Selasa, 10 Oktober 2023

DIASPORA, KAKI TANGAN INDONESIA DI MANCA NEGARA.

 

Sebuah buku yang mengisahkan sepak terjang, kiprah dan potensi sekitar 10 juta orang Indonesia di manca negara, telah terbit dengan judul Diaspora Bangga Berbangsa. Buku itu ditulis oleh Fenty Effendy yang didukung oleh Tim Pengarah Kartini Sarsilaningsih (Presiden Indonesia Diaspora Network-Global, IDN-Global 2021-2023) dan Lusie Susantono (Sekretaris Jenderal IDN – Global 2021 – 2023, serta diterbitkan oleh  Penerbit Buku Kompas 2023.

Fenty Effendy, wartawan yang telah malang melintang di majalah Forum Keadilan, Metro TV, ANTV, tvOne dan sekarang tekun menjadi penulis buku/biografer sejumlah tokoh, menuturkan hal itu  secara menarik, mengesankan lagi penuh bahan pelajaran,  terutama kiprah mereka semenjak IDN-Global didirikan tahun 2012, dalam buku setebal 264 halaman (xiv+250).

Diaspora adalah sekumpulan orang atau etnik yang meninggalkan tanah air tradisionalnya, menyebar ke wilayah atau negara lain. Sedangkan diaspora Indonesia adalah masyarakat Indonesia yang tinggal di luar negeri. Mereka terdiri dari Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA) yang merupakan anak dari WNI, eks WNI dan anak dari eks WNI.

Diaspora Indonesia diperkirakan mencapai 10 juta orang (halaman 25), hampir menyamai penduduk  Swedia (10,4 juta) dan Austria (8,9 juta). Jika ditambah dengan orang asing yang mencintai Indonesia, antara lain para mantan diplomat dan orang asing yang pernah bertugas di Indonesia, jumlahnya akan jauh lebih besar lagi. Orang-orang asing yang seperti itu mudah kita jumpai di berbagai negara. Dalam menggalang hubungan baik Indonesia – Amerika Serikat misalkan, ada  organisasi yang dinamakan USINDO (The United Stated – Indonesia Society), yang pendiriannya diprakarsai oleh mantan Duta Besar AS untuk Indoneasi Edward Masters dan Paul Wolfowitz bersama Prof.Dr.Sumitro Djojihadikusumo, Prof.Dr.Emil Salim dan Laksamana Pertama Eddy Tumengkol (B.Wiwoho, dalam buku ke 2 Tonggak-Tonggak Orde Baru halaman 69). Ketika Timor Leste masih bergabung dengan Indonesia, dan pada awal 1990an pers serta aktivis internasional gencar menyerang Indonesia, mereka para pecinta Indonesia itu sering tampil di hadapan publik membela keras Indonesia. Pada suatu acara di New York, saya menyaksikan sendiri, bagaimana Edward Masters (almarhum dan sejumlah mantan diplomat berbicara sembari menyeka air mata.

Buku Diaspora menurut Kartini Sarsilaningsih dalam Kata Pengantarnya, merupakan album dari potret-potret  kegiatan, asa dan karya para diaspora yang tersebar di berbagai negara, yang disusun demi menggalang semangat kecintaan mereka terhadap Indonesia, sehingga mereka menjadi bagian dari bangsa Indonesia.

Dalam kancah globalisasi terutama dalam era Perang Asimetris, diaspora Indonesia adalah human capital sekaligus social capital yang strategis untuk di tempatkan di barisan depan.

Sejak didirikan tahun 2012,  IDN-Global telah secara konsisten  dan penuh antusiasme mendorong kolaborasi yang erat antara diaspora Indonesia – Pemerintah dan masyarakat Indonesia di Tanah Air. IDN-Global  aktif menghubungkan sumber daya, bakat dan pengetahuan diaspora Indonesia, dengan berbagai pihak yang membutuhkan baik di kalangan diaspora itu sendiri maupun para pemangku kepentingan lainnya terutama di Indonesia.

IDN-Global didirikan dalam Kongres Pertama Diaspora Indonesia di Los Angeles, Amerika Serikat  6 – 8 Juli 2012 yang diikuti oleh lebih 2000 peserta, yang diprakarsasi oleh Dubes RI utk AS Dino Patti Djalal. Kongres ini juga dihadiri oleh Dubes Afrika Selatan untuk AS, Ebrahim Rasool, yang berdarah Indonesia. Dalam buku Membaca Nusantara dari Afrika, Menelusuri Jejak Para Pejuang yang Terbuang (B.Wiwoho, Pustama IIMaN, 2021 halaman 95), Ebrahim Rasool disebut termasuk tokoh muslim yang ikut perjuangan menentang politik rasialis di Afrika Selatan, semenjak pertengahan abad 20 sampai terwujudnya kebebasan dan persamaan ras pada 1990-an.

Presiden RI ke 3 B.J.Habibie dalam sambutan tertulisnya menegaskan, diaspora  Indonesia bisa belajar bagaimana negara atau bangsa yang telah maju dapat memecahkan permasalahan dan bagaimana mereka meningkatkan produktivitas, daya saing serta kemandirian untuk menjadi negara maju dan diperhitungkan.

Betapa potensialnya para diaspora, buku menampailkan sebuah contoh sukses dari  Sehat Sutardja, lahir di Jakarta 1961, yang memiliki 270an hak paten. Perusahaan Marvell Technology Group yang didirikan bersama sang isteri, Weili Dai dan adiknya Pantas Sutardja, merupakan perusahaan semikonduktor terbaik ketiga di dunia. Pada tahun 1995, Sehat termasuk dalam Forbes 400 Best Big Company, terdaftar sebagai orang terkaya ke – 891 di dunia, dan  pada 2007, majalah Forbes memasukkan Sehat Sutardja sebagai 10 orang terkaya di Amerika Serikat (halaman 4,5,16 dan Wikipedia).

Menlu Marty M.Natalegawa (halaman 19) dalam Kongres  IDN ke 2 di Jakarta tahun 2013 yang dihadiri 4000an diaspora menegaskan, diaspora Indonesia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari misi politik luar negeri dan diplomasi Indonesia. Diaspora  Indonesia juga termasuk soft power bagi Indonesia.

Tentang bagaimana Indonesia bisa mewarnai dunia, diaspora Indonesia di Meksiko, Evi Yuliani Siregar menyatakan,” Jadikan kami kaki tangan Indonesia. Diaspora dengan kualifikasi serupa saya ini pasti ada di kota lain. Tinggal di data saja,“ tutur dosen di El Colegio de Mexico ini.

 


Dari brain drain menjadi brain gain. 

Diaspora yang pada awalnya dianggap sebagai brain drain, yaitu berimigrasinya kaum intelektual – professional ke negara lain dan tidak nasionalis (karena menukar kewarganegaraannya), ternyata kini bisa menjadi brain gain. Mendatangkan keuntungan secara ekonomi, bahkan menarik investasi, serta berkontribusi dan mengakselerasi kemajuan negaranya pada bidang-bidang  yang memang lebih mereka kuasai dari pada saudara-saudaranya di tanah air.  India dan China telah membuktikan hal itu (halaman 26).

Dari 450an ribu  China yang belajar di luar negeri yang dimulai oleh Deng Xiaoping (1978), berangsur pulang dan pada tahun 2000, sekitar 150 ribu kaum terdidik dan terlatih China  yang tersebar di Amerika dan Eropa, kembali ke China, di antaranya membawa kerjasama  dengan perusahaan-perusahaan berteknologi canggih kaliber dunia. Pada tahun 2008, China telah mengunduh panen raya diaspora.

Kisah bagaimana China mendayagunakan serta menggalang peranan para Cina perantauan, telah dituangkan dalam buku Jenderal Yoga, Loyalis di Balik Layar (B.Wiwoho, Penerbit Buku Kompas, 2018 halaman 264 dan seterusnya). Pemimpin China Deng Xiao Ping – pasca Mao Zedong – menggalang hubungan secara serius dengan orang-orang Cina di perantauan di seluruh dunia, yang jumlahnya diperkirakan sekitar 22,5 juta orang, 21 juta di antaranya berada di negara-negara Asia Tenggara. China juga mengirimkan para mahasiswanya untuk belajar di berbagai negara, sehingga sampai dengan medio 1980-an telah mencapai lebih dari 100.000 mahasiswa.

Orang yang pernah berkunjung ke China, sebut saja setelah pemulihan hubungan diplomatik Indonesia – China tahun 1990, apalagi di masa-masa sebelumnya, dapat membandingkan kemajuan yang luar biasa di awal tahun 2000an.

Buku Diaspora mengisahkan lebih lanjut, India juga melakukan hal yang sama dengan China, tatkala melakukan reformasi ekonomi besar-besaran pada awal 1990-an, Perdana Menteri Rajiv Gandhi memanggil pulang diaspora India , ada sekitar 100 ribu orang yang berpendidikan tinggi, alumnus universitas terkenal di luar negeri dan yang bekerja di perusahaan multinasional besar  dengan banyak pengalaman. Mereka memperoleh berbagai fasilitas dari negara untuk mengembangkan keahlian, pengalaman dan investasinya.

Ada yang menarik dan patut menjadi perhatian kita semua, yang ditorehkan Fenty Effendy, di bagian akhir buku yaitu: “IDN-Global ini sangat seksi. Orang-orangnya jelas, pendidikannya jelas, dan pekerjaannya jelas,”kata diaspora Indonesia di Singapura, Stephanus Titus Widjaja. “Barangkali kekurangannya di database, tapi, jangankan IDN-Global, tanya saja ke kedutaan, apakah mereka punya database diaspora? Enggak.”  Yang juga ajaib, lanjutnya, ada pejabat kementerian datang dan bertanya, “Pak Steve, punya nggak database perusahaan Indonesia di Singapura? “What? Kata saya. Nggak kebalik tuh? Ha ha ha.”                                                          

Semoga menjadi pekerjaan rumah yang cepat diselesaikan oleh para diplomat Yang Mulia. Amin.                                                       

Selamat serta berkah melimpah Mbak Fenty dan Diaspora Indonesia. (B.Wiwoho).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda