Minggu, 20 Februari 2022

Kyai Jawa Berdakwah (1): ISLAM MASUK JAWA TANPA PEDANG DAN DARAH

 

Kyai Jawa Berdakwah (1):

ISLAM MASUK JAWA TANPA PEDANG DAN DARAH

panjimasyarakat.com

 

       Lukisan gambar bulus atau kura-kura pada mihrab Masjid Agung Demak.

Ulama-ulama abad permulaan Islam di Jawa, dengan hebat dan berani telah melakukan interpretasi dan transformasi ruh Islam ke dalam bahasa dan budaya Jawa, membentuk peradaban baru.

Kalau dalam judul di atas para ulama itu saya sebut Kyai Jawa, tidaklah otomatis semuanya pasti suku Jawa. Asal-usul mereka sungguh masih debatebel. Memprihatinkan,  belum ada sumber yang bisa sepenuhnya dijadikan rujukan. Judul Kyai Jawa penulis maksudkan sebagai ulama yang berdakwah di pulau Jawa, yang kemudian lazim disebut Kyai.

 

Tidak seperti di beberapa negara lain, agama Islam masuk ke Jawa dengan menghindari pedang dan darah, menghindari kekerasan. Dengan hidayah Gusti Allah Yang Maha Kuasa, para Kyai berdakwah menggunakan media kebudayaan. Prinsip tidak ada paksaan dalam agama (Al-Baqarah: 256) dan serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat yang baik (An-Nahl : 125), nampaknya menjiwai metode dakwah pada saat itu.

 

Kedua ayat di atas, ditambah Surat Yunus : 99 yang berbunyi, “Seandainya Tuhanmu menghendaki tentu berimanlah seluruh orang di muka bumi ini tanpa kecuali. Apakah engkau akan memaksa semua umat manusia supaya mereka menjadi orang-orang beriman?”, mendorong Wali Songo, Sembilan Ulama atau para Kyai itu  menciptakan simbol dakwah kura-kura yang dalam bahasa Jawa disebut bulus, dimaksudkan sebagai akronim mlebune sarana alus, masuk secara halus tanpa paksaan. Dengan hikmah dan kebijaksanaan.

 

Tapi juga bukan sekedar itu. Pada hemat penulis kura-kura adalah salah satu simbol kepemimpinan. Kura-kura hanya bisa berjalan ke depan dengan menjulurkan leher dan kepalanya ke luar. Kalau anda ingin menjadi pemimpin, menjadi imam, khotib dan ustadz, maka anda harus menjulurkan leher dan kepala ke depan. Berjalan di barisan paling depan, memberi contoh dan berani mengambil risiko. Tidak mungkin memimpin dari belakang. Pemimpin adalah teladan, pemberi tuntunan dan bukan pengekor. Gambar bulus juga menunjukkan titik-titik di sajadah, yang menandai posisi persentuhan tubuh manusia dengan tanah tatkala bersujud menyembah Allah.

 

Untuk itu gambar bulus dipakai menghiasi mihrab mesjid pertama di Jawa yaitu Masjid Demak. Mungkin inilah satu-satunya mihrab yang dihiasi dengan gambar makhluk bernyawa, bahkan binatang. Dan saya yakin, tidak satu pun jemaah salat apalagi imam di Mesjid Demak, yang sujud di bawah atau menghadap  gambar bulus, berniat menyembah bulus. Bulus yang dimitoskan sebagai abdi setia para wali, juga dipelihara di sendang (sejenis danau kecil) atau kolam-kolam mata air tempat mengambil air wudu.

 

Prof.Dr.Slamet Mulyana dalam Pemugaran Persada Sejarah Majapahit halaman 333 – 334 juga mengulas gambar bulus  tersebut tapi dengan nama penyu. Di tengah gambar penyu tulisnya, ada gambar yang mewakili kiblat atau mata angin yaitu utara, timur, selatan dan barat. Letak kaki penyu tepat di sela-sela gambar kiblat; jadi mewakili arah timur laut, tenggara, barat daya dan barat laut. Kepala penyu menunjukkan arah utara; ekornya menunjukkan arah selatan. Gambar penyu pada mihrab dapat juga ditafsirkan sebagai candrasangkala, mewakili tahun Jawa 1401 (= 1479 Masehi). Kepala: 1; badan penyu yang bulat: 0; empat kaki penyu: 4; dan ekor penyu: 1. Paling sedikit candrasangkala itu menunjukkan tarikh pembuatan mihrab. Namun sering dihubungkan dengan selesainya pembangunan Masjid Agung.

 

Ulama-ulama abad permulaan Islam di Jawa, dengan hebat dan berani telah melakukan interpretasi dan transformasi ruh Islam ke dalam bahasa dan budaya Jawa, membentuk peradaban baru, peradaban Jawa yang bernafaskan Islam. Cara yang hampir sama ternyata juga dilakukan oleh para ulama dan juru dakwah di Cina, yang mengajarkan Islam dengan mengambil terminologi-terminologi yang lazim digunakan dalam ajaran-ajaran agama Tao dan Khonghucu. Tokoh sufi Cina Liu Chih, dalam karyanya yang amat terkenal “Menguak Misteri Alam Hakiki(dalam Gemerlap Cahaya Sufi dari Cina, Sachiko Murata, edisi bahasa Indonesia diterbitkan oleh Pustaka Sufi,  2003),  sebagaimana tokoh sufi Wang Tai Yu, bahkan menghindari penyebutan kata-kata Arab, dengan satu-satunya pengecualian adalah Allah dan Adam, masing-masing sekali.

 

Buku "ORANG JAWA MENCARI GUSTI ALLAH", banyak mengisahkan  penyebaran Islam di pulau Jawa.

 

Ruh Islam yang menjunjung tinggi persamaan derajat dan kedudukan di hadapan Sang Maha Kuasa, segera memperoleh tempat di hati masyarakat Jawa, khususnya penduduk pesisir pantai utara yang sebelumnya dibeda-bedakan dalam kasta-kasta dan derajat sosial ekonomi.

 

Para ulama melakukan revolusi kebudayaan yang menyeluruh. Seluruh sendi kehidupan masyarakat disusupi ruh Islam. Secara sadar mereka tidak membuat syariat-syariat baru, melainkan memanfaatkan serta mendayagunakan tradisi dan event-event atau agenda masyarakat yang sudah ada. Suatu metode komunikasi massa yang hebat,  yang bahkan para ahli komunikasi massa modern banyak yang kurang memahami dan tidak memanfaatkan secara baik.

 

Prosesi-prosesi terutama yang mengiringi perjalanan kehidupan manusia dari semenjak lahir sampai meninggal tetap dipertahankan dengan diberi ruh Islam, dan dijadikan sebagai sekedar adat serta tradisi, dan bukan syariat. Sesaji-sesaji diubah niat, maksud dan tujuannya menjadi sedekah. Sesaji kepada Dewi Sri, dewa yang menguasai bidang pertanian, diubah menjadi sedekah bumi yang merupakan manifestasi dari zakat pertanian. Sedekah serta silaturahmi sangat dianjurkan. Peristiwa-peristiwa yang bisa dimanfaatkan untuk mengumpulkan orang banyak didorong dan dimanfaatkan sebagai wahana untuk berdakwah.

 

Kesenian-kesenian asli dikembangkan sehingga lahirlah wayang kulit dan gamelan dengan gending-gending atau lagu-lagu khas Jawa sebagaimana kita kenal sampai sekarang ini. Keris-keris Jawa yang bentuknya berlekuk atau berkelok-kelok dan diisi dengan kekuatan magis dari bangsa jin, oleh empu-empu Islam disederhanakan menjadi “jalan lurus” seperti mata tombak. Para jin diusir dan posisinya di dalam keris digantikan oleh hikmah doa-doa dan asmaul husna, antara lain Yaa  Kayu Yaa Kayumu, tepatnya Yaa Hayyu Yaa Qayyum. Yang dihayati sebagai : Sing Urip - Yang Maha Hidup, Sing Gawe Urip - Yang Menghidupkan hamba-hambaNya lagi mengatur kehidupannya dengan sebaik-baiknya. (Dari buku B.Wiwoho, ORANG JAWA MENCARI GUSTI ALLAH, Penerbit IIMaN : 121 – 125.)

 

 

 

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda