Minggu, 04 Januari 2015

SERAT MENAK, KISAH KEPAHLAWANAN AMIR HAMZAH: Tafsir Suluk Kidung Rumekso Ing Wengi Sunan Kalijaga (13)



Serat Menak, Kisah Kepahlawanan
Amir Hamzah

Bait 32 :

Satru mungsuh mundur pada wedi,
sami dhangan neng Betal Mukadas,
tulak balik pangreksane,
pan nabi patang puluh,
paring wahyu mring awak mami,
apan Nabi wekasan,
sabda Nabi Dawud,
apetak bagendha Ambyah,
kinawedan belis laknat lawan ejim,
tan ana wani perak.

Artinya :

Para seteru dan musuh mundur karena takut,
sehingga dengan mudah menuju Baitul Muqadas,
direbut kembali pengelolaannya,
karena 40 nabi,
memberikan wahyunya kepada saya (Nabi Muhammad saw.),
sebagai nabi terakhir,
sabda Nabi Dawud,
suara keras Baginda Hamzah,
ditakuti para jin dan iblis laknat,
tiada yang berani mendekat.

Bait 32 ini merupakan kelanjutan dari bait 31, yang menceritakan tentang Baginda Rasul Kanjeng Nabi Muhammad saw. Sebagai tembang puisi, kita memang tidak bisa menerjemahkan apalagi menafsirkan Kidung ini secara kata per kata, melainkan harus memahami bait demi bait secara keseluruhan, termasuk memahami latar belakang serta keadaan masyarakat pada saat tembang itu digubah. Sebagai contoh, penggunaan kata marang wang (kepada saya)  pada baris terakhir bait 31, dan penggunaan kata awak mami (kepada saya) pada baris kelima bait 32. Wang dan mami yang berarti saya, pada hemat penafsir merujuk kepada Nabi Muhammad saw., dan bukan kepada penulis Kidung dalam hal ini Sunan Kalijaga atau pun pembaca kidung. Walau begitu, barang siapa yang mengikuti jalan Rasulullah Saw. secara hakikat dipercaya bisa ikut memeroleh hikmah keutamaannya.

Demikian pula penafsiran atas baris keempat dan kelima yang menyebutkan, pan nabi patang puluh, paring wahyu mring awak mami (karena 40 nabi memberikan wahyu kepada saya), tidak berarti Kanjeng Nabi Muhammad menerima wahyu dari nabi-nabi sebelumnya sebagaimana ia menerima wahyu dari Gusti Allah swt., tetapi dimaksudkan ia menerima limpahan atau meneruskan tugas kewahyuan dari para nabi tersebut. Hal ini dipertegas dengan baris berikutnya yang menyatakan karena ia sebagai nabi terakhir.

Dengan kekuatan seperti itu maka kaum beriman akan dengan mudah menduduki Baitul Muqadas atau Masjidil Aqsa. Sesungguhnya tidak ada referensi yang langsung menunjuk kata Masjidil Aqsa, namun Surat Ar Ruum (Surat ke 30) ayat 2 – 4, bisa dimaknai telah mencakupnya. Ketiga ayat ini berbunyi, “Telah dikalahkan bangsa Rumawi, di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman.”

Ayat tersebut mengisahkan peristiwa yang terjadi pada tahun 614 – 615 M atau empat tahun setelah masa kenabian, kekuasaan Rumawi Timur yang berpusat di Konstantinopel yang meliputi wilayah Syria dan Palestina direbut oleh Persia. Tapi tujuh tahun kemudian (622M), Rumawi berhasil merebutnya kembali.

Kemenangan Persia atas Rumawi disambut gembira oleh kaum musyrikin di Mekah yang menyembah berhala, sebagai kemenangan kaum penyembah berhala atas kaum ahli kitab. Bangsa Rumawi pada saat itu sudah memeluk agama Nasrani dengan Kitab Sucinya, sedangkan bangsa Persia beragama Majusi yang menyembah api dan berhala. Pada saat para penyembah berhala di Mekah berpesta ikut merayakan kemenangan Persia itulah, kemudian turun Surat Ar Ruum yang menerangkan kaum Rumawi yang beriman akan kembali mengalahkan Persia hanya dalam beberapa tahun lagi. Ada pun Masjidil Aqsa atau Baitul Muqadas yang sekarang diklaim sebagai wilayah Israel, pada masa itu merupakan wilayah Palestina.

Pembangunan Baitul Aqsa, dimulai oleh Nabi Dawud dan diteruskan oleh puteranya yaitu Nabi Sulaiman. Sejarah Yahudi menulis, di tempat ini Nabi Sulaiman membangun apa yang mereka sebut sebagai Kuil Sulaiman. Sesudah itu wilayah tersebut silih berganti dikuasai oleh Babylon, Persia dan Rumawi, Persia dan kembali oleh Rumawi sebagaimana disebut dalam Surat Ar Ruum.

Kata Masjidil Aqsa dijumpai pada ayat pertama Surat Al Israa’  yang berbunyi, “Mahasuci Allah yang memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang Kami berkahi sekelilingnya untuk kami memperlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Uraian lebih lanjut tentang Masjidil Aqsa dikemukakan di dalam hadis yang mengisahkan peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut, yang sekarang ini sering kita dengarkan dalam acara-acara peringatan Isra’ Mi’raj.

Seringkali masyarakat menggabungkan Isra” Mi’raj menjadi satu peristiwa yang sama. Padahal sebenarnya Isra dan Mi’raj merupakan dua peristiwa yang berbeda. Dalam Isra’, Nabi Muhammad “diberangkatkan” oleh Allah Yang Maha Kuasa dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Sedangkan dalam Mi'raj, Nabi Muhammad “dinaikkan” ke langit sampai ke Sidratul Muntaha yang merupakan tempat tertinggi. Di sini Kanjeng Nabi mendapat perintah langsung dari Allah swt. untuk menunaikan salat lima waktu, dan selama mi’raj itu pula beliau memperoleh berbagai tamzil yang menggambarkan kehidupan umatnya, yang membuat beliau sedih.

Setelah boleh dikatakan berada di tangan Rumawi semenjak 63 tahun Sebelum Masehi sampai dengan 638 M, pasukan Khalifah Umar bin Khatab merebut Jerusalem dengan Masjidil Aqsanya. Beliau kemudian datang ke kota ini untuk menerima penyerahan dan mengadakan perjanjian dengan kaum Nasrani agar tidak menghancurkan Gereja-gereja yang ada di dalamnya. Setelah menandatangani perjanjian yang disebut “Omariya Treaty”, di dalam Gereja Makam Suci, beliau ditawari untuk bersembahyang, namun dengan rendah hati menolaknya dan sebaliknya meminta supaya dibawa  meninjau batu tempat Mi’rajnya Rasulullah SAW (kini ada di dalam Dome of Rock – bangunan berkubah warna emas).

Di sini ia menjumpai tempat tersebut sangat kotor dan tidak terawat. Maka ia meminta dibersihkan dan kemudian didirikan masjid kayu yang selanjutnya disebut Masjid Umar untuk shalat  (berkubah warna abu-abu), yg terletak lebih ke depan menghadap arah kiblat (Ka’bah). Pada masa periode Khalifah Umayyah, tahun 685 Abdul Malik dan anaknya Al Walid membangun bangunan yang sekarang dikenal dengan Dome of Rock atau Kubbah As Sakra dan memperluas Masjid Umar menjadi Masjid Al Aqsa sekarang.

Demikianlah, sejarah telah menorehkan pusaran panas di kawasan Jerusalem dengan Masjidil Aqsanya. Tahun 1917 Inggris merebutnya dari tangan Dinasti Usmaniyah Turki yang telah menguasainya semenjak 1517. Pada tanggal 29 November 1947 setelah Perang Dunia II, Perserikatan Bangsa-Bangsa memutuskan wilayah Palestina yang dikuasai Inggris sejak 1917 itu dibagi dua, yaitu bagian barat untuk bangsa Yahudi yang dikuasai oleh Israel dan bagian timur untuk bangsa-bangsa Arab di bawah Pemerintahan Jordania. Pemisahan ini langsung mengobarkan suasana panas yang terus berlangsung sampai sekarang.

Kembali pada bait 32 Kidung Kawedar atau disebut juga Kidung Sarira Ayu, baris ketujuh dan kedelapan mengemukakan wibawa Nabi Dawud dan Hamzah, yaitu paman Rasulullah, sehingga bahkan para jin dan setan pun ketakutan, tiada yang berani mendekat. Menilik keperkasaan dan keberaniannya, penyebutan nama Nabi Dawud dan Sayidina Hamzah, diharapkan dapat menarik serta memberikan sugesti keberanian kepada pemeluk-pemeluk Islam yang masih baru dan belum banyak jumlahya.

Nabi Dawud adalah perintis pembangunan wilayah di mana Betal Mukadas (Baitaul Aqsa) yang disebut pada baris kedua bait ini berada. Ia adalah ayah dari Nabi Sulaiman, seorang nabi yang dianugerahi Allah banyak keistimewaan antara lain jago berperang, bisa memahami bahasa  burung, diamanahi kitab suci Zabur. Di samping seorang nabi, ia juga sekaligus seorang raja yang memimpin kerajaan yang besar dan kuat. Di dalam Kidung Kawedar, disebut  sabda Nabi Dawud, karena kecuali ditakuti musuh-musuhnya, ia pun dikaruniani suara nan merdu, sehingga sampai sekarang menjadi kiasan, apabila ada orang yang memiliki suara merdu diibaratkan ia memperoleh suara Nabi Dawud, sebagaimana juga disinggung di bait keempat.

Perihal Baginda Ambyah atau Sayidina Hamzah, namanya memang amat tersohor di semenanjung Melayu semenjak awal abad 16, dan terus menyebar ke Nusantara termasuk Jawa, mengikuti penyebaran agama Islam. Di kalangan Rumpun Melayu, cerita keberanian dan kepahlawanannya yang heroik dalam berperang melawan kaum musyrikin dituangkan dalam Hikayat Amir Hamzah, sedangkan di Jawa dikisahkan dalam Serat Menak.

Susiyanto dari Pusat Studi Peradaban Islam, dalam Cerita Menak: Warisan Budaya Islam di Indonesia, susiyanto.wordpress.com, diunduh pada 18 Oktober 2014, menulis, cerita Menak adalah sebuah gambaran perjuangan kaum muslimin dalam melakukan dakwah dan jihad untuk meninggikan kalimat Allah. Sumber ceritanya berasal dari kitab “Qissa I Emr Hamza” yaitu sebuah karya sastra Persia pada era pemerintahan Sultan Harun Ar Rasyid (766-809 M). Karya sastra ini di Melayu kemudian dikenal dengan nama “Hikayat Amir Hamzah”. Transliterasi awal terhadap kisah Amir Hamzah  di Jawa dilakukan pada tahun 1717 M oleh Ki Carik Narawita, atas perintah Kanjeng Ratu Mas Balitar, permaisuri Susuhunan Pakubuwana I di Kasunanan Kartasura. Hasil terjemahannya kemudian dikenal dengan nama “Serat Menak ”. Dalam karya berbahasa Jawa ini sejumlah nama mulai disesuaikan dengan pelafalan lidah Jawa, misalnya Osama bin Omayya menjadi Umarmaya, Qobat Shehriar menjadi Kobat Sarehas, Badiuz Zaman diubah menjadi Imam Suwangsa, Mihrnigar menjadi Dewi Retna Muninggar, Unekir menjadi Dewi Adaninggar, Amir Hamzah menjadi Amir Ambyah, dan lain sebagainya. Perlu diketahui sebelum terjadi proses transliterasi ini, sebenarnya cerita Menak telah lebih dahulu popular di kalangan masyarakat Jawa.

Pada masa selanjutnya “Serat Menak” ditulis ulang dengan menggunakan tembang Macapat oleh Raden Ngabehi Yasadipura I dan diteruskan oleh Raden Ngabehi Yasadipura II, keduanya adalah pujangga besar dari Kasunanan Surakarta. Karya kedua pujangga tersebut pernah dipublikasikan dalam buku beraksara Jawa oleh Balai Pustaka  pada tahun 1925. Cerita Menak dalam karya kedua pujangga tersebut merupakan bentuk pengembangan bebas dari karya terjemahan Bahasa Melayu yang sebelumnya diprakarsai oleh Ki Carik Narawita. Unsur-unsur mistik Jawa mulai muncul dalam karya ini. Namun demikian spirit yang mengilhami alur kisahnya tidak lenyap sama sekali. Penceritaan dalam gaya tembang justru memperlihatkan keindahan bahasa dan sastra tingkat tinggi yang sebanding dengan gaya yang dimiliki cerita Panji. Cerita Menak ini terdiri dari 48 jilid. Jika dikalkulasi maka keseluruhan isi “Serat Menak” terdiri dari 2.050 halaman. Sebuah karya sastra Islam yang sangat fantastis di Jawa.

Selain itu terdapat juga buku “Serat Menak Branta” yaitu cerita Menak yang bisa dikatakan sebagai versi Mataram atau versi Yogyakartanan. Naskah asli Serat Menak Branta ini dikerjakan oleh Adi Triyono dan Tukiyo atas perintah Gusti Kanjeng Ratusasi, putri dari Sri Sultan Hamengku Buwana VI. Isinya secara umum tidak jauh berbeda dengan “Menak Gandrung” karya Raden Ngabehi Yasadipura, namun disajikan secara berbeda dengan mempergunakan gaya bahasa yang lebih mudah dicerna.

Isi cerita Menak ini mengisahkan perjuangan umat Islam sebelum masa kerasulan Nabi Muhammad saw. Di tengah kekafiran dan kejahiliyahan yang berkembang di sejumlah negeri di Timur Tegah, terdapat kaum hanif yang tetap menjalankan ajaran dari millah Nabi Ibrahim, yaitu Agama Islam. Jadi Agama Islam yang dimaksud dalam cerita Menak sebenarnya adalah ajaran Allah yang telah dimulai sejak masa kehidupan Nabi Adam. Cerita ini secara tersirat juga menegaskan bahwa Agama Allah satu-satunya hanyalah Islam. Sementara itu terdapat agama yang lain yang muncul sebagai bentuk distorsi dari ajaran nabi-nabi sebelumnya.  Kaum hanif ini terus berjuang menegakkan kalimat Allah dengan menghadapi tantangan kaum kafir, sambil menantikan kedatangan Nabi akhir zaman yang akan segera tiba, bernama Nabi Muhammad.

Tokoh cerita utamanya adalah Amir Ambyah (Amir Hamzah). Diceritakan bahwa ia sangat rajin berdakwah dan melakukan akivitas jihad. Hasil perjuangannya, sejumlah raja-raja kafir berhasil disyahadatkan sehingga mengakui Allah sebagai Illah dan Nabi Muhammad, nabi akhir zaman yang akan segera tiba, sebagai utusan Allah. Salah satu tokoh yang berhasil diislamkan adalah mertuanya sendiri yang bernama Prabu Nursewan atau Nusirwan (Anusyirwan), raja Medayin. Tokoh Amir Ambyah memiliki banyak sekali julukan antara lain Wong Agung Menak, Wong Agung Jayengrana, dan Wong Agung Jayengresmi. Sebutan Wong Agung Menak ini yang kemudian digunakan oleh pujangga-pujangga Jawa untuk menamakan kitabnya sebagai “Serat Menak”. Disebut Wong Agung Jayengrana sebab Amir Ambyah selalu berjaya dalam setiap pertempuran yang diikutinya. Amir Ambyah disebut sebagai Wong Agung Jayengresmi karena ia bukan hanya pahlawan di medan perang, namun ia memiliki sisi keromantisan terhadap pasangan hidupnya. Amir Ambyah merupakan tokoh yang pandai memelihara keutuhan rumah tangganya, meskipun memiliki istri lebih dari satu. Dalam hal ini Amir Ambyah memiliki karakter yang mirip Arjuna dalam epos Mahabarata versi Jawa, namun tidak pada karakteristik “playboy” yang dimiliki tokoh Pandawa tersebut.

Menurut Susyanto, setelah epos Mahabarata dan Ramayana, cerita Menak merupakan karya fiksi yang banyak menginspirasi orang Jawa dan Lombok, baik dari kalangan rakyat kecil hingga kaum pembesar pada jamannya. Dari cerita ini nyatanya telah lahir sejumlah karya sastra dan budaya yang bermutu tinggi dengan tanpa mengabaikan aspek moralitas. Cerita Menak merupakan inspirasi bagi lahirnya Wayang Menak yang dahulu sering dipentaskan sebagai tontonan rakyat kecil hingga bangsawan di Kraton.

Bagi penulis, kajian Susyanto itu pantas diacungi jempol. Di masa kanak-kanak kami tahun 1950an, pertunjukan wayang dan ketoprak dengan lakon Wong Agung Menak, merupakan tontonan yang digemari masyarakat. Dua tokoh yang penafsir kagumi adalah Umarmaya yang kocak tapi sakti, serta Wong Agung Menak itu sendiri, yang sakti tak terkalahkan lagi disenangi banyak puteri cantik. Di zaman sekarang kepahlawanan mereka tak kalah bila disandingkan dengan Superman, Batman, Spiderman, Cat Women dan para hero dunia maya lainnya.

Di Semenanjung Melayu, Hikayat Amir Hamzah disebarluaskan menjadi cerita rakyat atas perintah Sultan Melaka, yaitu Sultan Ahmad, guna menggelorakan semangat perang melawan pendudukan Portugis atas Melaka tahun 1511.

Melihat sejarah Baginda Ambyah atau Sayidina Hamzah yang bersumber dari kitab “Qissa I Emr Hamza” yaitu sebuah karya sastra Persia pada era pemerintahan Sultan Harun Ar Rasyid (766-809 M), maka pengetahuan Sunan Kalijaga di awal abad 16 itu, dengan media komunikasi dan transportasi yang masih jauh terbelakang, sungguhlah luar biasa. Tentu lain halnya bila itu terjadi pada era globalisasi sekarang, yang hanya dalam tempo beberapa menit saja, bahkan sekejab, kita sudah bisa mengetahui sesuatu peristiwa besar yang terjadi di sudut dunia nun jauh.

Subhanallaah walhamdulillaah, maasyaa Allaah.




















0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda