Selasa, 13 September 2016

Yayasan H.Karim Oei & Masjid Lautze: RUMAH BAGI MUSLIM, INDONESIA DAN KETURUNAN TIONGHO


halaman-perancis-buku-yhkocover-depan-belakang-yhkoYayasan H.Karim Oei & Masjid Lautze :
RUMAH BAGI MUSLIM, INDONESIA  dan KETURUNAN TIONGHOA
Buku baru  420 halaman berwarna penuh (xxxiv + 386), diterbitkan oleh Teplok Press. Telp: 081382896969


buku-yhko-2

Masalah kesenjangan sosial ekonomi di Indonesia, nampaknya dalam waktu dekat belum akan reda, apalagi teratasi. Jika pada tahun 1990-an indeks kesenjangan yang dikenal sebagai gini ratio itu ada di sekitar angka 0,3 sampai 0,33 kini semakin memburuk menjadi di atas 0,43.
Pada akhir dasa warsa 1980-an sampai awal 1990-an, sentimen rasial akibat kesenjangan tersebut sangat terasa, sehingga berbagai upaya untuk mengatasinya gencar dilakukan oleh Pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat. Pada periode itu misalkan, Presiden Soeharto menggariskan kebijakan delapan jalur pemerataan, serta beberapa kali mengadakan pertemuan dengan para konglomerat keturunan Cina, yang kemudian dikenal sebagai pertemuan Tapos. Juga dilancarkan kebijakan untuk menggunakan sekitar 5% keuntungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) buat membantu pengembangan usaha kecil dan koperasi, kebijakan bapak angkat dengan anak angkat di bidang usaha serta tambahan pungutan terhadap wajib pajak menengah atas untuk masyarakat tidak mampu.
Di kalangan masyarakat, Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang dimotori oleh Wakil Ketua Umum, Lukman Harun, merangkul sejumlah tokoh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media massa dan tokoh pembauran antara lain Junus Jahja, menyelenggarakan berbagai dialog dan kerjasama dengan pengusaha-pengusaha keturunan Cina, untuk bersama-sama mencari jalan keluar demi mewujudkan persatuan dan kehidupan berbangsa serta bernegara yang aman, tenteram, damai sejahtera.
Rangkaian pertemuan tersebut mengilhami sejumlah tokoh dari NU, Muhammadiyah, Al – Wasliyah, HMI, KAHMI, Al.Irsyad dan LSM untuk kemudian pada tanggal 9 April 1991 mendirikan Yayasan Haji Karim Oei Tjeng Hien, yang selanjutnya disingkat Yayasan Karim Oei atau YHKO,  sebuah nama yang kental dengan nuansa Islam, Indonesia dan Cina sekaligus. Ini sejalan dengan alasan utama pendirian, yakni mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa melalui pembauran bisnis dan agama, terutama agama mayoritas masyarakat yaitu Islam. Para pendiri meyakini, memperkuat kehidupan sosial ekonomi masyarakat pribumi juga harus dilaksanakan secara sistemis dan keberpihakan yang nyata, kuat tapi sehat, karena pribumi yang kuat akan menjadi kunci utama bagi pembauran. Three in One (3 in 1), tiga dalam satu wadah, satu gerakan, satu perjuangan. Begitu kami sering menyebutnya.
Tak terasa, kini sudah 25 (dua puluh lima) tahun usia YHKO. Banyak dari 20 pendiri dan perintisnya yang kini sudah almarhum, uzur atau sepuh, dan hanya sekitar 3 sampai 7 orang saja yang masih aktif. Demikian pula para sahabat pendukung termasuk para pejabat tinggi negara.
Alhamdulillah selama 25 tahun, telah banyak kegiatan yang dilaksanakan dan lebih dari seribu lima ratus orang yang sudah kita Islamkan. Pelbagai kegiatan yang terkait dengan 3 in 1 tadi, baik yang berskala lokal atau internal, nasional maupun internasional telah kami selenggarakan, secara sendiri atau pun bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain. YHKO telah dan akan selalu memperjuangkan agar bisa menjadi rumah yang indah lagi nyaman bagi segenap anak bangsa, terutama bagi WNI keturunan Cina, dan lebih khusus lagi bagi yang beragama Islam agar menjadi muslimin dan muslimat yang taat, nasionalis sejati yang sukses dalam kehidupan sosial ekonominya.
ASING – ASENG MEREBAK KEMBALI.
Bersamaan dengan kelahiran YHKO,  tata kehidupan dunia juga mengalami perubahan yang semakin mencolok. Semenjak akhir abad ke 20, sebagai dampak berpadunya kekuatan modal dengan kemajuan ilmu-teknologi yang super canggih, terjadi Gelombang Globalisasi yang mengumandangkan musik jiwa yang menggalang alam pikiran manusia, untuk terpadu secara total pada dimensi rasionalitas yang memuja pesona dunia melalui kebutuhan-kebutuhan palsu yang menyihir.
Dimensi rasionalitas yang ditata dalam tiga sistem utama yakni sistem pasar bebas, sistem sosial politik demokratis yang individualis dan sistem sosial budaya yang lepas bebas, sudah mulai kita rasakan dampaknya dengan berkembangnya sikap dan gaya hidup masyarakat yang hedonis, individualis, pragmatis, materialis dan narsis.
Musik jiwa dimensi rasionalitas dengan 3 (tiga) paket sistem utama tersebut, menyerbu secara dahsyat negara-negara bangsa,  diantaranya menggempur secara langsung peradaban sesuatu bangsa termasuk Indonesia, terutama pada  aspek nasionalisme, sosial budaya, kearifan lokal, adat dan tradisi, agama serta spiritualisme. Dalam  hal nasionalisme, Gelombang Globalisasi berusaha melunturkan serta mendangkalkan nilai dan semangat nasionalisme sesuatu bangsa atau negara, mengobarkan separatisme dan disintegrasi, memecah-belah, menghancurkan militansi rakyat, menciptakan kesenjangan sosial ekonomi serta menyuburkan konflik horizontal dan vertikal.
Dalam aspek sosial budaya, Gelombang Globalisasi menggelorakan sex bebas dan sex sejenis dengan apa yang sekarang kita kenal sebagai LGBT (Lesbian, Gay, Bisex dan Transexual), mengobarkan budaya hidup yang hedonistis-individualistis, pragamatis-materalitis dan narsis, merusak dan menghancurkan bangunan tata nilai keluarga – kebersamaan – gotongroyong, merusak serta menghancurkan moral masyarakat, kebudayaan, adat, tradisi dan kearifan lokal,
Dalam aspek  agama dan spiritualisme, Gelombang Globalisasi mendangkalkan dan menghancurkan nilai-nilai moral spiritual dan kesalehan yang hakiki, melibas tradisi dan kearifan lokal yang memperkuat spiritualisme dan agama, menciptakan dan mengembangkan aliran-aliran sesat, mengembangkan sekularisme dan secara khusus melakukan deislamisasi terhadap pemeluk agama terbesar dan militan ini.
Gempuran dahsyat tersebut kini sudah bisa kita lihat pada pola pikir, perilaku, gaya hidup dan  bahkan peradaban masyarakat. Nampak jelas, masyarakat Indonesia kini  sedang mabok dalam alunan musik jiwa yang pragmatis, hedonis, individualis, materialis dan narsis. Kita mulai berubah menjadi masyarakat yang sangat egois, yang memuja diri sendiri, yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, khususnya agar bisa “berkuasa dan kaya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dengan segala cara.” Hidup kita menjadi boros, keras lagi mementingkan diri sendiri. Menjadikan kesalehan hanya sekedar sebagai formalitas.
Pola hidup masyarakat sedang berkembang pesat ke pola hidup yang sangat konsumtif berlebihan, serba mewah dan gemerlap, sehingga menjadikan negeri kita senantiasa defisit dalam neraca pembiayan dan perdagangan luar negerinya. Kita telah menjadi bangsa yang tekor lantaran pola hidup kita. Cobalah perhatikan barang-barang kebutuhan kita sehari-hari, mulai dari bahan pangan yang sangat sederhana seperti garam sampai dengan peralatan elektronik yang canggih, sebagian besar berasal dari impor. Demikian pula penguasaan sumber daya alam, seperti minyak dan gas bumi, mineral dan emas, hutan dan kebun kelapa sawit bahkan air minum dalam kemasan, pabrik semen, rokok dan toko-toko kelontong dan bahan pokok, juga dikuasai oleh modal asing atau pengusaha besar yang bekerjasama dengan asing. Sementara rakyat di sekitarnya tetap miskin.
Tak pelak lagi, kesenjangan sosial ekonomi kembali merebak bahkan semakin melebar, sebagaimana ditunjukkan oleh indeks kesenjangan di atas tadi, yang mendekati tanda bahaya. Suhariyanto, Deputi Bidang Neraca dan Analisa Statistik BPS, dalam diskusi  dengan para pemimpin redaksi media massa April 2014 menjelaskan, angka ketimpangan sosial ekonomi Indonesia saat ini tercermin secara nyata dalam gini ratio Indonesia yang tidak membaik sejak 2011 silam, yang berada di level 0,41.
Rasio gini berada di angka 0 hingga 1, yang dalam pengertian awam mencerminkan seberapa besar porsi orang kaya menikmati kue ekonomi nasional. Semakin besar gini rasio, semakin besar tingkat ketimpangan.
Gini rasio hingga 0,3 dianggap masih aman, tetapi 0,4 hingga 0,6 sudah dianggap lampu kuning, sedangkan lebih dari 0,6 adalah rasio yang berbahaya, yang menunjukkan ketimpangan sosial ekonomi tak lagi bisa ditoleransi. Kondisi gini rasio yang masih relatif “hijau” terjadi hingga tahun 2010, di mana posisinya masih di angka 0,38. Di era Orde Baru, gini rasio berkisar 0,31-0,38.
Data BPS juga mengindikasikan kondisi ketimpangan sosial ekonomi yang makin melebar, jika dikonfrontasikan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5%-6% dalam beberapa tahun terakhir. Kelompok kaya lebih mendapatkan manfaat dari pertumbuhan ekonomi tersebut. Pada 2008, 40% penduduk di kelompok pendapatan terendah masih menikmati PDB antara 21%-23%. Namun porsi itu anjlok menjadi hanya 16% pada 2012.
Sebaliknya, 20% penduduk terkaya, yang pada 2008 sudah menikmati  40% produk domestik bruto atau kue ekonomi nasional, melonjak menjadi penikmat 49% kue ekonomi nasional pada 2012.
Ini terjadi, karena dari rata-rata laju pertumbuhan ekonomi 6%, penduduk miskin hanya menikmati kenaikan pendapatan maksimal 2% per tahun. Sebaliknya penduduk terkaya menikmati kenaikan pendapatan hingga 8%. Artinya kenaikan pendapatan penduduk yang kaya melonjak signifikan, sedangkan penduduk miskin meski pendapatannya naik tetapi tidak besar. (http://finansial.bisnis.com/read/20140419/9/220506/kesenjangan-kaya-miskin-vs-indeks-kebahagiaan-biar-timpang-asal-bahagia)
Ironisnya, di negeri kita tercinta Indonesia ini, yang justru memprihatinkan, kelompok-kelompok yang paling menikmati sumber daya alam dan kue pembangunan, adalah kelompok yang oleh berbagai media massa terutama media sosial yang sangat luas jaringan dan jangkauannya, dicirikan dan disebut Asing – Aseng, yang tiada lain adalah orang-orang asing dan WNI keturunan Cina, yang secara kebetulan dalam keyakinan beragama juga banyak berbeda dengan mayoritas penduduk.
Posisi strategis Asing – Aseng khususnya WNI keturunan Cina pada kegiatan ekonomi, dalam praktek kehidupan adalah merupakan kekuasaan potensial dan aktual, yang selanjutnya  mudah merambah ke penguasaan sumber daya alam, penguasaan media massa kemudian ke politik dan pemerintahan dan lain sebagainya, yang apabila tidak diatasi secara sistemis strategis, maka akan menjadi gurita kekuasaan yang mendominasi. Padahal dominasi hanya akan melahirkan pertentangan, cepat atau lambat, dominasi akan menemui perlawanan.
Demi ikut mewujudkan persatuan dan keharmonisan nasional antara lain dengan mengantisipasi dan mengatasi kesenjangan sosial ekonomi yang menajam, serta dominasi kekuasaan yang berbasis ekonomi yang diwarnai dengan perbedaan SARA (Suku Agama Ras dan Antar Golongan) tersebutlah maka Yayasan Haji Karim Oei (YHKO) pada tahun 1991 didirikan. Dalam berbagai kesempatan, para pendiri YHKO disamping berusaha keras mewujudkan pembauran, juga berkeyakinan dan oleh sebab itu selalu menyatakan bahwa Indonesia harus memiliki pribumi yang kuat, karena pribumi yang kuat merupakan kunci pembauran. Untuk itu pula Pemerintah harus memiliki serta melaksanakan kebijakan strategis yang menyeluruh dan terpadu, bukan hanya bersifat tambal sulam, emosional, dan manipulatif, serta tidak pernah menyentuh persoalan utama yakni penguasaan modal yang menyebabkan peta kompetisi menjadi sangat tidak seimbang. Yang juga tidak kalah penting, adalah secara sungguh tidak pandang bulu, memberantas KKN (Korupsi – Kolusi – Nepotisme).
KEJAYAAN & KEHANCURAN PERADABAN.
Para pendiri Yayasan Karim Oei memahami sejarah panjang dunia termasuk Indonesia,yang  mengajarkan adanya siklus kejajayaan dan kehancuran nan silih berganti tanpa henti akibat bencana alam, perang dengan negara lain, perang saudara ataupun karena pergolakan-pergolakan di dalam negara bahkan juga akibat kemerosotan peradabannya. Demikian pula sejarah Nusantara.
Sejumlah peninggalan sejarah di Indonesia membuktikan pernah berlangsungnya peradaban tinggi misalkan sejumlah candi di pegunungan tinggi Dieng, candi Borobudur, puluhan candi di Prambanan dan puing-puing rerentuhan Keraton Boko, semuanya di Jawa Tengah. Sementara itu sejumlah candi serta bukti peninggalan peradaban yang sudah maju lainnya, juga terdapat di berbagai pelosok Nusantara.
Di bidang pelayaran dan perdagangan, beberapa sumber tulisan dari Barat sebagaimana dikutip Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo, Pustaka Ilman, Trans Pustaka dan LTN PBNU, 2012, menyatakan pada tahun 70-an Masehi, cengkih dari kepulauan Maluku sudah diperdagangkan di Roma, dan semenjak abad ketiga Masehi, perahu-perahu dari kepulauan Nusantara telah menyinggahi anak benua India serta pantai timur Afrika, dan sebagian di antaranya bermigrasi ke Madagaskar.
Bukan hanya dari para pencatat perjalanan orang-orang Barat saja, kisah pelayaran tadi juga bisa ditemukan di relief Candi Borobudur. Pada tahun 2003, pengrajin kapal dari Madura telah membuktikan kehandalan perahu di relief candi tersebut, dengan membuat tiruannya, sekaligus napaktilas pelayarannya. Kapal yang dinamai “Samudraraksa” ini berlayar ke Afrika dengan selamat dan kini disimpan di Musium Kapal Samudraraksa di Borobudur
(http://www.tempo.co/read/news/2003/07/03/05521575/Ekspedisi-Kapal-Borobudur-Dapat-Memberdayakan-Budaya dan http://setuparch.blogspot.com/2013/09/kapal-kapal-sriwijaya.html ). Replika berikutnya diberi nama “Spirit of Majapahit”, diluncurkan menuju Jepang dari dermaga Marina, Jakarta pada 4 Juli 2010. (http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=67324).
Pencatat sejarah China anak buah Fa Hsien di akhir abad III dan awal abad IV Masehi menerangkan pula bahwa pelaut-pelaut Nusantara memiliki kapal-kapal besar yang panjangnya sekitar 200 kaki (65 meter), tinggi 20 – 30 kaki (7 – 10 meter) dan mampu dimuati 600 – 700 orang ditambah muatan seberat 10.000 hou. Sementara pada masa itu panjang jung China tidak sampai 100 kaki (30 meter) dengan tinggi kurang dari 10 – 20 kaki (3 – 7 meter). Catatan yang ditulis dalam Tu Kiu Kie ini telah dikutip oleh banyak ahli yang mempelajari sejarah agama Buddha maupun Asia Tenggara di masa lalu.
Ahli Javanologi Belanda, Van Hien tahun 1920 dalam De Javansche Geestenwereld, yang disadur secara bebas oleh Capt.R.P.Suyono dalam Dunia Mistik Orang Jawa, penerbit LkiS Yogyakarta 2007 halaman 12, menerangkan Shi Fa Hian (Fa Hsien) dalam perjalanannya pulang ke China diserang badai dan terdampar di pantai Jawa. Ia berdiam lima bulan di Jawa, menunggu selesainya pembuatan sebuah kapal besar yang sama dengan kapalnya yang rusak dihantam badai (juga Atlas Walisongo halaman 20).
Berbagai catatan sejarah menyatakan, pada sekitar abad VII – XII Masehi, di pulau Sumatera juga berlangsung pemerintahan Kerajaan Sriwijaya yang kekuasaannya meliputi Asia Tenggara termasuk pulau Jawa. Puncak kejayaan Sriwijaya terjadi pada abad VIII. Sejarawan S.Q. Fatimi menyebutkan bahwa pada tahun 100 Hijriyah (718 M), seorang maharaja Sriwijaya (diperkirakan adalah Sri Indrawarman) mengirimkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah, yang berisi permintaan kepada khalifah untuk mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam kepadanya. Surat itu dikutip dalam Al-‘Iqd Al-Farid karya Ibnu Abdu Rabbih (sastrawan Kordoba, Spanyol), dan dengan redaksi sedikit berbeda dalam Al-Nujum Az-Zahirah fi Muluk Misr wa Al-Qahirah karya Ibnu Tagribirdi (sastrawan Kairo, Mesir ” Dari Raja sekalian para raja yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya pun adalah cucu dari ribuan raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tanaman lidah buaya, rempah wangi, pala, dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil. Kepada Raja Arab yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah. Aku telah mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak seberapa sebagai tanda persahabatan. Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk menjelaskan ajaran Islam dan segala hukum-hukumnya kepadaku.” (Surat Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz. http://id.wikipedia.org/wiki/Sriwijaya, 1 Mei 2015 pukul 18.45 ).
Bukti tentang peradaban yang cukup maju lainnya ditemukan pula melalui berbagai prasasti dan kondisi lapangan, yang menjelaskan mengenai setidaknya ada lima sistem irigasi yang tertata baik, yang dibangun pada rentang periode abad 9 sampai 14 di lembah Sungai Brantas, Jawa Timur (1000 Tahun Nusantara, Kompas 2000, hal 128).
Pun demikian kondisi pada sekitar abad XV – XVI, tatkala para ulama gencar berdakwah ke Nusantara. Pamor Kerajaan Nusantara Majapahit yang beribukota di Trowulan, Jawa Timur, memang sedang memudar, bahkan kekuasaannya mulai runtuh. Meskipun demikian gambaran kebesaran peradabannya dicatat oleh pengembara Portugis tahun 1512 – 1515 Tome Pires dalam karyanya yang sangat terkenal dan sering menjadi sumber rujukan sejarah Asia Tenggara, Suma Oriental (dalam Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit oleh Prof.Dr. Slamet Mulyana, Inti Idayu Press, Jakarta 1983 halaman 282, 283 dan seterusnya). Menurut Tome Pires, Sultan Malaka yang bergelar Raja Muzaffar Syah (1450 – 1458) serta puteranya yaitu Raja Mansyur Syah (1458 – 1477), sebagai raja bawahan Jawa, memiliki hubungan yang baik dengan Jawa. Bahkan untuk keperluan menunaikan ibadah haji ke Mekah, Raja Mansyur Syah memesan jung besar dari Jawa.
Demikianlah, dari sekilas gambaran tadi kita bisa mempelajari siklus kejajayaan dan kehancuran negeri kita di masa lampau sampai menjadi negara modern Indonesia sekarang ini, yang sudah barang tentu memakan korban yang tidak sedikit. Kita tidak ingin kesenjangan sosial ekonomi yang disertai unsur-unsur SARA  menerpa Indonesia yang sekarang, yang sedang mengalami ledakan penduduk menjadi sekitar 250 juta jiwa ini. Harus kita syukuri, telah banyak kemajuan  dan hal-hal postif yang kita capai. Namun begitu masih banyak lagi tantangan dan ancaman di depan mata yang kita hadapi, yang semoga dengan ridho dan berkah Tuhan Yang Maha Kuasa, akan kita atasi dengan kerja keras, cepat dan tepat.
Kenyataan yang menuntut antisipasi penanganan yang cepat dan tepat tersebut, mendorong Rapat Badan Pembina dan Pengurus Karim Oei akhir 2015 yang lalu, untuk meningkatkan sumbangsihnya dengan antara lain menerbitkan buku, yang kemudian kami beri judul sementara : “Yayasan H Karim Oei & Masjid Lautze : RUMAH BAGI MUSLIM, INDONESIA dan KETURUNAN CINA.”, sekaligus mensyukuri ulang tahun YHKO yang ke 25 (duapuluh lima), insya Allah pada tanggal 9 April 2016.
Buku ini diolah dari berbagai artikel, pidato, guntingan berita media massa, catatan sekretariat serta ribuan foto dikumentasi kegiatan YHKO, baik yang dilakukan sendiri maupun bersama lembaga lain, baik yang bersifat internal atau eksternal, nasional maupun internasional.
Sebagaimana lazimnya organisasi masyarakat, sosial dan keagamaan di Indonesia,  kesekretariatan, kearsipan dan dokumentasi yang pada umumnya ditangani oleh tenaga-tenaga sukarelawan serta dana yang terbatas, menjadi masalah tersendiri. Sungguh memerlukan upaya khusus dan ekstra buat meneliti dan mempelajarinya satu per satu. Hal itu pula yang diungkapkan  oleh salah seorang pendiri YHKO almarhum Junus Jahja, sepulang dari mengunjungi “Moslem Converts Association of Singapore (MCAS)” pada akhir Maret 1996. Ia mencita-citakan YHKO suatu saat bisa seperti MCAS yang memiliki dana besar dengan para manajer dan belasan staf profesional, serta kaderisasi kepengurusan yang terus berlangsung dan bersambung secara baik dari satu generasi ke generasi berikutnya. Semoga bisa menjadi kenyataan. Aamiin.
Berbagai artikel, pidato, catatan, guntingan berita dan foto-foto tersebut kami susun dan kelompokkan  serta disunting di sana-sini, beberapa diantaranya diberi judul baru. Agar menarik dan untuk menyingkat halaman sekaligus mengungkapkan banyak informasi dan catatan kegiatan, setiap tulisan di buku ini disertai ilustrasi foto kegiatan. Foto-foto asli yang termuat di kliping media kami ganti dengan foto-foto berwarna dokumentasi kami. Sedangkan sejumlah foto yang tidak masuk sebagai ilustrasi dalam tulisan kami muat tersendiri tanpa artikel, melainkan hanya dengan beberapa teks foto pendek, karena kami yakin foto itu sendiri sudah bisa mengungkapkan banyak hal.
Meskipun demikian ternyata tidak semua kegiatan dan foto dapat kami tampung dalam buku kecil ini, antara lain karena disamping keterbatasan halaman, juga karena kami ingat ada kegiatan atau tamu penting tertentu namun ternyata kami tidak memiliki foto dokumentasi yang layak. Untuk kerja keras, ketekunan dan ketelitian dalam membongkar, membedah serta menyusun ulang segudang arsip dan dokumentasi itu semua, penyunting dibantu dan mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Ketua Umum YHKO M.Ali Karim, Sekretaris Pelaksana YHKO Ana Kirbrandiana dan staf pribadi penyunting Purwanto.
Akhirul kalam, penyunting memohon maaf yang sebesar-besarnya, terhadap hal-hal yang mungkin membosankan lantaran ditulis berulang-ulang, terutama mengenai latar belakang, maksud dan tujuan pendirian  YHKO. Hal itu terpaksa tak bisa dihindari mengingat buku ini merupakan rangkuman kegiatan YHKO dari satu acara ke acara yang lain, dari sambutan dan atau wawancara yang satu ke yang lain. Sedangkan materi yang berulang tersebut adalah bagian yang tak terpisahkan dari acara atau pun wawancara itu sendiri.
Semoga buku yang berisi rekam jejak YHKO ini memperoleh ridho, rahmat dan berkah dari Gusti Allah Yang Maha Kuasa, serta bisa menjadi bekal yang bermanfaat bagi perjuangan kita membangun kesatuan dan persatuan sebagai bangsa Indonesia yang hidup aman tenteram, adil makmur sejahtera dan jaya sentausa. Alhamdulillah. Aamiin,
cover-depan-yhkopenfantar-yhko-1pengantar-yhko-2pengantar-yhko-3daftar-isi-yhko-1daftar-isi-yhko-2daftar-isi-yhko-3daftar-isi-yhko-4Beji, Depok 09 April 2016.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda