Minggu, 22 Februari 2015

HUBUNGAN SEKS & PENGARUHNYA PADA ANAK : SEKS DALAM PERADABAN & KEBUDAYAAN JAWA (3)

Puncak hubungan seks dan pengaruhnya pada sang anak.

Selain menggambarkan perilaku seks binal, Serat Centhini dan sejumlah kitab lain menguraikan pula betapa sakral masalah hubungan seks bagi para priyayi Jawa. Begitu Tambangraras menyerahkan kegadisannya misalkan, maka segera sesudah selesai melakukan hubungan suami – isteri untuk pertama kalinya, keluarganya langsung mengadakan kenduri dan meracik segala macam jamu, sebagaimana diungkapkan antara lain dalam dua bait ini:

“Tan cinatur langening pulang sih, sabab puniku kandha uliya, saru yen kinarya wadheh, yata wau kang ibu, ngrukti titigasan ireki, sakeh kang ila-ila, sadaya rinamut, sarta lan kendhurinira, Nyai Daya sampun reracik ajampi, pentil delima pethak.

Inguregan ingisenan ganthi, mesoyi pucuk lawan majakan, kapulaga lawan cengkeh, isine cubung wulung, mrapat lawe wenang ginodhi, sawuse ingubedan, pan pinipis lembut, slasih ireng jinantonan, myang pon-emponan panginang ketemu giring, ring bathok pauyupan.”

Masalah seks dalam makna memahami dan mempersiapkan hubungan harmonis pria – wanita supaya bisa menurunkan anak yang baik, juga banyak dikupas dalam berbagai kitab Primbon Jawa, terutama yang bersumber dari babon atau kitab induk karangan Kanjeng Pangeran Harya (KPH) Cakraningrat patih Kasultanan Yogyakarta di masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono V (tahun 1820 – 1855). Sayang sekali kitab primbon seperti itu sekarang sulit dicari, disamping banyak ditulis ulang secara sembarangan oleh siapa saja, juga lebih dikesankan unsur-unsur mistis dan tahayulnya, sehingga tidak menarik bagi generasi muda sekarang.

Satu hal yang seyogyanya perlu dipahami, sebagaimana diajarkan oleh leluhur penulis, yang dalam versi lain bisa dijumpai pula dalam Serat Centhini, Serat Nitimani, Serat Kawruh Sanggama dan Primbon KPH Cakraningrat tersebut, adalah bagaimana sepasang suami-isteri mempersiapkan diri menjelang berhubungan badan, dan apa yang harus dilakukannya pada saat sanggama, terutama apabila mengharapkan keturunan. Secara hakikat, ajaran ini sama dengan ajaran di dalam Islam, namun rukun dan tatacaranya berbeda.

Inti ajarannya adalah hubungan sanggama tidak boleh dipaksakan, dilakukan dalam kondisi badan sehat, sebelumnya mandi dan gosok gigi atau bersih-bersih badan supaya aroma tubuhnya harum, serta dilangsungkan dalam suasana yang tenang dan nyaman. Selanjutnya berdoa atau shalat hajat dua rekaat, memohon ijin dan pertolongan Gusti Allah, agar hubungan suami isteri yang akan dilakukan diridhoi, dirahmati dan diberkahi, diberi kekuatan lahir batin sehingga berlangsung harmonis, serta dijadikan sebagai bekal ibadah dan amal saleh. Yang lebih penting lagi, selama bersanggama, hawa nafsu tidak boleh dibiarkan melesat lepas bebas tanpa kendali agar pada saat mencapai orgasme, baik tatkala terjadi pada isteri atau pun suami, masing-masing syukur jika bisa keduanya, hening sejenak sembari berdoa di dalam hati, agar benih yang dipancarkan bisa menjadi anak yang soleh atau solehah dan sejumlah harapan baik lainnya bagi sang anak.

Suasana batin pasangan pria – wanita pada detik-detik saat mencapai orgasme itulah yang diyakini akan menentukan watak anak yang lahir dari persetubuhan tadi. Apatah berwatak ksatria Pandawa seperti Puntadewa, Bima, Arjuna dan Kresna ataukah para Kurawa seperti Duryudana, Dursasana, Burisrawa dan Sengkuni bahkan Rahwana; berwatak Gajah Mada, Sunan Kalijaga, Bung Karno, ulama, seniman, pedagang ataukah Ken Arok, Damarwulan ataukah berandal ataukah koruptor?

Ibarat sebuah lukisan, suasana batin orang tua sewaktu mencapai puncak hubungan seksual sangat menentukan kualitas kain bahan lukisan. Adapun cat, corak, jenis dan gambar lukisan tergantung pada orangtua, guru dan masyarakat setelah sang anak lahir. Maka seperti suasana batin Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi yang lupa diri lantaran nafsu syahwatnya berkobar tanpa kendali menerjang pagar ayu atau kesusilaan, lahirlah raksasa perkasa nan angkara murka yakni Rahwana atau Dasamuka.

Di dalam legenda dan kepercayaan masyarakat Jawa, ada sejumlah tokoh besar yang lahir akibat hubungan gelap atau pun pemerkosaan. Orang yang melanggar kesusilaan dengan melakukan hubungan gelap, pada umumnya dikuasai dorongan nafsu, semangat dan tekad atau lebih tepat nekad dengan sangat kuat terutama pihak lekaki, sehingga lahirlah anak yang memiliki semangat dan berani nekad. Lebih-lebih apabila setelah lahir, anak hasil kumpul kebo ini bisa dibesarkan serta dididik oleh ibunya selaku orangtua tunggal dengan keprihatinan tinggi. Maka jadilah tokoh-tokoh hasil lembu petengyang mengukir sejarah seperti halnya Ken Arok dan Bondan Kejawan, serta sejumlah tokoh lainnya yang diyakini masyarakat memiliki latar belakang hasil hubungan seks yang sama.

Tentu saja penulis tidak menganjurkan para sahabat melakukan hal yang seperti itu demi memiliki keturunan yang perkasa dan bisa menjadi penguasa ternama. Karena toh kalau anggapan seperti itu benar, berapa persen dari anak-anak hasil hubungan gelap yang bisa berkuasa, dan berapa persen yang gagal total dalam kehidupannya. Saya yakin yang gagal jauh lebih banyak. Lagi pula, keberhasilan menjadi penguasa, tidaklah menjamin yang bersangkutan mencapai ending yang baik.Bahkan tidak jarang kehidupannya berakhir dengan tragis. Naudzubillah.

Semoga urun rembug kita ini, bisa menggugah kesadaran dan membangkitkan keyakinan akan hikmah dan fadilah masalah seks, sebagai bekal ibadah dan amal soleh, terutama demi terbentuknya insan-insan kamil dalam suatu peradaban yang mulia. Allahumma aamiin.

*) Disampaikan pada acara Urun Rembug Kelirumologi “Seks Dalam Peradaban & Kebudayaan Jawa”, yang diselenggarakan Pusat Studi Kelirumologi – Jaya Suprana School of Performing Art, di Balairung Jaya Suprana Institut, Mall of Indonesia, Kelapa Gading, Jakarta, Sabtu 14 Februari 2015.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda