Rabu Wage tanggal 9 Juli 2014 atau 11 Ramadhan 1345H,
insya Allah kita rakyat Indonesia akan memilih Presiden, satu dari dua pasang
yaitu Calon Presiden (Capres) Prabowo Subianto dengan Calon Wakil Presiden
(Cawapres) Hatta Rajasa, dan Capres Joko Widodo dengan Cawapres M.Jusuf Kalla.
Suara yang kita berikan pada hari itu akan dihitung oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU), dan akan menghasilkan angka-angka statistik yang berujung pada pemberian
mandat untuk selama lima tahun, kepada pasangan yang memperoleh suara
terbanyak.
Sesuai dengan Undang-Undang, jika rakyat ternyata kecewa
terhadap Presiden yang dipilihnya, maka harus menunggu sampai masa jabatan lima
tahun tersebut selesai. Karena itu sebelum menentukan pilihan untuk memberikan
mandat, kita tidak boleh bagaikan membeli kucing dalam karung, yang kita tidak
tahu apakah itu kucing buduk yang berpenyakitan ataukah kucing yang sehat lagi
berbulu indah. Oleh sebab itu kita tidak boleh percaya sepenuhnya pada kontes
popularitas apalagi yang hanya berupa aneka jenis penggalangan citra dan iklan
dengan sejuta embel-embel visi-misi serta janji-janji muluk untuk membangun bangsa dan menyejahterakan rakyat.
Sudah menjadi ketentuan umum, jika kita ingin melamar
pekerjaan, bahkan untuk setingkat prajurit atau satuan pengamanan saja, kita
harus menyertakan daftar riwayat hidup yang berisi rekam jejak kehidupan kita.
Perusahaan-perusahaan asing khususnya perbankan, menjadikan penelusuran rekam
jejak calon rekanan atau nasabah besar, sebagai prioritas. Mereka menyewa intelijen-intelijen
bisnis guna menelusuri dan mengetahui rekam jejak kehidupan serta bisnis calon
rekanannya itu. Bahkan di perusahaan-perusahaan besar atau untuk
jabatan-jabatan tertentu, tidak jarang kita harus menjalani tes psikologi. Di
lingkungan TNI/Polri kita juga mengenal apa yang disebut pra kesehatan jiwa
(prakeswa).
Terhadap calon anggota legislatif (caleg), KPU mengumumkan secara terbuka dalam jangka
waktu tertentu, daftar para caleg kepada masyarakat luas, agar membantu
meneliti rekam jejaknya sekaligus memberikan tanggapan. Hal yang sama
diberlakukan pula kepada calon-calon pejabat yang akan menjadi anggota
Komisi-Komisi Negara. Nah, untuk Capres/Cawapres yang kedudukannya jauh lebih
vital-strategis dan luar biasa, sayang sekali hal ini justru tidak diberlakukan.
Meskipun demikian, ada secerah harapan tatkala KPU-2014
mengumumkan selain akan melakukan tes kesehatan, juga akan melakukan tes
psikologi dengan sekitar 500 pertanyaan kepada Capres/Cawapres. Tes psikologi
diperlukan bukan hanya sekedar buat mengetahui tingkat kecerdasan yang dikenal
dengan istilah IQ (intelligence quotient) sebagaimana yang orang awam pahami,
tetapi lebih jauh dari itu, guna mengetahui potensi serta kecenderungan emosi,
perilaku, waham dan sejumlah aspek-aspek kejiwaan lainnya.
Sesungguhnya Indonesia memiliki pengalaman yang menarik
tentang analisa psikologi para Capres, namun sayang kita abai terhadap
pengalaman tersebut. Pada sekitar bulan September 2004 atau beberapa hari
sebelum Pemilu Presiden putaran kedua, dua orang psikolog senior Universitas
Indonesia, yaitu Niniek L Karim dan Bagus Takwin mengeluarkan buku “Sang Kandidat, Analisis Psikologi Politik
Lima Kandidat Presiden dan Wakil Presiden RI Pemilu 2004”.
Tentang Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) misalkan, Sang Kandidat menilai antara lain (1)
kurang gigih dalam memperjuangkan idenya; (2) terlalu banyak pertimbangan
sehingga lambat mengambil keputusan; (3) terkesan ragu-ragu karena menunggu
banyak masukan dari pihak lain sebelum mengambil keputusan; (4) datar secara
emosional dan emosi tidak lepas; (5) kurang tegas dan kurang memiliki kontrol
terhadap orang; (6) dapat menimbulkan kesan berpura-pura dan tidak menampilkan
yang sebenarnya.
Kita harus memberikan acungan jempol kepada kedua
psikolog tersebut, meskipun dalam membuat analisa tidak melakukan tes mendalam
dengan sekitar 500 pertanyaan seperti terhadap Capres/Cawapres 2014, analisa Sang Kandidat terbukti tak jauh meleset. Mestinya hasil tes
KPU 2014 lebih sahih dibanding hasil pengamatan Sang Kandidat. Tetapi sayang sekali hasil tes yang dibiayai dengan
uang rakyat itu, tidak dilaporkan kepada yang membiayai dan patut memanfaatkan
hasil tesnya, tidak diumumkan secara luas kepada rakyat, sehingga sampai
memasuki masa kampanye sekarang ini, rakyat tidak bisa mengetahui kondisi kejiwaan
para calon pemimpin yang akan dipilihnya. Jika terhadap para caleg dan calon
komisioner negara saja masyarakat diberikan waktu dan kesempatan luas untuk
melakukan penilaian, maka sudah seharusnya terhadap Capres/Cawapres, waktu dan
kesempatan itu juga diberikan, bahkan lebih leluasa lagi. Namun nyatanya tidak.
Sementara kesempatan buat melakukan penilaian secara
benar terhadap para Capres/Cawapres semakin meredup, kampanye pencitraan
melalui instrumen-instrumen penggalangan alam pikiran rakyat ala kapitalisme
global seperti media massa termasuk media sosial, periklanan dan unsur-unsur industri
hiburan bergulung-gulung gegap gempita merasuki kita.
Agar alam pikiran kita tetap jernih dan mata batin kita
tajam dalam membuat penilaian dan pilihan, maka saya mengajak para sahabat
untuk mengasah serta mendayagunakan pedoman-pedoman keagamaan dan kearifan-kearifan
lokal yang sudah kita miliki. Dengan
demikian insya Allah kita akan bisa menyaring kampanye-kampanye hitam, gibah
dan fitnah yang bersimaharajalela dalam
beberapa tahun terakhir, lebih-lebih setahun terakhir tatkala hawa pemilu mulai
menghangat.
Kini kita sedang menyaksikan para elit politik yang semula
saling mendukung dan memuji, hanya dalam kurun beberapa bulan, bahkan ada yang
hanya berbilang hari, saling serang dan
mencerca satu sama lain. Fenomena ini mengingatkan nasehat Sang Guru kepada
Antigone dalam kisah Oedipus dari mitoligi Yunani yang amat termasyhur, “….dari semua kejahatan yang bagai cacing
mengerikiti jalan menuju istana raja-raja, yang terburuk adalah nafsu berkuasa.
Nafsu berkuasa mengadu saudara lawan saudara, ayah lawan anak dan anak lawan
tenggorokan orangtuanya.”
Berbagai senjata dan amunisi, tak peduli baik-buruk,
halal-haram dan dosa yang menyertai nafsu-nafsu kekuasaan, kini sedang menyelimuti
kita. Sementara para kandidat, dengan
sejuta gaya berakting merayu rakyat. Maka dalam suasana gegap gempita
kontestasi Pilpres yang terlanjur dikemas oleh para elit bagaikan perang
suci dengan jargon dan istilah-istilah
peperangannya, cara yang paling sederhana adalah jangan memilih yang paling mendekati
atau yang memang sudah menjadi “raja
tega”, tega melakukan kampanye hitam, tega memfitnah dan memutar-balikkan
fakta, tega menggunakan isu-isu SARA (Suku-Agama-Ras-Antar Golongan) yang
sangat berpotensi memecah-belah bangsa.
Marilah kita hayati pula peringatan Kanjeng Nabi
Muhammad Saw kepada sahabat-sahabatnya
yang meminta jabatan dan kekuasaan, “
Demi Allah aku tidak akan memberikan pekerjaan tersebut kepada seorang yang
memintanya, apalagi kepada seseorang yang amat loba kepadanya.” (HR.Muslim). Tapi
siapa yang paling loba, paling haus kekuasaan diantara para kandidat? Ayo kita lakukan salat istikharah, tafakur
dengan khusyuk dan jujur pada diri sendiri.
Masih ada satu lagi tolok ukur yang diajarkan Rasulullah
Saw sebagaimana diriwayatkan Abu Daud, “
Apabila Allah berkenan untuk munculnya kebaikan bagi seorang pemimpin, maka
Allah akan memperuntukkan baginya para pembantu yang jujur, yang bila pemimpin
itu lupa maka para pembantunya akan mengingatkannya, dan bila ia ingat maka para pembantunya pun
akan membantunya. Sebaliknya bila Allah berkehendak selain itu, maka Allah akan
menyediakan baginya para pemimpin yang jahat, yang bila sang pemimpin lupa,
maka para pembantunya tidak mengingatkannya, dan bila ingat maka para pembantu
tersebut tidak membantunya.”
Melengkapi hadis tadi, adalah sebuah nasehat bijak yang
berlaku secara universal di berbagai bangsa dari zaman ke zaman, yaitu “jenis itu berkumpul dengan jenis. Rusa akan
berkumpul dengan sesama rusa, serigala berkumpul dengan sesama serigala, kerbau
berkumpul sesama kerbau dan harimau sesama
harimau.” Maknanya, dalam menilai
seseorang lihatlah orang-orang di sekelilingnya, lihatlah teman-temannya, orang-orang
dekatnya. Sebab tidak mungkin rusa hidup nyaman bersama kerbau apalagi dengan
serigala dan harimau. Penjudi akan nyaman jika berkumpul dengan sesama penjudi.
Penari nyaman berkumpul dengan sesama penari. Teman bermain orang-orang baik ya
orang baik pula. Pun demikian sebaliknya.
Nah sahabatku, sekarang silahkan anda membuat penilaian
sendiri. Dalam tulisan pendek ini, saya
hanya sekedar mengingatkan beberapa metode penilaiannya saja, yaitu
metode-metode yang sudah lazim, namun sering kita lupakan. Dan kalau anda
berkenan lagi pula ada waktu silahkan juga mencoba membuka serta membaca
tulisan saya yang berjudul “Cara Presiden Soeharto Merekrut Para
Menterinya”, dalam buku “34 Wartawan
Istana Bicara Tentang Pak Harto”, yang sudah diterbitkan oleh Universitas Mercu
Buana atau buka blog http://bwiwoho.blogspot.com
atau langsung saja bertanya kepada mbah google.
Semoga Gusti Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, menyayangi kita bangsa Indonesia, dengan menganugerahkan petunjuk, pertolongan, rahmat dan berkahNYA. Menganugerahi
kita pemimpin yang terbaik dari semua yang baik. Pemimpin yang mumpuni, amanah
serta peduli pada rakyatnya.
Aamiin,
Depok, 3 Juni 2014.
Aamiin,
Depok, 3 Juni 2014.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda