Rabu, 25 Februari 2015

MENGGANTI SESAJI DENGAN SEDEKAH : Tafsir Suluk Kidung Rumekso Ing Wengi Sunan Kalijaga (17)



Mengganti Sesaji Dengan Sedekah


Bait 44 :

Yen angidung poma den memetri,
memuleya sego golong lima,
takir ponthang wewadhae,
ulam-ulamanipun,
ulam tasik rawa lan kali,
ping pat iwak bengawan,
mawa gantal iku,
rong supit winungkusan,
apan dadi nyawungkus arta sadhuwit,
sawungkuse punika.

Artinya :

Bila mengidung hendaklah dipahami,
muliakanlah (dengan bersedekah) lima nasi bulat (dibentuk seperti bola), ditempatkan dalam takir ponthang (seperti box kardus sekarang tapi terbuat dari daun pisang dengan dihias pita dua warna),
lauk pauknya,
ikan laut-rawa dan dari sungai kecil,
yang keempat ikan dari sungai besar (bengawan),
disertai gulungan daun sirih,
dua jepit dibungkus,
setiap bungkus ada uangnya juga,
itulah isi sebungkusnya.

Bait 45 :

Tumpangena neng ponthangnya sami,
dadya limang wungkus ponthang lima,
simung sekar cepakane,
loro saponthangipun,
kembang boreh dupa ywa lali,
memetri ujubira,
donganira mahmut,
poma dipun lakonana,
saben dina nuju kalahiraneki,
agung sawabe ika.



Artinya :

Taruhlah semuanya di dalam (takir) pontang,
lima bungkus dalam lima takir,
dihiasi bunga cempaka,
dua setiap pontangnya,
jangan lupa bedak basah yang harum bunga,
diniatkan untuk kemuliaan,
dengan doa-doa yang baik (terpuji),
seyogyanya lakukan,
pada setiap hari kelahiran,
akan besar pengaruh manfaatnya.

Bait 46 :

Balik lamun ora den lakoni,
kadangira pan padha ngrencana,
temah ura saciptane,
sasedyanira wurung,
lawan luput pangarah neki,
sakarepira wigar,
gagar datan antuk,
saking kurang temenira,
madhep laku iku den awas den eling,
tamat ingkang kidungan.

Artinya :

Sebaliknya bila tidak dilaksanakan,
saudara-saudaramu (para malaikat) yang bertugas menjaga dan mendampingimu,
tak kan bertugas dengan baik,
akibatnya keinginanmu tak terwujud,
tujuanmu lepas,
cabar dan tak tercapai,
lantaran kurang bersungguh-sungguh (dan kurang tekun),
menghayati (agama) itu harus selalu ingat dan waspada,
tamatlah kidung ini.

Masyarakat Jawa abad XV yang memeluk agama Syiwa-Buddha, yang memuja roh-roh gaib dan roh leluhur, lazim memberikan sesaji berupa bunga, kemenyan, buah-buahan dan telor rebus, kadang-kadang juga segelas kopi pahit, demi memuja dan berkomunikasi dengan sesembahan atau roh gaib yang ditakuti. Sesaji tersebut diletakkan di perempatan dekat rumah, di sudut-sudut rumah, di bawah pohon dan batu besar dan lain-lain. Kepada Dewa pengatur rejeki termasuk pertanian, yaitu Dewi Sri dan Dewa Sadono,  sesaji ditaruh di sudut-sudut pematang sawah atau ladang. Sesaji-sesaji itu tidak boleh dimakan manusia, dan dibiarkan membusuk atau dimakan binatang.

Adat kepercayaan seperti itu tidak langsung dibuang oleh Walisongo yang gencar menyiarkan agama Islam, melainkan disisipi dengan ruh ajaran keislaman. Istilah sesaji diganti menjadi selamatan, dari asal kata islam itu sendiri, yang memang berarti damai dan selamat sejahtera. Niatnya diubah dari dipersembahkan kepada roh gaib atau dewa sesambahan, menjadi sedekah berupa makanan kepada sesamanya, dalam hal ini tetangga, kerabat, fakir miskin dan anak-anak yatim piatu. Sesaji kepada Dewa Sri-Sadono diganti menjadi sedekah bumi. Sesaji kepada Dewa Laut diganti menjadi sedekah laut.

Pada masa kanak-kanak tahun 1950-an kami sangat menyenangi acara sedekah bumi tersebut. Dalam acara yang diselenggarakan sehabis musim panen raya, para petani atau pemilik sawah, membawa sebagian hasil bumi dan makanan matang berupa nasi dengan lauk pauk serta kue ke balai desa. Semuanya dikumpulkan, dibacakan tahlil dan doa-doa, kemudian dibagi dan dimakan oleh penduduk desa bersama-sama. Sesudah itu dilanjutkan menonton pertunjukkan wayang kulit semalam suntuk, dengan cerita khas Islam Jawa antara lain Jamus Kalimasadha (Kalimat Syahadat), Dewa Ruci dan Petruk Jadi Ratu. Cerita khas ini disebut cerita carangan atau ranting cerita, dan tidak ditemukan dalam babon induk Mahabharata serta Ramayana, karena memang dikarang oleh para wali khusus untuk dakwah agama Islam.

Tentu saja adat kepercayaan memberikan sesaji itu tidak otomatis hilang. Pada masa kanak-kanak, penafsir masih banyak menjumpai sesaji untuk roh gaib dan roh leluhur.  Tetapi lambat laun semakin berkurang, dan sekarang bahkan hampir hilang, meskipun belum sama sekali. Perbedaan pokok antara sesaji dan sedekah adalah pada niat dan peruntukannya, yang bisa dilihat dari jenis-jenis benda sesajiannya. Benda atau materi sesajian pada umumnya bukan makanan pokok yang enak dimakan manusia seperti nasi dengan lauk-pauknya.

Untuk beberapa jenis materi sesajian, meskipun tidak bisa dimakan misalkan bunga, para Wali juga tidak langsung membuangnya, namun dijadikan penghias makanan seperti halnya bunga, irisan buah dan dedaunan yang dijadikan sebagai hiasan pada sajian makanan dan minuman di hotel-hotel berbintang dan restoran mewah.

Tidak jarang jenis-jenis materi sedekah dan hiasannya juga diberi makna. Bunga misalnya dimaksudkan sebagai tamzil bahwa kehidupan itu harus harum bagaikan bunga. Bunga setaman melambangkan hidup damai dengan sesamanya bagai aneka tanaman bunga di dalam satu taman. Bunga pitu atau tujuh jenis bunga, demi menanamkan keyakinan kuat akan mendapat pitulungan atau pertolongan dari Gusti Allah. Boreh atau bedak dingin yang dulu lazim digunakan kaum wanita, dimaksudkan sebagai hadiah sekaligus melambangkan agar di dalam kehidupan, kita selalu menampilkan wajah yang sejuk dan menarik. Dauh sirih, sebagai persembahan kehormatan kepada kaum ibu yang ketika itu pada umumnya menginang, yaitu mengulum tembakau beserta pinang-sirih, disamping sebagai tamzil menyatunya segala daya upaya dalam mencapai cita-cita, sebagaimana menyatunya urat-urat daun sirih. Sedangkan nasi golong, yakni nasi yang dibentuk bulat bagai bola, adalah tamzil kebulatan tekad.

Jenis-jenis bahan baku sedekah tersebut juga ditemukan dalam bait 44 – 45. Yang bagi masyarakat zaman sekarang sangat asing adalah takir, yaitu wadah makanan yang terbuat dari daun pisang yang dibentuk seperti kotak segi empat. Di masa lalu sebelum periode Orde Baru, tatkala industri di Indonesia belum berkembang seperti sekarang, berbagai kemasan dibuat secara tradisional dari bahan baku alami. Wadah kemasan untuk menaruh makanan, dibuat dari daun tumbuh-tumbuhan antara lain pisang serta aneka bentuk anyaman bambu. (lihat Jatuh – Bangun Strategi Pembangunan: Pertumbuhan atau Pemerataan, pada buku “34 Wartawan Istana Bicara Tentang Pak Harto” dan blog http://b wiwoho.blogspot.com/2012/09/jatuh-bangun-strategi-pembangunan.html).

Dalam bait 44 – 45 disebutkan jenis lauk-pauk berupa ikan. Ikan adalah tamzil untuk mengajarkan agar orang pandai menyelam bagaikan ikan, dalam hal ini menyelami kehidupan. Di samping itu ikan adalah juga jenis lauk pauk yang sangat mudah diperoleh masyarakat Jawa khususnya di wilayah Pantai Utara. Di kala itu orang yang sehat bisa dengan gampang menjala, menangkap dengan bubu atau memancing ikan di laut, tambak dan hutan bakau. Juga menangkap ikan di sungai kecil, rawa-rawa yang dahulu masih banyak di sekeliling kita serta di sungai-sungai besar yang bermuara di laut Jawa, yang membentang sepanjang pantai pulau Jawa. Dengan demikian anjuran memberikan sedekah pada setiap hari kelahiran tidaklah akan menyulitkan, karena bagi yang mampu bisa membeli dan bagi yang tidak mampu bisa menangkap sendiri.

Bagi orang Jawa, pengetahuan mengenai hari kelahiran sangat penting, terutama weton (berasal dari kata metu yang berarti keluar), yaitu gabungan antara hari yang terdiri dari tujuh mulai Senin sampai Minggu, dengan apa yang disebut pasaran yang terdiri dari lima yaitu Legi, Pahing, Pon Wage dan Kliwon. Sebagai contoh Kanjeng Nabi Muhammad, lahir pada hari Senin dengan pasaran Pon, maka weton Nabi Muhammad saw adalah Senin Pon. Lantaran merupakan gabungan dari tujuh dan lima, weton tersebut berulang setiap selapan dino atau setiap tigapuluh lima hari sekali.

Kebiasaan orang Jawa dahulu kala, untuk melakukan ritual atau peringatan khusus pada wetonannya, pada umumnya dengan memberikan berbagai sesaji kepada dewa sesembahan atau roh-roh gaib. Kebiasaan itulah yang diubah oleh Sunan Kalijaga melalui Kidung Kawedar, dengan mengajarkan memberikan sedekah, dan di kemudian hari diajarkan pula berpuasa sebagaimana dilakukan oleh Baginda Rasul sesuai hadis Muslim berdasarkan riwayat Syu’bah dan Abu Qatadah Al Anshari. Rasulullah saw pernah ditanya tentang puasanya setiap hari Senin, yang beliau jawab: “Itu adalah hari kelahiranku, dan pada hari itu pula Al Qur’an diturunkan kepadaku.”  Dari hadis tersebut berkembang kebiasaan puasa sunah Senin – Kamis, yang sampai sekarang masih dilakukan oleh masyarakat Jawa, baik yang Islam maupun bukan.

Perihal sedekah, dalam bait 45 baris keenam dan ketujuh harus diniatkan demi kemuliaan dengan diiringi doa-doa mahmut. Pengunaan kata mahmut yang berasal dari bahasa Arab dan berarti terpuji ini, pada hemat penafsir sengaja dimaksudkan untuk menegaskan pilihan menggunakan doa secara Islami, dan bukan dengan cara yang lain.

Kidung Kawedar terdiri dari 46 (empat puluh enam) bait. Jika bait pertama sampai empat puluh lima berisi keutamaan-keutamaan, pengenalan agama Islam, berbagai tamzil, ajaran dan petunjuk, bait terakhir dan merupakan satu-satunya, mengemukakan risiko bagi siapa yang tidak mau mengikuti ajarannya. Bait 45 mengemukakan kemuliaan bagi yang taat mengikuti ajaran berkat memperoleh pengaruh aura gaib Allah Yang Maha Agung, atau disebut mendapat sawab atau berkah. Sedangkan bait 46 terjadi hal sebaliknya bagi yang kurang tekun apalagi yang tidak mau menjalaninya. Mereka tidak akan dibantu oleh para malaikat penjaga dan pendamping. Karena malaikat hanya mau membantu apabila ada ridho dari Yang Maha Agung. Akibatnya, semua keinginan kita bisa gagal tak terwujud, cita-cita dan tujuan kita lepas, cabar tak tercapai, lantaran kurang bersungguh-sungguh dan kurang tekun dalam menghayati (agama Islam).

Kidung ini diakhiri dengan sebuah petuah agar dalam menghayati ajaran agama (Islam), kita senantiasa awas dan eling. Eling berarti ingat atau zikir, sebagaimana sudah dikemukakan dalam pembahasan bait 30, agar setiap saat selalu mengingat Gusti Allah. Mengingat-Nya dalam setiap tarikan nafas, dalam keadaan apa saja, bahkan selagi di kamar kecil membuang hajat. Dengan senantiasa mengingat-Nya maka kita pun akan menjadi pandai bersyukur, taat dan mematuhi firman-firman-Nya.

Kata ingat juga dikaitkan dengan kata awas atau waspada. Maknanya dalam mengingat serta mentaati Gusti Allah, kita tetap harus terus awas, terus-menerus waspada, lantaran setan yang sudah mendapatkan mandat dari Tuhan untuk menggoda manusia, tidak akan pernah menyerah sedikit pun. Setiap saat setan akan selalu menggoda manusia, mencari celah dan peluang meski hanya sepersekian mili, sepersekian detik bahkan hanya secercah cahaya, buat menggelincirkan iman manusia. Nasihat agar awas dan eling ini sekarang menjadi sebuah ungkapan yang terkenal, yaitu eling lan waspada, ingat dan waspada.

Demikianlah nasihat penutup dari Sunan Kalijaga melalui Suluk Kidung Kawedar. Semoga dengan ajaran dan nasihatnya, kita bisa menjadi kekasih-kekasih Gusti Allah Yang Maha Pengasih, serta dimasukkan ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang senantiasa beriman dan beramal saleh.

Subhanallaah walhamdulillaah, aamiin. 

1 Muharram 1436 H (25 Oktober 2014).                                                     







0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda