Senin, 21 Februari 2022

RESENSI BUKU TONGGAK-TONGGAK ORDE BARU


Resensi Buku Tonggak-Tonggak Orde Baru

Oleh

THREES EMIR



Melalui tiga buku yang ditulisnya, B Wiwoho ingin menyodorkan sebuah timbangan yang tidak berat sebelah, dan ingin mengajak pembaca untuk melihat pemerintahan Orde Baru dari sisi buruk dan baiknya. Demikian resensi buku TONGGAK-TONGGAK ORDE BARU  oleh wartawan dan penulis senior Three Emir, yang dimuat dalam https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/02/19/tonggak-tonggak-orde-baru, Minggu 20 Februari 2022.

Berikut kami sajikan penilaian selengkapnya atas  buku trilogi tentang Orde Baru beserta epilog mengenai situasi Indonesia dewasa ini:

 

Buku yang terdiri dari 3 seri (Trilogi) ini menarik untuk diikuti karena disusun berdasarkan banyak sekali sumber dan di bagian-bagian tertentu menggambarkan apa yang dilihat dan dialami penulisnya, yang sangat mungkin belum diketahui pembaca.

Judul buku: Jatuh Bangun Strategi Pembangunan (1)

Musuh Tebesar Kesenjangan Bernuansa Sara Dan Ekstremisme (2)

Kejatuhan Soeharto Dan Ancaman Pembelahan Bangsa (3)

Penulis: B.Wiwoho

PenerbitL Elmatera Publishing, 2021

Halaman: xlix 375

ISBN 089-623-223-198-6

 

Keberanian dan ketekunan penulis untuk menyusun buku (atau lebih tepat 3 buku) yang masing-masing terdiri dari 375, 395 dan 309 halaman (ditambah masing-masing 50 halaman Romawi) ini patut diacungi jempol. Bisa disebut inilah salah satu contoh bahwa masa pandemi dapat memicu kreativitas seseorang. Dan menghasilkan sebuah produk yang bisa memperkaya sejarah Indonesia.

Penulis menyatakan dalam Pengantar, bahwa tidak mungkin ia menulis betul-betul lengkap, apalagi sempurna dan ia berharap ada penulis lain yang menuliskan dari sudut pandang lain karena dengan melukiskan apa yang dilihatnya dari tempatnya berdiri tentu tidak mungkin menulis hal-hal yang tidak dilihatnya (xxix Buku 1, 2 dan 3).

 


Topik-topik favorit

Operasi Petrus, Peristiwa Tanjung Priok, Tragedi Talangsari 1989, Krisis Listrik, Skandal Emas Busang, adalah topik-topik yang sering ditanyakan orang pada penulis  dan ditulisnya seraya meminta maaf pada beliau-beliau yang mungkin merasa tidak diuntungkan dengan tulisannya.

 

Di dalam Kata Pengantarnya, penulis menceritakan bahwa yang pertama kali menganjurkannya menulis semacam kesaksian atau apa pun yang diketahuinya tentang perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya dan umat Islam pada khususnya, adalah Prof. K.H. Ali Yafie, seorang ulama sepuh yang sangat dihormatinya, yang sering dipanggil Puang Kyai, atau Mbah Kiai.

Menurut beliau, apa yang dialami penulis –selama 30 tahun—meskipun tak seberapa, mudah-mudahan bermanfaat bagi kemaslahatan umat. “Seumpama sebuah pasak dari sebuah rumah gadang atau sesendok semen dari bangunan beton,” bagitu kata penulis. Toh penulis masih ragu mengingat perannya sebagai penonton, fasilitator atau penghubung pada satu dua kejadian saja ibarat satu figuran dari sebuah film kolosal. Akhirnya keraguan  itu berubah mejadi niat yang mengental setelah penulis bertemu dengan teman-teman lamanya pada 14 Maret 2012 di kediamannya, antara lain Parni Hadi, Daud Sinyal, Koos Arumdani, yang masing-masing berjanji akan menulis kenangannya dalam beberapa buku. Pada akkhirnya masa pandemilah yang membuat penulis membuka-buka semua catatannya dan mulai menuliskannya. 

Buku pertama dari trilogi ini (Jatuh Bangun Strategi Pembangunan) dibuka dengan Masa Peralihan Orde Lama Ke Orde Baru. Tentu sudah banyak yang ditulis dalam buku-buku lain tentang hal ini tetapi penulis membeberkan dengan lebih rinci bagaimana teror yang dialami oleh media dan ulama. Setelah rapat umum “Maju Tak Gentar” yang diselenggarakan di Istora Senayan, untuk menyambut ulangtahun PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) yang ke 19 (23 Februari 1965), Bung Karno menyetujui tuntutan media-media pendengung binaan PKI untuk memberangus media massa anti PKI.

Dua puluh satu (21) media massa diberangus, sebulan  kemudian menyusul 8, yang ditangguhkan penebitannya ada 3. Nama-nama media disebutkan secara rinci. Pembreidelan ini didahului dengan pemecatan keanggotaan 12 wartawan oleh PWI yang diketuai Karim DP. Disusul pemecatan 5 wartawan Surabaya, 12 wartawan Medan. Penutupan media massa anti komunis ini mendapat perlawanan dari para perwira tinggi Angkatan Darat dengan secara terang-terangan menampung sejumlah wartawan dari media yang diberangus untuk bekerja dalam surat kabar yang mereka terbitkan: “Berita Yudha” dan “Angkatan Bersenjata” (hlm 18, 19)

 Bagaimana hubungan Soeharto dengan Nasution paska peralihan “orde”? Penulis memaparkannya begini: tahun pertama periode peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru, dualisme kepemimpinan Nasional antara Bung Karno di “pihak sana” dan Nasution-Soeharto di “pihak sini” sangat terasa. Bung Karno berkuasa secara de jure dan Nasution-Soeharto secara de facto. (hlm 41)


 

Yang menarik dari bab ini adalah, uraian bahwa Soeharto (menurut pengamatan wartawan Daud Sinyal) seringkali tersisih dalam pergaulan antara sesama perwira tinggi  yang memiliki pendidikan lebih tinggi. Mereka ini sering ngrasani pak Harto. Mereka merasa lebih tahu, lebih mampu, lebih intelektual, merasa lebih banyak membaca buku strategi militer dan sosial politik, dan HBA (Has Been Abroad), pernah belajar dan tugas di luar negeri. Mereka mengungkit-ungkit pendidikan Pak Harto yang cuma “Ongko Loro”. Cuma schakel school (sekolah persamaan untuk lulusan SD), dan pelatihan militernya hanya sekolah calon prajurit di Gombong, Jawa Tengah.

Pak Harto tak pernah kedengaran berbahasa Belanda atau Inggris. Bahasa Indonesianya pun dicela karena dalam berpidato sering mengucapkan frase semangkin dan sudah barang tamtu.

Namun di lain sisi, penulis juga memuji pak Harto yang di masa awal berkuasanya (Maret 1966) pemerintah tidak memiliki cadangan beras, sedangkan tingkat produksi dalam beberapa tahun terakhir merosot drastis, melalui Repelita I (ke satu) tahun 1969 pemerintah bertekad mencapai swasembada beras dalam tempo lima tahun. (hlm 127)

Bagaimana di sisi keuangan? Penulis adalah  wartawan yang bertugas meliput kegiatan kepresidenan,  juga general assignment reporter. Wartawan yang harus siap setiap saat meliput segala macam hal, bukan yang ditugasi untuk satu bidang saja. Untuk itu penulis beberapa kali ditugasi menggantikan wartawan yang bertugas di pos perbankan, khususnya Bank Indonesia, karena yang bersangkutan sedang berhalangan. Antara lain meliput “gerakan menabung” yang dicanangkan oleh Gubernur Bank Indonesia waktu itu, Radius Parwiro.

Sejalan dengan upaya mengendalikan inflasi yang sempat mencapai 650% , bank-bank mendapat tugas untuk berada di barisan terdepan dengan strategi mempengaruhi masyarakat yang mampu agar tidak sembarangan membelanjakan uangnya untuk menekan jumlah peredaran uang dan sebaliknya menaruh uangnya di bank, untuk menambah likuiditas perbankan dan selanjutnya bisa disalurkan ke investasi yang produktif.

Disinggung juga aspek pembangunan manusia yang menjadi fokus kabinet saat itu. Dalam hal pembangunan manusia banyak kemajuan yang dicapai di bidang kesehatan masyarakat dan keluarga berencana tetapi tidak demikian halnya di bidang pendidikan yang hanya berhasil mencetak banyak sarjana dan bukan tenaga terampil, yang justru berguna untuk smart technology di masa depan.

Mengenai produksi minyak Indonesia, sebagai wartawan, ia menulis “Saya terperangah menyaksikan bagaimana tiba-tiba instansi-instansi Pemerintah berlomba pesta, belanja barang dengan gampang. Sebentar-sebentar upacara, kunjungan kerja dengan rombongan besar termasuk wartawan, klab-klab malam , pelacuran-pelacuran klas menengah atas yang berkedok panti pijat dan klab malam, restoran dan pembangunan hotel tumbuh bak jamur di musim hujan.” (hlm 276)

Bab terakhir dari buku pertama ini diberi judul: Saatnya Rakyat Jadi Majikan Pemerintah. Kalimat yang cukup menggelitik bagi saya adalah: Kita semua tanpa kecuali, sejak bayi dalam kandungan hingga masuk ke liang kubur, sudah harus tepaksa membayar pajak. Vitamin, obat-obatan, makanan bergizi yang dibeli oleh seorang ibu guna menjaga pertumbuhan bayi di dalam kandungannya, harus atau sudah termasuk membayar PPN. Sungguh benar joke yang menyatakan, manusia tidak bisa menghindar dari dua hal, yaitu kematian dan pajak. Karena semua yang kita konsumsi dan yang menempel di tubuh kita, meski sudah jadi jenazah, tanpa kita sadari sudah harus membayar pajak. (hlm 335).

 


Lugas Namun Lentur

Membaca tulisan B.Wiwoho dalam tiga buku yang sarat dengan sejarah, dalam arti kejadian-kejadian yang memberi warna dalam perjalanan Republik tercinta ini, sungguh tidak membosankan. Penulis berhasil menyusunnya dalam kalimat bertutur yang enak untuk diikuti (bahkan juga  dalam menyajikan data angka). Kalimat-kalimatnya pendek. Kata-kata yang dipilih juga sederhana sehingga mudah dicerna.

Di buku kedua (Musuh Terbesar Kesenjangan Bernuansa Sara Dan Ekstremisme), penulis memaparkan RUU Perkawinan yang memecah rekor penyusunan sebuah undang-undang. Dimulai sejak tahun 1950, dengan beberapa kali ditentang oleh berbagai pihak maupun golongan, dalam paparan yang runut dan jelas.

Di buku ketiga (Kejatuhan Soeharto Dan Ancaman Pembelahan Bangsa), bab yang paling menarik bagi saya (dan mungkin juga bagi kebanyakan pembaca): Wiranto Versus Pabowo . Banyak ungkapan yang menyisakan banyak pertanyaan, seperti yang dikatakan Wiranto (Forum Keadilan): “Angkatan saya jauh di atas Prabowo. Saya 1968 dia 1974. Dari sisi kepangkatan saya juga demikian. Kenapa saya harus berpikiran bahwa dia adalah pesaing saya? Bersaing untuk apa?”

Dalam bab ini pula penulis menceritakan pertemuannya dengan Pabowo tanggal 5 Januari 2007 dalam resepsi pernikahan Diaz Hendropriyono-Linda Nirmala, dimana Prabowo berkata: “Aku dipecat.”

“Apalagi?” tanya penulis.

“Aku dipecat jadi mantu Cendana,” ujarnya menyayat hati saya.

Kesimpulan saya, buku ini layak dibaca karena banyak hal yang terlewatkan (untuk pembaca seusia saya) karena kesibukan kita (terbenam dalam pekerjaan/tugas ) dahulu dan juga patut  dipahami oleh anak-anak muda (usia 40 atau 50) yang mulai tertarik pada sejarah. Dan pembaca seyogyanya membaca ketiganya karena selain berkesinambungan, dengan membaca semua trilogi ini, akan dipahami keseluruhan sebuah bangunan yang di dalam buku ini jelas disebut sebagai Tonggak-tonggak (Sejarah) Orde Baru. Kuatkah tonggak itu? Atau rapuh? Penilaiannya tentu berpulang pada pembaca masing-masing.

Adapun pesan yang saya tangkap dari buku ini adalah: penulis ingin menyodorkan sebuah timbangan yang tidak berat sebelah, tidak njomplang, dan ingin mengajak pembaca untuk melihat pemerintahan Orde Baru dari sisi buruk dan baiknya.

Hal itu jelas bisa dibaca pada halaman 36: … bagaimana pak Harto menyikapi desakan masyarakat yang sangat kuat pada saat itu, agar Bung Karno diadili. Pak Harto menggariskan kepada jajarannya untuk bersikap sesuai falsafah Jawa, mikul duwur mendem jero, yaitu menanam sedalam-dalamnya aib orang yang kita hormati dan menjunjung tinggi kehormatannya. Khusus Bung Karno adalah jasanya selaku Proklamator Kemerdekaan.
Kalimat di atas jelas digunakan penulis untuk melihat kebajikan pak Harto.

Layaknya sebuah resensi, perlu juga saya tuliskan kritik sedikit, yaitu beberapa kecerobohan editor dalam tanda baca dan ejaan. Tapi hal ini bisa dimengerti karena edisi ini masih dicetak terbatas. Harapan saya apabila akan dicetak untuk umum, kesalahan-kesalahan kecil itu diperbaiki. *****

1 Komentar:

Blogger caarenquenneville mengatakan...

Play casino games on Google Play for free - DrMCD
Play casino games 안동 출장안마 online. Play 대구광역 출장안마 free, casino games, 광명 출장마사지 bingo, blackjack & more. No sign-up or 제주 출장안마 download 인천광역 출장안마 necessary!

4 Maret 2022 pukul 13.39  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda