Jumat, 07 Maret 2014

Tasawuf Al Ghazali dan 3 Tingkatan Bersuci Dalam Serat Centini





Dengan mengajarkan ilmu pengamalan dan pembukaan hati (mu’amalah wa mukasyafah), Al Ghazali menceburkan diri ke dunia tasawuf. Namun ia tidak melibatkan diri ke dalam aliran hulul (peleburan antara Tuhan dan manusia, Tuhan menjelma ke dalam insan), ittihad (manunggaling kawulo Gusti, Tuhan dan hamba berpadu menjadi satu), wahdatul wujud (yang ada hanya Satu, alam merupakan penampakan lahir Tuhan) atau aliran-aliran tasawuf lain yang sedang mekar pada zamannya. Buya Hamka dalam bukunya Tasauf Moderen, menyebut Al Ghazali sebagai “orangtua dan kiblat dari segala tabib jiwa”.

Al Ghazali menurut Prof.Dr.Muslim Ibrahim MA  dari Banda Aceh (dalam kitab kajian Minhajul Abidin terbitan Yayasan Al Ghazali, Bogor), juga menentang keras orang tasawuf yang mengingkari ibadah ritual. Malahan menurutnya, ibadah ritual perlu dikembangkan dan dipelihara dengan menanamkan arti, makna dan rahasia amaliyah di baliknya. Sebagai contoh bersuci atau berwudhu, menurutnya tidak cukup sekedar menuangkan air dan membersihkan badan dari kotoran, tetapi jauh lebih sempurna dari itu, yakni harus meliputi:

1.   Membersihkan lahir (anggota-anggota badan) dari hadats dan berbagai kotoran.
2.   Membersihkan hati dari tingkah laku dan akhlak tercela.
3.   Mensucikan anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa.
4.   Membersihkan diri dari pengabdian selain Allah Swt.

Berdasarkan ajaran Al Ghazali yang seperti itulah, para penganut tasawuf di Jawa abad ke 18 - 19 mengajarkan 3 (tiga) tingkatan bersuci dan 4 (empat) tingkatan sembahyang, yang bukan hanya sekedar aktivitas lahiriah semata, tapi juga rasa batin, yang harus  dilanjutkan dengan menempuh perjalanan batin.

Dalam kitab Centini, tiga tingkatan bersuci itu ialah yang pertama, bersuci membersihkan badan atau raga dengan air sebagaimana kita kenal dengan berwudhu dan mandi. Kedua, bersuci membersihkan mulut, sehingga mulutnya menjadi suci baik dalam hal makan dan minum maupun dalam bertutur kata. Ketiga, bersuci membersihkan hati. Adapun empat tingkatan sembahyang yaitu pertama, sembah raga. Ini sama dengan salat sesuai syariat. Kedua, sembah cipta yang bisa disamakan dengan tarekat. Ketiga, sembah jiwa atau hakikat dan keempat, sembah rahsa adalah makrifat. Ketiga tingkatan bersuci dan keempat tingkatan sembahyang tersebut harus dilaksanakan secara utuh, lengkap dan tidak boleh hanya salah satu saja.

Perjalanan seorang salik atau murid dalam mempelajari tasawuf sampai mencapai makrifat, diuraikan secara panjang lebar dengan sangat indah oleh Al Ghazali di dalam Minhajul ‘Abidin, yang harus melalui 7 (tujuh) tanjakan. Pertama, tanjakan ilmu dan makrifat. Kedua, tanjakan taubat. Ketiga, tanjakan penghalang. Keempat, tanjakan godaan. Kelima, tanjakan pendorong. Keenam, tanjakan pencela dan ketujuh, tanjakan puji syukur.

Oleh Kyai Ali Yafie, kajian tasawuf Al Ghazali tadi disarikan secara sederhana dalam empat kelompok besar. Pertama, mawaahidul ilmi, yaitu memberikan pengertian dasar. Manusia sebelum bekerja atau beramal harus ada ilmu, harus memahami masalahnya. Kedua, sesudah memiliki ilmu baru melakukan amal, yang menjadi sasaran untuk mencapai pengabdian.  Dalam hal ini, ada amal pengabdian langsung kepada Allah dan ada yang lewat interaksi dengan sesama manusia. Yakni amal ibadah dan amal muamalah. Ketiga, al-muhlikat, yaitu mengenai hal-hal yang menggiurkan atau mengancam keselamatan dan kesehatan batin. Di sini diuraikan virus-virus yang menimbulkan penyakit di dalam batin manusia, berupa berbagai sifat dan kebiasaan. Keempat, al-munjiyat atau terapi, yaitu hal-hal yang menjadikan manusia berpeluang untuk memiliki kalbu yang sehat, kuat dan bisa menyebabkan manusia menikmati hidup ini, di dalam mengabdi kepada Allah Swt.

Di dalam karyanya yang terbesar dan termasyhur, yang menjadi bacaan wajib pesantren-pesantren di Indonesia, yaitu kitab Ihya Ulumiddin atau menghidupkan ilmu agama, Al Ghazali  menegaskan bahwa agama Islam dengan tasawufnya, pada dasarnya mendidik manusia agar memiliki akhlak yang mulia dan terpuji, sebagaimana yang dimiliki oleh Kanjeng Nabi Muhammad dan para sahabatnya.

Semoga.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda