Sabtu, 11 Januari 2014

Seri "Tasawuf, Salon Kecantikan Jiwa di Era Globalisasi" (5): Menjadi Gunung Karang di Tengah Gelombang Globalisasi.



Sahabatku, kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan perkembangan zaman itu adalah sebuah keniscayaan. Demikian pula kehidupan di dunia dan alam raya. Semua berlangsung  sesuai sunatullah. Kita tidak mungkin lari darinya, apalagi dengan bersikap bagaikan burung onta yang mencoba menyembunyikan kepalanya ke dalam tanah bila menghadapi bahaya, sementara badannya yang besar teronggok di permukaan.

Karena itu kita mesti mengarungi gelombang kehidupan ini dengan persiapan diri dan bekal yang memadai. Dunia dan apa-apa yang ada di dalamnya menurut Al Ghazali mengutip Rasulullah, terkutuk kecuali yang digunakan untuk apa-apa yang diridhoi Allah. Oleh karena itu dunia harus ditaklukkan untuk beribadah kepada Allah.

Ia menjelaskan, segala perbuatan dan tindakan yang ditujukan untuk akhirat, sudah tidak dikategorikan dunia lagi. Umpamanya, seorang pedagang yang bermaksud mencari rejeki untuk bekal ibadah dan bukan untuk memuaskan hawa nafsu serta keserakahannya. Dagang yang demikian itu termasuk amal akhirat, asal benar-benar niatnya dilaksanakan. Begitu pula dengan amal-amal mubah yang dilaksanakan dengan niat ibadah dan memang sungguh-sungguh diwujudkan. Misalkan, makan agar badan kuat, dan setelah itu menolong fakir miskin. Juga tidur agar badan sehat, dan dengan badan yang sehat itu kita melakukan kegiatan-kegiatan yang diridhoi Allah. Status hukum mubah adalah kegiatan yang bila dikerjakan tidak berpahala tapi juga tidak berdosa, sedangkan bila ditinggalkan pun tidak berdosa dan tidak berpahala.

Adapun batasan bekal ibadah, yaitu betul-betul untuk bekal ibadah, berhubungan dengan urusan akhirat dan tujuannya harus mutlak untuk itu.Bukan hanya sekedar penghias bibir yang tidak diwujudkan dalam perbuatan. Maka dalam kaitan ini menurut Al Ghazali, mengharapkan kebaikan bukanlah riya. Juga apabila kita ingin dihormati orang dengan tujuan agar seruan dan ajakannya menegakkan amar makruf nahi munkar diikuti orang banyak.Yang harus senantiasa kita waspadai, semua itu dengan tidak bermaksud memuliakan diri sendiri atau untuk memenuhi dahaga pesona dunia.

Orang-orang yang memiliki pengikut dan pengaruh besar di masyarakat serta mempunyai ilmu dan kemampuan yang dibutuhkan bagi kemaslahatan orang banyak,karenanya juga tidak boleh uzlah mengasingkan diri. Seperti Kanjeng Nabi, ia harus berdiri kokoh bagaikan gunung karang di tengah samudera kehidupan, berada di tengah masyarakat menegakkan urusan agama, menegakkan yang haq memberantas yang batil. Mengajak masyarakat melaksanakan kebaikan dan memberantas kemungkaran, memberi nasehat, menjelaskan hukum-hukum Allah.

Orang yang seperti itu mempunyai potensi besar untuk masuk ke dalam golongan orang-orang yang mampu menjalankan firman Allah dalam surat Al-Bayyinah ayat 7, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.”Perintah buat mengerjakan amal saleh juga ditegaskan sebelumnya dalam Surat An-Nahl ayat 97, “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.”

Di dalam Al-Qur’an cukup banyak kata iman yang dikaitkan dengan amal saleh, karena amal memang merupakan realisasi dari iman.Perwujudan nyata dari iman adalah amal saleh.Jika hanya berbicara mengenai iman saja, maka itu merupakan rahasia antata kita dengan Gusti Allah.Tiada seorang pun kecuali diri sendiri yang tahu apakah kita betul-betul beriman atau tidak.Oleh sebab itu jika iman dikaitkan dengan amal, menjadi nampak perwujudannya di dalam perilaku sehari-hari, sehingga dengan demikian iman menjadi sempurna karena ada buktinya. Mewujudkan iman menjadi amal saleh merupakan tahapan-tahapan perjalanan seorang salik dalam menapaki jalan ketuhanan.

Amal saleh atau kerja yang mulia dan baik, seringkali hanya ditafsirkan secara sempit, terbatas pada perbuatan ibadah ritual yang kita kenal sehari-hari seperti salat, puasa dan haji.Bahkan ada lagi yang membuat sekedar ukuran formalitas.Misalkan orang yang berpeci putih atau bersorban diberi predikat orang beriman yang saleh. Tentu saja ini menyedihlkan, sebab iman dan amal saleh hanya diukur sebatas itu. (Memaknai Kehidupan).

Menurut Prof.K.H. Ali Yafie, pengertian amal saleh yang perlu kita miliki dan yang harus dikembangkan adalah seluruh aktivitas yang dilakukan orang beriman, yang dimulai dengan kebersihan, dikembangkan dalam kesederhanaan dengan sasaran pengabdian. Itulah gambaran yang lengkap dari amal saleh.Dan itu pula yang dikembangkan dalam pembinaan tasawuf, yang menitikberatkan pada pembinaan personal-individual.

Sahabatku, dengan pemahaman mengenai tasawuf dan gelombang globalisasi sebagaimana telah kita bahas di atas, maka dengan berbekal tasawuf kita akan berani berdiri tegar dan kokoh. Dengan tasawuf kita akan bisa membangun semangat dan pola hidup meneladani pola kehidupan Kanjeng Nabi Muhammad dan para sahabatnya, yaitu bersih – sederhana – mengabdi (BSM). Pola hidup yang tidak konsumtif, yang tidak larut dalam gemerlap pesona dunia dengan serba kemewahannya.

Sederhana pada hemat Puang Yafie, tidak identik dengan kemiskinan atau pun hidup miskin. Sederhana tidak tergantung pada materi yang dimiliki, tetapi pada sikap. Sikap inilah yang perlu diluruskan. Tidak ada halangan bagi seseorang, bahkan seorang sufi sekalipun, untuk hidup kaya. Sebab banyak di dalam cerita, sufi itu adalah orang-orang kaya. Seperti yang paling terkenal adalah Imam al-Malik, seorang sufi yang kaya raya. Sahabat Nabi SAW, yang bernama Abdurrahman bin ‘Auf dan Usman bin ‘Affan adalah sufi yang kaya raya. Akan tetapi, kekayaannya betul-betul digunakan sesuai dengan tuntunan Islam.

Sederhana adalah tidak berlebih-lebihan dan tidak bermewah-mewahan. Oleh karena itu, pola hidup sederhana ini memerlukan penjelasan untuk menepis pengertian yang tidak positif. Biasanya hidup sederhana diartikan dengan miskin dan serba kekurangan. Ini merupakan pengertian yang tidak positif. Yang tepat, hidup sederhana adalah hidup berkecukupan. Dalam bahasa fiqih disebut “kifaayah” , yakni hidup yang tidak berlebih-lebihan. Jadi, hidup yang tidak bermewah-mehah dan tidak foya-foya, tetapi berkecukupan. Itulah arti hidup sederhana secara positif.

Kalau kita mendengar kata “sederhana”, konotasinya pada kemiskinan, serba kekurangan. Itu yang perlu diluruskan, karena tidak benar. Sederhana itu berbeda dengan miskin. Orang kaya itu perlu hidup sederhana, karena batasannya adalah berkecukupan, dengan catatan tidak berlebih-lebihan, dan tidak berfoya-foya. (Prof. Dr. Muhammadiyah Amin dalam Jati Diri Tempaan Fiqih).

Jika kita bisa mengembangkan pola hidup BSM di kancah dunia yang sedang dikendalikan oleh Kapitalisme Global ini, insya Allah perekonomian Indonesia akan bergeser dari perekonomian yang konsumtif menjadi perekonomian yang produktif. Devisa kita akan bisa banyak dihemat. Ekonomi berbiaya tingggi akan dapat ditekan. Lapangan kerja akan banyak tersedia. Pengangguran ditekan sekecil mungkin, sumber daya alam terkelola dengan baik, lingkungan hidup terjaga dan terpelihara, kesenjangan sosial terjembatani, korupsi dapat diberantas, keadilan sosial dapat ditegakkan, keamanan dan ketertiban umum terpelihara baik lagi terkendali.

Demi mempraktekkan pola hidup BSM, Puang Kyai Ali Yafie dalam Ramadhan Menggugah Semangat Proklamasi  (Bina Rena Pariwara, 2005) menekankan, segala macam aktivitas yang kita lakukan harus dimulai dengan kebersihan jiwa, kebersihan hati dan niat, dikembangkan dalam pola kehidupan serta perilaku kesederhanaan, dengan sasaran pengabdian demi kemaslahatan umat. Pola hidup BSM harus dikembangkan menjadi moral ekonomi, politik, hukum dan terus dikembangkan  ke sektor-sektor kehidupan lainnya.

Sahabatku, secara individu, orang yang sudah memiliki tasawuf sebagai pertahanan jiwanya,  akan melaksanakan pola hidup BSM dalam situasi dan kondisi apa pun termasuk di era globalisasi sekarang, sehingga bersama golongan orang-orang yang beriman dan beramal saleh, akan senantiasa bertawakal kepada Gusti Allah, yang tidak akan pernah terpengaruh dengan kesusahan dan kepayahan dunia. Akan senantiasa lapang dada, jauh dari pikiran kusut yang merepotkan.Senantiasa tenteram dan tidak menjadi boyongan makhluk, yang tidak terhempas dan tidak terbenam oleh ombak perobahan tempat, masa dan keadaan. Bagaikan gunung karang yang perkasa, tetap tegak kokoh  walau dihempas bertubi-bertubi oleh Gelombang Globalisasi yang menerjang bergulung-gulung, di tengah lautan kehidupan nan ganas.

Semoga kita memperoleh anugerah-Nya, dimasukkan dan senantiasa berada di dalam golongan hamba-hamba sekaligus kekasih-Nya yang seperti itu.

Duh Gusti,
anugerahkanlah kepada hamba,
gelora pesona cinta nan membara,
‘tuk kepakkan sayap jiwa,
terbang suka cita luar biasa
ke haribaan Paduka.


Alhamdulillaah, alhamdulillaah, alhamdulillaah,
aamiin, aamiin, aamiin ya rabbill ‘aalamiin.

Beji, Depok: Jumat 13 Desember 2013.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda