Suluk
Sebagai Mantera Penolak Bala.
Jumlah
penduduk Indonesia awal tahun 2014 mencapai 305 juta, separuh di antaranya atau
lebih dari 150 juta tinggal di pulau Jawa. Padahal menurut catatan pemerintah
kolonial, pada awal abad XIX penduduk pulau Jawa diperkirakan baru sekitar 5
juta jiwa (Java island, Indonesia, Encyclopædia Britannica,
http://id.wikipedia.org/wiki/Jawa). Belum diketemukan catatan sejarah,
berapa jumlah penduduk pada abad XV – XVI, tatkala sebagian besar pulau Jawa
masih berupa hutan belantara dan semak belukar, namun telah memiliki
peninggalan sejarah yang luar biasa, antara lain candi Borobudur dan candi
Prambanan.
Pada
abad XV – XVI itu, kehidupan masyarakat pulau Jawa sedang mengalami zaman
peralihan dari Kerajaan Majapahit ke Kesultanan Demak. Demikian pula dalam hal
agama dan kepercayaan. Mereka menganut agama Hindu – Buddha atau Syiwa – Buddha
dan percaya bahkan banyak yang memuja ruh-ruh halus. Mereka juga sangat
mempercayai hal-hal gaib dan mistis, serta mengkaitkan hampir semua aspek
kehidupan dengan hal tersebut.
Dalam
suasana kehidupan yang seperti itulah agama Islam diperkenalkan oleh para
pendakwah, yang kemudian dikenal sebagai para wali dan diberi sebutan atau nama
panggilan Sunan. Dua dari para wali itu adalah Sunan Bonang dan muridnya yaitu
Sunan Kalijaga, dikenang masyarakat sampai sekarang karena jago berdakwah dengan menggunakan media kesenian,
terutama berupa musik tradisional gamelan berserta tembang-tembang Jawa. Salah
satu dari tembang tadi adalah sebuah tembang suluk atau tembang dakwah Islam,
yang dikenal dengan tiga nama yaitu Kidung Kawedar atau Kidung Rumekso Ing
Wengi atau juga Kidung Sariro Ayu.
Kepada
masyarakat yang sangat mempercayai hal-hal gaib dan mistis tadi, Sunan Kalijaga
menciptakan Suluk Kidung Kawedar yang didendangkan dengan irama dhandanggula
yang bernuansa meditatif-kontemplatif, yang dikemas bagaikan sebuah mantera
sakti guna mengatasi segala problem kehidupan masyarakat sehari-hari.
Dengan
daya tarik itulah Sunan Kalijaga memulai Suluk Kidung Kawedar sebagaimana 3
(tiga) bait yang dibahas dalam bab ini. Kanjeng Sunan Kali, demikian panggilan
kehormatan beliau, langsung menawarkan mantera pelindung kehidupan, yang mampu
menjaga siapa yang membaca dan yang mempercayainya dari segala marabahaya,
serta bisa membuat hidup menjadi sejahtara.
Bait
pertama menggambarkan kehebatan tembang pujian, yang enak didengar namun
sekaligus sakti mandera guna, yang menjaga kita di malam hari, yang melindungi
kita dari segala macam penyakit dan hal-hal buruk, melindungi dari gangguan jin
dan setan, menangkal ilmu hitam dan segala hal buruk yang bisa mencelakai kita,
sampai-sampai diibaratkan dapat mengubah api yang panas menjadi air nan sejuk
bila menghampiri kita, seperti kisah Kanjeng Nabi Ibrahim ketika dibakar.
Demikian pula para pencuri menjauh, tidak ada yang berani mengganggu hak milik
kita.
Bait
kedua masih menggambarkan kehebatan kidung mantera ini. Hama dan penyakit
menyingkir, karena siapa pun makhluk Allah yang melihat kita menjadi iba dan
menaruh kasih sayang. Pun segala ilmu kesaktian, tiada yang bisa mencelakai
kita, lantaran akan bagai kapuk yang sangat ringan lagi lembut, jatuh ke atas
besi yang keras lagi kuat. Semua racun menjadi tawar, semua binatang buas
menjadi jinak. Segala jenis tumbuh-tumbuhan, pohon, kayu, tanah sangar atau angker
serta sarang-sarang binatang yang dilindungi aura gaib, tiada perlu ditakuti
lagi.
Bait
ketiga masih diawali dengan pameran kekuatan sang kidung yang luar biasa bak
bisa membuat air lautan menjadi asat atau mengering, yang dilanjutkan dengan iming-iming, pesona gambaran kehidupan
serba nyaman dan selamat sejahtera. Kepada masyarakat Jawa yang percaya akan
adanya para dewa dengan para bidadarinya, Sunan Kalijaga mulai memasukkan daya
tarik dan istilah-istilah baru secara lepas-lepas, yakni butir-butir ajaran
Islam.
Siapa
yang percaya kidung ini, kehidupannya akan dikelilingi oleh para bidadari, akan
dijaga oleh para malaikat dan rasul yang bahkan telah menyatu pada diri kita.
Nabi Adam akan manjing, merasuk ke dalam batin kita. Nabi Sis berada di otak
sedangkan Nabi Musa di tuturkata kita. Malaikat, rasul, Adam, Sis (Syith atau
Seth) dan Musa adalah hal-hal baru bagi orang-orang Jawa baik yang animis,
mempercayai ruh leluhur, makhluk gaib mau pun yang Syiwa-Buddha. Hal-hal baru
itulah yang sesungguhnya menjadi inti
kekuatan kidung mantera pujian ini.
Orang Jawa Mulai
Mempelajari Sejarah Para Nabi, Sahabat & Keluarganya.
Dalam
tafsir sebelumnya telah kita bahas, Sunan Kalijaga mulai memperkenalkan istilah
dan nama-nama baru kepada masyarakat, yaitu malaikat, rasul, Adam, Sis dan
Musa. Pengenalan istilah, tokoh dan sejarah Islam tersebut dilanjutkan dalam
bait keempat dan kelima, dengan sekaligus menjelaskan hikmah dan karomahnya di
dalam diri manusia, apabila kita mempercayai dan mampu menghayatinya.
Dalam
kedua bait tadi, kata linuwih dipakai untuk mengakhiri baris pertama. Linuwih
arti sebenarnya adalah kemampuan lebih atau di atas rata-rata orang pada
umumnya, atau bisa juga berarti utama. Namun demikian tidak berarti Nabi Isa (Ngisa) dan Fatimah,
puteri Kanjeng Nabi Muhammad lebih utama dibanding tokoh-tokoh yang disebut di
bawahnya termasuk Nabi Muhammad saw. sendiri, melainkan sekedar sebagai daya
tarik serta untuk memenuhi rumus atau ketentuan dalam membuat puisi Jawa yang
berupa tembang macapat itu.
Demikanlah,
Sunan Kalijaga menceriterakan tentang sejarah Islam dan para nabi sebagaimana
dikisahkan dalam Al Qur’an, serta para sahabat dan keluarga Kanjeng Nabi
Muhammad. Nama-nama mereka disebutkan seraya mengikuti pola pikir orang Jawa yang
menyenangi cerita wayang, terutama tentang tokoh-tokoh sakti yang manjing, merasuk menyatu dalam jiwa raga
seorang tokoh wayang yang lain, sehingga tokoh yang dirasuki menjadi sakti
mandraguna.
Para
Nabi dengan keutamaan masing-masing mulai dari Nabi Adam, Nabi Ibrahim yang
merupakan bapak dari para nabi agama samawi, agama langit dan pencetus
monoteisme, sampai ke Nabi Muhammad dan para sahabat serta keluarganya, diperkenalkan melalui suatu tembang
Dhandanggula nan indah memukau, kontemplatif meditatif yang disugestikan menjadi mantera sakti.
Bisa
dibayangkan, pasti banyak pertanyaan dari masyarakat tentang hal-hal baru
tersebut. Jika selama ini mereka hanya mengenal para dewa dan roh gaib sebagai
sesembahan mereka, dengan Kidung Kawedar mereka diperkenalkan kepada sesembahan
baru, yang tunggal lagi maha kuasa, yang para utusannya saja sudah sakti luar
biasa.
Namun
demikian, Kanjeng Sunan Kalijaga tidak langsung mengecam dan membuang
nilai-nilai agama dan kepercayaan lama masyarakat, terutama yang sudah menjadi
kebiasaan hidup sehari-hari. Beliau menyusupkan nilai-nilai baru ke dalam
agama, kepercayaan, tatacara dan adat kebiasaan hidup yang sudah ada
sebelumnya. Nilai-nilai lama, dibungkus selapis demi selapis, digeser sedikit
demi sedikit. Dengan metode dakwah yang seperti itulah maka Nusantara khususnya
pulau Jawa diislamkan, sehingga sekarang menjadi negara dengan penganut agama
Islam terbesar di dunia.
Memperkenalkan
Istilah Insya Allah.
Dalam
bait ketiga sampai dengan kelima, Sunan Kalijaga memperkenalkan istilah dan
nama-nama tokoh yang bagi orang Jawa betul-betul baru sama sekali. Ada
malaikat, rasul, Adam, Syith, Musa, Isa, Yakob, Yusuf, Dawud, Sulaeman,
Ibrahim, Idris, Ayub, Nuh, Yunus, Muhammad, Abubakar, Umar, Usman, Ali dan Fatimah.
Memang
Kidung Kawedar tidak menjelaskan secara terinci sejarah dari para nabi, sahabat
dan keluarga Kanjeng Nabi Muhammad tersebut. Tetapi marilah kita coba
menerapkan pada diri kita sendiri, baik dalam posisi sebagai penutur atau pun
sebagai pendengar. Selaku pendengar, kita pasti ingin tahu lebih jauh tentang
tokoh yang disebut penutur memiliki kemampuan dan karomah luar biasa, sehingga
patut menyatu dalam diri kita, yang selanjutnya akan kita jadikan sebagai
senjata andalan dalam kehidupan.
Sebaliknya
sebagai penutur, kita pun akan berusaha menjelaskan lebih terperinci siapa
tokoh-tokoh atau orang-orang yang kita jagokan, dan mengapa patut kita jadikan
panutan serta andalan.
Pengetahuan
terhadap agama baru dengan para tokoh panutannya tersebut, menjadi benih
keyakinan. Meskipun baru atau hanya sebutir, benih itu akan tumbuh sumbur
beranak pinak menyebar ke segenap penjuru dunia, ke jagad raya, karena
memperoleh berkah dari Dzat Yang Maha Kuasa. Keyakinan itu akan membuahkan
keselamatan kepada siapa saja yang membaca, yang menyimak mendengarkan, yang
menuliskan dan yang menyimpannya. Bahkan bisa menjadi sumber segala doa, yang
bila dibacakan di air dan airnya dipakai mandi oleh seorang perawan tua, maka
sang perawan akan segera menemukan jodohnya dan segera menikah. Jika diberikan
kepada orang gila maka akan segera sembuh (bait 6).
Dalam
bait 6 terdapat kata sesembur, yaitu salah satu cara pengobatan atau pemberian
doa restu, yang biasa dilakukan oleh orang yang dituakan atau yang dianggap
memiliki kemampuan batin yang tinggi. Setelah berdoa, si orang tua kemudian
dengan mulutnya meniup sampai mengeluarkan bunyi desis ke ubun-ubun atau dahi
atau bagian-bagian tertentu si sakit atau orang yang didoakan.
Dengan
berkah Dzat Yang Maha Kuasa itu pula, keyakinan yang ditanamkan oleh Kidung
Kawedar, mampu menolong orang-orang yang sedang berperkara, yang dihukum,
ditahan dan yang terbebani hutang (bait 7). Persis seperti Gusti Allah menolong
para nabi dan rasul yang menghadapi kesulitan betapa pun beratnya. Api yang
dinyalakan oleh punggawa Raja Namrud untuk membakar Nabi Ibrahim, dengan
pertolongan Dzat Yang Maha Esa, Yang
Maha Gaib, berubah sedingin air; bahtera
Nabi Nuh mampu menampung dan menyelamatkan makhluk-makhlukNya demi meneruskan
kehidupan di bumi; Nabi Yunus yang ditelan ikan bisa keluar dengan selamat;
demikian pula pertolongan Allah Swt kepada para Nabi yang lain termasuk Nabi
Muhammad saw. dan para sahabatnya.
Dalam
upaya menghayati dan memperoleh hakikat dari Kidung ini, Sunan Kalijaga tidak
langsung mengajarkan tatacara peribadatan yang baru, melainkan mengikuti adat
kebiasaan masyarakat terlebih dulu (bait 8).
Kembali
dalam bait 8 ini, Sunan Kalijaga memperkenalkan dua istilah baru yakni subuh dan insya Allah. Pembahasan secara lebih rinci tentang insya Allah,
juga bisa dilihat di buku Pengembaraan
Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan halaman 142 – 143. Bagi kita sekarang,
5 – 6 abad kemudian, dua istilah itu bukanlah sesuatu yang baru lagi asing,
lantaran sudah menyatu dalam kehidupan kita sehari-hari. Tetapi bagi masyarakat
abad ke XV – XVI, tentu menimbulkan pertanyaan dan memancing rasa ingin tahu.
Subhanallaah.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda