Rabu, 23 Februari 2022

Kyai Jawa Berdakwah (2): MEMASUKKAN RUH ISLAM DALAM WAYANG

 

Kyai Jawa Berdakwah (2):

MEMASUKKAN RUH ISLAM DALAM WAYANG 

panjimasyarakat.com

 

Ki Seno Hadi Sumitro, dalang multi profesi antara lain konsultan dan pendakwah yang disamping bergelar insinyur pertanian juga memiliki 2 gelar S-2 yaitu di bidang hukum dan tafsir Al Qur’an.

Sekitar 2 – 3 tahun silam, Panji Masyarakat telah menurunkan seri tulisan tentang bagaimana para ulama berdakwah di pulau Jawa, dan bagaimana masyarakat Jawa khususnya para priyayi, para elit Jawa menyikapinya. Seri tulisan tersebut kemudian diterbitkan oleh Penerbit IIMaN, November 2020 dengan judul ORANG JAWA MENCARI GUSTI ALLAH.  Sebulan terakhir ini, masalah pertemuan Islam dengan kebudayaan Jawa, kembali ramai di media massa dengan pro-kontra yang cukup tajam. Terkait itu, berikut kami sarikan kembali tulisan-tulisan tadi dalam 3 seri “Kyai Jawa Berdakwah”, dengan tambahan perkembangan media dakwah wayang sampai sekarang. Seri (1) telah dimuat hari Selasa 15 Februari 2022.

 

Berdakwah dengan menyanyi, nembang atau ngidung telah dilakukan oleh para ulama  yang dikenal sebagai Wali Songo, pada abad 15 – 16. Semenjak dan antara lain dengan cara itu, Islam cepat menyebar ke pulau Jawa yang berpenduduk padat. Padahal sebelumnya, sejak abad 11 bahkan ada yang menyebut abad ke 7 (Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo, Penerbit IIMaN, 2012), penyebaran Islam sudah sampai ke Jawa namun tidak berjalan lancar. Mari kita simak tembang nan merdu ini dengan maknanya yang begitu dalam:

 

        Rahman iku mencaraken eling

eling iku mencaraken makripat

makripat sihing Gusti

Gusti Kang Mahaagung

lire Agung datanpa sami

mokal yen ana madha

Gusti Mahaluhur

kang darbeni sipat jamal

sipat kahar ingkang kapama sekali

pakartine buwana.

 

        Terjemahan bebasnya:

 

Rahman itu menyebarkan ingat (dalam konsteks ini ingat akan Allah)

ingat itu menyebarkan makrifat

makrifat kasih sayang Gustinya (maksudnya Gusti Allah)

Gusti yang Mahaagung

yakni Agung tanpa ada yang menyamai

mustahil bila ada yang menyamai

Gusti yang Mahaluhur

yang memiliki sifat keindahan

sifat kahar yang sangat mulia

pencipta dunia ini.

 

(Bait ke 28 dari Serat Nitiprana, tembang Dhandanggula, karangan pujangga Keraton Surakarta, Raden Ngabehi Yasadipura, 1729 – 1803M, kakek dari pujangga Raden Ngabehi Ranggawarsita).

 

 

Dengan metode komunikasi massa yang brilian, para ulama menggubah dan menciptakan tembang-tembang Jawa yang dikenal sampai sekarang. Berbagai adat-istiadat Jawa, juga cerita-cerita rakyat khususnya wayang kulit disusupi, diubah dan dikembangkan oleh para wali sedemikian rupa sehingga bernafaskan Islam. Pusaka terhebat dalam kisah pewayangan adalah Jamus Kalimasada atau Dua Kalimat Syahadat. Empat pendamping atau punakawan para ksatria yang amat sakti, diberi penafsiran baru dari bahasa Arab yang mengandung makna filosofis tinggi, yaitu:

 

1.   Semar, berasal dari bahasa Arab simaar yang berarti paku. Ini dimaksudkan bahwa kebenaran agama Islam kokoh, kuat, sejahtera bagaikan paku yang sudah kokoh tertancap, simaaraddunyaa.

2. Petruk, dari kata fat-ruk artinya tinggalkanlah. Fat-ruk kullu man siiwallaahi, tinggalkanlah segala apa yang selain Allah.

3. Gareng, dari kata naa la qarii. Nala Gareng dimaksudkan mencari kawan sebanyak banyaknya. Kembangkanlah silaturahmi dan dakwah.

4. Bagong, dari kata baghaa artinya lacut atau berontak, yaitu keberanian untuk memberontak terhadap segala sesuatu yang salah dan zalim.

 

Sementara itu kata dalang, yaitu tokoh yang memainkan cerita dan wayang juga diberi makna baru yang berasal dari bahasa Arab dalla, artinya menunjukkan ke jalan yang benar. Man dalla alal khair ka fa ‘ilahi yaitu barang siapa bersedia menunjukkan kepada jalan yang benar atau ke arah kebajikan, maka pahalanya seperti orang yang berbuat kebajikan itu sendiri (Hadis Bukhori).

 

Dengan ruh keislaman antara lain seperti gambaran di atas, kemudian dikarang cerita wayang khusus untuk berdakwah yang tidak ditemukan dalam babon induknya dari India yaitu Mahabarata dan Ramayana.

 

Cerita-cerita khas dakwah itu misalkan Dewa Ruci (pelajaran tentang tarekat dan hakikat), Jimat Kalimasada (Pusaka Dua Kalimat Syahadat), Petruk Jadi Ratu, Pandu Pragola, Semar Ambarang Jantur dan Mustaka Weni. Dengan cerita-cerita tersebut para dalang, pada mulanya adalah Sunan Bonang, Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga – tiga dari wali sembilan, dengan mengenakan baju model baru yang disebut baju taqwa yang kita kenal dan pakai sampai sekarang, disertai para penabuh gamelan berdakwah keliling pulau Jawa.

 

Yang sangat istimewa, selama memainkan wayang, jika malam hari berlangsung tanpa henti dari segera sehabis Isya sampai menjelang Subuh, mereka harus senantiasa dalam keadaan berwudu, tidak boleh menanggung hadas. Sementara dalam mengawali pertunjukan, mereka mengajarkan membaca di dalam hati, mantera dan doa yang tiada lain adalah Al Fatihah.

 

Para wali tersebut terutama Sunan Kalijaga, berkelana ke segenap pelosok negeri tanpa menunggu undangan, dan tampil baik sekaligus sebagai artis maupun juru dakwah, tontonan maupun tuntunan. Bersama para santrinya, mereka menggelar berbagai seni pertunjukkan seperti kentrung, gamelan bahkan pagelaran wayang kulit sehari-semalam, dengan tujuan utama berdakwah menyebarkan agama baru, yaitu agama Islam.

 

Pertunjukan atau tontonan dimaksudkan untuk mengumpulkan massa, dan sesudah massa berkumpul menikmati seni pertunjukkannya, mereka memberikan tuntunan kehidupan beragama. Pertunjukkan wayang juga digelar pada acara-acara adat Jawa, di mana banyak orang berkumpul. Dalam  praktek komunikasi modern cara seperti itu dikenal sebagai pemanfaatan event, peristiwa, acara.

 

Cara berdakwah menggunakan media wayang, masih terus berlangsung sampai sekarang, dan baik bentuk atau penampilan fisik wayang maupun ceritanya juga terus berkembang. Di masa kecil,  penulis senang sekali menyaksikan pentas seni pertunjukan ketoprak dengan  cerita dakwah sahabat-sahabat Kanjeng Nabi Muhammad atau cerita Wayang Menak, yang diilhami dari kisah perjuangan paman Rasulullah SAW, Amir Hamzah dalam menyebarkan agama Islam. Kisah dengan judul Wong Agung Menak juga ditampilkan dalam bentuk wayang golek, atau boneka kayu.

 

 

                                  Buku ORANG JAWA MENCARI GUSTI ALLAH.

Cerita Wayang Menak ditulis oleh pujangga keraton Surakarta Ki Carik Narawita atas prakarsa Kanjeng Ratu Mas Balitar, permaisuri Sunan Paku Buwana I pada tahun 1717 M. Cerita Menak disadur dari kepustakaan Persia, Qissai Emr Hamza yang dibuat pada zaman pemerintahan Sultan Harun Al-Rasyid (766 – 809). Kisah ini kemudian digubah secara lengkap dalam bahasa Jawa oleh pujangga Surakarta, Yasadipura I (1729 – 1802), serta dibumbui dengan cerita-cerita Jawa tempo dulu. Tapi sebelum itu, Kisah Amir Hamzah sudah dikenal dalam kesusastraan Melayu, dengan judul Hikayat Amir Hamzah.

 

Di masa remaja penulis, mulai berkembang pula wayang kulit dengan tampilan lukisan yang menggambarkan penampilan para Wali Songo, lengkap dengan sorbannya. Seorang dalang pendakwah asal Trucuk, Klaten, Jawa Tengah, Ki Suryadi, pada tahun 1985 mengembangkan kecenderungan baru tersebut dengan menciptakan Wayang Sadat, singkatan dari dua makna. Pertama dari dua kalimat syahadat, kedua dari sarana dakwah dan tauhid.

 

Berbeda dari cerita wayang klasik atau wayang purwo yang mengacu pada kisah Mahabarata dan Ramayana, Wayang Sadat mengambil kisah perjuangan dakwah penyebar Islam di Jawa abad 15 – 16, yaitu Wali Songo serta serat-serat suluk, babad atau cerita sejarah pasca Wali Songo. Wayangnya juga berbeda, meski sama-sama dari kulit yang disamak, namun pakaian Wayang Sadat mengikuti gaya busana Islami. Misalnya tokoh yang dimainkan mengenakan baju panjang dan sorban layaknya para ulama, perempuannya menggunakan jilbab dan baju tertutup serta gunungan yang bertuliskan kaligrafi Arab. Demikian pula dalang dan para penabuh gamelan dan waranggananya atau penembang, penyanyinya.

Demikianlah, peradaban manusia dengan tata nilai kehidupan dan seni budayanya memang senantiasa berkembang, mengikuti zamannya, mengikuti perkembangan lingkungan dan teknologi. Seyogyanyalah semua itu kita sikapi secara arief dan bijaksana.

 

Semoga pula generasi kita dan yang akan datang, mampu  meneladani para ulama pendakwah di Nusantara masa lalu, khususnya di pulau Jawa, yang dengan kelembutannya, telah berhasil mengislamkan sebagian besar masyarakat Nusantara,  sehingga menjadi negeri dengan populasi muslim terbesar di dunia. Semoga generasi mendatang kita bisa menjadi penuntun dan bukan sekedar penonton apalagi hanya menjadi tontonan. Amin.

 

 

 

 

 

 

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda