Hikmah
Petruk (Jokowi) Jadi Ratu
Banyak orang yang mengibaratkan Presiden Jokowi, yang
memang juga berpostur sama, bagaikan Petruk Jadi Ratu (PRT). Kisah atau lakon
PRT adalah carangan atau ranting cerita khas Jawa, yang dikarang oleh Sunan
Kalijaga sebagai sarana dakwah. Lantaran hanya carangan, maka lakon itu tidak
dijumpai dalam pakem atau babon induk cerita Mahabarata.
Petruk yang kurus tinggi, kampungan-ndeso katruk, adalah
seorang rakyat biasa, bahkan jongos atau abdi dalem dari para ksatria Pandawa.
Pandawa adalah para ksatria istimewa yang dipimpin oleh seorang raja yang tidak
mau mengenakan mahkota serta berbagai atribut kebesaran seorang raja.
Sang Raja yakni Puntadewa, dilukiskan oleh Sunan
Kalijaga dalam wayang kulit, sebagai raja yang rambutnya digelung sederhana
tanpa mahkota. Mukanya senantiasa menunduk. Perilakunya lemah lembut bagaikan
orang yang tiada daya, sehingga terkesan tidak mampu berperang, tidak bisa
berkelahi. Ia tidak pernah marah, hatinya suci bersih sehingga digambarkan
darahnya tidak berwarna merah melainkan putih. Namun tatkala pasukannya
terdesak dan tiada satu pun perwira perangnya
yang mampu menandingi Panglima Perang musuh, Puntadewa maju ke medan
laga, turun dari kereta perang berjalan kaki menyerbu lawan dengan menenteng
busur panah beserta keyakinan mutlak terhadap hikmah kekuatan dua kalimat
syahadat. Akibatnya para jin setan peri perayangan yang membantu musuhnya,
seketika musnah. Sementara anak panahnya melesat bagaikan kilat menembus Prabu
Salya sang lawan sehingga tewas.
Puntadewa dalam versi dakwah Sunan Kalijaga, adalah ciri
seorang pemimpin satria pinandita, seorang satria atau umara yang berjiwa
pendeta atau ulama. Ia memimpin negeri Amarta dengan pusaka andalan Jamus
Kalimasada, yang tiada lain adalah dua kalimat syahadat. Itu berarti ia
senantiasa taat kepada Gusti Allah dan Kanjeng Nabi Muhammad, dengan menghayati
segala perintah dan ajarannya, termasuk memegang teguh empat bekal utama kepemimpinan
Kanjeng Nabi yang diringkas sebagai STAF yaitu
(1) Sidiq atau benar, jujur baik dalam pikiran, perkataan maupun
perbuatan; (2) Tabligh atau memberikan pencerahan dan pentunjuk; (3) Amanah
atau bisa dipercaya dan bertanggungjawab; (4) Fatonah atau cerdas, meskipun
beliau buta huruf.
Puntadewa adalah contoh pemimpin ideal yang rendah hati,
tawadu, ikhlas, tidak riya dan tidak ujub. Tidak sombong, tidak suka pamer dan
tidak suka dipuji. Hidup dan tampil amat sederhana, bagaikan rakyat jelata,
sangat jujur dan adil serta mengabdi untuk kesejahteraan rakyat. Semua akhlak
mulia itu ditularkan serta menjadi pegangan hidup para ksatria Pandawa lainnya,
sehingga negara dan rakyatnya hidup tenteram, makmur sejahtera.
Namun demikian pada suatu masa, ketenteraman, kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat terguncang hebat. Semua itu lantaran para elite
kehilangan pusaka Jamus Kalimasada, artinya ketaatannya kepada Gusti Allah dan
Kanjeng Nabi lenyap. Ini berarti semua keseimbangan kehidupan dengan tatanan
baiknya porak poranda. Para elite negeri Amarta tidak STAF lagi. Perkataan dan
perbuatannya tidak bisa dipegang, suka bohong dan tidak jujur. Perilakunya
membingungkan rakyat dan tidak bisa dijadikan panutan, menyesatkan dan tidak
bisa lagi memberikan pencerahan. Para punggawa kerajaan, yaitu birokrat sipil,
militer dan polisinya tidak bisa dipercaya serta tidak bertanggungjawab.
Korupsi merajalela, hak-hak rakyat dilibas. Kezoliman dan ketidakdilan
merajalela. Pedang keadilan tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Keadilan hanya
bagi para elite dan keluarganya. Mereka juga kehilangann hidayah dan tidak
cerdas lagi. Kebijakan dan langkah-langkahnya konyol lagi tumpul, salah melulu bahkan
meresahkan rakyat.
Para elite dan punggawa kerajaan, bahkan para pendeta,
brahmana dan ulama sudah menurunkan derajatnya sendiri ke kasta para pedagang.
Apa saja kewenangan yang diamanahkan pada diri mereka diperdagangkan. Politik
uang bersimaharajalela. Semua urusan harus dengan uang tunai. Rasuah, hadiah
atau gratifikasi yang dilarang keras oleh Kanjeng Nabi, dihalalkan. Sementara
mulutnya rajin bersholawat memuji Kanjeng Nabi, namun kelakuannya bertolak
belakang.
Adalah seorang rakyat
jelata, bahkan seorang jongos abdi dalem kstaria Pendawa, yang tergugah
melancarkan revolusi membongkar habis tatanan kehidupan yang penuh kemungkaran
dan kemunafikan tersebut. Dialah Petruk, anak Semar, yang kemudian bersekutu
dengan ruh tokoh kstaria pewayangan nan sakti mandraguna lagi lurus, yakni
Hanoman dan Wisanggeni. Adapun nama Petruk, berasal dari kata fat-ruk, artinya
tinggalkanlah. Fat-ruk
kullu man siiwallahi, tinggalkanlah segala apa yang selain Allah.
Dengan bekal Jamus
Kalimasada yang tidak dirawat secara baik oleh Pandawa dan kemudian
dikuasainya, Petruk menobatkan dirinya sebagai Ratu bergelar Wel Keduwelbeh,
merebut terlebih dulu Kerajaan Astina dari para Kurawa yang derajat
kemungkarannya jauh lebih tinggi dibanding Pandawa. Selanjutnya menundukkan
para ksatria Pandawa, serta menjadikan mereka bagai rakyat jelata yang harus
bekerja keras mengolah sumber daya alam, dan membagikan hasilnya kepada rakyat
banyak. Tatanan kenegaraan yang anarkis secara sistem, dirombak, para punggawa
yang zolim dan tidak mau bertobat dihukum sekeras-kerasnya.
Bagaimana kelakuan dan penampilan sang Petruk sesudah
menjadi Ratu itu? Walaupun ia mengenakan berbagai atribut kebesaran seorang
ratu, tetap saja penampilan dan kelakuannya tidak berubah. Mahkota yang
bertengger di kepalanya nampak kebesaran. Baju rompi atau jasnya kedodoran,
bahkan memasangkan kancingnya saja tidak beraturan. Kancing atas dimasukkan ke
lobang kancing bawah. Sementara itu kakinya lecet tatkala mengenakan terompah
keratuan. Ia merasa lebih nyaman tanpa terompah. Bahkan tidurnya tidak pula di
kamar kstaria dengan kasur nan empuk, melainkan di kompleks kandang ternak
dengan bau khas kotoran hewannya yang menyengat. Makanannya pun tetap
kampungan, sampai-sampai juru masak istana kewalahan mencari jengkol dan pete
kesukaannya. Belum lagi para protokol dan petugas keamanan kerajaan, seringkali
harus tungganglanggang lantaran Sang Ratu Petruk bertingkah dan berperilaku tidak
mengikuti adat kebiasaan dan protokoler keratuan. Pokoknya semua aturan yang
mengesankan kejumawaan kaum elite dijungkirbalikan. Sekat-sekat protokoler yang
membuat jarak, yang memisahkan kaum elite dengan rakyatnya dibongkar dan
dibuang.
Satu hal yang meresahkan Petruk adalah, ternyata ia
tidak mampu duduk di singgasana atau kursi kerajaan. Berulangkali ia coba
selalu terjungkal jatuh. Sampai kemudian ia memperoleh bisikan gaib, yaitu ia
bisa duduk di singgasana asalkan sambil memangku bayi ksatria Abimanyu.
Siapakah Abimanyu? Ia adalah anak Arjuna yang sudah digariskan para Dewa akan
menurunkan para raja.
Masa keratuan Petruk tidaklah lama. Setelah sumber daya
alam yang diolah para ksatria menghasilkan dan dibagi merata secara adil demi
kesejahteraan rakyat, setelah kezoliman dan kepongahan para elite kerajaan
runtuh, maka Sri Kresna yang waskita memanggil Semar, yaitu dewa sakti yang
hidup di dunia untuk mengawal dharma kekesatriaan, turun tangan mengakhiri
tugas revolusioner Petruk, anaknya sendiri. Revolusi menurut Kresna, hanya
boleh berlangsung singkat, cepat dan tidak boleh berlarut-larut apalagi melebar
kemana-mana. Selanjutnya harus cepat ditata kembali mengikuti kaidah dan tata
kenegaraan serta tata kelola pemerintahan yang baik, yang menempatkan
ketenteraman negeri dan kesejahteraan rakyat sebagai dharma utama para ksatria.
Para elita harus mampu hamemayu hayuning
bawana atau mewujudkan rahmatan lil
alamin, yaitu mewujudkan rahmat bagi semesta alam secara lestari
berkelanjutan.
Sahabat-sahabatku, itulah pada hemat saya, hakikat dari
lakon Petruk Jadi Ratu, cerita dakwah yang penuh hikmah karangan ulama tasawuf
Sunan Kalijaga. Petruk Jadi Ratu adalah simbol dari suatu revolusi spiritual
keagamaan yang sarat ilmu hikmah. Sayang sekali kisahnya terlanjur banyak
dikemas menjadi cerita konyol, lucu-lucuan yang banal.
Karena itu kalau toh lakon ini mau dianalogikan dengan
Presiden Jokowi sebagaimana banyak dijadikan bahan omongan dan ditulis di
berbagai media massa terutama media sosial, marilah kita melihatnya dengan
prasangka baik, dengan mencoba mengambil hikmah-hikmahnya tadi. Tanpa suratan
takdir Allah Yang Maha Kuasa, tak mungkin Jokowi sang pedagang mebel yang ndeso
tinggi kurus seperti Petruk, yang jauh dari lingkaran dalam spiral kekuasaan,
tiba-tiba dalam tempo singkat bisa menjadi Presiden dari negeri maritim yang
besar dengan penduduk sekitar 260 juta jiwa ini. Seperti meteor, dalam sekejab
melesat masuk ke pusat terdalam lingkaran spiral kekuasaan.
Satu hikmah lagi yang patut direnungkan adalah adegan
Petruk memangku bayi Abimanyu, pewaris keratuan. Adegan ini mengajarkan hakikat
adanya kaitan erat antara rakyat yaitu Petruk dan para elite kepemimpinan yaitu
Abimanyu. Rakyat bisa hidup tenang jika menghargai dan menghormati pemimpinnya,
demikian pula pemimpinnya bisa duduk di singgasana kekuasaan karena dipangku,
karena bertumpu pada rakyatnya. Itulah hakikat keterkaitan hubungan rakyat
dengan pemimpinnya, yang harus dijaga baik dan tidak boleh dipisahkan.
Apakah Pak Jokowi betul-betul bagaikan Petruk yang hanya
memerintah sementara? Waallahualam. Hanya Gusti Allah Sang Pemilik Kerajaan dan
Kemuliaan yang tahu. Tugas dan kewajiban kita hanyalah kecuali berprasangka
baik tanpa harus meninggalkan kewaspadaan, juga harus berusaha dengan cepat
memetik berbagai buah hikmah dari peristiwa ini. Janganlah kita hanya selalu
berprasangka buruk dalam kekeruhan batin dan suasana, sehingga tak pernah bisa
tercerahkan, tak mampu melihat kehadiran apalagi memetik buah-buah hikmah,
sampai datangnya revolusi peradaban yang sesungguhnya dari Gusti Allah, Sang
Maha Raja di Raja Lagi Maha Kuasa.
Naudzubillah.
Beji 12 Februari 2015.
B.Wiwoho
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda