JANGAN BIARKAN PANCASILA BAGAI RUH TANPA TUBUH
Insya Allah Jumat 19 Juni 2020 pukul 15.30 – 17.300, pendekar-pendekar tua turun gunung ke dunia mayanya para milenial, memperjuangkan agar Pancasila benar-benar menjadi dasar negara, sumber dari segala sumber hukum dan diamalkan sebagai pedoman bertingkahlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Penampilan para pendekar tua itu dikemas dalam “diskusi langit”, yang kini dikenal sebagai webinar terbuka melalui aplikasi Zoom dikombinasikan dengan You Tube. Webinar diselenggarakan oleh Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI) bekerja sama dengan Panji Masyarakat.Com. Dua Jumat berturut-turut ini Panji Masyarakat bekerjasama dengan Grup NusantaraRaya dan GKI, menyelenggarakan Webinar.
Jika pada Jumat 12 Juni 2020 temanya “Membangun Indonesia Pasca Pandemi Covid.19” dengan pembicara tunggal cendekiawan TNI - Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo, tema Webinar Jumat 19 Juni 2020 adalah “RUU HIP Dalam Berbagai Perspektif, Perlukah UU HIP?”. RUU HIP adalah Rancangan Undang Undang Haluan Ideologi Pancasila.
Bertindak sebagai Pembicara Utama, Prof.Dr.Kaelan (pakar filsafat Pancasila Universitas Gadjah Mada), Dr.Soetanto Soepiadhy Sh.Mh (praktisi Hukum Tata Negara) dan Batara Hutagalung ( Peneliti Sejarah). Paparan mereka tadi akan dibahas oleh 3 (tiga) Mantan Kepala Staf TNI dan pendekar pemberantasan korupsi Irjen Pol (Purn) Taufiequrachman Ruky. Ketiga mantan Kepala Staf TNI tersebut adalah Jenderal Agustadi Sasongko, Laksamana Tedjo Edhy Purdiyatno dan Marsekal Imam Sufaat. Diskusi akan dipandu moderator Mayjen (Purn) Prijanto Sumantri, mantan Gubernur DKI Jaya yang terkenal karena berani mengajukan pengunduran diri dari jabatannya lantaran tak sejalan dengan Gubernur Fauzi Bowo.
Perihal RUU HIP yang belakangan ini menghebohkan jagad politik, Selasa 16 Juni 2020 Pemerintah telah mengumumkan penundaan pembahasannya di DPR. Meskipun demikian hal itu tidak menyurutkan niat diskusi, apalagi Pemerintah tidak secara tegas membatalkan pembahasan, melainkan menggunakan kata bersayap yang bisa multi tafsir yakni menunda.
Gerakan mempertahankan agar Pancasila tetap menjadi sumber segala sumber hukum yang menjiwai kehidupan bangsa Indonesia, sudah muncul pada pertengahan tahun2002, tatkala MPR menggodog Amandemen keempat atas UUD 1945 (buku “Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945?”, penerbit Republika,2019).
Taufiequrachman Ruky dalam buku tersebut menulis, norma Pancasila ada di dalam Pembukaan UUD, namun nilai-nilai Pancasila tidak pernah dituangkan ke dalam batang UUD (penulis: dalam hal ini UUD setelah diamandemen th 2002). Bahkan rumusan kata Pancasila itu sendiri pun tidak dituangkan dalam UUD 2002. Sementara itu terang-terangan ada sejumlah pasal baru hasil amandemen yang nilai-nilainya bertentangan dengan makna dan nilai-nilai dari sila-sila dalam Pancasila yang ada pada Pembukaan UUD 1945.
Pada hemat Ruky dan kawan-kawan yang menulis di buku tersebut, slogan Pancasila tidak ada arti dan manfaatnya, yang ada hanya mudaratnya saja. Pancasila sudah menjadi ruh gentayangan dan gendruwo politik, UUD 2002 atau UUD 1945 Palsu itu dari kacamata kePancasilaan adalah zombie, yakni jasad hidup atau jasad tanpa jiwa.
Buku yang diluncurkan di hadapan pimpinan MPR di Gedung MPR Rabu 6 Februari 2019 dan dihadiri 600an tokoh masyarakat, dengan segera di bedah di berbagai forum dan daerah. Dalam bedah buku yang diselenggaran oleh Dewan Guru Besar Universitas Gadjah Mada, dengan pidato pengarahan Sri Sultan Hamengkuwono X Rabu 13 Maret 2019, di Balai Senat Gedung Pusat UGM Yogyakarta, Pancasila mendapat porsi pembahasan paling menonjol.
Bedah Buku merumuskan antara lain, Pancasila harus segera dikembalikan menjadi dasar negara yang menjiwai segenap Undang-Undang dan peraturan turunannya, keputusan serta kebijakan penyelenggaraan dan pengelolaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebelum diputuskan, setiap UU, peraturan dan kebijakan harus diuji lebih dahulu, apakah benar-benar sudah mencerminkan ruh atau api semangat dari sila-sila dalam Pancasila. Demikian pula di dalam pelaksanaannya, harus diikuti dengan penegakkan hukum yang baik (buku “Pancasila Jatidiri Bangsa”, penerbit Elmatera Publishing, 2019).
Semoga Webinar “RUU HIP Dalam Berbagai Perrspektif, Perlukah UU HIP”, bukan semata-mata berkutat dalam pembahasan RUU HIP, tetapi lebih jauh lagi, bisa mendorong suatu gerakan nasional untuk sungguh-sungguh menjadikan Pancasila diamalkan sebagai pedoman bertingkahlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (BW).
Catatan: Artikel ini telah dimuat di panjimasyarat.com 18 Juni2020.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda