Tatkala agama Islam mulai gencar didakwahkan pada abad
XV – XVI, pulau Jawa yang masih banyak hutan belantara dan semak belukarnya,
bukanlah negeri jahiliyah yang rendah peradabannya. Di balik dan di antara
hutan-hutan belantara tersebut, terdapat sejumlah monumen-monumen bukti pernah
berlangsungnya peradaban tinggi misalkan sejumlah candi di pegunungan tinggi
Dieng, candi Borobudur, puluhan candi di Prambanan dan puing-puing rerentuhan Keraton
Boko, semuanya di Jawa Tengah.
Di bidang pelayaran dan perdagangan, berbagai sumber
tulisan dari Barat sebagaimana dikutip Agus
Sunyoto dalam Atlas Walisongo, Pustaka Ilman, Trans Pustaka dan LTN PBNU,
2012, menyatakan pada tahun 70-an Masehi, cengkih
dari kepulauan Maluku sudah diperdagangkan di Roma, dan semenjak abad keiga
Masehi, perahu-perahu dari kepulauan Nusantara telah menyinggahi anak benua
India serta pantai timur Afrika, dan sebagian di antaranya bermigrasi ke
Madagaskar.
Pencatat sejarah China anak buah Fa Hsien di akhir abad
III dan awal abad IV Masehi menerangkan pula bahwa pelaut-pelaut Nusantara
memiliki kapal-kapal besar yang panjangnya sekitar 200 kaki (65 meter), tinggi
20 – 30 kaki (7 – 10 meter) dan mampu dimuati 600 – 700 orang ditambah muatan
seberat 10.000 hou. Sementara pada
masa itu panjang jung China tidak sampai 100 kaki (30 meter) dengan tinggi
kurang dari 10 – 20 kaki (3 – 7 meter). Catatan yang ditulis dalam Tu Kiu Kie ini telah dikutip oleh banyak
ahli yang mempelajari sejarah agama Buddha maupun Asia Tenggara di masa lalu.
Ahli Javanologi Belanda, Van Hien tahun 1920 dalam De Javansche Geestenwereld, yang disadur
secara bebas oleh Capt.R.P.Suyono dalam Dunia Mistik Orang Jawa, penerbit LkiS
Yogyakarta 2007 halaman 12, menerangkan Shi Fa Hian (Fa Hsien) dalam
perjalanannya pulang ke China diserang badai dan terdampar di pantai Jawa. Ia
berdiam lima bulan di Jawa, menunggu selesainya pembuatan sebuah kapal besar
yang sama dengan kapalnya yang rusak dihantam badai (juga Atlas Walisongo halaman 20).
Bukti tentang peradaban yang cukup maju lainnya ditemukan
pula melalui berbagai prasasti dan kondisi lapangan, yang menjelaskan mengenai
setidaknya ada lima sistem irigasi yang tertata baik, yang dibangun pada
rentang periode abad 9 sampai 14 di lembah Sungai Brantas, Jawa Timur (1000 Tahun Nusantara, Kompas 2000, hal 128).
Pun demikian kondisi pada sekitar abad XV – XVI itu.
Pamor Kerajaan Nusantara Majapahit yang beribukota di Trowulan, Jawa Timur,
sedang memudar, bahkan kekuasaannya mulai runtuh. Meskipun demikian gambaran
kebesaran peradabannya dicatat oleh pengembara Portugis tahun 1512 – 1515 Tome
Pires dalam karyanya yang sangat terkenal dan sering menjadi sumber rujukan
sejarah Asia Tenggara, Suma Oriental (dalam
Pemugaran Persada Sejarah Leluhur
Majapahit oleh Prof.Dr. Slamet Mulyana, Inti Idayu Press, Jakarta 1983
halaman 282, 283 dan seterusnya). Menurut Tome Pires, Sultan Malaka yang
bergelar Raja Muzaffar Syah (1450 – 1458) serta puteranya yaitu Raja Mansyur
Syah (1458 – 1477), sebagai raja bawahan Jawa, memiliki hubungan yang baik
dengan Jawa. Bahkan untuk keperluan menunaikan ibadah haji ke Mekah, Raja
Mansyur Syah memesan jung besar dari Jawa.
Sejarah panjang
peradaban Jawa dan juga daerah-daerah lain di Nusantara, banyak dikupas oleh
para penulis sejarah asing, yang daftar rincian penulisnya bisa dilihat antara
lain di buku Atlas Walisongo.
Dalam halaman 374
buku tadi bahkan digambarkan secara ekstrem kesombongan orang Jawa Majapahit.
Diogo Do Couto yang datang ke Jawa tahun 1526, yaitu setahun sebelum
balatentara Demak menyerbu
Girindrawardhana di Majapahit, mencatat antara lain sebagai berikut:
“Pulau Jawa melimpah atas segala sesuatu yang terkait
dengan kebutuhan hidup manusia. Begitu berlimpahnya sehingga Malaka, Aceh dan
semua negeri tetangga memperoleh pasokan kebutuhan dari situ. Penduduk
pribuminya disebut orang Jawa (Jaos); mereka orang-orang yang sombong, selalu
memandang orang bukan Jawa lebih rendah.”
Bersamaan
dengan masa peralihan kekuasaan dari Kerajaan Majapahit yang memudar ke
Kadipaten Demak yang semakin membesar, berlangsung pula suasana peralihan di
bidang keagamaan dan kepercayaan. Pada masa kejayaan Majapahit, masyarakat
menganut agama Hinddu yang mengutamakan pemujaan pada Dewa Syiwa serta agama
Buddha. Kedua agama tadi berjalan seiring dengan kepercayaan masyarakat
terhadap ruh-ruh halus. Mereka
juga sangat mempercayai hal-hal gaib dan mistis, serta mengkaitkan hampir semua
aspek kehidupan dengan hal tersebut.
Dalam
suasana kehidupan yang seperti itulah agama Islam yang sudah bersemi di pusat
kerajaan Majapahit, semakin disebarkan secara meluas oleh para ulama, yang
kemudian dikenal sebagai para wali dan diberi sebutan atau nama panggilan
Sunan. Dua dari para wali itu adalah Sunan Bonang dan muridnya yaitu Sunan
Kalijaga, dikenang masyarakat sampai sekarang karena jago berdakwah dengan menggunakan media kesenian,
terutama berupa musik tradisional gamelan berserta tembang-tembang Jawa.
Para
ulama mengenalkan agama Islam antara lain dengan cara menembang, bersenandung
merdu aneka irama, mulai dari irama ceria yang ditujukan sebagai pengiring
permainan anak-anak, irama menggelora pengobar semangat sampai irama
sentimental menyertai ajaran-ajaran menyongsong kematian ke alam kelanggengan
di haribaan Ilahi. Ajaran tembang-tembang islami itu diberi nama Suluk, sesuai
tujuannya yaitu mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha
Kuasa.
Dengan
memanfaatkan serta mengembangkan kesenian Jawa yang ada, disertai berbagai
contoh perikehidupan sehari-hari yang menarik, mereka menyusup halus secara
bijak dalam kehidupan masyarakat luas, mempengaruhi, menggeser setapak demi
setapak atau membungkus selapis demi selapis agama, kepercayaan dan adat
istiadat lama.
Salah
satu dari sejumlah tembang yang dipercaya masyarakat sebagai ciptaan para wali,
adalah sebuah tembang suluk atau tembang dakwah Islam, yang dikenal dengan tiga
nama yaitu Kidung Kawedar atau Kidung Rumekso Ing Wengi atau juga Kidung Sariro
Ayu.
Kepada
masyarakat yang sangat mempercayai hal-hal gaib dan mistis tadi, Sunan Kalijaga
menciptakan Suluk Kidung Kawedar yang didendangkan dengan irama dhandanggula
yang bernuansa meditatif-kontemplatif, yang dikemas bagaikan sebuah mantera
sakti guna mengatasi segala problem kehidupan masyarakat sehari-hari.
Dengan
kesenian dan tembang-tembang itu, Islam diperkenalkan bukan sebagai suatu
gerakan yang agresif mengobarkan kekerasan dan pemaksaan kehendak. Islam sesuai
dengan arti katanya, adalah suatu agama yang penuh dengan penyerahan diri
kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang justru berusaha menyelamatkan manusia dengan
perilaku silm atau salam atau damai. Islam diturunkan guna menebarkan cinta dan
kasih sayang, menggalang perdamaian serta kesejahteraan, bukan untuk perang dan
mengalirkan darah.
Hal
itu sesuai dengan firman Allah dalam surat An Nahl (16) ayat 125: “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana
dan nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik pula.” Sungguh luas kandungan ayat ini. Sangat mulai
nilainya namun sering dilupakan. Bersama beberapa ayat yang lain, ayat ini
menunjukkan bahwa Islam menghormati sepenuhnya kemerdakaan berpendapat dan
berkepercayaan.
Gusti
Allah berfirman dalam Surat Al Baqarah (2) ayat 256 : “Tiada paksaan untuk memasuki agama. Sesungguhnya telah jelas jalan
yang benar dibanding jalan yang salah. Karena itu barangsiapa yang ingkar
kepada yang disembah selain Allah dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya
ia telah berpegang kepada buhul tali yang kuat, yang tidak akan putus.”
Lebih
jauh ditegaskan dalam Surat Yunus (10) ayat 99 : “Apakah kamu hendak memaksa manusia supaya semuanya menjadi orang-orang
yang beriman?”. Kemudian Al Kafirun
(109) ayat 6 : “Bagimu agamamu dan bagiku
agamaku”.
Demikianlah,
sudah barang tentu dengan karomah, wibawa serta keteladanan perilaku dan
kehidupannya yang baik, Sunan Kalijaga meyakinkan masyarakat akan fadilah dan
keutamaan Kidung Kawedar, yang sesungguhnya tiada lain adalah sebuah kidung
dakwah.
Yang
menarik dari urutan kandungan isi Kidung ini, Sunan Kalijaga tidak langsung
mengajarkan Rukun Islam khususnya syahadat dan shalat, melainkan dengan
memperkenalkan terlebih dulu tokoh-tokoh panutan di dalam Islam serta beberapa
istilah penting. Sesudah itu menyusup masuk ke dalam filosofi kehidupan
masyarakat. Bersamaan dengan itu pengenalan terhadap tokoh-tokoh panutan terus
ditambah. Selanjutnya barulah diperkenalkan Rukun Iman, Rukun Islam dan
pokok-pokok ajaran tasawuf dengan kebiasaan berzikirnya.
Menjadi
pelajaran berharga bagi kita generasi sekarang dan mendatang, keberhasilan para
ulama abad XV – XVI dalam mengislamkan pulau Jawa, demikian pula nampaknya
ulama-ulama lain di Nusantara, bukanlah dengan membongkar total sekaligus
ataupun menendang agama, kepercayaan, adat istiadat lama apalagi budaya dan
kearifan lokal, tetapi dengan secara bijak menyusup halus, menggeser setapak
demi setapak dan membungkus selapis demi
selapis dengan agama dan tata nilai baru. Hal itu bisa kita lihat dari adat
budaya berbagai suku di Nusantara yang beragama Islam, yang tidak dijumpai
dalam adat budaya bangsa-bangsa Arab, misalkan upacara adat tepung tawar di
Aceh dan Melayu, serta persembahan kapur sirih yang dilakukan oleh suku-suku
lain.
Tak
pelak lagi, para wali yang berdakwah di Nusantara sangat menghayati hakikat
dari Surat Al Hujuraat (49) ayat 13 : “
Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah
ialah yang lebih taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Teliti.”
Jelas
bahwa Allah Yang Maha Kuasa tidak menciptakan umat manusia sejagat raya hanya
menjadi satu suku, satu bangsa dan satu agama, melainkan bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa, tentu saja dengan adat budaya masing-masing sebagai ciri
sesuatu suku atau pun sesuatu bangsa.
Kembali
kepada keberhasilan dakwah para ulama dalam mengislamkan Nusantara khususnya
Jawa, tentu tiada gading yang tak retak. Tiada sesuatu yang langsung sempurna
paripurna. Kewajiban kita dan generasi-generasi mendatang untuk terus
memperbaiki dan menyempurnakan. Bahkan bila perlu melakukan
pembaharuan-pembaharuan dengan cara yang bijaksana dan lebih baik pula.
Allaahumma
aamiin.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda