40 Anugerah Kemuliaan Bagi Orang Yang Taat.
Bait 33 sampai dengan 37 kembali
mengemukakan berbagai faedah yang dianugerahkan Gusti Allah kepada siapa yang
menghayati hakikat Kidung Kawedar, terutama faedah dan keutamaan menghadapi
aneka ancaman serta bahaya yang lazim timbul pada masa itu. Sesuatu faedah dan
ancaman terasa diulang-ulang dari satu bait ke bait lainnya. Hal itu wajar pada
suatu kitab tembang puisi seperti ini. Apalagi bila masalah yang dibahas memang
merupakan masalah penting untuk zamannya. Bahkan Al Qur’an pun mengulang-ulang
beberapa masalah yang sama.
Keutamaan-keutamaan dilukiskan dalam
tamzil alam, binatang dan adat kebiasaan secara indah. Melambangkan dukungan
alam semesta kepada umat yang telah menganut agama baru, yang memperoleh rahmat
dari Gusti Allah. Sementara kepercayaan masyarakat terhadap Dewi Sri dan Dewa
Sadana yang dianggap sebagai sepasang dewa pengatur rejeki manusia, tidak serta
merta dicela dan dibuang, melainkan diturunkan derajatnya di bawah Allah swt.
dan namanya hanya dipakai sekedar sebagai perlambang rejeki saja.
Ulama Besar Imam Al Ghazali yang
lahir tahun 1058 dan wafat 1111, dalam kitab tasawufnya yang tersohor yaitu Minhajul ‘Abidin atau Menuju Mukmin Sejati menulis, orang yang
senantiasa taat kepada Allah swt. dan Rasulullah saw. akan selamat dari godaan
pesona dunia dan dimasukkan dalam golongan ahli surga. Mereka dikasihi dan
disayang Allah, dan oleh karena itu bisa disebut sebagai aulia atau wali atau
kekasih Allah, yang jika memiliki keinginan apa saja akan selalu dikabulkan.
Apa yang dikehendaki akan terjadi, karena orang seperti itu selalu senang hati
menerima segala ketentuan Allah. Daratan, lautan dan seisi bumi bagi mereka
hanyalah setapak, yang ditundukkan oleh Allah kepadanya.
Begitu pula jin, manusia, binatang,
semua ditaklukkan oleh Allah swt untuk para wali. Ingin apa saja, para wali
yang sudah tidak berminat pada pesona dunia itu, akan terlaksana. Namun
demikian mereka tidak pernah menginginkan apa-apa bagi dirinya kecuali yang
dikehendaki Allah.
Menurut Al Ghazali, ada empat puluh
(40) jenis anugerah kemuliaan dan keutamaan atau karomah yang dianugerahkan
Allah kepada orang-orang muslim yang selalu taat dan berkhidmat kepada-Nya. Dua
puluh merupakan anugerah di dunia sedangkan yang dua puluh lagi anugerah di
akhirat.
Jika kita dicermati, berbagai
kemuliaan yang dinyatakan Kidung Kawedar sudah termasuk dalam 40 kemuliaan yang
digambarkan Al Ghazali tersebut. Tentu saja sugesti keutamaan kidung ini tidak
akan dipercaya masyarakat, apabila para wali khususnya Sunan Kalijaga itu
sendiri tidak memperoleh karomah kemuliaan dari Gusti Allah Yang Maha Agung
lagi Maha Kuasa.
Maasyaa Allaah laa
quwwata illaa billaah.
Ulama-Ulama Tasawuf Mengislamkan Jawa.
Benang merah kandungan isi Kidung
Kawedar ini, secara jelas menunjukkan sebagai kidung dakwah mengenai agama
Islam, dan lebih khusus lagi tentang tasawuf. Oleh karena itu dalam memahaminya
kita harus berpedoman pada Al Qur’an, hadis, ijma’ dan qiyas atau kesepakatan
serta penjelasan para ulama, agar kita tidak menjadi bingung dan kemudian
tersesat.
Kecuali itu, mengingat dakwah Islam
di pulau Jawa juga dilakukan secara menyusup dan melapisi agama serta
kepercayaan yang sudah lebih dulu ada selapis demi selapis, maka kita pun harus
memahami situasi, agama, kepercayaan serta adat istiadat yang berlaku pada saat
itu. Hal seperti ini juga dilakukan oleh para penafsir Al Qur’an dan hadis.
Mereka pun harus memahami latar belakang mengapa sesuatu ayat dan sesuatu hadis
diturunkan.
Dengan memahami latar belakang
keadaan yang meliputi berbagai aspek tersebut, kita akan bisa mengetahui apa
saja yang merupakan substansi atau pokok ajaran dan apa saja yang sekedar
merupakan ilustrasi, mana yang merupakan selubung sementara, mana yang disusupi
bahkan mana yang dimanfaatkan. Semua itu muncul pada bait 38 sampai dengan 40
ini, sehingga apabila tidak cermat dalam memilah-milah, kita bisa bingung
sendiri. Sementara itu kandungan pokok ajarannya juga terbilang banyak, saling
isi saling silang dalam tiga bait.
Secara umum, mula-mula agama Islam
diibaratkan sebagai burung yang memangku bumi dan langit, kemudian anatomi
burung tersebut diuraikan dan masing-masing diberi padanan hal-hal yang perlu
dipahami di dalam Islam terutama yang berkaitan dengan ilmu tasawuf.
Selanjutnya diberi ilustrasi dari gambaran alam raya serta tapak-tapak sejarah
dan alam di kawasan Timur Tengah yaitu bukit Tursina dan gunung Arafah, dipadu
dengan kiasan alam dari legenda wayang khas Jawa yakni gunung Manikmaya.
Pokok-pokok ajaran yang dikemukakan
dalam ketiga bait ini ialah empat warna dan delapan kaki dalam Islam, syariat,
tarekat, hakikat, makrifat, syahadat, tauhid serta empat macam nafsu yaitu
supiyah, amarah, mutmainah dan aluamah. Kemudian ada empat nyawa dan tauhid
uluhiyyah. Begitu pula halnya dengan bukit Tursina atau bukit Sinai yang
disebut dalam Surat At Tiin, dan gunung Arafah dengan padang Arafahnya yang
menjadi pusat area dari puncak ibadah haji. Sungguh merupakan tiga bait nan
sarat makna.
Kesulitan dalam memahami
tamzil-tamzil Kidung Kawedar adalah karena tidak ada catatan-catatan tertulis
lain pada masanya, terutama yang menjelaskan tentang tamzil tersebut. Memang di
masyarakat dijumpai beberapa penafsiran, namun jika kita harus menggunakan
rujukan Al Qur’an, hadis, ijma dan qiyas, maka kita harus berani menyatakan
bahwa beberapa penafsiran yang ada tidak diketemukan acuannya.
Dari memahami bait demi bait Kidung
Kawedar dan berbagai suluk dakwah yang ada, kita bisa mengetahui dalam
berdakwah para Wali tidak langsung mengajarkan ibadah mahdah seperti shalat,
puasa dan haji, melainkan memperkenalkan serta mengajarkan terlebih dulu
sejarah para nabi, malaikat dan olah batin yang biasa dilakukan oleh para
penganut tasawuf. Bahkan syahadat dan tauhid juga baru disinggung setelah
syariat, tarekat, hakikat dan makrifat. Tak pelak lagi, jejak langkah dan
tonggak-tonggak penyebaran agama Islam di pulau Jawa, nampak jelas menunjukkan
jejak langkah para ulama tasawuf yang telah dianugerahi berbagai karomah oleh
Gusti Allah.
Syahadat dan tauhid di dalam Islam adalah dua ungkapan yang
menyatu. Syahadat berasal dari kata syahida atau persaksian, sedangkan tauhid
adalah pengakuan keyakinan akan keesaan Tuhan dengan segala kekuasaan dan
sifatnya. Seseorang sudah boleh disebut atau diberi label Islam, apabila sudah
mengakui, dalam bahasa umum mengucapkan dua kalimat syahadat, yaitu syahadat
tauhid yang berbunyi: “Asyhadu al-laa
ilaaha illallaah (saya bersaksi bahwa tiada sesembahan selain Allah)”,
serta syahadat rasul: “wa asyhadu anna
Muhammadar rasuulullaah (dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah rasul atau
utusan Allah)”.
Namun demikian, jika diibaratkan
kehidupan sekarang ini, pengucapan syahadat itu bagaikan bendera dari sesuatu
kapal. Di dalam dunia pelayaran, kita menjumpai banyak kapal-kapal dagang antar
benua yang menggunakan bendera negara-negara Amerika Latin dan Afrika Barat,
misalkan Liberia. Ini berarti status hukum kepemilikan kapal tersebut adalah
mengikuti hukum negara Liberia. Apakah pemilik yang sesungguhnya terutama para
awak kapalnya adalah bangsa Liberia? Belum tentu. Begitu pula orang yang sudah
mengucapkan dua kalimah syahadat, belum otomatis perilaku serta iman dan amal
salehnya sesuai dengan tuntunan Islam. Oleh sebab itulah, seseorang yang sudah
meneguhkan keimanannya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, harus pula
menindaklanjuti dengan melaksanakan rukun iman dan rukun islam lainya, beserta
berbagai perbuatan dan amal saleh yang diajarkan di dalam Al Qur’an dan hadis
Kanjeng Nabi Muhammad saw.
Mengenai kalimat uluhiyah di dalam
kitab lauh mahfuzh qalam yang merupakan baris kesembilan, Islam meyakini tiga
jenis tauhid, yaitu tauhid rububiyah,
tauhid uluhiyah (dalam bait 39 disebut uluwiyah) dan tauhid asma’ wash-shifat.
Tauhid rububiyah adalah meyakini kekuasaan Allah dalam menciptakan serta
mengatur alam semesta dan dunia akhirat. Tauhid uluhiyyah mengakui Allah sebagai
sesembahan yang harus senantiasa dipatuhi, sedangkan tahud asma’ wash-shifat
meyakini berbagai nama dan sifat Allah yang mulia.
Pokok bahasan lain yang cukup
penting dalam bait 39 adalah empat macam nafsu yang ditamzilkan sebagai bagian
dalam tubuh. Empat nafsu yang berada dalam diri manusia yaitu: (1) Nafsu
supiyah, berhubungan dengan masalah kesenangan, yang jika tidak dikendalikan
akan menyesatkan jalan hidup kita. (2). Nafsu amarah yang berkaitan dengan
emosi. Jika tidak dikendalikan, ia sangat berbahaya karena akan mengarahkan
manusia kepada perbuatan dan perilaku yang keji dan rendah. (3). Nafsu aluamah,
yaitu nafsu yang sudah mengenal baik dan buruk. (4). Nafsu mutmainah, yaitu
nafsu yang telah dikendalikan oleh keimanan, yang membawa sang pemilik menjadi
berjiwa tenang, ridho dan tawakal.
Bait 38 yang menyebut masalah
syariat, tarekat, hakikat dan makrifat, sangat menarik dan merupakan pokok
bahasan ilmu tasawuf. Pelajaran tasawuf banyak pula diungkapkan dalam
suluk-suluk lain. Bahkan guru Sunan Kalijaga yaitu Sunan Bonang, menggubah
sejumlah suluk yang secara gamblang mengajarkan tasawuf.
Makna tasawuf adalah jalan untuk
mendekatkan diri kepada Gusti Allah dengan tiga inti ajaran pokok yakni bulat
hati kepada Allah, tekun ibadah dan berpaling dari godaan pesona dunia atau
tidak cenderung pada kemewahan dan pesona dunia. Sedangkan suluk juga berarti cara untuk mendekatkan diri kepada Gusti Allah swt.
mengikuti tuntunan jalan tasawuf.
Itulah jejak dan tapak-tapak sejarah yang
menandai penyebaran Islam di Pulau Jawa oleh para wali Allah, yaitu ulama-ulama
tasawuf yang telah memahami serta mengamalkan ilmu agama, karomah dan keteladan
perilaku.
Subhanallaah walhamdulillaah.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda