Selasa, 07 Januari 2014

Seri "Tasawuf, Salon Kecantikan Jiwa di Era Globalisasi" (4): Zuhud Yang Positip.




Di bagian awal buku ini kita sudah membahas makna dan pengertian tasawuf, juga tentang ulama-ulama sufi tempo dulu yang menjadi panutan dari para penganut tasawuf. Sekarang kita sampai pada masalah pengobatan dan perawatan batin manusia. Apa yang harus kita lakukan setelah siap menjadi manusia baru dengan wajah batin yang indah dan sempurna? Apakah lantas berzuhud dengan pergi uzlah, menyepi lari dari hiruk pikuk masyarakat agar tidak kembali terkena hantaman Gelombang Globalisasi-II?Jika kita melakukan hal itu, maka yaitulah yang oleh Buya Hamka disebut sebagai menempuh jalan sesat. Zuhud yang seperti ini adalah “zuhud yang melemahkan dan bukan merupakan ajaran Islam. Semangat Islam ialah semangat berjuang. Semangat berkurban, bekerja , bukan bermalas-malasan, lemah paruh dan melempem.”

Sikap Buya yang mengecam keras zuhud yang dianggapnya tidak merupakan ajaran Islam itu, beralasan jika kita menyimak sabda Rasulullah yang menyatakan,”Melakukan zuhud dalam kehidupan di dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan bukan pula memboroskan kekayaan.Akan tetapi zuhud dalam kehidupan itu adalah tidak menganggap apa yang ada pada dirimu lebih pasti dari pada apa yang ada pada Allah, dan hendaknya kamu bergembira memperoleh pahala musibah yang sedang menimpamu walaupun musibah itu akan tetap menimpamu.” (HR.Ahmad).

Seperti Buya Hamka, Kyai Ali Yafie juga tidak sependapat dengan pemahaman tasawuf sebagai sikap hidup yang seakan-akan cenderung untuk hidup bermiskin-miskin, menjauhi dunia atau tidak memperdulikan dunia, tidak memberikan penghargaan terhadap prestasi kerja dan tidak memperhatikan pada pengumpulan kekayaan. Itu adalah tasawuf yang negatif.Segala sesuatu dalam tasawuf itu titik beratnya pada mujahadah atau berjuang, dan kerja keras.Inti ajaran tasawuf adalah mengajarkan kerja keras yang seimbang antara kerja lahir dan kerja batin. Ada orang yang bekerja keras dengan mengandalkan fisiknya, misalkan tukang becak, tapi mungkin batinnya tidak bekerja. Di lain pihak ada yang akal, yaitu bagian dari batinnya kerja keras, contohnya para intelektual, namun kerja fisiknya hanya sedikit sehingga menjadi tidak seimbang. Akibatnya badannya sering sakit-sakitan.Tasawuf mengajarkan kerja keras lahir batin secara utuh, seimbang dan sempurna, yang dipandu oleh dua kekuatan, yaitu zikir dan pikir, sehingga menghasilkan amal saleh.
Tasawuf dengan ajaran zuhudnya seringkali disalahartikan sebagai ajaran membenci kehidupan dunia, sehingga ajaran zuhud dianggap tidak sesuai dengan kenyataan kehidupan dunia.

Dalam Merintis Fiqh Lingkungan Hidup (Yayasan Amanah dan Ufuk Press, 2006), Puang Ali Yafie mengutip pandangan Imam Ibnu Qudamah mengenai zuhud, yaitu sikap memalingkan keinginan atau kesukaan akan sesuatu kepada yang lain yang lebih baik. Syaratnya adalah apa yang ditinggalkan itu harus sesuatu yang bernilai. Jika yang ditinggalkan itu tidak memiliki nilai sama sekali, maka sikap meninggalkan dan berpaling daripadanya tidak dinamakan zuhud. Orang yang membuang sebongkah tanah yang tidak berharga misalkan, tidak dapat dinamai zahid.

Syekh Abdul Qadir Jailani dalam  50 Inti Wejangan-nya juga sependapat dengan definisi zuhud Ibnu Qudamah Al-Muqadasi tersebut. Orang yang zuhud menurut Ibnu Qudamah mempunyai tiga sifat.Pertama, sedikit sekali menggemari dunia, sederhana  dalam menggunakan segala miliknya, menerima apa yang ada, serta tidak merisaukan sesuatu yang sudah tidak ada, tetapi giat bekerja sebab mencari rezeki adalah suatu kewajiban. Kedua,dalam pandangannya, pujian dan celaan orang sama saja. Ia tidak bergembira karena mendapat pujian, dan tidak pula bersusah hati lantaran memperoleh celaan. Ketiga, mendahulukan ridha Allah dibanding ridha manusia.Ia merasa tenang jiwanya hanya karena bersama Allah Azza Wa Jalla, dan berbahagia karena dapat mengerjakan syariat-Nya.

Dengan pengertian tersebut, maka berpaling meninggalkan harta benda pada hemat Puang Yafie dalam Manusia dan Kehidupan, Pustaka Pelita 2007, tidak termasuk dalam kategori zuhud. Zuhud yang sesungguhnya adalah berpaling meninggalkan kesenangan dunia, dalam arti tidak menjadikannya sebagai tujuan hidup.

Hasrat untuk memperoleh dan memenuhi kebutuhan pokok dalam kehidupan duniawi yakni makanan, pakaian, tempat tinggal, perabotan rumahtangga, keluarga dan kedudukan, dengan demikian tidak bertentangan dengan ajaran zuhud.Bahkan pemenuhan kebutuhan pokok itu bisa menjadi wajib demi melindungi jiwa raganya. Baru bisa disebut bertentangan dengan zuhud apabila melampaui takaran kebutuhan, yaitu mengambil lebih dari yang semestinya atau dalam bahasa lain mengeksploitasi secara berlebihan dan tidak wajar.

Jika hal itu terjadi, yakni eksploitasi sumber daya berlebihan, menurut ahli fiqih dan mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia ini, berarti melambangkan kecintaan yang berlebihan terhadap kehidupan dunia, ketamakan, kerakusan dan keserakahan. Itulah yang akan mengakibatkan kerusakan ekosistem dan mendatangkan bencana di muka bumi.

Mengambil lebih dari kebutuhan manusia yang semestinya, dalam kaitan dengan sifat terbatas sumber daya alam, pada dasarnya hanya akan mendatangkan berbagai akibat buruk bagi manusia sendiri. Kecenderungan untuk mengambil lebih dari yang semestinya, mendorong terjadinya eksploitasi terhadap alam. Isi perut bumi dikuras dan tanah dipaksa untuk memproduksi melampaui ambang batas kewajarannya serta penggundulan hutan untuk kepentingan industri, menyebabkan rusaknya fungsi-fungsi penyangga bagi keseimbangan dan kelanjutan kehidupan alam semesta. Gejala seperti inilah yang kita alami di era globalisasi. Suhu bumi semakin memanas, permukaan air laut semakin naik, dan udara yang kita hirup tidak sehat lagi.

Kecenderungan seperti itu juga menyebabkan ketimpangan dalam masyarakat dunia. Adanya pihak, golongan atau negara yang menguasasi kekuatan, pengetahuan, teknologi dan kesempatan, mendominasi pemanfaatan sumber daya alam, mengambil lebih dari yang semestinya sehingga mengakibatkan sebagian besar penduduk bumi berada dalam kondisi krisis kehidupan, jauh di bawah standar kehidupan yang layak. Pembagian sumber daya tidak merata dan tidak adil.Kondisi semacam ini selain sangat rawan, juga memungkinkan timbulnya gejolak dalam masyarakat.Perang pun, yang juga turut serta merusak lingkungan hidup, pada dasarnya terjadi karena ketidakadilan pendapatan dan akses terhadap sumber daya.
Kehidupan yang demikian itu tercela menurut al-Qur’an dan hanya akan mendatangkan kerusakan di muka bumi. Al-Qur’an telah menggariskan suatu nilai dasar tentang apa yang harus dituju dalam hidup ini, dan bagaimana mengelola apa yang ada dalam alam semesta untuk dinikmati dengan sewajarnya, sesuai dengan kehendak Sang Pencipta tanpa menimbulkan kerusakan.

Subhaanallaahi wabihamdihi, subhaanallaahil ‘adziim astaghfirullaah.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda