Selasa, 03 Juni 2014

Bagaimana Kita Memilih Presiden?




Rabu Wage tanggal 9 Juli 2014 atau 11 Ramadhan 1345H, insya Allah kita rakyat Indonesia akan memilih Presiden, satu dari dua pasang yaitu Calon Presiden (Capres) Prabowo Subianto dengan Calon Wakil Presiden (Cawapres) Hatta Rajasa, dan Capres Joko Widodo dengan Cawapres M.Jusuf Kalla. Suara yang kita berikan pada hari itu akan dihitung oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan akan menghasilkan angka-angka statistik yang berujung pada pemberian mandat untuk selama lima tahun, kepada pasangan yang memperoleh suara terbanyak.

Sesuai dengan Undang-Undang, jika rakyat ternyata kecewa terhadap Presiden yang dipilihnya, maka harus menunggu sampai masa jabatan lima tahun tersebut selesai. Karena itu sebelum menentukan pilihan untuk memberikan mandat, kita tidak boleh bagaikan membeli kucing dalam karung, yang kita tidak tahu apakah itu kucing buduk yang berpenyakitan ataukah kucing yang sehat lagi berbulu indah. Oleh sebab itu kita tidak boleh percaya sepenuhnya pada kontes popularitas apalagi yang hanya berupa aneka jenis penggalangan citra dan iklan dengan sejuta embel-embel visi-misi serta janji-janji muluk untuk  membangun bangsa dan menyejahterakan rakyat.

Sudah menjadi ketentuan umum, jika kita ingin melamar pekerjaan, bahkan untuk setingkat prajurit atau satuan pengamanan saja, kita harus menyertakan daftar riwayat hidup yang berisi rekam jejak kehidupan kita. Perusahaan-perusahaan asing khususnya perbankan, menjadikan penelusuran rekam jejak calon rekanan atau nasabah besar, sebagai prioritas. Mereka menyewa intelijen-intelijen bisnis guna menelusuri dan mengetahui rekam jejak kehidupan serta bisnis calon rekanannya itu. Bahkan di perusahaan-perusahaan besar atau untuk jabatan-jabatan tertentu, tidak jarang kita harus menjalani tes psikologi. Di lingkungan TNI/Polri kita juga mengenal apa yang disebut pra kesehatan jiwa (prakeswa).

Terhadap calon anggota legislatif (caleg),  KPU mengumumkan secara terbuka dalam jangka waktu tertentu, daftar para caleg kepada masyarakat luas, agar membantu meneliti rekam jejaknya sekaligus memberikan tanggapan. Hal yang sama diberlakukan pula kepada calon-calon pejabat yang akan menjadi anggota Komisi-Komisi Negara. Nah, untuk Capres/Cawapres yang kedudukannya jauh lebih vital-strategis dan luar biasa, sayang sekali hal ini justru tidak diberlakukan.

Meskipun demikian, ada secerah harapan tatkala KPU-2014 mengumumkan selain akan melakukan tes kesehatan, juga akan melakukan tes psikologi dengan sekitar 500 pertanyaan kepada Capres/Cawapres. Tes psikologi diperlukan bukan hanya sekedar buat mengetahui tingkat kecerdasan yang dikenal dengan istilah IQ (intelligence quotient) sebagaimana yang orang awam pahami, tetapi lebih jauh dari itu, guna mengetahui potensi serta kecenderungan emosi, perilaku, waham dan sejumlah aspek-aspek kejiwaan lainnya.

Sesungguhnya Indonesia memiliki pengalaman yang menarik tentang analisa psikologi para Capres, namun sayang kita abai terhadap pengalaman tersebut. Pada sekitar bulan September 2004 atau beberapa hari sebelum Pemilu Presiden putaran kedua, dua orang psikolog senior Universitas Indonesia, yaitu Niniek L Karim dan Bagus Takwin mengeluarkan buku “Sang Kandidat, Analisis Psikologi Politik Lima Kandidat Presiden dan Wakil Presiden RI Pemilu 2004”.  

Tentang Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) misalkan, Sang Kandidat menilai antara lain (1) kurang gigih dalam memperjuangkan idenya; (2) terlalu banyak pertimbangan sehingga lambat mengambil keputusan; (3) terkesan ragu-ragu karena menunggu banyak masukan dari pihak lain sebelum mengambil keputusan; (4) datar secara emosional dan emosi tidak lepas; (5) kurang tegas dan kurang memiliki kontrol terhadap orang; (6) dapat menimbulkan kesan berpura-pura dan tidak menampilkan yang sebenarnya.

Kita harus memberikan acungan jempol kepada kedua psikolog tersebut, meskipun dalam membuat analisa tidak melakukan tes mendalam dengan sekitar 500 pertanyaan seperti terhadap Capres/Cawapres 2014, analisa Sang Kandidat  terbukti tak jauh meleset. Mestinya hasil tes KPU 2014 lebih sahih dibanding hasil pengamatan Sang Kandidat. Tetapi sayang sekali hasil tes yang dibiayai dengan uang rakyat itu, tidak dilaporkan kepada yang membiayai dan patut memanfaatkan hasil tesnya, tidak diumumkan secara luas kepada rakyat, sehingga sampai memasuki masa kampanye sekarang ini, rakyat tidak bisa mengetahui kondisi kejiwaan para calon pemimpin yang akan dipilihnya. Jika terhadap para caleg dan calon komisioner negara saja masyarakat diberikan waktu dan kesempatan luas untuk melakukan penilaian, maka sudah seharusnya terhadap Capres/Cawapres, waktu dan kesempatan itu juga diberikan, bahkan lebih leluasa lagi. Namun nyatanya tidak.

Sementara kesempatan buat melakukan penilaian secara benar terhadap para Capres/Cawapres semakin meredup, kampanye pencitraan melalui instrumen-instrumen penggalangan alam pikiran rakyat ala kapitalisme global seperti media massa termasuk media sosial, periklanan dan unsur-unsur industri hiburan bergulung-gulung gegap gempita merasuki kita.

Agar alam pikiran kita tetap jernih dan mata batin kita tajam dalam membuat penilaian dan pilihan, maka saya mengajak para sahabat untuk mengasah serta mendayagunakan  pedoman-pedoman keagamaan dan kearifan-kearifan lokal yang sudah kita miliki.  Dengan demikian insya Allah kita akan bisa menyaring kampanye-kampanye hitam, gibah dan fitnah yang bersimaharajalela  dalam beberapa tahun terakhir, lebih-lebih setahun terakhir tatkala hawa pemilu mulai menghangat.

Kini kita sedang menyaksikan para elit politik yang semula saling mendukung dan memuji, hanya dalam kurun beberapa bulan, bahkan ada yang hanya berbilang hari,  saling serang dan mencerca satu sama lain. Fenomena ini mengingatkan nasehat Sang Guru kepada Antigone dalam kisah Oedipus dari mitoligi Yunani yang amat termasyhur, “….dari semua kejahatan yang bagai cacing mengerikiti jalan menuju istana raja-raja, yang terburuk adalah nafsu berkuasa. Nafsu berkuasa mengadu saudara lawan saudara, ayah lawan anak dan anak lawan tenggorokan orangtuanya.”  

Berbagai senjata dan amunisi, tak peduli baik-buruk, halal-haram dan dosa yang menyertai nafsu-nafsu kekuasaan, kini sedang menyelimuti kita.  Sementara para kandidat, dengan sejuta gaya berakting merayu rakyat. Maka dalam suasana gegap gempita kontestasi Pilpres yang terlanjur dikemas oleh para elit bagaikan perang suci  dengan jargon dan istilah-istilah peperangannya, cara yang paling sederhana adalah jangan memilih yang paling mendekati  atau yang memang sudah menjadi “raja tega”, tega melakukan kampanye hitam, tega memfitnah dan memutar-balikkan fakta, tega menggunakan isu-isu SARA (Suku-Agama-Ras-Antar Golongan) yang sangat berpotensi memecah-belah bangsa.

Marilah kita hayati pula peringatan Kanjeng Nabi Muhammad  Saw kepada sahabat-sahabatnya yang meminta jabatan dan kekuasaan, “ Demi Allah aku tidak akan memberikan pekerjaan tersebut kepada seorang yang memintanya, apalagi kepada seseorang yang amat loba kepadanya.” (HR.Muslim). Tapi siapa yang paling loba, paling haus kekuasaan diantara para kandidat?  Ayo kita lakukan salat istikharah, tafakur dengan khusyuk dan jujur pada diri sendiri.

Masih ada satu lagi tolok ukur yang diajarkan Rasulullah Saw sebagaimana diriwayatkan Abu Daud, “ Apabila Allah berkenan untuk munculnya kebaikan bagi seorang pemimpin, maka Allah akan memperuntukkan baginya para pembantu yang jujur, yang bila pemimpin itu lupa maka para pembantunya akan mengingatkannya,  dan bila ia ingat maka para pembantunya pun akan membantunya. Sebaliknya bila Allah berkehendak selain itu, maka Allah akan menyediakan baginya para pemimpin yang jahat, yang bila sang pemimpin lupa, maka para pembantunya tidak mengingatkannya, dan bila ingat maka para pembantu tersebut tidak membantunya.”



Melengkapi hadis tadi, adalah sebuah nasehat bijak yang berlaku secara universal di berbagai bangsa dari zaman ke zaman, yaitu “jenis itu berkumpul dengan jenis. Rusa akan berkumpul dengan sesama rusa, serigala berkumpul dengan sesama serigala, kerbau berkumpul  sesama kerbau dan harimau sesama harimau.”  Maknanya, dalam menilai seseorang lihatlah orang-orang di sekelilingnya, lihatlah teman-temannya, orang-orang dekatnya. Sebab tidak mungkin rusa hidup nyaman bersama kerbau apalagi dengan serigala dan harimau. Penjudi akan nyaman jika berkumpul dengan sesama penjudi. Penari nyaman berkumpul dengan sesama penari. Teman bermain orang-orang baik ya orang baik pula. Pun demikian sebaliknya.

Nah sahabatku, sekarang silahkan anda membuat penilaian sendiri.  Dalam tulisan pendek ini, saya hanya sekedar mengingatkan beberapa metode penilaiannya saja, yaitu metode-metode yang sudah lazim, namun sering kita lupakan. Dan kalau anda berkenan lagi pula ada waktu silahkan juga mencoba membuka serta membaca tulisan saya yang berjudul “Cara Presiden Soeharto Merekrut Para Menterinya”,  dalam buku “34 Wartawan Istana Bicara Tentang Pak Harto”, yang sudah diterbitkan oleh Universitas Mercu Buana atau buka blog http://bwiwoho.blogspot.com atau langsung saja bertanya kepada mbah google.

Semoga Gusti Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, menyayangi kita bangsa Indonesia, dengan menganugerahkan  petunjuk, pertolongan, rahmat dan berkahNYA. Menganugerahi kita pemimpin yang terbaik dari semua yang baik. Pemimpin yang mumpuni, amanah serta peduli pada rakyatnya.
Aamiin,

Depok, 3 Juni 2014.



Aamiin,

Depok, 3 Juni 2014.


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda