Santri
& Pesantren, Cikal-Bakal Pendidikan Nasional.
Kata santri sekarang sedang ngetop gara-gara Pilpres.
Saya sendiri, tidak terlalu peduli dengan masing-masing Capres – Cawapres.
Tetapi saya ingin mengajak para sahabat memanfaatkan peristiwa yang bergulir
heboh dari kampanye Pilpres, yang membuat kata santri itu jadi ngetop. Saatnya
kita bicara benar tentang sejarah pendidikan nasional di Indonesia.
Santri dengan pesantrennya adalah cikal bakal lembaga
pendidikan bumiputera, pendidikan nasional yang merupakan bukti adanya kearifan
lokal Nusantara.
Memang belum banyak ahli dan tokoh nasional yang
meneliti dan peduli dengan masalah santri, kecuali para elite partai politik
menjelang Pemilu/Pilpres. Itu pun hanya karena ingin memperebutkan dukungan
suara para santri itu saja. Tidak lebih. Bahasa terangnya, mencoba memanfaatkan
para santri. Sesudah itu semua terlupakan sampai nanti menjelang Pemilu/Pilpres
berikutnya.
Bagi orang Jawa tempo dulu, baik yang muslim maupun
bukan, kata santri sudah merupakan hal yang akrab, karena berasal dari kata
dasar sastri (dari bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno) yaitu orang yang
menguasai sastra dan bisa baca tulis. Anak-anak muda yang ingin pandai serta
menguasai berbagai ilmu kehidupan, harus sastri. Untuk itu mereka berguru ke
para cendekiawan, yang pada zaman dulu adalah para pendeta. Para pendeta ini
pada umumnya tinggal di daerah yang sepi yang diberi nama dengan kata depan Padepokan. Pendeta A misalkan, memberi
nama wilayah tempat tinggalnya dengan nama Padepokan A atau nama apa saja yang
dia senangi, sebut saja Tumaritis. Maka tumbuhlah Padepokan Tumaritis.
Para murid yang ingin belajar ke Pendeta A biasanya
tinggal di Padepokan Tumaritis. Mereka tidak membayar, tetapi ngenger, yaitu mengikuti semua kegiatan
yang ada di Padepokan dan yang diperintahkan oleh gurunya, yaitu Sang Pendeta
A. Murid-murid yang belajar menimba ilmu itu kemudian disebut sastri yang
kemudian mengalami perubahan pengucapan menjadi cantrik. Mereka belajar sambil bekerja dan tunduk patuh sepenuhnya
kepada sang guru.
Pada awal abad ke 15, datanglah seorang mubaligh muda
kelahiran Campa tahun 1401 M yang bernama Bong Swi Hoo ke JawaTimur menyusul
kedua orang tuanya, yaitu suami isteri Maulana Malik Ibrahim. Di Tuban, Malik
Ibrahim dikenal sebagai pendeta sakti aliran Muhammad yang bergelar Syekh
Maulana Malik Ibrahim Asmarakandi, yaitu syekh yang berasal dari Samarkand.
Isteri Malik Ibrahim adalah saudara kandung dari salah seorang istri Raja
Majapahit, Brawijaya, yang terkenal dengan sebutan Putri Cempo.
Bong Swi Hoo disayang oleh Raja Brawijaya dan
dianugerahi gelar bangsawan dengan nama Raden Rahmat, serta mendapat ijin untuk
berdakwah dan bertempat tinggal di daerah Ampel Denta. Oleh masyarakat beliau
dikenal sebagai Pandhita Ampel, dan kemudian berubah menjadi Sunan Ampel. Di
Ampel, Surabaya, yang sekarang sangat tersohor inilah, Sunan Ampel mengajarkan
agama Islam mengikuti pola padepokan dengan para murid sebagai cantriknya,
sedangkan kegiatan belajarnya disebut nyantrik.
Dalam berdakwah di pulau Jawa, baik Sunan Ampel maupun
ayahandanya Maulana Malik Ibrahim, menggunakan metode membaur dan menyusup
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat setempat, sehingga kehadirannya disambut
secara baik. Kedua ulama tersebut, yang kemudian diikuti oleh para murid dan
terutama putera Sunan Ampel, yaitu Maulana Makdum Ibrahim, sangat menghargai
kearifan dan budaya lokal, termasuk sistem pendidikan nyantrik.
Di antara para cantrik tersebut, tiga orang di antaranya
menjadi sangat terkenal. Mereka adalah Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang, Sunan
Giri dan Raden Fatah yang kelak kemudian menjadi Sultan Kerajaan Islam Pertama
di Jawa berkedudukan di Demak.
Kata nyantrik,
lama kelamaan berubah menjadi nyantri,
sedangkan kata cantrik menjadi santri. Perubahan itu diterima atau mungkin lebih
tepat dilakukan oleh para mubaligh karena sesuai dengan asal kata bahasa Arab “santaro” yang berarti menutup dan terdiri dari empat
huruf yakni (1) sin dari satrul al aurah, yaitu orang yang
menutup aurat; (2) nun dari na’ibul ulama, yang berarti wakil ulama;
(3) ta’ dari ‘tarku
al ma’shi atau meninggalkan kemaksiatan; (4) ra’ dari raisul ummah atau pemimpin umat.
Demikianlah gotak-gatik-gatuk khas Jawa, yang berlangsung sejak dahulu kala
sampai sekarang.
Dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit (1478M) dan
berdirinya Kesultanan Demak yang dipimpin Raden Fatah (lidah Jawa mengucapkan
Patah) serta didampingi oleh Wali Songo (Sembilan Wali), penyebaran agama Islam
tumbuh secara pesat. Jika semula jumlah para santri yang ikut tinggal bersama
para mubaligh khususnya Wali Songo bisa dihitung dengan jari, makin lama makin
banyak sehingga tidak bisa ditampung lagi dalam satu rumah induk sang mubaligh.
Oleh karena itu mereka kemudian mendirikan rumah-rumah
kecil yang terbuat dari bambu yang disebut pondok. Kata pondok ini juga sesuai
dengan kata funduq dari bahasa Arab
yang berarti hotel atau asrama. Hatta, istilah padepokan para cantrik, kemudian
berubah menjadi pondok pesantren sebagaimana lazim kita kenal sekarang ini.
Di luar Jawa khususnya Aceh, dakwah para mubaligh kepada
masyarakat umum sebenarnya telah lebih dahulu dimulai. Bahkan tatkala petualang
Eropa yang legendaris, Marco Polo, berkunjung ke Aceh tahun 1293 M, di sana
telah berdiri Kesultanan Islam Samudra Pasai.
Demikian pula ketika petualang Maroko, Ibnu Batuta
berkunjung tahun 1345 dan akhir 1346, ia diterima secara bersahabat oleh raja
kedua yaitu Sultan Malik az-Zahir, putera dari Sultan Maliku’l Saleh. Saat itu,
Samudera Pasai telah menjadi kota kosmopolitan yang ramah bagi suku dan bangsa
dari mana pun berasal. Di sana banyak mukim ulama-ulama yang mengajarkan agama
Islam. Bahkan Sunan Bonang dan Sunan Giri semasa muda juga pernah menimba ilmu
ke Aceh. Di Aceh, tempat para ulama mengajar tadi disebut dayah atau menuasa.
Hampir bersamaan dengan itu, yakni pada sekitar periode abad
ke 14 – 16, pusat-pusat pendidikan Islam di berbagai daerah di Nusantara juga
mulai tumbuh. Para peneliti keislaman Nusantara berpendapat Pondok Pesantren
telah mulai berkembang menjelang akhir abad ke 16, sejalan dengan berdirinya
Kesultanan Demak yang menjalin komunikasi luas dengan kerajaan-kerajaan lain
mulai dari Malaka, Aceh sampai ke Maluku dan Nusatenggara.
Para santri dari berbagai daerah di Nusantara datang
menimba ilmu ke pondok-pondok pesantren di Jawa, dan tatkala kembali ke kampung
halamannya, banyak diantara mereka yang juga kemudian mendirikan pondok
pesantren. Inilah sesungguhnya cikal bakal dunia pedidikan nasional Nusantara,
dan bukan sekolah-sekolah Belanda yang baru mulai didirikan pada tahun 1900,
sesuai dengan kebijakan Politik Etis Hindia Belanda.
Tanpa mengurangi rasa hormat dan penghargaan yang luar
biasa kepada tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara dengan lembaga
pendidikan Taman Siswanya, pada hemat saya Pondok Pesantrenlah yang lebih tepat
dijadikan tonggak sejarah Hari Pendidikan Nasional. Bangsa yang besar adalah
bangsa yang menghargai sejarah dan pahlawan bangsanya. Kepada Ki Hajar
Dewantara, kita harus menghargai. Demikian pula terhadap sejarah perjuangan
Pondok Pesantren dalam mencerdaskan anak bangsa, membuat para santri melek
huruf, baik Arab, Jawa maupun Latin.
Dari Pondok Pesantren itu pula lahir sejumlah tokoh
pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional yang menjadi bapak bangsa, yang
bersama putera-putera bangsa yang lain berjuang memproklamasikan Republik Indonesia
17 Agustus 1945. Karena itu, kita harus sambut gembira bahkan harus kita
manfaatkan dengan baik, wacana Hari Santri yang digulirkan dalam Kampanye
Pemilihan Presiden Joko Widodo, terlepas dia terpilih atau tidak. Lagi pula
saya yakin, wacana tersebut “dibisikkan” atau paling tidak diilhami oleh
tokoh-tokoh santri yang banyak mendampingi pak Jokowi. Dirgahayu Santri
Nusantara.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda