Di
bagian awal buku ini kita sudah membahas makna dan pengertian tasawuf, juga
tentang ulama-ulama sufi tempo dulu yang menjadi panutan dari para penganut
tasawuf. Sekarang kita sampai pada masalah pengobatan dan perawatan batin manusia.
Apa yang harus kita lakukan setelah siap menjadi manusia baru dengan wajah batin
yang indah dan sempurna? Apakah lantas berzuhud dengan pergi uzlah, menyepi
lari dari hiruk pikuk masyarakat agar tidak kembali terkena hantaman Gelombang
Globalisasi-II?Jika kita melakukan hal itu, maka yaitulah yang oleh Buya Hamka
disebut sebagai menempuh jalan sesat. Zuhud yang seperti ini adalah “zuhud yang
melemahkan dan bukan merupakan ajaran Islam. Semangat Islam ialah semangat
berjuang. Semangat berkurban, bekerja , bukan bermalas-malasan, lemah paruh dan
melempem.”
Sikap
Buya yang mengecam keras zuhud yang dianggapnya tidak merupakan ajaran Islam
itu, beralasan jika kita menyimak sabda Rasulullah yang menyatakan,”Melakukan zuhud dalam kehidupan di dunia
bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan bukan pula memboroskan
kekayaan.Akan tetapi zuhud dalam kehidupan itu adalah tidak menganggap apa yang
ada pada dirimu lebih pasti dari pada apa yang ada pada Allah, dan hendaknya
kamu bergembira memperoleh pahala musibah yang sedang menimpamu walaupun
musibah itu akan tetap menimpamu.” (HR.Ahmad).
Seperti
Buya Hamka, Kyai Ali Yafie juga tidak sependapat dengan pemahaman tasawuf
sebagai sikap hidup yang seakan-akan cenderung untuk hidup bermiskin-miskin,
menjauhi dunia atau tidak memperdulikan dunia, tidak memberikan penghargaan
terhadap prestasi kerja dan tidak memperhatikan pada pengumpulan kekayaan. Itu
adalah tasawuf yang negatif.Segala sesuatu dalam tasawuf itu titik beratnya
pada mujahadah atau berjuang, dan kerja keras.Inti ajaran tasawuf adalah
mengajarkan kerja keras yang seimbang antara kerja lahir dan kerja batin. Ada
orang yang bekerja keras dengan mengandalkan fisiknya, misalkan tukang becak,
tapi mungkin batinnya tidak bekerja. Di lain pihak ada yang akal, yaitu bagian
dari batinnya kerja keras, contohnya para intelektual, namun kerja fisiknya
hanya sedikit sehingga menjadi tidak seimbang. Akibatnya badannya sering
sakit-sakitan.Tasawuf mengajarkan kerja keras lahir batin secara utuh, seimbang
dan sempurna, yang dipandu oleh dua kekuatan, yaitu zikir dan pikir, sehingga
menghasilkan amal saleh.
Tasawuf
dengan ajaran zuhudnya seringkali disalahartikan sebagai ajaran membenci
kehidupan dunia, sehingga ajaran zuhud dianggap tidak sesuai dengan kenyataan
kehidupan dunia.
Dalam
Merintis Fiqh Lingkungan Hidup
(Yayasan Amanah dan Ufuk Press, 2006), Puang Ali Yafie mengutip pandangan Imam
Ibnu Qudamah mengenai zuhud, yaitu sikap memalingkan keinginan atau kesukaan akan
sesuatu kepada yang lain yang lebih baik. Syaratnya adalah apa yang
ditinggalkan itu harus sesuatu yang bernilai. Jika yang ditinggalkan itu tidak
memiliki nilai sama sekali, maka sikap meninggalkan dan berpaling daripadanya
tidak dinamakan zuhud. Orang yang membuang sebongkah tanah yang tidak berharga
misalkan, tidak dapat dinamai zahid.
Syekh
Abdul Qadir Jailani dalam 50 Inti Wejangan-nya juga sependapat
dengan definisi zuhud Ibnu Qudamah Al-Muqadasi tersebut. Orang yang zuhud
menurut Ibnu Qudamah mempunyai tiga sifat.Pertama,
sedikit sekali menggemari dunia, sederhana
dalam menggunakan segala miliknya, menerima apa yang ada, serta tidak
merisaukan sesuatu yang sudah tidak ada, tetapi giat bekerja sebab mencari
rezeki adalah suatu kewajiban. Kedua,dalam
pandangannya, pujian dan celaan orang sama saja. Ia tidak bergembira karena
mendapat pujian, dan tidak pula bersusah hati lantaran memperoleh celaan. Ketiga, mendahulukan ridha Allah
dibanding ridha manusia.Ia merasa tenang jiwanya hanya karena bersama Allah
Azza Wa Jalla, dan berbahagia karena dapat mengerjakan syariat-Nya.
Dengan
pengertian tersebut, maka berpaling meninggalkan harta benda pada hemat Puang
Yafie dalam Manusia dan Kehidupan,
Pustaka Pelita 2007, tidak termasuk dalam kategori zuhud. Zuhud yang
sesungguhnya adalah berpaling meninggalkan kesenangan dunia, dalam arti tidak
menjadikannya sebagai tujuan hidup.
Hasrat
untuk memperoleh dan memenuhi kebutuhan pokok dalam kehidupan duniawi yakni
makanan, pakaian, tempat tinggal, perabotan rumahtangga, keluarga dan
kedudukan, dengan demikian tidak bertentangan dengan ajaran zuhud.Bahkan
pemenuhan kebutuhan pokok itu bisa menjadi wajib demi melindungi jiwa raganya.
Baru bisa disebut bertentangan dengan zuhud apabila melampaui takaran
kebutuhan, yaitu mengambil lebih dari yang semestinya atau dalam bahasa lain
mengeksploitasi secara berlebihan dan tidak wajar.
Jika
hal itu terjadi, yakni eksploitasi sumber daya berlebihan, menurut ahli fiqih
dan mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia ini, berarti melambangkan
kecintaan yang berlebihan terhadap kehidupan dunia, ketamakan, kerakusan dan
keserakahan. Itulah yang akan mengakibatkan kerusakan ekosistem dan
mendatangkan bencana di muka bumi.
Mengambil
lebih dari kebutuhan manusia yang semestinya, dalam kaitan dengan sifat
terbatas sumber daya alam, pada dasarnya hanya akan mendatangkan berbagai
akibat buruk bagi manusia sendiri. Kecenderungan untuk mengambil lebih dari
yang semestinya, mendorong terjadinya eksploitasi terhadap alam. Isi perut bumi
dikuras dan tanah dipaksa untuk memproduksi melampaui ambang batas kewajarannya
serta penggundulan hutan untuk kepentingan industri, menyebabkan rusaknya
fungsi-fungsi penyangga bagi keseimbangan dan kelanjutan kehidupan alam
semesta. Gejala seperti inilah yang kita alami di era globalisasi. Suhu bumi
semakin memanas, permukaan air laut semakin naik, dan udara yang kita hirup
tidak sehat lagi.
Kecenderungan
seperti itu juga menyebabkan ketimpangan dalam masyarakat dunia. Adanya pihak,
golongan atau negara yang menguasasi kekuatan, pengetahuan, teknologi dan
kesempatan, mendominasi pemanfaatan sumber daya alam, mengambil lebih dari yang
semestinya sehingga mengakibatkan sebagian besar penduduk bumi berada dalam
kondisi krisis kehidupan, jauh di bawah standar kehidupan yang layak. Pembagian
sumber daya tidak merata dan tidak adil.Kondisi semacam ini selain sangat
rawan, juga memungkinkan timbulnya gejolak dalam masyarakat.Perang pun, yang
juga turut serta merusak lingkungan hidup, pada dasarnya terjadi karena
ketidakadilan pendapatan dan akses terhadap sumber daya.
Kehidupan
yang demikian itu tercela menurut al-Qur’an dan hanya akan mendatangkan
kerusakan di muka bumi. Al-Qur’an telah menggariskan suatu nilai dasar tentang
apa yang harus dituju dalam hidup ini, dan bagaimana mengelola apa yang ada
dalam alam semesta untuk dinikmati dengan sewajarnya, sesuai dengan kehendak
Sang Pencipta tanpa menimbulkan kerusakan.
Subhaanallaahi wabihamdihi,
subhaanallaahil ‘adziim astaghfirullaah.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda