Minggu, 13 Juli 2014

Santri & Pesantren, Cikal-Bakal Pendidikan Nasional



Santri & Pesantren, Cikal-Bakal Pendidikan Nasional.
Kata santri sekarang sedang ngetop gara-gara Pilpres. Saya sendiri, tidak terlalu peduli dengan masing-masing Capres – Cawapres. Tetapi saya ingin mengajak para sahabat memanfaatkan peristiwa yang bergulir heboh dari kampanye Pilpres, yang membuat kata santri itu jadi ngetop. Saatnya kita bicara benar tentang sejarah pendidikan nasional di Indonesia.

Santri dengan pesantrennya adalah cikal bakal lembaga pendidikan bumiputera, pendidikan nasional yang merupakan bukti adanya kearifan lokal Nusantara.
Memang belum banyak ahli dan tokoh nasional yang meneliti dan peduli dengan masalah santri, kecuali para elite partai politik menjelang Pemilu/Pilpres. Itu pun hanya karena ingin memperebutkan dukungan suara para santri itu saja. Tidak lebih. Bahasa terangnya, mencoba memanfaatkan para santri. Sesudah itu semua terlupakan sampai nanti menjelang Pemilu/Pilpres berikutnya.

Bagi orang Jawa tempo dulu, baik yang muslim maupun bukan, kata santri sudah merupakan hal yang akrab, karena berasal dari kata dasar  sastri (dari bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno) yaitu orang yang menguasai sastra dan bisa baca tulis. Anak-anak muda yang ingin pandai serta menguasai berbagai ilmu kehidupan, harus sastri. Untuk itu mereka berguru ke para cendekiawan, yang pada zaman dulu adalah para pendeta. Para pendeta ini pada umumnya tinggal di daerah yang sepi yang diberi nama dengan kata depan Padepokan. Pendeta A misalkan, memberi nama wilayah tempat tinggalnya dengan nama Padepokan A atau nama apa saja yang dia senangi, sebut saja Tumaritis. Maka tumbuhlah Padepokan Tumaritis.

Para murid yang ingin belajar ke Pendeta A biasanya tinggal di Padepokan Tumaritis. Mereka tidak membayar, tetapi ngenger, yaitu mengikuti semua kegiatan yang ada di Padepokan dan yang diperintahkan oleh gurunya, yaitu Sang Pendeta A. Murid-murid yang belajar menimba ilmu itu kemudian disebut sastri yang kemudian mengalami perubahan pengucapan menjadi cantrik. Mereka belajar sambil bekerja dan tunduk patuh sepenuhnya kepada sang guru.

Pada awal abad ke 15, datanglah seorang mubaligh muda kelahiran Campa tahun 1401 M yang bernama Bong Swi Hoo ke JawaTimur menyusul kedua orang tuanya, yaitu suami isteri Maulana Malik Ibrahim. Di Tuban, Malik Ibrahim dikenal sebagai pendeta sakti aliran Muhammad yang bergelar Syekh Maulana Malik Ibrahim Asmarakandi, yaitu syekh yang berasal dari Samarkand. Isteri Malik Ibrahim adalah saudara kandung dari salah seorang istri Raja Majapahit, Brawijaya, yang terkenal dengan sebutan Putri Cempo.

Bong Swi Hoo disayang oleh Raja Brawijaya dan dianugerahi gelar bangsawan dengan nama Raden Rahmat, serta mendapat ijin untuk berdakwah dan bertempat tinggal di daerah Ampel Denta. Oleh masyarakat beliau dikenal sebagai Pandhita Ampel, dan kemudian berubah menjadi Sunan Ampel. Di Ampel, Surabaya, yang sekarang sangat tersohor inilah, Sunan Ampel mengajarkan agama Islam mengikuti pola padepokan dengan para murid sebagai cantriknya, sedangkan kegiatan belajarnya disebut nyantrik.

Dalam berdakwah di pulau Jawa, baik Sunan Ampel maupun ayahandanya Maulana Malik Ibrahim, menggunakan metode membaur dan menyusup dalam kehidupan sehari-hari masyarakat setempat, sehingga kehadirannya disambut secara baik. Kedua ulama tersebut, yang kemudian diikuti oleh para murid dan terutama putera Sunan Ampel, yaitu Maulana Makdum Ibrahim, sangat menghargai kearifan dan budaya lokal, termasuk sistem pendidikan nyantrik.

Di antara para cantrik tersebut, tiga orang di antaranya menjadi sangat terkenal. Mereka adalah Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang, Sunan Giri dan Raden Fatah yang kelak kemudian menjadi Sultan Kerajaan Islam Pertama di Jawa berkedudukan di Demak.
Kata nyantrik, lama kelamaan berubah menjadi nyantri, sedangkan kata cantrik menjadi santri.  Perubahan itu diterima atau mungkin lebih tepat dilakukan oleh para mubaligh karena sesuai dengan asal kata bahasa Arab “santaro”  yang berarti menutup dan terdiri dari empat huruf yakni (1) sin dari satrul al aurah, yaitu orang yang menutup aurat; (2) nun dari na’ibul ulama, yang berarti wakil ulama; (3) ta’  dari ‘tarku al ma’shi atau meninggalkan kemaksiatan; (4) ra’  dari raisul ummah atau pemimpin umat. Demikianlah gotak-gatik-gatuk khas Jawa, yang berlangsung sejak dahulu kala sampai sekarang.

Dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit (1478M) dan berdirinya Kesultanan Demak yang dipimpin Raden Fatah (lidah Jawa mengucapkan Patah) serta didampingi oleh Wali Songo (Sembilan Wali), penyebaran agama Islam tumbuh secara pesat. Jika semula jumlah para santri yang ikut tinggal bersama para mubaligh khususnya Wali Songo bisa dihitung dengan jari, makin lama makin banyak sehingga tidak bisa ditampung lagi dalam satu rumah induk sang mubaligh.

Oleh karena itu mereka kemudian mendirikan rumah-rumah kecil yang terbuat dari bambu yang disebut pondok. Kata pondok ini juga sesuai dengan kata funduq dari bahasa Arab yang berarti hotel atau asrama. Hatta, istilah padepokan para cantrik, kemudian berubah menjadi pondok pesantren  sebagaimana lazim kita kenal sekarang ini.
Di luar Jawa khususnya Aceh, dakwah para mubaligh kepada masyarakat umum sebenarnya telah lebih dahulu dimulai. Bahkan tatkala petualang Eropa yang legendaris, Marco Polo, berkunjung ke Aceh tahun 1293 M, di sana telah berdiri Kesultanan Islam Samudra Pasai.

Demikian pula ketika petualang Maroko, Ibnu Batuta berkunjung tahun 1345 dan akhir 1346, ia diterima secara bersahabat oleh raja kedua yaitu Sultan Malik az-Zahir, putera dari Sultan Maliku’l Saleh. Saat itu, Samudera Pasai telah menjadi kota kosmopolitan yang ramah bagi suku dan bangsa dari mana pun berasal. Di sana banyak mukim ulama-ulama yang mengajarkan agama Islam. Bahkan Sunan Bonang dan Sunan Giri semasa muda juga pernah menimba ilmu ke Aceh. Di Aceh, tempat para ulama mengajar tadi disebut dayah atau menuasa.

Hampir bersamaan dengan itu, yakni pada sekitar periode abad ke 14 – 16, pusat-pusat pendidikan Islam di berbagai daerah di Nusantara juga mulai tumbuh. Para peneliti keislaman Nusantara berpendapat Pondok Pesantren telah mulai berkembang menjelang akhir abad ke 16, sejalan dengan berdirinya Kesultanan Demak yang menjalin komunikasi luas dengan kerajaan-kerajaan lain mulai dari Malaka, Aceh sampai ke Maluku dan Nusatenggara.

Para santri dari berbagai daerah di Nusantara datang menimba ilmu ke pondok-pondok pesantren di Jawa, dan tatkala kembali ke kampung halamannya, banyak diantara mereka yang juga kemudian mendirikan pondok pesantren. Inilah sesungguhnya cikal bakal dunia pedidikan nasional Nusantara, dan bukan sekolah-sekolah Belanda yang baru mulai didirikan pada tahun 1900, sesuai dengan kebijakan Politik Etis Hindia Belanda.

Tanpa mengurangi rasa hormat dan penghargaan yang luar biasa kepada tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara dengan lembaga pendidikan Taman Siswanya, pada hemat saya Pondok Pesantrenlah yang lebih tepat dijadikan tonggak sejarah Hari Pendidikan Nasional. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah dan pahlawan bangsanya. Kepada Ki Hajar Dewantara, kita harus menghargai. Demikian pula terhadap sejarah perjuangan Pondok Pesantren dalam mencerdaskan anak bangsa, membuat para santri melek huruf, baik Arab, Jawa maupun Latin.

Dari Pondok Pesantren itu pula lahir sejumlah tokoh pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional yang menjadi bapak bangsa, yang bersama putera-putera bangsa yang lain berjuang memproklamasikan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Karena itu, kita harus sambut gembira bahkan harus kita manfaatkan dengan baik, wacana Hari Santri yang digulirkan dalam Kampanye Pemilihan Presiden Joko Widodo, terlepas dia terpilih atau tidak. Lagi pula saya yakin, wacana tersebut “dibisikkan” atau paling tidak diilhami oleh tokoh-tokoh santri yang banyak mendampingi pak Jokowi. Dirgahayu Santri Nusantara.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda