Senin, 12 Agustus 2019

MENGAPA KITA HARUS KEMBALI KE PANCASILA & UUD 1945.

Lima ratusan tokoh masyarakat yang terdiri dari para Purnawirawan Perwira Tinggi TNI – Polri, cendekiawan, aktivis organisasi kemasyarakatan dan mahasiswa, hari Rabu 6 Februari 2019 menemui Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) guna menyampaikan aspirasi dan menyerukan agar Indonesia kembali ke Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 untuk diadendum, serta menetapkan Pancasila sebagai dasar negara yang tercantum secara jelas di dalam UUD 1945 yang diadendum tersebut. Mereka diterima oleh Ketua MPR Zulkifli Hasan di ruang Nusantara IV Gedung MPR.

Dengan tema pertemuan “Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945”, delegasi besar ratusan tokoh masyarakat yang diprakarsai oleh Gerakan Kebangkitan Indonesia itu, menyerahkan rumusan hasil kajian dan dokumentasi yang dituangkan ke dalam 3 (tiga) buku. Pertama “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disertai Adendum” yang disusun oleh suatu tim terdiri dari 25 orang antara lain terdapat beberapa mantan Kepala Staf Angkatan. Kedua “Bangkit  Bergerak Berubah Atau Punah” yang merupakan perkiraan keadaan dan ajakan untuk mengantisipasinya, yang ditulis oleh sejumlah pengamat dan dirangkum oleh Mayjen Purn Prijanto. Ketiga, “Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945”, yang merupakan kumpulan kajian, tulisan  dan pendapat dari sejumpah negarawan senior bahkan sangat sepuh antara lain Sayidiman Suryohadiprojo (92 th) dan Widjojo Soejono (91 th), para aktivis dan  pakar hukum tata negara serta catatan perjuangan berbagai organisasi masyarakat dan kampus dalam memperjuangan agar kita kembali ke Pancasila dan UUD 1945.

Buku ketiga setebal 388 halaman ini dihimpun oleh aktivis dan wartawan senior B.Wiwoho.
Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI) adalah suatu Gerakan Moral dan Intelektual yang dicanangkan pada 7 Januari 2018, dengan visi Indonesia Yang Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Aman, Tentram, Adil dan Makmur. Demi mewujudkan visi tersebut GKI mencanangkan salah satu misinya “Mengedukasi dan mengajak Kembali ke UUD 1945 Asli Untuk Disempurnakan.”

Bertindak sebagai juru bicara delegasi yaitu Mayjen Pol (Purn) Taufiequrachman Ruky – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2003 -2007, Jenderal TNI (Purn) Agustadi Sasongko Purnomo – Kepala Staf Angkatan Darat tahun 2007 – 2009, aktivis pejuang Hariman Siregar, pakar hukum tata negara Dr.Soetanto Soepiadhy SH.MH. serta mantan Asisten Teritorial Kepala Staf Angkatan Darat yang juga Wakil Gubernur DKI Jaya Mayjen TNI (Purn) Prijanto.

Negara Hanya Akan Dikuasai Kaum Pemodal.
Para jurubicara, sebagaimana juga mereka kemukakan di dalam buku, berbicara blak-blakan, sangat terbuka dan terang-terangan sebagaimana pula dirasakan dan dibicarakan masyarakat luas mengenai berbagai masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk perkiraan keadaan yang akan timbul apabila demokrasi yang berdasarkan individualisme dan liberalisme, terus diberlakukan.
Demokrasi seperti itu menurut Taufiequrachman Ruky melahirkan pertarungan yang liar dan keras, yang hanya akan melahirkan segelintir elit penguasa. Demokrasi seperti yang sekarang berlaku adalah demokrasi berbiaya tinggi yang membuat uang menjadi sangat berkuasa. Artinya orang kaya, kaum pemodal dan kapitalislah yang akan menguasai partai-partai politik dan bukan rakyat, dan selanjutnya mereka  akan menguasai bangsa dan negara Indonesia.

Tentang Pancasila, Taufieq Ruky menyatakan, belakangan banyak beredar slogan dan ungkapan “Aku Pancasila” serta tuduhan terhadap kelompok lainnya sebagai  tidak paham Pancasila bahkan anti Pancasila, anti NKRI. “Pancasila yang mana yang mereka maksudkan? Pahamkah mereka yang mengaku Pancasilais, bahwa Pancasila yang digagas Bapak Bangsa Kita Bung Karno, dan dikukuhkan secara resmi sebagai Dasar Negara dalam UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 itu, semenjak tahun 2002 sudah tidak lagi menjadi Dasar Falsafah Negara dan tidak lagi menjadi sumber kebijaksan bagi penyelenggaraan Pemerintahan serta pengelolaan negara?”

Jenderal (Purn) Agustadi oleh karena itu menyatakan, Pancasila sebagai dasar negara perlu dirumuskan dalam batang tubuh UUD. Di dalam Pembukaan UUD, susunan Negara memang disebutkan terdiri dari lima dasar, tetapi belum diberi nama Pancasila. Karenanya penegasan  nama Pancasila sebagai Dasar Negara itu perlu disebutkan di salah satu pasal dalam batang tubuh.
Mengenai sistem Pemilu, mantan Kepala Staf Angkatan Darat yang juga pernah menjadi anggota DPR/MPR selama tujuh tahun ini  menyarankan agar disesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila, yakni sistem perwakilan sebagaimana dalam sila keempat. Pemilu ditujukan hanya untuk memilih anggota DPR dan DPR-Daerah, sedangkan Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih oleh MPR, DPRD Propinsi atau DPRD Kabupaten/Kota.

Tokoh aktivis yang juga merupakan salah satu tokoh Gerakan Reformasi 1998 Hariman Siregar menyoroti reformasi yang telah di bajak menuju pembusukan politik dan ekonomi. Pembusukan politik merupakan persoalan kompleks  bernuansa patologis dalam dinamika kehidupan bernegara akibat merapuhnya  institusi-institusi demokrasi oleh banalitas politisi. Realitas sosial yang centang-perentang dan krisis  moral di ruang publik adalah penyebab paling menentukan timbulnya  pembusukan politik.

Pada hematnya, sejarah reformasi yang menjadi penerobos kebuntuan dan antitesa dari segala kerusakan di masa sebelumnya, memakan dirinya sendiri, dilumat kembali oleh krisis politik dan moral. Tak berjalannya kanal-kanal  demokrasi dan terciduknya pemimpin lembaga tinggi negara serta para kepala daerah oleh Komisi Pemberanasan Korupsi, menandai rusaknya sistem politik-kenegaraan.

Reformasi yang kita mau adalah reformasi yang tidak sekedar pemilu lima tahunan, melainkan berfungsinya pilar-pilar penyangga demokrasi yakni penegakkan hukum yang adil, partai politik yang modern, pers yang sehat dan masyarakat sipil yang konsisten, yang semuanya membawa pada perbaikan taraf hidup rakyat.

Namun Hariman Siregar menyayangkan, reformasi yang kemudian mengasilkan Amandemen UUD, kental nuansa liberalismenya dan tercerabut dari akar budaya bangsa. Amandemen UUD membuat rakyat terpecah belah dan sekaligus produk yang membuat orang asal ngomong, bohong, fitnah, adu domba dan sombong. Prinsipnya bikin gesekan sosial. Pemilihan capre cawapres saja, patut dinilai tidak sehat, transkasional, jegal-menjegal yang penuh dengan nafsu haus kekuasaan.

Pakar hukum tatanegara yang khusus datang dari Surabaya, Dr.Soetanto Soepiadhy SH.MH sementara itu menilai, perubahan UUD 1945 telah mengakibatkan terjadinya penyimpangan ketatanegaraan dan kesenjangan sosial-ekonomi di masyarakat, serta penyimpangan terhadap cita-cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Hal itu bisa memicu konflik baik horizontal maupun vertikal, dan solusi untuk mencegahnya adalah dengan kembali ke UUD 1945.

Tulisan dan pandangan tokoh-tokoh dalam 3 (tiga) buku tersebut yaitu (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Diserai Adendum; (2) Bangkit Bergerak Berubah aatau Punah dan (3) Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945 sangat jelas, lugas dan tanpa tedeng aling-aling lagi mengupas keadaan sekarang kajian perkiraan keadaan ke masa depan.  Sepanjang kegiatan  mengkritisi UUD Amandemen semenjak awal 2000-an, baru kali ini tokoh-tokoh masyarakat tersebut bicara sekeras dan seterbuka seperti itu secara tertulis,  baik tentang orang-orang munafik yang sekarang sok Pancasilais sampai pada gambaran bahaya yang akan segera timbul jika UUD Amandemen terus dijalankan khususnya dalam Pemilihan Umum.                       

Oleh sebab itu para tokoh mengusulkan:                                                                                      
1). Jangan gunakan istilah UUD 1945 untuk UUD yang diamandemen, tetapi gunakan istilah UUD 2002.                                                                                                                                
2). Pancasila tidak ada di dalam UUD 2002. Bahkan pasal-pasal dalam batangtubuhnya bertentangan dengan sila-sila sebagaimana yang menjiwai serta dituangkan dalam Pembukaan UUD.                                                                                                                               
3). Karena itu Pancasila harus dirumuskan dan dijabarkan secara tegas di dalam pasal-pasal dalam batang tubuh UUD, dan untuk itu UUD 2002 harus dibatalkan dan dikembalikan ke UUD 1945 untuk selanjutnya diadendum secara cermat, seksama dan hati-hati, demi mengantisipasi perkembangan zaman sekaligus  menjabarkan dan mengamalkan Pancasila secara operasional di dalam UUD.

Alhamdulillah buku Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945 ini memperoleh sambutan dari masyarakat yang luar biasa, sehingga setelah peluncuran di Gedung MPR disusul dua kali dilakukan bedah buku  yakni 15 Februari 2019 di Jakarta Theatre untuk para aktivis dengan hadiran lebih 600 orang dan 13 Maret 2019 bedah buku oleh Dewan Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) di Balai Senat UGM dengan hadiran memenuhi ruangan yang berkapasitas lebih 300 orang





0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda