Selasa, 19 Juli 2022

Era Reformasi, Terbang Tinggi Bagai Layang-Layang Lepas


Catatan Wartawan Senior: Richard Haryoseputro. panjimasyarakat.com

Buku yang mengisahkan perjalanan pemerintahan Orde Baru ini, mengingatkan pada kisah era Romawi di awal tarikh Masehi: 56 – 120, yang menggambarkan kegeraman  yang dirasakan Tacitus ketika melihat kesemrawutan dan ulah tidak jelas dari para pengganti Kaisar Augustus, Tiberius-Caligula-Claudius-Nero. Dengan semangat yang menggebu-gebu reformasi terus berjalan tahun 1998-2002. Tiba-tiba kita menyadari bahwa kita terbang tinggi bagaikan layang-layang tetapi sudah terlepas dari landasan.

Persandingan itu diungkapkan oleh Richard Haryoseputro, mantan Wakil Pemimpin Redaksi Harian Suara Karya, mantan Wakil Ketua Pelaksana Harian Badan Sensor Film dan Staf Ahli/Anggota Kelompok Kerja Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 1978 – 1983.

R.Haryoseputro mewakili harian Suara Karya menerima penghargaan perpajakan dari Menteri
Keuangan Mar’ie Muhammad (1993 – 1998).

Pandangannya tentang trilogi Tonggak-Tonggak Orde Baru itu antara lain sebagai berikut:

Republik gagal.                                                                    

PUBLIUS CORNELIUS TACITUS hidup pada awal Tarikh Masehi: 56 – 120, seorang politikus, orator gaya baru, dan penulis. Ia pernah menjadi pengacara, pejabat pemerintahan dan terakhir tahun 112 diangkat menjadi Prokonsul Romawi dari Wilayah Asia. Tetapi ia kemudian dikenal sebagai penulis sejarah terpenting.

Tacitus dalam dua karya besarnya “Historiae” dan “Annales” (yang arti harafiahnya “Catatan Tahunan”),  memegang babakan waktu sebagai kerangka tulisannya, tetapi tidak mengikuti gaya menulis seperti juru catat di Senat yang menulis Acta Senatus Populi Romani atau Acta Diurna, kering tanpa warna. Ia banyak memberikan gambaran hidup tentang peristiwa yang terjadi dan menggambarkan suasana hati para pelakunya,  hal yang dihindari oleh penulis sejarah pada umumnya kecuali terucapkan dengan kata-kata atau tercermin pada tindakan. Gaya bahasanya singkat, padat, berisi dan vivid (hidup). Bertentangan dengan gaya Cicero yang suka menggunakan kalimat berbunga-bunga. Ia sengaja memilih kata-kata yang lugas, eksplosif, galak, sinis dan sering kali sarkastis. Ungkapan-ungkapannya dikenal amat pedas tetapi mengena. Misalnya, komentarnya tentang Kaisar Galba (salah satu dari 4 jenderal yang mengklaim sebagai penggantin Nero) yang dikenal bodoh: “Galba memang bisa menjadi Kaisar yang hebat, seandainya ia tidak benar-benar memerintah sebagai kaisar.”

Tacitus lahir pada akhir tahun pemerintahan kaisar Nero yang dikenal sebagai tiran, bengis, kejam dan gila. Tetapi ia masih merasakan dan mendengar gaung zaman keemasan Kekaisaran Romawi, Pax Romana yang tercipta selama pemerintahan Kaisar Augustus.

Ia sendiri memegang paham Republik, dimana kekuasaan berada di tangan rakyat bukan pada tangan seorang raja dan keturunannya. Namun, pemerintahan Republik menyebabkan munculnya kerusuhan yang tiada henti. Tokoh-tokoh kuat bersaing menggalang rakyat dan menarik militer ke pihaknya, terjadilah perang saudara dan pembrontakan terus menerus. Rakyat selalu didera penderitaan. Perebutan kekuasaan mencapai puncaknya pada 15 Maret tahun  44 sM dengan terjadinya pembunuhan Julius Caesar di Gedung Senat. Octavianus, perwira muda berumur 20 tahun, yang diangkat anak dan ditunjuk Julius Caesar sebagai pewarisnya, bangkit mengajak panglima-panglima handal pendukung Julius Caesar yaitu Marcus Aemilius Lepidus, jenderal  44 tahun, penguasa wilayah Spanyol dan  Perancis selatan, serta Marcus Antonius, 39 tahun, panglima termasyur  penguasa wilayah Timur.

Triumvirat Octavianus-Lepidus-Markus Antonius bergerak cepat memburu komplotan pembunuh Julius Caesar. Dalam waktu singkat mereka berhasil membasmi komplotan dan meredam kemelut di seluruh wilayah Republik Romawi. Tetapi kemudian terjadi perpecahan saat mereka membagi-bagi wilayah kekuasaan. Lepidus dan Octavianus berebut Sicilia, tetapi kemudian Lepidus ditinggalkan pasukannya yang berpindah mendukung Octavianus. Akhirnya Lepidus diasingkan.

Marcus Antonius juga bertengkar dengan Octavianus karena ia menuntut supaya Caesarion, putera Julius Caesar dengan Cleopatra, Ratu Mesir, ditunjuk sebagai pewaris resmi Julius Caesar. Octavianus menyatakan perang terhadap Cleopatra dan memimpin armada Romawi menyerang Mesir. Sementara  Marcus Antonius memimpin armada gabungan Romawi dan Mesir. Octavianus berhasil memukul armada Marcus Antonius dan Cleopatra. Mereka melarikan diri kembali ke Alexandria, Mesir dan bunuh diri tahun 31.

Pax Romana

Octavianus sendirian membenahi sistem pemerintahan. Ia mengambil  wajah luar menyerupai sistem pemerintahan Republik, yaitu dengan kekuasaan politik utama berada pada Senatus Populi Romani, didampingi Dewan Eksekutif dan Majelis Legislatif. Untuk dirinya sendiri ia tidak menghendaki  diangkat menjadi raja tetapi cukup Princeps Civitatis (Pemimpin Bangsa) dengan julukan Augustus (Yang Terhormat). Ia meminta Senatus memberinya kekuasaan seumur hidup sebagai Panglima Tertinggi dan Pengawas militer. Ini sesuai dengan pandangan Tacitus yang menentang sistem pemerintah monarki penuh.

R.Haryoseputro (tengah) bersama Dirut Bank BNI Widigdo Sukarman (kanan) dan redaktur pelaksana harian AB  Darmansyah Darwis (kiri) dalam sebuah seminar.

 

Pada awal pemerintahannya Augustus memperkuat perbatasan terhadap ancaman musuh dengan menaklukkan negara-negara pengancam atau membuat kesepakatan persahabatan dengan negara-negara tetangga. Di dalam negeri ia melakukan reformasi sistem perpajakan yang meringankan beban rakyat, membangun jaringan jalan dan satuan kurir  ke seluruh wilayah kekaisaran Romawi sehingga pelaporan dan penanganan masalah-masalah daerah bisa cepat diselesaikan.

Ia membentuk unit-unit pasukan reguler yang selalu siap, membentuk Cohortes Praetoriae (Praetorian Guard), pasukan khusus pengawal Kaisar dan satuan intelijen, Badan Kepolisian dan Pemadam Kebakaran bagi kota Roma. Untuk menjaga semangat dan dukungan para legiun  Augustus membangun perumahan bagi para prajurit dan memberikan kenaikan gaji serta bonus. Untuk meningkatkan pertanian dan cadangan jaminan bahan pangan dibangun jaringan irigasi dan waduk-waduk.

Demikianlah pada masa awal pemerintahannya Kaisar Augustus benar-benar memperhatikan peningkatan, keamanan dan  kesejahteraan rakyat Romawi. Meskipun sistem pemerintahan Republik sudah digantikan dengan sistem pemerintahan monarki tetapi Augustus tetap merakyat. Terciptalah Pax Romana. Namun pada masa akhir pemerintahan Augustus yang berkuasa selama 41 tahun, Pax Romana mulai diganggu intrik-intrik. Kasak-kusuk untuk mempersiapkan pengganti Augustus karena Augustus tidak mempunyai anak laki-laki sebagai putera mahkota.

Tulisan Tacitus tentang  masa ini mulai galak dan diwarnai sinisme serta sarkasme. Kemudian naiklah nama Germanicus anak angkat Augustus yang amat dicintai rakyat dan populer di kalangan prajurit legiun karena kemampuan perangnya. Ia digadang-gadang menggantikan Augustus. Tetapi saat bertugas di Wilayah Kekaisaran Romawi Timur, ia meninggal dunia. Menurut dugaan ia diracun dan dalangnya adalah Calpurnius Piso, Gubernur Wilayah itu, yang sempat terlibat bermusuhan dengan Germanicus. Tetapi Tacitus tidak mengambil begitu saja laporan resmi itu. Ia menggambarkan kecurigaan terhadap Tiberius dan Livia, ibunya yang dengan sengaja memperlihatkan kesedihan berlebihan dan lama tidak mau muncul di publik.

Berantakan

Sesudah Augustus meninggal (14 M) terjadilah perebutan tahta. Keagungan Kekaisaran Romawi yang mencapai puncaknya pada masa Pax Romana, masih terbayang di benak Tacitus, tetapi ia menghadapi kenyataan bahwa apa yang dicapai Kaisar Augustus hancur berantakan oleh ulah 4 kaisar penggantinya, Tiberius-Caligula-Claudius-Nero. Mereka melanggar dan mengubah tata cara pemerintahan “semau gue”. Mereka hidup bermewah-mewah, berfoya-foya, menghamburkan uang, dan Kekaisaran Romawi jatuh miskin. Wajah Kaisar Romawi muncul sebagai Raja Tiran, kejam, bengis, dan puncaknya terjadi saat Nero membakar kota Roma. Ibukota Kekaisaran Romawi yang megah ludes dalam 6 hari.

Tacitus lupa akan pernyataannya sendiri “Sine Ira et Studio”.  Kegeraman menyelimuti suasana hatinya saat ia mulai menulis “Historiae” dan “Annales”. Ia tidak bisa memenuhi janjinya untuk  menulissecara obyektif dan tidak berpihak. Meskipun demikian tulisan Tacitus dikenal selalu dilengkapi dengan dokumen-dokumen dan sumber-sumber resmi yang sudah ditelitinya. Ini dimungkinkan karena pengalamannya sebagai Senator dan Gubernur memberinya akses ke dokumen-dokumen resmi seperti Acta Senatus Populi Romani , Acta Diurna, Apostolarium, dan laporan-laporan dari daerah, khususnya wilayah Romawi Timur. Maka, sikap dan gaya penulisannya yang cenderung subyektif itu tidaklah begitu merugikan pembacanya, karena ia dikenal amat teliti dan akurat dalam uji sumber-sumbernya.

Pembaca atau siapapun mempunyai kesempatan untuk mengambil inti tulisannya sebagai sumber sejarah dan menelitinya lebih lanjut. Salah satu contoh tulisannya yang diwarnai prasangka dan kata-kata negatif tetapi kemudian ternyata menjadi warisan informasi sejarah yang menjadi sumber ribuan buku di kemudian harinya, adalah apa yang tertulis di Annales, Buku XV Bab 44  yang terjemahannya sebagai berikut:

“Tetapi usaha manusia, pembagian hadiah besar-besaran dari Kaisar ataupun puja-puji untuk menyenangkan para dewa tidak mampu mengurangi kecurigaan bahwa kebakaran (kota Roma) terjadi atas perintah. Maka untuk menghapus rumor itu Nero melemparkan kesalahan dan menjatuhkan hukuman penyiksaan kejam kepada orang- orang Kristen, kelompok yang dibenci masyarakat karena kejahatannya. Kristus, asal dari nama kelompok ini, telah dihukum kejam oleh Prokurator Pontius Pilatus, di Zaman pemerintahan Tiberius.”

Penulis-penulis sejarah abad-abad berikutnya menggunakan tulisan itu sebagai informasi sejarah  bahwa di Roma saat Kaisar Nero bertahta (56 – 68 M) sudah banyak orang Kristen bermukim, dan Kristus, yang dianut orang-orang Kristen itu dihukum mati oleh Pontius Pilatus, prokurator di bawah pemerintahan Tiberius.

Keping-Keping Sejarah

Kita bisa membayangkan penulis buku “Tonggak-Tonggak Orde Baru” mungkin sekali merasakan suasana hati seperti yang dialami Tacitus saat menulis “Historiae” dan “Annales”. Kita ingat, saat Soeharto naik di panggung politik, ia amat low profile. Ia bertahan menolak tekanan para mahasiswa untuk bergerak  cepat, membubarkan PKI kalau tidak mendapat penugasan dari Kepala Negara, Soekarno. Ia juga tidak mau mengambil alih kepemimpinan negara dari Soekarno kalau tidak ada pengangkatan dari MPR. Ia tidak mau melanggar tatanan dan prosedur kepemimpinan dan bersikap konstitusional.

Setelah mendapatkan Surat Perintah Sebelas Maret dari Kepala Negara yang masih sah, ia bergerak cepat membubarkan PKI seperti desakan mahasiswa dan masyarakat saat itu serta memulihkan ketertiban dan keamanan. Sebagai seorang Jenderal yang berpengalaman dan pernah memimpin berbagai operasi militer, tugas ini bisa diselesaikan dalam waktu singkat. 

Kemudian setelah mendapatkan mandat dari Sidang Umum MPRS 12 Maret 1967 baru ia bersedia menjalankan pemerintahan sebagai kepala negara. Disini ia menghadapi tantangan yang baginya amat baru dan belum pernah dihadapinya. Saat itu ekonomi Indonesia sedang dalam keadaan carut marut. Inflasi meroket hingga 650%, harga-harga tak terkendali, termasuk bahan-bahan kebutuhan pokok. Bahan makan dan sandang sulit didapat, sehingga rakyat kebanyakan makan bulgur dan gaplek dan anak-anak pergi ke sekolah dengan pakaian dari bahan bagor. 

Penyebab utama hyperinflasi adalah besarnya beban pembayaran utang untuk membiayai proyek-proyek mercu suar, meredam pemberontakan-pemberontakan seperti PRRI/Permesta, DI/TII, RMS, APRA dan sebagainya, sementara pendapatan dari ekspor melemah. Boleh dikatakan pemerintah sudah bangkrut. Tetapi dengan lobi intensif ke negara-negara pendonor, Widjojo Nitisastro cs dan Radius Prawiro berhasil meyakinkan mereka akan masa depan Indonesia yang menjanjikan dan karenanya Indonesia  layak mendapatkan bantuan, apalagi sebagai negara yang anti komunis. Akhirnya dengan dorongan Amerika Serikat, 13 Negara (Amerika Serikat, Australia, Belanda, Belgia, Denmark, Inggris Raya, Perancis, Italia, Selandia Baru, Swiss, Jerman, Jepang dan Kanada) dan 4 Lembaga Keuangan Internasional (Bank Pembangunan  Asia, IMF, UNDP, dan Bank Dunia) bersedia membentuk InterGovermental Group on Indonesia (IGGI).

IGGI menyanggupi membantu menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan menjanjikan dana pinjaman untuk menanggung 60% biaya pembangunan 5 Repelita tersebut. Ini benar-benar suatu tonggak awal yang menandai perubahan kehidupan di Indonesia. Pada Repelita I Soeharto  memberikan tekanan utama pada kebutuhan dasar rakyat seperti ketersediaan pangan dan sandang, dan infrastruktur.

Hasil Repelita I sudah memperlihatkan kemajuan kehidupan perekonomian Indonesia dan kesejahteraan mulai meningkat. Apa yang dilakukan dan dicapai pemerintahan Orde Baru pada tahun-tahun awal amat mengesankan dan langsung menyentuh kehidupan rakyat, meskipun terganggu sebentar dengan Peristiwa Malari, Januari 1974. Peristiwa yang mengubah sikap Soeharto menjadi lebih keras, cederung represif, terhadap pihak-pihak yang menentang ataupun mengritik kebijakan-kebijakannya.

Sesudah keberhasilan Repelita IV Soeharto mulai berani muncul sebagai “leader” di tataran internasional. Misalnya ia dengan kepercayan diri besar muncul di KTT Gerakan Non Blok di Beograd, Yugoslavia tahun 1989 dan menjadi tuan rumah KTT Non Blok 1992. Indonesia pun muncul sebagai negara yang diperhitungkan. Suasana euphoria keberhasilan ini tentu masih mnggaung di benak Sdr Bambang Wiwoho saat memulai tulisan buku “Tonggak-Tonggak Orde Baru “.

Perbedaan membangunkan kesadaran

Tetapi kemudian mulai muncul pengusaha-pengusaha, keluarga penguasa, pejabat-pejabat koruptif yang memperlemah kewibawaan pemerintah, dan untuk mempertahankan kewibawaannya sikap tegas dan keras dijalankan sehingga terasa kesan tirani. Wajah penguasa diktator, otoriter dan opresif semakin menonjol. Akhirnya terjadilah demo-demo mahasiswa menuntut pelengseran Soeharto. Dan setelah akhirnya Soeharto mengundurkan diri dan masa Orde Baru berakhir, gemuruh lagi euphoria kemenangan para aktivis demokrasi. Dengan semangat menggelora dijalankan reformasi ke segala arah, hampir tanpa koordinasi. Dan sekarang setelah 22 tahun berlalu mungkin sekali penulis juga merasakan kegeraman  yang dirasakan Tacitus ketika melihat kesemrawutan dan ulah tidak jelas dari para pengganti Kaisar Augustus, Tiberius-Caligula-Claudius-Nero. Dengan semangat yang menggebu-gebu reformasi terus berjalan tahun 1998-2002. Tiba-tiba kita menyadari bahwa kita terbang tinggi bagaikan layang-layang tetapi sudah terlepas dari landasan.

Meski dalam suasana hati seperti ini kita yakin sdr Bambang Wiwoho tetap menulis dengan pedoman “Sine Ira et Studio”, Tanpa Amarah dan Keberpihakan, karena sebagai wartawan hal itu sudah menjadi pedoman kerjanya selama bertahun-tahun. Namun pembaca dalam membaca tulisan seorang wartawan tidak bisa lepas dari kerangka pengalaman hidupnya dan pengaruh suasana hatinya. Wartawan menulis “sine ira et studio” sementara pembaca akan mengikuti tulisan wartawan dengan sikap seorang pengamat. Perbedaan pendapat dan perdebatan pasti terjadi. Apakah ini akan mengurangi nilai sejarah tulisan “Tonggak-Tonggak Orde Baru” ini? Saya yakin, tidak. Perdebatan akan memperdalam dan membersihkan makna sejarah peristiwa yang dicatat. Paling sedikit kita diingatkan bahwa peristiwa tersebut memang terjadi. Inilah manfaat utama catatan peristiwa bagi sejarah, seperti yang diwariskan Tacitus di “Annales, Buku XV Bab 44”: peristiwa hukuman mati di bawah Procurator Pontius Pilatus itu memang terjadi.

Semoga kita semua selalu diingatkan bahwa tonggak-tonggak yang dicatat dalam buku ini memang terjadi, dan besar kecilnya makna sejarah peristiwa tersebut terserah kepada pembaca. Yang jelas tulisan Bambang Wiwoho di buku ini , seperti tulisannya dalam buku-bukunya yang lain, telah menanamkan kesadaran akan sejarah dalam bentuk tertulis kepada warga masyarakat yang pewarisan sejarahnya lebih berbentuk komunikasi lisan. *****

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda