Senin, 08 Juni 2015

KESIMPULAN TAFSIR SULUK KIDUNG KAWEDAR




Tatkala agama Islam mulai gencar didakwahkan pada abad XV – XVI, pulau Jawa yang masih banyak hutan belantara dan semak belukarnya, bukanlah negeri jahiliyah yang rendah peradabannya. Di balik dan di antara hutan-hutan belantara tersebut, terdapat sejumlah monumen-monumen bukti pernah berlangsungnya peradaban tinggi misalkan sejumlah candi di pegunungan tinggi Dieng, candi Borobudur, puluhan candi di Prambanan dan puing-puing rerentuhan Keraton Boko, semuanya di Jawa Tengah.

Di bidang pelayaran dan perdagangan, berbagai sumber tulisan dari Barat sebagaimana dikutip Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo, Pustaka Ilman, Trans Pustaka dan LTN PBNU, 2012,  menyatakan pada tahun 70-an Masehi, cengkih dari kepulauan Maluku sudah diperdagangkan di Roma, dan semenjak abad keiga Masehi, perahu-perahu dari kepulauan Nusantara telah menyinggahi anak benua India serta pantai timur Afrika, dan sebagian di antaranya bermigrasi ke Madagaskar.

ukan hanya dari para pencatat perjalanan orang-orang Barat saja, kisah pelayaran tadi juga bisa ditemukan di relief Candi Borobudur. Pada tahun 2003, pengrajin kapal dari Madura telah membuktikan kehandalan perahu di relief candi tersebut, dengan membuat tiruannya. Kapal yang dinamai “Samudraraksa” ini berlayar  ke Afrika dengan selamat  dan kini disimpan di Musium Kapal Samudraraksa di Borobudur (http://www.tempo.co/read/news/2003/07/03/05521575/Ekspedisi-Kapal-Borobudur-Dapat-Memberdayakan-Budaya  dan http://setuparch.blogspot.com/2013/09/kapal-kapal-sriwijaya.html ).  Replika berikutnya diberi nama “Spirit of Majapahit”,  diluncurkan menuju Jepang dari dermaga Marina, Jakarta pada 4 Juli 2010. (http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=67324).

Pencatat sejarah China anak buah Fa Hsien di akhir abad III dan awal abad IV Masehi menerangkan pula bahwa pelaut-pelaut Nusantara memiliki kapal-kapal besar yang panjangnya sekitar 200 kaki (65 meter), tinggi 20 – 30 kaki (7 – 10 meter) dan mampu dimuati 600 – 700 orang ditambah muatan seberat 10.000 hou. Sementara pada masa itu panjang jung China tidak sampai 100 kaki (30 meter) dengan tinggi kurang dari 10 – 20 kaki (3 – 7 meter). Catatan yang ditulis dalam Tu Kiu Kie ini telah dikutip oleh banyak ahli yang mempelajari sejarah agama Buddha maupun Asia Tenggara di masa lalu.

Ahli Javanologi Belanda, Van Hien tahun 1920 dalam De Javansche Geestenwereld, yang disadur secara bebas oleh Capt.R.P.Suyono dalam Dunia Mistik Orang Jawa, penerbit LkiS Yogyakarta 2007 halaman 12, menerangkan Shi Fa Hian (Fa Hsien) dalam perjalanannya pulang ke China diserang badai dan terdampar di pantai Jawa. Ia berdiam lima bulan di Jawa, menunggu selesainya pembuatan sebuah kapal besar yang sama dengan kapalnya yang rusak dihantam badai (juga Atlas Walisongo halaman 20).

Bukti tentang peradaban yang cukup maju lainnya ditemukan pula melalui berbagai prasasti dan kondisi lapangan, yang menjelaskan mengenai setidaknya ada lima sistem irigasi yang tertata baik, yang dibangun pada rentang periode abad 9 sampai 14 di lembah Sungai Brantas, Jawa Timur (1000 Tahun Nusantara, Kompas 2000, hal 128).

Pun demikian kondisi pada sekitar abad XV – XVI itu. Pamor Kerajaan Nusantara Majapahit yang beribukota di Trowulan, Jawa Timur, sedang memudar, bahkan kekuasaannya mulai runtuh. Meskipun demikian gambaran kebesaran peradabannya dicatat oleh pengembara Portugis tahun 1512 – 1515 Tome Pires dalam karyanya yang sangat terkenal dan sering menjadi sumber rujukan sejarah Asia Tenggara, Suma Oriental (dalam Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit oleh Prof.Dr. Slamet Mulyana, Inti Idayu Press, Jakarta 1983 halaman 282, 283 dan seterusnya). Menurut Tome Pires, Sultan Malaka yang bergelar Raja Muzaffar Syah (1450 – 1458) serta puteranya yaitu Raja Mansyur Syah (1458 – 1477), sebagai raja bawahan Jawa, memiliki hubungan yang baik dengan Jawa. Bahkan untuk keperluan menunaikan ibadah haji ke Mekah, Raja Mansyur Syah memesan jung besar dari Jawa.

Sejarah panjang peradaban Jawa dan juga daerah-daerah lain di Nusantara, banyak dikupas oleh para penulis sejarah asing, yang daftar rincian penulisnya bisa dilihat antara lain di buku Atlas Walisongo.
Dalam halaman 374 buku tadi bahkan digambarkan secara ekstrem kesombongan orang Jawa Majapahit. Diogo Do Couto yang datang ke Jawa tahun 1526, yaitu setahun sebelum balatentara Demak menyerbu  Girindrawardhana di Majapahit, mencatat antara lain sebagai berikut:
“Pulau Jawa melimpah atas segala sesuatu yang terkait dengan kebutuhan hidup manusia. Begitu berlimpahnya sehingga Malaka, Aceh dan semua negeri tetangga memperoleh pasokan kebutuhan dari situ. Penduduk pribuminya disebut orang Jawa (Jaos); mereka orang-orang yang sombong, selalu memandang orang bukan Jawa lebih rendah.”

Bersamaan dengan masa peralihan kekuasaan dari Kerajaan Majapahit yang memudar ke Kadipaten Demak yang semakin membesar, berlangsung pula suasana peralihan di bidang keagamaan dan kepercayaan. Pada masa kejayaan Majapahit, masyarakat menganut agama Hinddu yang mengutamakan pemujaan pada Dewa Syiwa serta agama Buddha. Kedua agama tadi berjalan seiring dengan kepercayaan masyarakat terhadap ruh-ruh halus. Mereka juga sangat mempercayai hal-hal gaib dan mistis, serta mengkaitkan hampir semua aspek kehidupan dengan hal tersebut.

Dalam suasana kehidupan yang seperti itulah agama Islam yang sudah bersemi di pusat kerajaan Majapahit, semakin disebarkan secara meluas oleh para ulama, yang kemudian dikenal sebagai para wali dan diberi sebutan atau nama panggilan Sunan. Dua dari para wali itu adalah Sunan Bonang dan muridnya yaitu Sunan Kalijaga, dikenang masyarakat sampai sekarang karena jago  berdakwah dengan menggunakan media kesenian, terutama berupa musik tradisional gamelan berserta tembang-tembang Jawa.

Para ulama mengenalkan agama Islam antara lain dengan cara menembang, bersenandung merdu aneka irama, mulai dari irama ceria yang ditujukan sebagai pengiring permainan anak-anak, irama menggelora pengobar semangat sampai irama sentimental menyertai ajaran-ajaran menyongsong kematian ke alam kelanggengan di haribaan Ilahi. Ajaran tembang-tembang islami itu diberi nama Suluk, sesuai tujuannya yaitu mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Kuasa.

Dengan memanfaatkan serta mengembangkan kesenian Jawa yang ada, disertai berbagai contoh perikehidupan sehari-hari yang menarik, mereka menyusup halus secara bijak dalam kehidupan masyarakat luas, mempengaruhi, menggeser setapak demi setapak atau membungkus selapis demi selapis agama, kepercayaan dan adat istiadat lama.

Salah satu dari sejumlah tembang yang dipercaya masyarakat sebagai ciptaan para wali, adalah sebuah tembang suluk atau tembang dakwah Islam, yang dikenal dengan tiga nama yaitu Kidung Kawedar atau Kidung Rumekso Ing Wengi atau juga Kidung Sariro Ayu.

Kepada masyarakat yang sangat mempercayai hal-hal gaib dan mistis tadi, Sunan Kalijaga menciptakan Suluk Kidung Kawedar yang didendangkan dengan irama dhandanggula yang bernuansa meditatif-kontemplatif, yang dikemas bagaikan sebuah mantera sakti guna mengatasi segala problem kehidupan masyarakat sehari-hari.

Dengan kesenian dan tembang-tembang itu, Islam diperkenalkan bukan sebagai suatu gerakan yang agresif mengobarkan kekerasan dan pemaksaan kehendak. Islam sesuai dengan arti katanya, adalah suatu agama yang penuh dengan penyerahan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang justru berusaha menyelamatkan manusia dengan perilaku silm atau salam atau damai. Islam diturunkan guna menebarkan cinta dan kasih sayang, menggalang perdamaian serta kesejahteraan, bukan untuk perang dan mengalirkan darah.

Hal itu sesuai dengan firman Allah dalam surat An Nahl (16) ayat 125: “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik pula.”  Sungguh luas kandungan ayat ini. Sangat mulai nilainya namun sering dilupakan. Bersama beberapa ayat yang lain, ayat ini menunjukkan bahwa Islam menghormati sepenuhnya kemerdakaan berpendapat dan berkepercayaan.
Gusti Allah berfirman dalam Surat Al Baqarah (2) ayat 256 : “Tiada paksaan untuk memasuki agama. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dibanding jalan yang salah. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada yang disembah selain Allah dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kuat, yang tidak akan putus.”

Lebih jauh ditegaskan dalam Surat Yunus (10) ayat 99 : “Apakah kamu hendak memaksa manusia supaya semuanya menjadi orang-orang yang beriman?”.  Kemudian Al Kafirun (109) ayat 6 : “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”.

Demikianlah, sudah barang tentu dengan karomah, wibawa serta keteladanan perilaku dan kehidupannya yang baik, Sunan Kalijaga meyakinkan masyarakat akan fadilah dan keutamaan Kidung Kawedar, yang sesungguhnya tiada lain adalah sebuah kidung dakwah.

Yang menarik dari urutan kandungan isi Kidung ini, Sunan Kalijaga tidak langsung mengajarkan Rukun Islam khususnya syahadat dan shalat, melainkan dengan memperkenalkan terlebih dulu tokoh-tokoh panutan di dalam Islam serta beberapa istilah penting. Sesudah itu menyusup masuk ke dalam filosofi kehidupan masyarakat. Bersamaan dengan itu pengenalan terhadap tokoh-tokoh panutan terus ditambah. Selanjutnya barulah diperkenalkan Rukun Iman, Rukun Islam dan pokok-pokok ajaran tasawuf dengan kebiasaan berzikirnya.

Menjadi pelajaran berharga bagi kita generasi sekarang dan mendatang, keberhasilan para ulama abad XV – XVI dalam mengislamkan pulau Jawa, demikian pula nampaknya ulama-ulama lain di Nusantara, bukanlah dengan membongkar total sekaligus ataupun menendang agama, kepercayaan, adat istiadat lama apalagi budaya dan kearifan lokal, tetapi dengan secara bijak menyusup halus, menggeser setapak demi setapak  dan membungkus selapis demi selapis dengan agama dan tata nilai baru. Hal itu bisa kita lihat dari adat budaya berbagai suku di Nusantara yang beragama Islam, yang tidak dijumpai dalam adat budaya bangsa-bangsa Arab, misalkan upacara adat tepung tawar di Aceh dan Melayu, serta persembahan kapur sirih yang dilakukan oleh suku-suku lain.

Tak pelak lagi, para wali yang berdakwah di Nusantara sangat menghayati hakikat dari Surat Al Hujuraat (49) ayat 13 : “ Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah yang lebih taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”

Jelas bahwa Allah Yang Maha Kuasa tidak menciptakan umat manusia sejagat raya hanya menjadi satu suku, satu bangsa dan satu agama, melainkan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, tentu saja dengan adat budaya masing-masing sebagai ciri sesuatu suku atau pun sesuatu bangsa.

Kembali kepada keberhasilan dakwah para ulama dalam mengislamkan Nusantara khususnya Jawa, tentu tiada gading yang tak retak. Tiada sesuatu yang langsung sempurna paripurna. Kewajiban kita dan generasi-generasi mendatang untuk terus memperbaiki dan menyempurnakan. Bahkan bila perlu melakukan pembaharuan-pembaharuan dengan cara yang bijaksana dan lebih baik pula.

Allaahumma aamiin.



0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda