Jumat, 13 Februari 2015

HIKMAH PETRUK (JOKOWI) JADI RATU



Hikmah Petruk (Jokowi) Jadi Ratu

Banyak orang yang mengibaratkan Presiden Jokowi, yang memang juga berpostur sama, bagaikan Petruk Jadi Ratu (PRT). Kisah atau lakon PRT adalah carangan atau ranting cerita khas Jawa, yang dikarang oleh Sunan Kalijaga sebagai sarana dakwah. Lantaran hanya carangan, maka lakon itu tidak dijumpai dalam pakem atau babon induk cerita Mahabarata.
Petruk yang kurus tinggi, kampungan-ndeso katruk, adalah seorang rakyat biasa, bahkan jongos atau abdi dalem dari para ksatria Pandawa. Pandawa adalah para ksatria istimewa yang dipimpin oleh seorang raja yang tidak mau mengenakan mahkota serta berbagai atribut kebesaran seorang raja.

Sang Raja yakni Puntadewa, dilukiskan oleh Sunan Kalijaga dalam wayang kulit, sebagai raja yang rambutnya digelung sederhana tanpa mahkota. Mukanya senantiasa menunduk. Perilakunya lemah lembut bagaikan orang yang tiada daya, sehingga terkesan tidak mampu berperang, tidak bisa berkelahi. Ia tidak pernah marah, hatinya suci bersih sehingga digambarkan darahnya tidak berwarna merah melainkan putih. Namun tatkala pasukannya terdesak dan tiada satu pun perwira perangnya  yang mampu menandingi Panglima Perang musuh, Puntadewa maju ke medan laga, turun dari kereta perang berjalan kaki menyerbu lawan dengan menenteng busur panah beserta keyakinan mutlak terhadap hikmah kekuatan dua kalimat syahadat. Akibatnya para jin setan peri perayangan yang membantu musuhnya, seketika musnah. Sementara anak panahnya melesat bagaikan kilat menembus Prabu Salya sang lawan sehingga tewas.

Puntadewa dalam versi dakwah Sunan Kalijaga, adalah ciri seorang pemimpin satria pinandita, seorang satria atau umara yang berjiwa pendeta atau ulama. Ia memimpin negeri Amarta dengan pusaka andalan Jamus Kalimasada, yang tiada lain adalah dua kalimat syahadat. Itu berarti ia senantiasa taat kepada Gusti Allah dan Kanjeng Nabi Muhammad, dengan menghayati segala perintah dan ajarannya, termasuk memegang teguh empat bekal utama kepemimpinan Kanjeng Nabi yang diringkas sebagai STAF yaitu  (1) Sidiq atau benar, jujur baik dalam pikiran, perkataan maupun perbuatan; (2) Tabligh atau memberikan pencerahan dan pentunjuk; (3) Amanah atau bisa dipercaya dan bertanggungjawab; (4) Fatonah atau cerdas, meskipun beliau buta huruf.

Puntadewa adalah contoh pemimpin ideal yang rendah hati, tawadu, ikhlas, tidak riya dan tidak ujub. Tidak sombong, tidak suka pamer dan tidak suka dipuji. Hidup dan tampil amat sederhana, bagaikan rakyat jelata, sangat jujur dan adil serta mengabdi untuk kesejahteraan rakyat. Semua akhlak mulia itu ditularkan serta menjadi pegangan hidup para ksatria Pandawa lainnya, sehingga negara dan rakyatnya hidup tenteram, makmur sejahtera.

Namun demikian pada suatu masa, ketenteraman, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat terguncang hebat. Semua itu lantaran para elite kehilangan pusaka Jamus Kalimasada, artinya ketaatannya kepada Gusti Allah dan Kanjeng Nabi lenyap. Ini berarti semua keseimbangan kehidupan dengan tatanan baiknya porak poranda. Para elite negeri Amarta tidak STAF lagi. Perkataan dan perbuatannya tidak bisa dipegang, suka bohong dan tidak jujur. Perilakunya membingungkan rakyat dan tidak bisa dijadikan panutan, menyesatkan dan tidak bisa lagi memberikan pencerahan. Para punggawa kerajaan, yaitu birokrat sipil, militer dan polisinya tidak bisa dipercaya serta tidak bertanggungjawab. Korupsi merajalela, hak-hak rakyat dilibas. Kezoliman dan ketidakdilan merajalela. Pedang keadilan tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Keadilan hanya bagi para elite dan keluarganya. Mereka juga kehilangann hidayah dan tidak cerdas lagi. Kebijakan dan langkah-langkahnya konyol lagi tumpul, salah melulu bahkan meresahkan rakyat.

Para elite dan punggawa kerajaan, bahkan para pendeta, brahmana dan ulama sudah menurunkan derajatnya sendiri ke kasta para pedagang. Apa saja kewenangan yang diamanahkan pada diri mereka diperdagangkan. Politik uang bersimaharajalela. Semua urusan harus dengan uang tunai. Rasuah, hadiah atau gratifikasi yang dilarang keras oleh Kanjeng Nabi, dihalalkan. Sementara mulutnya rajin bersholawat memuji Kanjeng Nabi, namun kelakuannya bertolak belakang.

Adalah seorang rakyat jelata, bahkan seorang jongos abdi dalem kstaria Pendawa, yang tergugah melancarkan revolusi membongkar habis tatanan kehidupan yang penuh kemungkaran dan kemunafikan tersebut. Dialah Petruk, anak Semar, yang kemudian bersekutu dengan ruh tokoh kstaria pewayangan nan sakti mandraguna lagi lurus, yakni Hanoman dan Wisanggeni. Adapun nama Petruk, berasal dari kata fat-ruk, artinya tinggalkanlah. Fat-ruk kullu man siiwallahi, tinggalkanlah segala apa yang selain Allah.
Dengan bekal Jamus Kalimasada yang tidak dirawat secara baik oleh Pandawa dan kemudian dikuasainya, Petruk menobatkan dirinya sebagai Ratu bergelar Wel Keduwelbeh, merebut terlebih dulu Kerajaan Astina dari para Kurawa yang derajat kemungkarannya jauh lebih tinggi dibanding Pandawa. Selanjutnya menundukkan para ksatria Pandawa, serta menjadikan mereka bagai rakyat jelata yang harus bekerja keras mengolah sumber daya alam, dan membagikan hasilnya kepada rakyat banyak. Tatanan kenegaraan yang anarkis secara sistem, dirombak, para punggawa yang zolim dan tidak mau bertobat dihukum sekeras-kerasnya.

Bagaimana kelakuan dan penampilan sang Petruk sesudah menjadi Ratu itu? Walaupun ia mengenakan berbagai atribut kebesaran seorang ratu, tetap saja penampilan dan kelakuannya tidak berubah. Mahkota yang bertengger di kepalanya nampak kebesaran. Baju rompi atau jasnya kedodoran, bahkan memasangkan kancingnya saja tidak beraturan. Kancing atas dimasukkan ke lobang kancing bawah. Sementara itu kakinya lecet tatkala mengenakan terompah keratuan. Ia merasa lebih nyaman tanpa terompah. Bahkan tidurnya tidak pula di kamar kstaria dengan kasur nan empuk, melainkan di kompleks kandang ternak dengan bau khas kotoran hewannya yang menyengat. Makanannya pun tetap kampungan, sampai-sampai juru masak istana kewalahan mencari jengkol dan pete kesukaannya. Belum lagi para protokol dan petugas keamanan kerajaan, seringkali harus tungganglanggang lantaran Sang Ratu Petruk bertingkah dan berperilaku tidak mengikuti adat kebiasaan dan protokoler keratuan. Pokoknya semua aturan yang mengesankan kejumawaan kaum elite dijungkirbalikan. Sekat-sekat protokoler yang membuat jarak, yang memisahkan kaum elite dengan rakyatnya dibongkar dan dibuang.

Satu hal yang meresahkan Petruk adalah, ternyata ia tidak mampu duduk di singgasana atau kursi kerajaan. Berulangkali ia coba selalu terjungkal jatuh. Sampai kemudian ia memperoleh bisikan gaib, yaitu ia bisa duduk di singgasana asalkan sambil memangku bayi ksatria Abimanyu. Siapakah Abimanyu? Ia adalah anak Arjuna yang sudah digariskan para Dewa akan menurunkan para raja.

Masa keratuan Petruk tidaklah lama. Setelah sumber daya alam yang diolah para ksatria menghasilkan dan dibagi merata secara adil demi kesejahteraan rakyat, setelah kezoliman dan kepongahan para elite kerajaan runtuh, maka Sri Kresna yang waskita memanggil Semar, yaitu dewa sakti yang hidup di dunia untuk mengawal dharma kekesatriaan, turun tangan mengakhiri tugas revolusioner Petruk, anaknya sendiri. Revolusi menurut Kresna, hanya boleh berlangsung singkat, cepat dan tidak boleh berlarut-larut apalagi melebar kemana-mana. Selanjutnya harus cepat ditata kembali mengikuti kaidah dan tata kenegaraan serta tata kelola pemerintahan yang baik, yang menempatkan ketenteraman negeri dan kesejahteraan rakyat sebagai dharma utama para ksatria. Para elita harus mampu hamemayu hayuning bawana atau mewujudkan rahmatan lil alamin, yaitu mewujudkan rahmat bagi semesta alam secara lestari berkelanjutan.

Sahabat-sahabatku, itulah pada hemat saya, hakikat dari lakon Petruk Jadi Ratu, cerita dakwah yang penuh hikmah karangan ulama tasawuf Sunan Kalijaga. Petruk Jadi Ratu adalah simbol dari suatu revolusi spiritual keagamaan yang sarat ilmu hikmah. Sayang sekali kisahnya terlanjur banyak dikemas menjadi cerita konyol, lucu-lucuan yang banal.
Karena itu kalau toh lakon ini mau dianalogikan dengan Presiden Jokowi sebagaimana banyak dijadikan bahan omongan dan ditulis di berbagai media massa terutama media sosial, marilah kita melihatnya dengan prasangka baik, dengan mencoba mengambil hikmah-hikmahnya tadi. Tanpa suratan takdir Allah Yang Maha Kuasa, tak mungkin Jokowi sang pedagang mebel yang ndeso tinggi kurus seperti Petruk, yang jauh dari lingkaran dalam spiral kekuasaan, tiba-tiba dalam tempo singkat bisa menjadi Presiden dari negeri maritim yang besar dengan penduduk sekitar 260 juta jiwa ini. Seperti meteor, dalam sekejab melesat masuk ke pusat terdalam lingkaran spiral kekuasaan.

Satu hikmah lagi yang patut direnungkan adalah adegan Petruk memangku bayi Abimanyu, pewaris keratuan. Adegan ini mengajarkan hakikat adanya kaitan erat antara rakyat yaitu Petruk dan para elite kepemimpinan yaitu Abimanyu. Rakyat bisa hidup tenang jika menghargai dan menghormati pemimpinnya, demikian pula pemimpinnya bisa duduk di singgasana kekuasaan karena dipangku, karena bertumpu pada rakyatnya. Itulah hakikat keterkaitan hubungan rakyat dengan pemimpinnya, yang harus dijaga baik dan tidak boleh dipisahkan.

Apakah Pak Jokowi betul-betul bagaikan Petruk yang hanya memerintah sementara? Waallahualam. Hanya Gusti Allah Sang Pemilik Kerajaan dan Kemuliaan yang tahu. Tugas dan kewajiban kita hanyalah kecuali berprasangka baik tanpa harus meninggalkan kewaspadaan, juga harus berusaha dengan cepat memetik berbagai buah hikmah dari peristiwa ini. Janganlah kita hanya selalu berprasangka buruk dalam kekeruhan batin dan suasana, sehingga tak pernah bisa tercerahkan, tak mampu melihat kehadiran apalagi memetik buah-buah hikmah, sampai datangnya revolusi peradaban yang sesungguhnya dari Gusti Allah, Sang Maha Raja di Raja Lagi Maha Kuasa.  Naudzubillah.
Beji 12 Februari 2015.
B.Wiwoho



0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda