Sabtu, 09 Februari 2013

Revolusi Perpajakan th 1983 (4): AGAR BERKAH MINYAK TIDAK BERUBAH JADI KUTUKAN




Penerimaan negara khususnya penerimaan dalam negeri tersebut secara struktur sebenarnya cukup sehat, namun secara nilai masih jauh dari kebutuhan negeri maritim berpenduduk sekitar 120 juta jiwa ini, dengan pendapatan rata-rata per kapita yang hanya sekitar US.$.60 pada tahun 1966 dan bergerak ke US.$.80 pada tahun 1970. Pada masa itu, harga minyak bumi masih US.$.1,67 per barrel di tahun 1970, sedikit bergerak di sekitar US.$.3 tahun 1973. Perang Teluk ke 4 antara  negara-negara Arab dengan Israel yang meletus pada 6 Oktober 1973, yang menghasilkan kemenangan di pihak Arab,  berbalik kembali ke Israel karena Amerika Serikat serta merta membantu Israel. Sungguh tidak ada yang menyangka, tindakan AS tersebut memicu kemarahan negara-negara Arab, yang  segera pada tanggal 16 Oktober 1973, bersiasat menggunakan minyak sebagai senjata dengan melakukan embargo ekspor minyak ke AS. Dengan cepat harga naik sekitar 17% menjadi US.$.3,65 per barrel.

Harga minyak ternyata terus meroket tatkala embargo diperluas ke Belanda, mencapai US.$.12 per barrel tahun 1974. Produksi minyak Indonesia sekitar 890.000 barrel per hari, saat itu menyumbang kepada penerimaan negara sebesar 29%. Bisa dibayangkan, betapa besar peranannya tatkala tiba-tiba harga minyak naik empat kali lipat. Sebagai wartawan muda, saya terperangah, menyaksikan bagaimana tiba-tiba pula instansi-instansi Pemerintah bagaikan berlomba pesta, belanja barang dengan gampang, sebentar-sebentar upacara, kunjungan-kunjungan kerja dengan rombongan besar termasuk wartawan. Klab-klab malam,  pelacuran-pelacuran klas menengah atas yang berkedok panti pijat dan klab malam, restoran-restoran dan pembangunan hotel tumbuh bak jamur di musim hujan. Tentu hampir semuanya diresmikan pembukaannya dengan menggelar upacara dan pesta meriah. 

Begitulah, jika semula pragmatisme digunakan hanya terbatas pada kebijakan pembangunan nasional, kini mulai merambah ke  gaya hidup masyarakat. Dengan pedih saya menjuluki periode itu sebagai zaman jahiliyah Indonesia, yang pragmatisme gaya hidupnya menggeser nilai-nilai luhur, menuju pada hedonisme-materialisme. Kesenangan dan materi menjadi tujuan hidup, yang harus dicapai dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, dengan segala cara. Naudzubillah.

Minyak bumi secara tiba-tiba bagaikan durian runtuh, berubah menjadi emas hitam. Boom minyak datang sebagai berkah, sekaligus juga malapetaka. Selama periode 5 tahun semenjak embargo 1973, harga per barrel bertahan di kisaran US.$.12 – US.$.13,5. Sampai kemudian pecah Revolusi Iran 1979, kembali membuat boom minyak kedua. Harga minyak meroket menjadi US.$.15,65 tahun 1979, US.$.29,5 tahun 1980 dan US.$.35  selama periode 1981 – 1984. 

Sebagai produsen minyak dan gas bumi, Indonesia tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Produksi digenjot mencapai puncak sebanyak 1,6 juta barrel per hari dalam tahun 1981. Dengan harga setinggi itu, minyak dan belakangan gas bumi (migas), membalikkan struktur penerimaan negara dari semula sekitar 30% migas dan sekitar 70% pajak, menjadi 46% dibanding 54% selama 1974 – 1978, dan 70% dibanding 30% di awal 1980an.

Rezeki migas yang membanjir tersebut datang bersamaan dengan resesi dunia yang berkepanjangan khususnya di negara-negara berkembang yang bukan produsen migas. Di dalam negeri, boom minyak kedua juga menimbulkan distorsi dan ketidakseimbangan dalam ekonomi. Gejala ini tidak luput dari pengamatan tim ekonomi Pemerintah yang dipimpin oleh Prof.Dr.Widjojo Nitisastro selaku Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri merangkap Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Menko Ekuin/Ketua Bappenas) serta Menteri Keuangan Prof.Dr. Ali Wardhana. Mereka kuatir Indonesia terlena dengan rezeki migas yang datang tak terduga itu dan gagal mengelolanya secara positif. Apalagi jika mengingat laju konsumsi pemakaian energi di dalam negeri sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk di satu pihak, dan keterbatasan sumber migas sebagai energi yang tak bisa diperbarui di lain pihak, diperkirakan dalam waktu yang tak terlalu lama Indonesia akan berubah dari negara pengekspor migas menjadi negara pengimpor. Perubahan itu diperkirakan akan terjadi sekitar 3 dasawarsa ke depan.

Kekuatiran itu pernah disampaikan oleh Pak Widjojo dalam suatu perbincangan dengan penulis di kantornya. Menurut beliau, ketergantungan pada migas harus diantisipasi dengan membangun serta memperkuat sumber-sumber penerimaan dalam negeri yang berbasis pada masyarakat luas secara berkesinambungan. Sumber penerimaan tersebut tiada lain adalah pajak yang berada dalam kewenangan Menteri Keuangan Ali Wardhana. Jika tidak diantisipasi dengan baik, beliau sangat kuatir berkah minyak akan berubah menjadi kutukan.

Pada tahun 1978, sebenarnya Menkeu sudah membentuk tim untuk mempelajari upaya-upaya memperkuat sumber penerimaan pajak. Hasil tim tadi menyatakan perlunya dilakukan reformasi perpajakan. Namun Menkeu memutuskan belum saatnya kita melaksanakan hal itu mengingat aparat pajak belum bersedia menerima apalagi melaksanakan reformasi. 7).

Begitu boom minyak kedua terjadi dan kecenderungan ketidakseimbangan dalam ekonomi makin menguat, akhirnya pada sekitar Januari 1983 Menkeu Ali Wardhana memutuskan kinilah saatnya untuk melakukan reformasi sistem perpajakan nasional secara total, dengan akan membuat empat Rancangan Undang-Undang (RUU), yaitu RUU tentang Pajak Penghasilan, RUU tentang Pajak Pertambahan Nilai, RUU tentang Pajak Bumi dan Bangunan serta RUU tentang Tata Cara Pemungutan Pajak. (Bersambung).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda