Jumat, 29 Mei 2015

Kearifan Lokal Pengaruhi Kebangkitan Bangsa: Diskusi Suluk Maleman

Diskusi Suluk Maleman

18 Mei 2015 0:03 WIB Category: SmCetak, Suara Muria A+ / A-
BANGSA Indonesia banyak dinilai sebagai bangsa yang begitu kaya. Tidak saja dari sisi kandungan alam yang melimpah ruah, namun memiliki begitu banyak kearifan lokal. Kekuatan sebuah bangsa dapat dipengaruhi dari kearifan lokal dari bangsa itu sendiri.
Bahkan kearifan lokal itu banyak diwariskan dari nenek moyang bangsa ini. Seperti halnya sisi kearifan syarat ilmu yang diturunkan di era wali songo beberapa waktu lalu. Dengan sedikit kebijakan dan ilmu itu Islam dapat diajarkan dan disebarkan begitu pesat.
Bambang Wiwoho, salah satu narasumber dalam Suluk Maleman yang di gelar di rumah Adab Indonesia Mulia Sabtu (16/5) lalu mengatakan, Sunan Bonang dan Sunan Kalijogo memanfaatkan benar kearifan yang ada di masyarakat. Kedua alim ulama itu menyusupi kepercayaan lokal selapis demi selapis dengan ajaran Islam. ”Ibaratnya seperti lapisan bawang, lapis demi lapisnya telah diisi dengan inti dari Islam itu sendiri.
Jadi mereka masuk tanpa merusak kearifan yang sudah ada sebelumnya,” terang pria yang juga pernah memiliki pengalaman sebagai seorang jurnalis ini. Ritual dan kepercayaan yang sudah berkembang di masyarakat itu dirubahnya menjadi sebuah kebudayaan. Sedang dari sisi intinya tetap diberikan nafas Islam.
Hal itulah yang membuat masyarakat bisa menerimanya tanpa pernah terpaksa. ”Banyak contohnya, sebut saja sedekah bumi. Awalnya sedekah bumi adalah sesajen untuk Dewi Sri yang dirubah sebagai tradisi saling bersedekah dan berdoa kepada Tuhan.
Belum lagi perubahan cerita wayang yang sarat akan filsafat dan dakwah,” imbuhnya. Hal tersebut, dikatakan Habib Anis Sholeh Baasyin sebagai suatu semangat kreatif dalam berdakwah. Asalkan dasar dari Islam itu tidak tergoyahkan, tentu kreatifitas itu dapat dilakukan. Habib Anis juga mengambil contoh seperti saat membaca Al Quran.
”Ketika aturan-aturannya seperti tadjiwd dan makrojnya benar, tentu tidak apa-apa menggunakan lagu yang berbeda. Seperti halnya perbedaan pengucapan bahasa Inggris lantaran perbedaan dialek,” terang Habib Anis kepada ratusan hadirin yang datang.
Universal
Dia juga menjelaskan, agama adalah sesuatu yang universal. Namun tentu saja yang dimaksudkan dalam universal itu bukanlah seragam. Justru agama itulah yang mewadahi keberagaman. ”Wali songo dulu juga memiliki karakter yang berbeda. Termasuk cara berdakwahnya, tapi hal itu juga tidak pernah membuat perselisihan.
Karena mereka sadar benar inti yang dilakukan adalah menjalankan ibadah bukan kemasannya,” imbuhnya. Ironisnya, saat ini banyak pemeluk Islam yang sudah melupakan kearifan lokal semacam itu. Mereka justru menilai agama sebagai sebuah seragam. Terkadang adapula yang coba memaksakan satu bahasa dan satu seragam, padahal Tuhan tidak pernah memerintahkan berbuat seperti itu.
”Tentu ada beragam cara untuk melakukan pendekatan. Dan metode pendekatan itu pastinya berbeda antar daerah,” tambahnya. Oleh Agus Sunyoto, penulis buku sekaligus narasumber dalam suluk itu menambahkan, hilangnya kearifan lokal itu dapat turut diartikan dengan terjadinya pendangkalan proses penafsiran.
Banyak masyarakat yang hanya melihat di permukaan tanpa pernah menilik dari sisi intinya. ”Contoh paling mudah itu adalah di film-film Walisongo. Hampir di setiap film tentang wali itu justru banyak ditonjolkan sisi pertarungan dan perkelahian. Padahal wali tentu tidak serendah itu,” tegasnya.
Dikatakannya, Islam di nusantara sempat mengalami hambatan dalam persebarannya. Selama hampir 800 tahun mulai dari tahun 674 masuknya saudagar Islam pertama kali ke Kalingga hingga tahun 1440 sebelum masuknya sunan Ampel belum banyak pribumi yang mau menganut ajaran Islam.(Beni Dewa-44) (http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/kearifan-lokal-pengaruhi-kebangkitan-bangsa/).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda