Rabu, 26 Januari 2022

Tonggak-Tonggak Orde Baru : MENGGARAP RUU DI DPR SAMPAI 20 TAHUN.

 

Tonggak-Tonggak Orde Baru :

MENGGARAP RUU DI DPR SAMPAI 20 TAHUN.

 panjimasyarakat.com

 


Pemerintah Orde Baru menguasai lebih 70% anggota parlemen. Dengan jumlah sebesar itu sebetulnya dengah mudah dan cepat Pemerintah akan selalu bisa menggolkan keinginannya di DPR. Meskipun demikian hal itu tidak dilakukan. Tak jarang terjadi tarik ulur yang keras, yang diwarnai dengan walk out,  aksi meninggalkan persidangan, demontrasi atau  membuat nota keberatan supaya tercatat dalam sejarah persidangan. Pergulatan dalam pembahasan RUU yang seperti itu, bahkan ada yang sampai 20 tahun,  diungkapkan dalam buku 2 trilogi TONGGAK TONGGAK ORDE BARU.

      Seri 2 buku  Tonggak-Tonggak Orde Baru berjudul: MUSUH TERBESAR KESENJANGAN BERNUANSA SARA & EKSTREMISME, terdiri dari 5 bagian, dimulai dengan menggambarkan bagaimana cara Presiden Soeharto merekrut para menteri dan pembantu-pembantu utamanya (Bagian I); bagaimana Pak Harto membangun citra serta menggalang komunikasi pembangunan, termasuk bagaimana menyikapi isu-isu negatif yang menerpa keluarganya (Bagian II) ; bagaimana Pemerintahan Orde Baru dengan sabar sampai bertahun-tahun dalam menggolkan sejumlah Rancangan Undang-Undang (Bagian III); bagaimana menyikapi masalah kesenjangan, pengentasan kemiskinan dan pri-nonpri (Bagian IV); dan Bagian V menggambarkan gerakan kebangkitan Islam di masa Orde Baru.

   Bagian I, Cara Presiden Soeharto Merekrut Para Menterinya mencakup 3 bab yaitu 1).Tidak Hiruk Pikuk; 2).Seni Kepemimpinan; 3).Tim Rajawali dan Nama-Nama Unik.

   Dalam menyaring para calon pembantu utamanya, di masa awal-awal kepemimpinannya, pak Harto dengan dibantu Badan Koordinasi Intelijen Negara, bagaikan seorang analis laboratorium, meneliti sesuatu zat di bawah mikroskop, kemudian memilih satu demi satu untuk menjadi anggota timnya memimpin Negeri Zamrut Khatulistiwa ini.

   Sampai dengan akhir 1980-an, mekanisme perekrutan seperti itu berjalan baik. Namun mulai awal 1990an, tatkala teman-teman seangkatannya di segenap lapangan kegiatan sudah menyusut, Pak Harto mulai menghadapi kesenjangan generasi, gagap mengenali secara baik dan tepat guna, sehingga gagal memperoleh tim yang handal dengan setiakawan yang tinggi. Lebih-lebih lagi, juga lantaran ia tidak mempersiapkan kaderisasi serta regenerasi secara sistem dan terbuka.

   Bagian II, Penggalangan Citra di Masa Orde Baru, terdiri dari 9 bab yakni: 1).Citra Diri Priyayi Jawa; 2). Keterangan Pers Oleh Tamu dan Asal Mulai Petunjuk Presiden; 3). Reaksi Terhadap Kritik dan Gosip; 3.1). Peristiwa Malari; 3.2). Krisis Beras Akhir 1972; 3.3). Tentang Selir dan Komisi Ibu Tien; 4). Jika Perlu Menculik 1 Orang Demi UUD 1945; 5).Desiminasi Kebijakan dan Pra Kondisi; 6).Pelajaran dari Krisis Pertamina; 7) National Development Information Office; 8). 1983 – 1988: Krisis Ekonomi Terbesar Orde Baru; 9). Jangan membangun Istana Pasir.

   Bagian III, RUU-RUU yang Digarap Puluhan Tahun, terdiri dari 4 bab yakni: 1).RUU Perkawinan  Selama 20 Tahun; 2) Melawan Sekularisme; 3). Mencegah Estrem Kanan, Ekstrem Kiri dan Radikalisme; 4). Mengapa Pancasila Harus menjadi Asas Tunggal.

   Selama masa Orde Baru, Pemerintah dengan Fraksi Golkar dan ABRInya, menguasai lebih dari 70% anggota parlemen. Dengan jumlah sebesar itu sebetulnya dengah mudah dan cepat Pemerintah akan selalu bisa menggolkan keinginannya di DPR. Meskipun demikian hal itu tidak dilakukan. Tak jarang terjadi tarik ulur yang keras, yang diwarnai dengan walk out,  aksi meninggalkan persidangan, demontrasi atau  membuat nota keberatan supaya tercatat dalam sejarah persidangan. Bahkan penolakan atau protes keras dalam persidangan juga dilakukan oleh anggota Fraksi Golkar dan Fraksi ABRI, tentu dengan argumentasi yang kuat dan bukan asal debat.

   Bagian ini menyajikan dua Rancangan Undang-Undang (RUU) yang pembahasannya sangat alot, memakan waktu bertahun-tahun bahkan sampai 20 tahun, serta maju-mundur, diajukan, ditarik mundur untuk diperbaiki kemudian diajukan kembali. Gambaran ini selain menunjukkan ada kelemahan bahkan kecerobohan dalam menggodok RUU, tapi juga menunjukkan adanya kesabaran dan kebesaran hati untuk memperbaiki, selanjutnya mengolah bersama menjadi Undang-Undang. Kedua RUU tersebut adalah RUU Perkawinan dan paket RUU Pancasila sebagai Asas Tunggal.

   Jika mau memaksakan voting, dengan dukungan suara mayoritas sebenarnya Pemerintah bisa saja dengan cepat, tanpa lobi-lobi yang melelahkan dan tanpa membongkar draft RUU, menggolkan menjadi UU dalam tempo sebulan dua bulan. Tapi pendekatan kekuasaan dan hukum semata seperti itu tidak dilakukan, melainkan ditempuh pendekatan humanisme dengan duduk bersama, membongkar serta menyusun kembali bersama-sama draft RUU-nya.

   Di samping pendekatan dan proses penggarapannya yang menarik,  pengesahan UU Perkawinan juga mengakhiri perdebatan tentang sekularisasi dan deislamisasi. Sementara itu pengesahan paket UU Pancasila sebagai Asas Tunggal yang semula ditentang oleh semua organisasi keagamaan, akhirnya diterima dengan rasa lega, karena UU itu otomatis juga menutup pintu bagi kemungkinan munculnya  gerakan ekstrem kiri, ekstrem kanan dan radikalisme. Bagi ulama-ulama Islam pun dinilai sekaligus menutup celah kemungkinan terjadinya pertentangan antar mazhab.

   Bagian IV, Kesenjangan,  Pengentasan  Kemiskinan, Pri-Nonpri, meliputi 11 bab yaitu: 1).Musuh Terbesar Bangsa Indonesia; 2). Inpres Desa Tertinggal; 3). Tapak-Tapak Sejarah Cina di Nusantara; 4). Muhibah Damai Ceng Ho; 5). Cina dan Kerajaan Islam Jawa; 6). Perang Cina dari Batavia Sampai Surakarta; 7). Poh An Tui; 8). Politik Dwi Kewarganegaraan; 9). Baperki; 10). Pribumi Kuat Kunci Pembauaran.

   Wartawan senior Vincent Lingga menilai, buku trilogi ini patut disambut dan sangat dihargai,karena memperkaya sumber referensi dari peristiwa, catatan dan fakta sejarah kehidupan bangsa dan negara, yang disusun dengan cermat dan rapih mencakup periode lebih 30 tahun dari 76 tahun umur Republik ini. Buku semakin bermakna dan penting karena ditulis oleh B.Wiwoho, bukan hanya sebagai pengamat, tapi bahkan sering sebagai orang dalam (insider) pemerintahan.

     Sementara itu wartawan senior yang pernah memimpin berbagai lembaga antara lain Lembaga Kantor Berita Antara, Harian Republika dan RRI -  Parni Hadi menyatakan, “Mas Wiwoho bukan sekedar pencatat berbagai peristiwa. Bukan pencatat biasa, tapi pencatat yang terlibat. Ia saksi, tapi juga sering sebagai partisipan, bahkan sering ikut merumuskan, menentukan dan ikut serta menindaklanjuti”

(Info & nara hubung buku ke WA 08174892033).

 

  

     

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda