Penerimaan negara khususnya penerimaan dalam negeri
tersebut secara struktur sebenarnya cukup sehat, namun secara nilai masih jauh
dari kebutuhan negeri maritim berpenduduk sekitar 120 juta jiwa ini, dengan pendapatan
rata-rata per kapita yang hanya sekitar US.$.60 pada tahun 1966 dan bergerak ke
US.$.80 pada tahun 1970. Pada masa itu, harga minyak bumi masih US.$.1,67 per
barrel di tahun 1970, sedikit bergerak di sekitar US.$.3 tahun 1973. Perang Teluk ke
4 antara negara-negara Arab dengan
Israel yang meletus pada 6 Oktober 1973, yang menghasilkan kemenangan di pihak
Arab, berbalik kembali ke Israel karena
Amerika Serikat serta merta membantu Israel. Sungguh tidak ada yang menyangka,
tindakan AS tersebut memicu kemarahan negara-negara Arab, yang segera pada tanggal 16 Oktober 1973,
bersiasat menggunakan minyak sebagai senjata dengan melakukan embargo ekspor
minyak ke AS. Dengan cepat harga naik sekitar 17% menjadi US.$.3,65 per barrel.
Harga minyak ternyata terus meroket tatkala embargo
diperluas ke Belanda, mencapai US.$.12 per barrel tahun 1974. Produksi minyak Indonesia
sekitar 890.000 barrel per hari, saat itu menyumbang kepada penerimaan negara
sebesar 29%. Bisa dibayangkan, betapa besar peranannya tatkala tiba-tiba harga
minyak naik empat kali lipat. Sebagai wartawan muda, saya terperangah, menyaksikan
bagaimana tiba-tiba pula instansi-instansi Pemerintah bagaikan berlomba pesta,
belanja barang dengan gampang, sebentar-sebentar upacara, kunjungan-kunjungan
kerja dengan rombongan besar termasuk wartawan. Klab-klab malam, pelacuran-pelacuran klas menengah atas yang
berkedok panti pijat dan klab malam, restoran-restoran dan pembangunan hotel
tumbuh bak jamur di musim hujan. Tentu hampir semuanya diresmikan pembukaannya
dengan menggelar upacara dan pesta meriah.
Begitulah, jika semula pragmatisme digunakan hanya terbatas
pada kebijakan pembangunan nasional, kini mulai merambah ke gaya
hidup masyarakat. Dengan pedih saya menjuluki periode itu sebagai zaman
jahiliyah Indonesia, yang
pragmatisme gaya
hidupnya menggeser nilai-nilai luhur, menuju pada hedonisme-materialisme.
Kesenangan dan materi menjadi tujuan hidup, yang harus dicapai dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya, dengan segala cara. Naudzubillah.
Minyak bumi secara tiba-tiba bagaikan durian runtuh, berubah
menjadi emas hitam. Boom minyak datang sebagai berkah, sekaligus juga
malapetaka. Selama periode 5 tahun semenjak embargo 1973, harga per barrel
bertahan di kisaran US.$.12 –
US.$.13,5. Sampai kemudian pecah Revolusi Iran 1979, kembali membuat boom
minyak kedua. Harga minyak meroket menjadi US.$.15,65 tahun 1979, US.$.29,5 tahun 1980 dan US.$.35 selama periode 1981 – 1984.
Sebagai produsen minyak dan gas bumi, Indonesia tidak menyia-nyiakan
kesempatan emas itu. Produksi digenjot mencapai puncak sebanyak 1,6 juta barrel
per hari dalam tahun 1981. Dengan harga setinggi itu, minyak dan belakangan gas
bumi (migas), membalikkan struktur penerimaan negara dari semula sekitar 30%
migas dan sekitar 70% pajak, menjadi 46% dibanding 54% selama 1974 – 1978, dan
70% dibanding 30% di awal 1980an.
Rezeki migas yang membanjir tersebut datang bersamaan
dengan resesi dunia yang berkepanjangan khususnya di negara-negara berkembang
yang bukan produsen migas. Di dalam negeri, boom minyak kedua juga menimbulkan
distorsi dan ketidakseimbangan dalam ekonomi. Gejala ini tidak luput dari
pengamatan tim ekonomi Pemerintah yang dipimpin oleh Prof.Dr.Widjojo Nitisastro
selaku Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri merangkap Ketua Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Menko Ekuin/Ketua Bappenas) serta Menteri
Keuangan Prof.Dr. Ali Wardhana. Mereka kuatir Indonesia terlena dengan rezeki
migas yang datang tak terduga itu dan gagal mengelolanya secara positif.
Apalagi jika mengingat laju konsumsi pemakaian energi di dalam negeri sejalan
dengan laju pertumbuhan penduduk di satu pihak, dan keterbatasan sumber migas
sebagai energi yang tak bisa diperbarui di lain pihak, diperkirakan dalam waktu
yang tak terlalu lama Indonesia
akan berubah dari negara pengekspor migas menjadi negara pengimpor. Perubahan
itu diperkirakan akan terjadi sekitar 3 dasawarsa ke depan.
Kekuatiran itu pernah disampaikan oleh Pak Widjojo dalam
suatu perbincangan dengan penulis di kantornya. Menurut beliau, ketergantungan
pada migas harus diantisipasi dengan membangun serta memperkuat sumber-sumber
penerimaan dalam negeri yang berbasis pada masyarakat luas secara
berkesinambungan. Sumber penerimaan tersebut tiada lain adalah pajak yang
berada dalam kewenangan Menteri Keuangan Ali Wardhana. Jika tidak diantisipasi
dengan baik, beliau sangat kuatir berkah minyak akan berubah menjadi kutukan.
Pada tahun 1978, sebenarnya Menkeu sudah membentuk tim
untuk mempelajari upaya-upaya memperkuat sumber penerimaan pajak. Hasil tim
tadi menyatakan perlunya dilakukan reformasi perpajakan. Namun Menkeu
memutuskan belum saatnya kita melaksanakan hal itu mengingat aparat pajak belum
bersedia menerima apalagi melaksanakan reformasi. 7).
Begitu boom minyak kedua terjadi dan kecenderungan ketidakseimbangan
dalam ekonomi makin menguat, akhirnya pada sekitar Januari 1983 Menkeu Ali
Wardhana memutuskan kinilah saatnya untuk melakukan reformasi sistem perpajakan
nasional secara total, dengan akan membuat empat Rancangan Undang-Undang (RUU),
yaitu RUU tentang Pajak Penghasilan, RUU tentang Pajak Pertambahan Nilai, RUU
tentang Pajak Bumi dan Bangunan serta RUU tentang Tata Cara Pemungutan Pajak.
(Bersambung).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda