Ilmu Makdum Sarpin
Sedulur Papat Lima Pancer.
Bait 41 - 43 adalah bait-bait yang cukup fenomenal bagi
orang Jawa, terutama yang mengikuti faham Kejawen. Dari sini berkembang
kepercayaan akan adanya empat saudara gaib yang selalu menyertai kelahiran
setiap manusia. Meskipun zaman sudah berkembang pesat, minat orang untuk
mengetahuinya masih terus berlangsung.
Bersumber dari kidung tersebut
muncul berbagai penafsiran beserta amalan-amalannya. Penulis mencatat selama
ini ada lima penafsiran, sebagaimana
telah dimuat di blog Tasawuf Jawa (http://islamjawa.wordpress.com/2012/05/30/sedulur-papat-lima-pancer/).
Dari kelima versi tersebut, versi
pertama adalah yang paling berkembang dan diyakini masyarakat sampai sekarang.
Sementara itu karena wilayah dakwah Sunan Kalijaga merentang terutama di
sepanjang pantai utara Jawa, bahkan tempat uzlahnya selama bertahun-tahun
berada di wilayah Cirebon, maka versi pertama juga dipercaya oleh sebagian
masyarakat Jawa semenjak dari Banten, Jawa Barat sampai dengan Jawa Timur. Ciri
khas dari penganut pemahaman ini adalah keyakinan terhadap amalan ilmu gaib makdum sarpin.
Kata makdum sarpin disebut dalam baris kedelapan bait 43. Sulit
mengartikan kedua kata tersebut. Makdum
berasal dari bahasa Arab yang berarti tuan atau majikan, tapi juga bisa berarti
kosong atau tiada, sebagaimana makna yang sudah kita bahas dalam bait ke 28 (Tafsir seri ke 9: Sang Hyang Guru dan Sang
Hyang Hayu), yang juga dapat dijumpai dalam Serat Wirid Hidayat Jati bab 2 perihal Wedharan Wahananing Dzat). Sementara itu kata sarpin belum bisa penulis artikan secara pas, karena belum diketemukan
baik dalam bahasa Arab, Sansekerta, Jawa Kuno apalagi Baru sekarang. Boleh jadi
itu berasal dari bahasa Arab: (1) syafiq
belas kasih atau penyayang. (2) syafir atau
terhormat, istimewa dan (3) syafina
atau mutiara. Namun dari mempelajari Serat
Wirid Hidayat Jati, penafsir menyimpulkan yang dimaksud dengan makdum
sarpin adalah jati diri manusia yang mampu mengenali sangkan paraning dumadi atau asal mula dan tujuan kehidupan.
Selain kelima versi penafsiran di
atas, mungkin masih ada lagi penafsiran yang lain. Tapi yang sudah
penafsir ketahui baru lima itu tadi. Sementara penafsir sendiri memberikan
catatan atas tafsir kelima. Penafsir cenderung memilih tafsir ini tapi
malaikatnya bukan Jibril, Izrail, Israfil dan Mikail, melainkan malaikat Hafazhah atau malaikat Penjaga
sesuai firman Gusti Allah dalam Al Qur’an Surat Ar-Ra’ad ayat 11 dan Surat
Al Infithar ayat 10 - 12, tentang adanya malaikat-malaikat yang menjaga dan
memelihara manusia secara bergiliran.
Kepedulian yang bagaimana dan apa
yang harus kita lakukan agar malaikat “sedulur” kita, menjaga kita dengan
sebaik-baiknya? Buya Hamka menjelaskan dengan mengingatkan Surat Az-Zukhruf ayat 36, yaitu “Barangsiapa
yang berpaling dari mengingat Allah Yang Maha Pengasih, niscaya Kami sertakan
setan sebagai temannya (yang selalu menyertainya).” Maka menurut Buya,
selama zikir kita kepada Allah masih kuat dan ibadah masih teguh, pengawalan
dari malaikatlah yang bertambah banyak, dan jika kita lalai dari jalan Tuhan,
datanglah teman dari iblis, jin dan setan.
Di samping itu, pada hemat
panafsir, janganlah lupa sewaktu membaca salam di akhir shalat, untuk
bermurah hati dengan meniatkan menyedekahkan salam yang pada hakikatnya adalah
doa, di samping kepada makhluk-makhluk Allah yang nampak mata, juga kepada yang
tak nampak mata termasuk para malaikat penjaga kita.
Subhanallaah.
Mengganti Sesaji Dengan Sedekah.
Masyarakat Jawa abad XV yang memeluk
agama Syiwa-Buddha, yang memuja roh-roh gaib dan roh leluhur, lazim memberikan
sesaji berupa bunga, kemenyan, buah-buahan dan telor rebus, kadang-kadang juga
segelas kopi pahit, demi memuja dan berkomunikasi dengan sesembahan atau roh
gaib yang ditakuti. Sesaji tersebut diletakkan di perempatan dekat rumah, di
sudut-sudut rumah, di bawah pohon, batu besar dan lain-lain. Kepada Dewa
pengatur rejeki termasuk pertanian, yaitu Dewi Sri dan Dewa Sadono, sesaji ditaruh di sudut-sudut pematang sawah
atau ladang. Sesaji-sesaji itu tidak boleh dimakan manusia, dan dibiarkan
membusuk atau dimakan binatang.
Adat kepercayaan seperti itu tidak
langsung dibuang oleh Walisongo yang gencar menyiarkan agama Islam, melainkan
disisipi dengan ruh ajaran keislaman. Istilah sesaji diganti menjadi selamatan,
dari asal kata islam itu sendiri, yang memang berarti damai dan selamat
sejahtera. Niatnya diubah dari dipersembahkan kepada roh gaib atau dewa sesembahan,
menjadi sedekah berupa makanan kepada sesamanya, dalam hal ini tetangga,
kerabat, fakir miskin dan anak-anak yatim piatu. Sesaji kepada Dewa Sri-Sadono
diganti menjadi sedekah bumi. Sesaji kepada Dewa Laut diganti menjadi sedekah
laut.
Tentu saja adat kepercayaan
memberikan sesaji itu tidak otomatis hilang. Pada masa kanak-kanak, penafsir
masih banyak menjumpai sesaji untuk roh gaib dan roh leluhur. Tetapi lambat laun semakin berkurang, dan
sekarang bahkan hampir hilang, meskipun belum sama sekali. Perbedaan pokok
antara sesaji dan sedekah adalah pada niat dan peruntukannya, yang bisa dilihat
dari jenis-jenis benda sesajiannya. Benda atau materi sesajian pada umumnya
bukan makanan pokok yang enak dimakan manusia seperti nasi dengan lauk-pauknya,
melainkan antara lain dari yang paling sederhana seperti kemenyan, sampai yang
bernilai cukup mahal seperti kepala kerbau yang mentah tanpa diolah sama
sekali.
Untuk beberapa jenis materi
sesajian, meskipun tidak bisa dimakan misalkan bunga, para Wali juga tidak
langsung membuangnya, namun dijadikan penghias makanan seperti halnya bunga,
irisan buah dan dedaunan yang dijadikan sebagai hiasan pada sajian makanan dan
minuman di hotel-hotel berbintang dan restoran mewah.
Tidak jarang jenis-jenis materi
sedekah dan hiasannya juga diberi makna. Bunga misalnya dimaksudkan sebagai
tamzil bahwa kehidupan itu harus harum bagaikan bunga. Bunga setaman
melambangkan hidup damai dengan sesamanya bagai aneka tanaman bunga di dalam
satu taman. Bunga pitu atau tujuh jenis bunga, demi menanamkan keyakinan kuat
akan mendapat pitulungan atau pertolongan dari Gusti Allah. Boreh atau bedak
dingin yang dulu lazim digunakan kaum wanita, dimaksudkan sebagai hadiah
sekaligus melambangkan agar di dalam kehidupan, kita selalu menampilkan wajah
yang sejuk dan menarik. Dauh sirih, sebagai persembahan kehormatan kepada kaum
ibu yang ketika itu pada umumnya menginang, yaitu mengulum tembakau beserta
pinang-sirih, disamping sebagai tamzil menyatunya segala daya upaya dalam
mencapai cita-cita, sebagaimana menyatunya urat-urat daun sirih. Sedangkan nasi
golong, yakni nasi yang dibentuk bulat bagai bola, adalah tamzil kebulatan
tekad.
Jenis-jenis bahan baku sedekah
tersebut juga ditemukan dalam bait 44 – 45. Yang bagi masyarakat zaman sekarang
sangat asing adalah takir, yaitu wadah makanan yang terbuat dari daun pisang
yang dibentuk seperti kotak segi empat.
Dalam bait 44 – 45 disebutkan jenis
lauk-pauk berupa ikan. Ikan adalah tamzil untuk mengajarkan agar orang pandai berenang
dan menyelam bagaikan ikan, dalam hal ini mengarungi dan menyelami kehidupan.
Di samping itu ikan adalah juga jenis lauk pauk yang sangat mudah diperoleh
masyarakat Jawa khususnya di wilayah Pantai Utara. Di kala itu orang yang sehat
bisa dengan gampang menjala, menangkap dengan bubu atau memancing ikan di laut,
tambak dan hutan bakau. Juga menangkap ikan di sungai kecil, rawa-rawa yang
dahulu masih banyak di sekeliling kita serta di sungai-sungai besar yang
bermuara di laut Jawa, yang membentang sepanjang pantai pulau Jawa. Dengan
demikian anjuran memberikan sedekah pada setiap hari kelahiran tidaklah akan
menyulitkan, karena bagi yang mampu bisa membeli dan bagi yang tidak mampu bisa
menangkap sendiri.
Bagi orang Jawa, pengetahuan
mengenai hari kelahiran sangat penting, terutama weton (berasal dari kata metu yang berarti keluar), yaitu gabungan antara hari yang
terdiri dari tujuh mulai Senin sampai Minggu, dengan apa yang disebut pasaran
yang terdiri dari lima yaitu Legi, Pahing, Pon Wage dan Kliwon. Sebagai contoh
Kanjeng Nabi Muhammad, lahir pada hari Senin dengan pasaran Pon, maka weton
Nabi Muhammad saw adalah Senin Pon. Lantaran merupakan gabungan dari tujuh dan
lima, weton tersebut berulang setiap selapan
dino atau setiap tigapuluh lima hari sekali.
Kebiasaan orang Jawa dahulu kala,
untuk melakukan ritual atau peringatan khusus pada saat wetonannya, umumnya
dengan memberikan berbagai sesaji kepada dewa sesembahan atau roh-roh gaib.
Kebiasaan itulah yang diubah oleh Sunan Kalijaga melalui Kidung Kawedar, dengan
mengajarkan memberikan sedekah, dan di kemudian hari diajarkan pula berpuasa
sunah.
Perihal sedekah, dalam bait 45 baris
keenam dan ketujuh harus diniatkan demi kemuliaan dengan diiringi doa-doa
mahmut. Pengunaan kata mahmut yang berasal dari bahasa Arab dan berarti terpuji
ini, pada hemat penafsir sengaja dimaksudkan untuk menegaskan pilihan
menggunakan doa secara Islami, dan bukan dengan cara yang lain.
Kidung Kawedar terdiri dari 46
(empat puluh enam) bait. Jika bait pertama sampai empat puluh lima berisi
keutamaan-keutamaan, pengenalan agama Islam, berbagai tamzil, ajaran dan
petunjuk, bait terakhir dan merupakan satu-satunya, mengemukakan risiko bagi
siapa yang tidak mau mengikuti ajarannya. Bait 45 mengemukakan kemuliaan bagi
yang taat mengikuti ajaran berkat memperoleh pengaruh aura gaib Allah Yang Maha
Agung, atau disebut mendapat sawab atau berkah. Sedangkan bait 46 terjadi hal
sebaliknya bagi yang kurang tekun apalagi yang tidak mau menjalaninya. Mereka
tidak akan dibantu oleh para malaikat penjaga dan pendamping. Karena malaikat
hanya mau membantu apabila ada ridho dari Yang Maha Agung. Akibatnya, semua
keinginan kita bisa gagal tak terwujud, cita-cita dan tujuan kita lepas, cabar
tak tercapai, lantaran kurang bersungguh-sungguh dan kurang tekun dalam
menghayati (agama Islam).
Kidung ini diakhiri dengan sebuah
petuah agar dalam menghayati ajaran agama (Islam), kita senantiasa awas dan
eling. Eling berarti ingat atau zikir, sebagaimana sudah dikemukakan dalam
pembahasan bait 30, agar setiap saat selalu mengingat Gusti Allah.
Mengingat-Nya dalam setiap tarikan nafas, dalam keadaan apa saja, bahkan selagi
di kamar kecil membuang hajat. Dengan senantiasa mengingat-Nya maka kita pun
akan menjadi pandai bersyukur, taat dan mematuhi firman-firman-Nya.
Kata ingat juga dikaitkan dengan
kata awas atau waspada. Maknanya dalam mengingat serta mentaati Gusti Allah,
kita tetap harus terus awas, terus-menerus waspada, lantaran setan yang sudah
mendapatkan mandat dari Tuhan untuk menggoda manusia, tidak akan pernah
menyerah sedikit pun. Setiap saat setan akan selalu menggoda manusia, mencari
celah dan peluang meski hanya sepersekian mili, sepersekian detik bahkan hanya
secercah cahaya, buat menggelincirkan iman manusia. Nasihat agar awas dan eling
ini sekarang menjadi sebuah ungkapan yang terkenal, yaitu eling lan waspodo, ingat dan waspada.
Demikianlah nasihat penutup dari
Sunan Kalijaga melalui Suluk Kidung Kawedar. Ada pun kesimpulan penafsir atas
Kidung ini, insya Allah disajikan dalam kesempatan berikutnya.
Subhanallaah walhamdulillaah.
1 Komentar:
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda