Serat Menak, Kisah
Kepahlawanan
Amir Hamzah
Bait
32 :
Satru mungsuh mundur
pada wedi,
sami dhangan neng
Betal Mukadas,
tulak balik
pangreksane,
pan nabi patang
puluh,
paring wahyu mring
awak mami,
apan Nabi wekasan,
sabda Nabi Dawud,
apetak bagendha
Ambyah,
kinawedan belis
laknat lawan ejim,
tan ana wani perak.
Artinya :
Para
seteru dan musuh mundur karena takut,
sehingga
dengan mudah menuju Baitul Muqadas,
direbut
kembali pengelolaannya,
karena
40 nabi,
memberikan
wahyunya kepada saya (Nabi Muhammad saw.),
sebagai
nabi terakhir,
sabda
Nabi Dawud,
suara
keras Baginda Hamzah,
ditakuti
para jin dan iblis laknat,
tiada
yang berani mendekat.
Bait
32 ini merupakan kelanjutan dari bait 31, yang menceritakan tentang Baginda
Rasul Kanjeng Nabi Muhammad saw. Sebagai tembang puisi, kita memang tidak bisa
menerjemahkan apalagi menafsirkan Kidung ini secara kata per kata, melainkan
harus memahami bait demi bait secara keseluruhan, termasuk memahami latar
belakang serta keadaan masyarakat pada saat tembang itu digubah. Sebagai
contoh, penggunaan kata marang wang
(kepada saya) pada baris terakhir
bait 31, dan penggunaan kata awak mami
(kepada saya) pada baris kelima bait 32. Wang dan mami yang berarti saya,
pada hemat penafsir merujuk kepada Nabi Muhammad saw., dan bukan kepada penulis
Kidung dalam hal ini Sunan Kalijaga atau pun pembaca kidung. Walau begitu,
barang siapa yang mengikuti jalan Rasulullah Saw. secara hakikat dipercaya bisa
ikut memeroleh hikmah keutamaannya.
Demikian
pula penafsiran atas baris keempat dan kelima yang menyebutkan, pan nabi patang puluh, paring wahyu mring
awak mami (karena 40 nabi memberikan wahyu kepada saya), tidak berarti
Kanjeng Nabi Muhammad menerima wahyu dari nabi-nabi sebelumnya sebagaimana ia
menerima wahyu dari Gusti Allah swt., tetapi dimaksudkan ia menerima limpahan atau
meneruskan tugas kewahyuan dari para nabi tersebut. Hal ini dipertegas dengan
baris berikutnya yang menyatakan karena ia sebagai nabi terakhir.
Dengan
kekuatan seperti itu maka kaum beriman akan dengan mudah menduduki Baitul
Muqadas atau Masjidil Aqsa. Sesungguhnya tidak ada referensi yang langsung
menunjuk kata Masjidil Aqsa, namun Surat Ar Ruum (Surat ke 30) ayat 2 – 4, bisa
dimaknai telah mencakupnya. Ketiga ayat ini berbunyi, “Telah dikalahkan bangsa Rumawi, di negeri yang terdekat dan mereka
sesudah dikalahkan itu akan menang dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah
urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa
Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman.”
Ayat
tersebut mengisahkan peristiwa yang terjadi pada tahun 614 – 615 M atau empat
tahun setelah masa kenabian, kekuasaan Rumawi Timur yang berpusat di
Konstantinopel yang meliputi wilayah Syria dan Palestina direbut oleh Persia.
Tapi tujuh tahun kemudian (622M), Rumawi berhasil merebutnya kembali.
Kemenangan
Persia atas Rumawi disambut gembira oleh kaum musyrikin di Mekah yang menyembah
berhala, sebagai kemenangan kaum penyembah berhala atas kaum ahli kitab. Bangsa
Rumawi pada saat itu sudah memeluk agama Nasrani dengan Kitab Sucinya,
sedangkan bangsa Persia beragama Majusi yang menyembah api dan berhala. Pada
saat para penyembah berhala di Mekah berpesta ikut merayakan kemenangan Persia
itulah, kemudian turun Surat Ar Ruum yang menerangkan kaum Rumawi yang beriman
akan kembali mengalahkan Persia hanya dalam beberapa tahun lagi. Ada pun
Masjidil Aqsa atau Baitul Muqadas yang sekarang diklaim sebagai wilayah Israel,
pada masa itu merupakan wilayah Palestina.
Pembangunan Baitul Aqsa, dimulai
oleh Nabi Dawud dan diteruskan oleh puteranya yaitu Nabi Sulaiman. Sejarah
Yahudi menulis, di tempat ini Nabi Sulaiman membangun apa yang mereka sebut
sebagai Kuil Sulaiman. Sesudah itu
wilayah tersebut silih berganti dikuasai oleh Babylon, Persia dan Rumawi,
Persia dan kembali oleh Rumawi sebagaimana disebut dalam Surat Ar Ruum.
Kata Masjidil Aqsa dijumpai pada
ayat pertama Surat Al Israa’ yang
berbunyi, “Mahasuci Allah yang
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa
yang Kami berkahi sekelilingnya untuk kami memperlihatkan kepadanya sebagian
tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” Uraian lebih lanjut tentang Masjidil Aqsa dikemukakan di dalam
hadis yang mengisahkan peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut, yang sekarang ini
sering kita dengarkan dalam acara-acara peringatan Isra’ Mi’raj.
Seringkali masyarakat menggabungkan
Isra” Mi’raj menjadi satu peristiwa yang sama. Padahal sebenarnya Isra dan
Mi’raj merupakan dua peristiwa yang berbeda. Dalam Isra’, Nabi Muhammad “diberangkatkan”
oleh Allah Yang Maha Kuasa dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Sedangkan dalam
Mi'raj, Nabi Muhammad “dinaikkan” ke langit sampai ke Sidratul Muntaha yang
merupakan tempat tertinggi. Di sini Kanjeng Nabi mendapat perintah langsung
dari Allah swt. untuk menunaikan salat lima waktu, dan selama mi’raj itu pula beliau
memperoleh berbagai tamzil yang menggambarkan kehidupan umatnya, yang membuat
beliau sedih.
Setelah boleh dikatakan berada di
tangan Rumawi semenjak 63 tahun Sebelum Masehi sampai dengan 638 M, pasukan
Khalifah Umar bin Khatab merebut Jerusalem dengan Masjidil Aqsanya. Beliau
kemudian datang ke kota ini untuk menerima penyerahan dan mengadakan perjanjian
dengan kaum Nasrani agar tidak menghancurkan Gereja-gereja yang ada di dalamnya.
Setelah menandatangani perjanjian yang disebut “Omariya Treaty”, di dalam
Gereja Makam Suci, beliau ditawari untuk bersembahyang, namun dengan rendah
hati menolaknya dan sebaliknya meminta supaya dibawa meninjau batu tempat Mi’rajnya Rasulullah SAW
(kini ada di dalam Dome of Rock – bangunan berkubah warna emas).
Di sini ia menjumpai tempat tersebut
sangat kotor dan tidak terawat. Maka ia meminta dibersihkan dan kemudian didirikan
masjid kayu yang selanjutnya disebut Masjid Umar untuk shalat (berkubah warna abu-abu), yg terletak lebih ke
depan menghadap arah kiblat (Ka’bah). Pada masa periode Khalifah Umayyah, tahun
685 Abdul Malik dan anaknya Al Walid membangun bangunan yang sekarang dikenal
dengan Dome of Rock atau Kubbah As Sakra dan memperluas Masjid Umar menjadi
Masjid Al Aqsa sekarang.
Demikianlah, sejarah telah
menorehkan pusaran panas di kawasan Jerusalem dengan Masjidil Aqsanya. Tahun
1917 Inggris merebutnya dari tangan Dinasti Usmaniyah Turki yang telah
menguasainya semenjak 1517. Pada tanggal 29 November 1947 setelah Perang Dunia
II, Perserikatan Bangsa-Bangsa memutuskan wilayah Palestina yang dikuasai
Inggris sejak 1917 itu dibagi dua, yaitu bagian barat untuk bangsa Yahudi yang
dikuasai oleh Israel dan bagian timur untuk bangsa-bangsa Arab di bawah
Pemerintahan Jordania. Pemisahan ini langsung mengobarkan suasana panas yang
terus berlangsung sampai sekarang.
Kembali pada bait 32 Kidung Kawedar
atau disebut juga Kidung Sarira Ayu, baris ketujuh dan kedelapan mengemukakan
wibawa Nabi Dawud dan Hamzah, yaitu paman Rasulullah, sehingga bahkan para jin
dan setan pun ketakutan, tiada yang berani mendekat. Menilik keperkasaan dan
keberaniannya, penyebutan nama Nabi Dawud dan Sayidina Hamzah, diharapkan dapat
menarik serta memberikan sugesti keberanian kepada pemeluk-pemeluk Islam yang
masih baru dan belum banyak jumlahya.
Nabi Dawud adalah perintis
pembangunan wilayah di mana Betal Mukadas (Baitaul Aqsa) yang disebut pada
baris kedua bait ini berada. Ia adalah ayah dari Nabi Sulaiman, seorang nabi
yang dianugerahi Allah banyak keistimewaan antara lain jago berperang, bisa
memahami bahasa burung, diamanahi kitab
suci Zabur. Di samping seorang nabi, ia juga sekaligus seorang raja yang
memimpin kerajaan yang besar dan kuat. Di dalam Kidung Kawedar, disebut sabda Nabi
Dawud, karena kecuali ditakuti musuh-musuhnya, ia pun dikaruniani suara nan
merdu, sehingga sampai sekarang menjadi kiasan, apabila ada orang yang memiliki
suara merdu diibaratkan ia memperoleh suara Nabi Dawud, sebagaimana juga
disinggung di bait keempat.
Perihal Baginda Ambyah atau Sayidina
Hamzah, namanya memang amat tersohor di semenanjung Melayu semenjak awal abad
16, dan terus menyebar ke Nusantara termasuk Jawa, mengikuti penyebaran agama
Islam. Di kalangan Rumpun Melayu, cerita keberanian dan kepahlawanannya yang
heroik dalam berperang melawan kaum musyrikin dituangkan dalam Hikayat Amir
Hamzah, sedangkan di Jawa dikisahkan dalam Serat Menak.
Susiyanto dari Pusat Studi Peradaban Islam, dalam Cerita Menak:
Warisan Budaya Islam di Indonesia, susiyanto.wordpress.com, diunduh pada 18
Oktober 2014, menulis, cerita Menak adalah sebuah gambaran perjuangan kaum
muslimin dalam melakukan dakwah dan jihad untuk meninggikan kalimat Allah.
Sumber ceritanya berasal dari kitab “Qissa I Emr Hamza” yaitu sebuah
karya sastra Persia pada era pemerintahan Sultan Harun Ar Rasyid
(766-809 M). Karya sastra ini di Melayu kemudian dikenal dengan nama “Hikayat
Amir Hamzah”. Transliterasi awal terhadap kisah Amir Hamzah di Jawa
dilakukan pada tahun 1717 M oleh Ki Carik Narawita, atas perintah Kanjeng
Ratu Mas Balitar, permaisuri Susuhunan Pakubuwana I di Kasunanan Kartasura.
Hasil terjemahannya kemudian dikenal dengan nama “Serat Menak ”. Dalam
karya berbahasa Jawa ini sejumlah nama mulai disesuaikan dengan pelafalan lidah
Jawa, misalnya Osama bin Omayya menjadi Umarmaya, Qobat
Shehriar menjadi Kobat Sarehas, Badiuz Zaman diubah menjadi Imam
Suwangsa, Mihrnigar menjadi Dewi Retna Muninggar, Unekir
menjadi Dewi Adaninggar, Amir Hamzah menjadi Amir Ambyah,
dan lain sebagainya. Perlu diketahui sebelum terjadi proses transliterasi ini,
sebenarnya cerita Menak telah lebih dahulu popular di kalangan masyarakat Jawa.
Pada masa selanjutnya “Serat Menak”
ditulis ulang dengan menggunakan tembang Macapat oleh Raden Ngabehi
Yasadipura I dan diteruskan oleh Raden Ngabehi Yasadipura II, keduanya
adalah pujangga besar dari Kasunanan Surakarta. Karya kedua pujangga tersebut
pernah dipublikasikan dalam buku beraksara Jawa oleh Balai Pustaka pada
tahun 1925. Cerita Menak dalam karya kedua pujangga tersebut merupakan bentuk
pengembangan bebas dari karya terjemahan Bahasa Melayu yang sebelumnya
diprakarsai oleh Ki Carik Narawita. Unsur-unsur mistik Jawa mulai muncul dalam
karya ini. Namun demikian spirit yang mengilhami alur kisahnya tidak lenyap
sama sekali. Penceritaan dalam gaya tembang justru memperlihatkan keindahan
bahasa dan sastra tingkat tinggi yang sebanding dengan gaya yang dimiliki
cerita Panji. Cerita Menak ini terdiri dari 48 jilid. Jika dikalkulasi maka
keseluruhan isi “Serat Menak” terdiri dari 2.050 halaman. Sebuah karya sastra
Islam yang sangat fantastis di Jawa.
Selain itu terdapat juga buku “Serat
Menak Branta” yaitu cerita Menak yang bisa dikatakan sebagai versi Mataram
atau versi Yogyakartanan. Naskah asli Serat Menak Branta ini dikerjakan oleh Adi
Triyono dan Tukiyo atas perintah Gusti Kanjeng Ratusasi,
putri dari Sri Sultan Hamengku Buwana VI. Isinya secara umum tidak jauh
berbeda dengan “Menak Gandrung” karya Raden Ngabehi Yasadipura, namun disajikan
secara berbeda dengan mempergunakan gaya bahasa yang lebih mudah dicerna.
Isi cerita Menak ini mengisahkan
perjuangan umat Islam sebelum masa kerasulan Nabi Muhammad saw. Di tengah
kekafiran dan kejahiliyahan yang berkembang di sejumlah negeri di Timur Tegah,
terdapat kaum hanif yang tetap menjalankan ajaran dari millah Nabi Ibrahim, yaitu
Agama Islam. Jadi Agama Islam yang dimaksud dalam cerita Menak
sebenarnya adalah ajaran Allah yang telah dimulai sejak masa kehidupan Nabi
Adam. Cerita ini secara tersirat juga menegaskan bahwa Agama Allah satu-satunya
hanyalah Islam. Sementara itu terdapat agama yang lain yang muncul sebagai
bentuk distorsi dari ajaran nabi-nabi sebelumnya. Kaum hanif ini terus
berjuang menegakkan kalimat Allah dengan menghadapi tantangan kaum kafir,
sambil menantikan kedatangan Nabi akhir zaman yang akan segera tiba, bernama
Nabi Muhammad.
Tokoh cerita utamanya adalah Amir
Ambyah (Amir Hamzah). Diceritakan bahwa ia sangat rajin berdakwah dan
melakukan akivitas jihad. Hasil perjuangannya, sejumlah raja-raja kafir
berhasil disyahadatkan sehingga mengakui Allah sebagai Illah dan Nabi Muhammad,
nabi akhir zaman yang akan segera tiba, sebagai utusan Allah. Salah satu tokoh
yang berhasil diislamkan adalah mertuanya sendiri yang bernama Prabu
Nursewan atau Nusirwan (Anusyirwan), raja Medayin. Tokoh Amir
Ambyah memiliki banyak sekali julukan antara lain Wong Agung Menak, Wong
Agung Jayengrana, dan Wong Agung Jayengresmi. Sebutan Wong Agung
Menak ini yang kemudian digunakan oleh pujangga-pujangga Jawa untuk menamakan
kitabnya sebagai “Serat Menak”. Disebut Wong Agung Jayengrana sebab Amir Ambyah
selalu berjaya dalam setiap pertempuran yang diikutinya. Amir Ambyah disebut
sebagai Wong Agung Jayengresmi karena ia bukan hanya pahlawan di medan perang,
namun ia memiliki sisi keromantisan terhadap pasangan hidupnya. Amir Ambyah
merupakan tokoh yang pandai memelihara keutuhan rumah tangganya, meskipun
memiliki istri lebih dari satu. Dalam hal ini Amir Ambyah memiliki karakter
yang mirip Arjuna dalam epos Mahabarata versi Jawa, namun tidak pada
karakteristik “playboy” yang dimiliki tokoh Pandawa tersebut.
Menurut Susyanto, setelah epos
Mahabarata dan Ramayana, cerita Menak merupakan karya fiksi yang banyak
menginspirasi orang Jawa dan Lombok, baik dari kalangan rakyat kecil hingga
kaum pembesar pada jamannya. Dari cerita ini nyatanya telah lahir sejumlah
karya sastra dan budaya yang bermutu tinggi dengan tanpa mengabaikan aspek
moralitas. Cerita Menak merupakan inspirasi bagi lahirnya Wayang Menak
yang dahulu sering dipentaskan sebagai tontonan rakyat kecil hingga bangsawan
di Kraton.
Bagi penulis, kajian Susyanto itu
pantas diacungi jempol. Di masa kanak-kanak kami tahun 1950an, pertunjukan
wayang dan ketoprak dengan lakon Wong Agung Menak, merupakan tontonan yang
digemari masyarakat. Dua tokoh yang penafsir kagumi adalah Umarmaya yang kocak
tapi sakti, serta Wong Agung Menak itu sendiri, yang sakti tak terkalahkan lagi
disenangi banyak puteri cantik. Di zaman sekarang kepahlawanan mereka tak kalah
bila disandingkan dengan Superman, Batman, Spiderman, Cat Women dan para hero
dunia maya lainnya.
Di Semenanjung Melayu, Hikayat Amir
Hamzah disebarluaskan menjadi cerita rakyat atas perintah Sultan Melaka, yaitu
Sultan Ahmad, guna menggelorakan semangat perang melawan pendudukan Portugis
atas Melaka tahun 1511.
Melihat sejarah Baginda Ambyah atau
Sayidina Hamzah yang bersumber dari kitab “Qissa I Emr Hamza” yaitu
sebuah karya sastra Persia pada era pemerintahan Sultan Harun Ar Rasyid
(766-809 M), maka pengetahuan Sunan Kalijaga di awal abad 16 itu, dengan media
komunikasi dan transportasi yang masih jauh terbelakang, sungguhlah luar biasa.
Tentu lain halnya bila itu terjadi pada era globalisasi sekarang, yang hanya
dalam tempo beberapa menit saja, bahkan sekejab, kita sudah bisa mengetahui
sesuatu peristiwa besar yang terjadi di sudut dunia nun jauh.
Subhanallaah walhamdulillaah,
maasyaa Allaah.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda