Jumat, 15 Mei 2015

KAROMAH WALI ALLAH UNTUK MENGISLAMKAN PULAU JAWA : Kandungan Makna Suluk Kidung Kawedar (8).




40 Anugerah Kemuliaan Bagi Orang Yang Taat.


Bait 33 sampai dengan 37 kembali mengemukakan berbagai faedah yang dianugerahkan Gusti Allah kepada siapa yang menghayati hakikat Kidung Kawedar, terutama faedah dan keutamaan menghadapi aneka ancaman serta bahaya yang lazim timbul pada masa itu. Sesuatu faedah dan ancaman terasa diulang-ulang dari satu bait ke bait lainnya. Hal itu wajar pada suatu kitab tembang puisi seperti ini. Apalagi bila masalah yang dibahas memang merupakan masalah penting untuk zamannya. Bahkan Al Qur’an pun mengulang-ulang beberapa masalah yang sama.

Keutamaan-keutamaan dilukiskan dalam tamzil alam, binatang dan adat kebiasaan secara indah. Melambangkan dukungan alam semesta kepada umat yang telah menganut agama baru, yang memperoleh rahmat dari Gusti Allah. Sementara kepercayaan masyarakat terhadap Dewi Sri dan Dewa Sadana yang dianggap sebagai sepasang dewa pengatur rejeki manusia, tidak serta merta dicela dan dibuang, melainkan diturunkan derajatnya di bawah Allah swt. dan namanya hanya dipakai sekedar sebagai perlambang rejeki saja.

Ulama Besar Imam Al Ghazali yang lahir tahun 1058 dan wafat 1111, dalam kitab tasawufnya yang tersohor yaitu Minhajul ‘Abidin atau Menuju Mukmin Sejati menulis, orang yang senantiasa taat kepada Allah swt. dan Rasulullah saw. akan selamat dari godaan pesona dunia dan dimasukkan dalam golongan ahli surga. Mereka dikasihi dan disayang Allah, dan oleh karena itu bisa disebut sebagai aulia atau wali atau kekasih Allah, yang jika memiliki keinginan apa saja akan selalu dikabulkan. Apa yang dikehendaki akan terjadi, karena orang seperti itu selalu senang hati menerima segala ketentuan Allah. Daratan, lautan dan seisi bumi bagi mereka hanyalah setapak, yang ditundukkan oleh Allah kepadanya.

Begitu pula jin, manusia, binatang, semua ditaklukkan oleh Allah swt untuk para wali. Ingin apa saja, para wali yang sudah tidak berminat pada pesona dunia itu, akan terlaksana. Namun demikian mereka tidak pernah menginginkan apa-apa bagi dirinya kecuali yang dikehendaki Allah.

Menurut Al Ghazali, ada empat puluh (40) jenis anugerah kemuliaan dan keutamaan atau karomah yang dianugerahkan Allah kepada orang-orang muslim yang selalu taat dan berkhidmat kepada-Nya. Dua puluh merupakan anugerah di dunia sedangkan yang dua puluh lagi anugerah di akhirat.

Jika kita dicermati, berbagai kemuliaan yang dinyatakan Kidung Kawedar sudah termasuk dalam 40 kemuliaan yang digambarkan Al Ghazali tersebut. Tentu saja sugesti keutamaan kidung ini tidak akan dipercaya masyarakat, apabila para wali khususnya Sunan Kalijaga itu sendiri tidak memperoleh karomah kemuliaan dari Gusti Allah Yang Maha Agung lagi Maha Kuasa.

Maasyaa Allaah laa quwwata illaa  billaah.


Ulama-Ulama Tasawuf Mengislamkan Jawa.

Benang merah kandungan isi Kidung Kawedar ini, secara jelas menunjukkan sebagai kidung dakwah mengenai agama Islam, dan lebih khusus lagi tentang tasawuf. Oleh karena itu dalam memahaminya kita harus berpedoman pada Al Qur’an, hadis, ijma’ dan qiyas atau kesepakatan serta penjelasan para ulama, agar kita tidak menjadi bingung dan kemudian tersesat.

Kecuali itu, mengingat dakwah Islam di pulau Jawa juga dilakukan secara menyusup dan melapisi agama serta kepercayaan yang sudah lebih dulu ada selapis demi selapis, maka kita pun harus memahami situasi, agama, kepercayaan serta adat istiadat yang berlaku pada saat itu. Hal seperti ini juga dilakukan oleh para penafsir Al Qur’an dan hadis. Mereka pun harus memahami latar belakang mengapa sesuatu ayat dan sesuatu hadis diturunkan.

Dengan memahami latar belakang keadaan yang meliputi berbagai aspek tersebut, kita akan bisa mengetahui apa saja yang merupakan substansi atau pokok ajaran dan apa saja yang sekedar merupakan ilustrasi, mana yang merupakan selubung sementara, mana yang disusupi bahkan mana yang dimanfaatkan. Semua itu muncul pada bait 38 sampai dengan 40 ini, sehingga apabila tidak cermat dalam memilah-milah, kita bisa bingung sendiri. Sementara itu kandungan pokok ajarannya juga terbilang banyak, saling isi saling silang dalam tiga bait.

Secara umum, mula-mula agama Islam diibaratkan sebagai burung yang memangku bumi dan langit, kemudian anatomi burung tersebut diuraikan dan masing-masing diberi padanan hal-hal yang perlu dipahami di dalam Islam terutama yang berkaitan dengan ilmu tasawuf. Selanjutnya diberi ilustrasi dari gambaran alam raya serta tapak-tapak sejarah dan alam di kawasan Timur Tengah yaitu bukit Tursina dan gunung Arafah, dipadu dengan kiasan alam dari legenda wayang khas Jawa yakni gunung Manikmaya.

Pokok-pokok ajaran yang dikemukakan dalam ketiga bait ini ialah empat warna dan delapan kaki dalam Islam, syariat, tarekat, hakikat, makrifat, syahadat, tauhid serta empat macam nafsu yaitu supiyah, amarah, mutmainah dan aluamah. Kemudian ada empat nyawa dan tauhid uluhiyyah. Begitu pula halnya dengan bukit Tursina atau bukit Sinai yang disebut dalam Surat At Tiin, dan gunung Arafah dengan padang Arafahnya yang menjadi pusat area dari puncak ibadah haji. Sungguh merupakan tiga bait nan sarat makna.

Kesulitan dalam memahami tamzil-tamzil Kidung Kawedar adalah karena tidak ada catatan-catatan tertulis lain pada masanya, terutama yang menjelaskan tentang tamzil tersebut. Memang di masyarakat dijumpai beberapa penafsiran, namun jika kita harus menggunakan rujukan Al Qur’an, hadis, ijma dan qiyas, maka kita harus berani menyatakan bahwa beberapa penafsiran yang ada tidak diketemukan acuannya.

Dari memahami bait demi bait Kidung Kawedar dan berbagai suluk dakwah yang ada, kita bisa mengetahui dalam berdakwah para Wali tidak langsung mengajarkan ibadah mahdah seperti shalat, puasa dan haji, melainkan memperkenalkan serta mengajarkan terlebih dulu sejarah para nabi, malaikat dan olah batin yang biasa dilakukan oleh para penganut tasawuf. Bahkan syahadat dan tauhid juga baru disinggung setelah syariat, tarekat, hakikat dan makrifat. Tak pelak lagi, jejak langkah dan tonggak-tonggak penyebaran agama Islam di pulau Jawa, nampak jelas menunjukkan jejak langkah para ulama tasawuf yang telah dianugerahi berbagai karomah oleh Gusti Allah.

Syahadat dan tauhid  di dalam Islam adalah dua ungkapan yang menyatu. Syahadat berasal dari kata syahida atau persaksian, sedangkan tauhid adalah pengakuan keyakinan akan keesaan Tuhan dengan segala kekuasaan dan sifatnya. Seseorang sudah boleh disebut atau diberi label Islam, apabila sudah mengakui, dalam bahasa umum mengucapkan dua kalimat syahadat, yaitu syahadat tauhid yang berbunyi: “Asyhadu al-laa ilaaha illallaah (saya bersaksi bahwa tiada sesembahan selain Allah)”, serta syahadat rasul: “wa asyhadu anna Muhammadar rasuulullaah (dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah rasul atau utusan Allah)”.

Namun demikian, jika diibaratkan kehidupan sekarang ini, pengucapan syahadat itu bagaikan bendera dari sesuatu kapal. Di dalam dunia pelayaran, kita menjumpai banyak kapal-kapal dagang antar benua yang menggunakan bendera negara-negara Amerika Latin dan Afrika Barat, misalkan Liberia. Ini berarti status hukum kepemilikan kapal tersebut adalah mengikuti hukum negara Liberia. Apakah pemilik yang sesungguhnya terutama para awak kapalnya adalah bangsa Liberia? Belum tentu. Begitu pula orang yang sudah mengucapkan dua kalimah syahadat, belum otomatis perilaku serta iman dan amal salehnya sesuai dengan tuntunan Islam. Oleh sebab itulah, seseorang yang sudah meneguhkan keimanannya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, harus pula menindaklanjuti dengan melaksanakan rukun iman dan rukun islam lainya, beserta berbagai perbuatan dan amal saleh yang diajarkan di dalam Al Qur’an dan hadis Kanjeng Nabi Muhammad saw.

Mengenai kalimat uluhiyah di dalam kitab lauh mahfuzh qalam yang merupakan baris kesembilan, Islam meyakini tiga jenis tauhid, yaitu tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah (dalam bait 39 disebut uluwiyah) dan tauhid asma’ wash-shifat. Tauhid rububiyah adalah meyakini kekuasaan Allah dalam menciptakan serta mengatur alam semesta dan dunia akhirat. Tauhid uluhiyyah mengakui Allah sebagai sesembahan yang harus senantiasa dipatuhi, sedangkan tahud asma’ wash-shifat meyakini berbagai nama dan sifat Allah yang mulia.

Pokok bahasan lain yang cukup penting dalam bait 39 adalah empat macam nafsu yang ditamzilkan sebagai bagian dalam tubuh. Empat nafsu yang berada dalam diri manusia yaitu: (1) Nafsu supiyah, berhubungan dengan masalah kesenangan, yang jika tidak dikendalikan akan menyesatkan jalan hidup kita. (2). Nafsu amarah yang berkaitan dengan emosi. Jika tidak dikendalikan, ia sangat berbahaya karena akan mengarahkan manusia kepada perbuatan dan perilaku yang keji dan rendah. (3). Nafsu aluamah, yaitu nafsu yang sudah mengenal baik dan buruk. (4). Nafsu mutmainah, yaitu nafsu yang telah dikendalikan oleh keimanan, yang membawa sang pemilik menjadi berjiwa tenang, ridho dan tawakal.

Bait 38 yang menyebut masalah syariat, tarekat, hakikat dan makrifat, sangat menarik dan merupakan pokok bahasan ilmu tasawuf. Pelajaran tasawuf banyak pula diungkapkan dalam suluk-suluk lain. Bahkan guru Sunan Kalijaga yaitu Sunan Bonang, menggubah sejumlah suluk yang secara gamblang mengajarkan tasawuf.

Makna tasawuf adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Gusti Allah dengan tiga inti ajaran pokok yakni bulat hati kepada Allah, tekun ibadah dan berpaling dari godaan pesona dunia atau tidak cenderung pada kemewahan dan pesona dunia. Sedangkan suluk juga berarti cara untuk mendekatkan diri kepada Gusti Allah swt. mengikuti tuntunan jalan tasawuf.

Itulah jejak dan tapak-tapak sejarah yang menandai penyebaran Islam di Pulau Jawa oleh para wali Allah, yaitu ulama-ulama tasawuf yang telah memahami serta mengamalkan ilmu agama, karomah dan keteladan perilaku.

Subhanallaah walhamdulillaah.


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda