnya dari Orde Lama ke Orde Baru, yang hanya bersifat sementara dalam keadaan darurat, sambil menunggu pergantian yang benar-benar dilakukan secara demokratis, melalui pemilihan umum yang jujur, adil dan terbuka.

Namun pemilihan umum yang semula ditetapkan harus berlangsung paling lambat tanggal 5 Juli 1968, berdasarkan permintaan Pejabat Presiden Soeharto tanggal 10 Januari 1968 kepada MPR, akhirnya ditunda dan baru berlangsung 3 tahun kemudian, 5 Juli 1971. Penundaan pemilu terutama disebabkan UUnya belum bisa dibuat (baru bisa ditetapkan dengan UU no.15 tahun 1969 tanggal 17 Desember 1969). [iii])

Bagi Soeharto, belum terselenggaranya pemilu akan memberikan keleluasaan kepada Pemerintah untuk melakukan kegiatan-kegiatan rehabilitasi dan stabilisasi yang produktif, yang apabila berjalan lancar akan membantu dan mendorong menciptakan stabilitas politik.[iv])                          

Tetapi yang kemudian terjadi adalah  awal dari sebuah ironi. Penundaan pemilu juga memberikan kesempatan kepada Mandataris MPR merombak pemberi mandatnya, dengan menempatkan orang-orang pilihan sendiri, yang berfungsi nyaris satu periode penuh masa jabatan anggota DPR/MPR. Dengan berbagai dalih dan cara, kondisi yang setara itu berlangsung sepanjang pemerintahan Orde Baru, membentuk pemerintahan yang sentralistik. Presiden menguasai lembaga legislatif, baik DPR maupun lembaga tertinggi negara MPR. Hal itu kembali terjadi antara lain karena tidak ada sistem yang bebas dari kepentingan penguasa,  baik dalam bentuk Undang-Undang atau pun ketetapan MPR, yang mengatur susunan dan kedudukan MPR khususnya tentang pemilihan utusan golongan dan utusan daerah.

Sementara itu partai-partai politik membentuk Fraksi-Fraksi yang mengendalikan dan berkuasa atas anggota-angotanya di DPR/MPR. Sistem fraksi ini berlangsung terus sampai ke era Reformasi, yang bersama pimpinan parpolnya, berkuasa penuh dan setiap saat bisa merecall serta mengganti keanggotaan di DPR/MPR, meskipun keanggotaan mereka dipilih oleh rakyat secara langsung melalui Pemilu, dan bukan oleh partainya. Sistem Fraksi telah membajak kedaulatan rakyat yang diamanahkan rakyat pemilih kepada wakil yang dipilihnya untuk duduk di lembaga legislatif.

Di samping mandataris menguasai pemberi mandat, dalam hal pemusatan kekuasan, sejarah juga kembali terulang. Setelah Bung Karno memegang banyak wewenang dalam satu tangan, yaitu sebagai Mandataris MPRS/Presiden Seumur Hidup/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Ketua Front Nasional, maka Jenderal Soeharto juga memegang wewenang selaku Presidium Kabinet, Wakil Perdana Menteri Hankam, Panglima AD, Pangkopkamtib, Kepala Staf KOTI, Pengemban Supersemar, kemudian Presiden yang bisa berulangkali dipilih kembali menjadi Presiden hingga kejatuhannya di tahun 1998.

 

Kekuasaan yang cenderung mengarah dan menjadi sentralistis, bukan hanya terjadi di masa Orde Lama dan Orde Baru, tetapi gejalanya juga berlangsung di Era Reformasi. Mengapa kita menjadi mengabaikan pesan jasmerah Bung Karno? Jangan sekali-kali melupakan sejarah? Selain kita enggan belajar dari sejarah, nampaknya kita juga mengabaikan nasihat-nasihat tentang kekuasan dan kepemimpinan dari  para  bijak di masa lalu seperti filsuf Yunani Plato dan Socrates serta filsuf muslim Al Ghazali.  Bahkan Al Ghazali mengagumi kedua filsuf Yunani tersebut serta mengutipnya dalam bukunya yang termashur At-Tibbr Al-Masbuk fi Nasihat Al Muluk.

 

Satu dari nasihat Al Ghazali yang kurang atau bahkan tidak dijalankan oleh baik Bung Karno, Pak Harto dan penguasa-penguasa Era Reformasi adalah menghargai orang tua dan orang bijak. Sebaliknya cenderung tertipu dengan 3 hal yang paling berbahaya yaitu kekuasaan, kekuatan dan kesenangan akan pendapat serta pengetahuannya sendiri.

 

Kelemahan  yang mudah menghinggapi penguasa, menurut Al Ghazali karena melupakan musyawarah, dan menyerahkan kekuasaan kepada para petugas yang tak berpengalaman. Mereka telah menyia-nyiakan kesempatan dan peluang yang tepat, tidak banyak berpikir tentang peluang itu, dan tiada pula melaksanakan pada saat yang diperlukan. Mereka kurang tanggap pada tempat yang harus siap segera, dan kurang cepat menggunakan kesempatan serta kesibukan untuk memenuhi segala keperluan. Para utusan dan pembantu yang tidak jujur serta berkhianat dalam menyampaikan risalah, hanya karena kepentingan perut mereka, pada hemat Al Ghazali, juga sangat menimbulkan keburukan. Betapa banyak kerajaan menjadi hancur karena ulah mereka.[v])

 

Kembali pada Orde Baru, dengan kewenangan sebesar itu, dimulailah gagasan untuk merancang pembangunan 5 tahun (Pelita). Namun gagasan ini perlu stabilitas pemerintahan. Untuk itu perlu Pejabat Presiden dikukuhkan menjadi Presiden penuh, juga selama 5 tahun.  Terkait dengan itu  pemilu perlu ditunda, sedangkan susunan DPR dan MPR harus dirombak sesuai kewenangan Supersemar.

Yang memprihatinkan, dalam catatan Nasution, tak lama setelah benteng Orde Lama tumbang, maka mulailah pergolakan di kalangan benteng Orde Baru. Ironisnya, pergolakan itu diwarnai dengan unsur-unsur SARA. Mula-mula Orba disebut sebagai akronim dari Orde Batak. Kemudian muncul isu antaragama, rasial, antarsuku, antara pusat dan daerah. Ada isu negara Islam, isu kristenisasi serta isu penyusupan tokoh-tokoh Cina di pusat kekuasaan. (B.Wiwoho dalam buku ke-3 TONGGAK-TONGGAK ORDE BARU: Kejatuhan Soeharto dan Ancaman Pembelahan Bangsa, halaman 193 -197)

 



[i]   Nasution, A.H.DR. Memenuhi Panggilan Tugas, jilid 7 – CV.Haji Masagung 1989 : 234.

 

[ii]  Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas jilid 7 dan 8.  Lihat juga buku ini  Bab: Nasution – Soeharto dan Bab: Nasution Disikat.

[iii]  Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas, jilid 7: 234.

 

[iv]  PEMILU DITUNDA, H.M.Soeharto, Menggapai Tinggal Landas (https://soeharto.co/pemilu-ditunda/).

 

 

[v]  Al Ghazali, At-Tibbr Al-Masbuk  fi Nasihat Al Muluk (Nasihat Untuk Penguaasa), Mizan 1994.   Dibahas juga cukup panjang lebar oleh Dr.Achmad Mubarok MA dan B.Wiwoho dalam Etika dan Moral Kepemimpinan, dengan pengantar Prof. K.H.Ali Yafie dan Try Sutrisno, Bina Rena Pariwara, 2003 terutama halaman 35 – 37.

 

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda