Selasa, 19 Juli 2022

BELAJAR DARI PENGGALANGAN KOMUNIKASI PEMBANGUNAN MASA LALU

 panjimasyarakat.com


 
Tribuana Said (berdiri paling kanan) berfoto bersama dengan Presiden filipina Qorazon Aquino (1986 – 1992),  duduk di tengah.

 

Indonesia perlu belajar dari penggalangan komunikasi pembangunan di masa lalu. Demi masa depan, para ahli di perguruan tinggi dan atau lembaga pengkajian independen di negara ini sebaiknya  membuat strategi lengkap untuk menunjang pembangunan nasional di bidang-bidang atau sektor-sektor tertentu, demikian tersirat dari penuturan pengalaman wartawan senior dan mantan Wakil Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Indonesia Tribuana Said.

Sejarah mencatat dengan tinta emas Reformasi Pajak 1984-1997. “Dan saya bersyukur berkesempatan mendampingi B.Wiwoho dalam kegiatan tersebut serta beberapa kegiatan komunikasi pembangunan lainnya, misalkan membantu Dirjen Pariwisata Yoop Ave mendisain kampanye kunjungan wisata ke Indonesia beserta program Sapta Pesonanya.” Wartawan senior, yang pernah memimpin grup penerbitan Merdeka  dan Waspada serta pendiri Lembaga Pers Dr.Soetomo – itu mengemukakan pengalamannya dalam sambutannya atas buku trilogi Tonggak-Tonggak Orde Baru. Berikut sambutan selengkapnya:

Pengantar.

SABAM Siagian (1932-2016), wartawan senior harian Sinar Harapan, kemudian Suara Pembaruan dan The Jakarta Post (semua terbit di Jakarta), pernah berkata: “Wartawan tanpa komitmen akan bekerja seperti robot. Dalam konteks Indonesia, pers perjuangan yang setia kepada komitmen berarti harus tetap memperjuangkan nasib mereka yang tercecer dan menjadi korban ketidakadilan”. (Kata Pengantar. Cetakan II: xiii dalam Pedoman Uji Kompetensi Wartawan; Penerapan Standard Kompetensi Wartawan. Lembaga Pers Dr. Soetomo. Cetakan III. Juli 2019). Intinya, wartawan harus terus memperjuangkan nasib para anak bangsa yang terlantar dan para korban ketidakadilan.

Seorang yang berlatar belakang puluhan tahun mendirikan kemudian mengelola lembaga komunikasi massa, media pers, dan badan pengkajian isu-isu pembangunan nasional, ditambah telah menulis puluhan buku-buku politik, ekonomi, budaya, agama, sejarah, termasuk buku sejarah di tangan kita saat ini, berisi ratusan halaman mengenai era kepresidenan Suharto sepanjang 32 tahun, Bambang Wiwoho (BW) merupakan sosok wartawan yang tergolong memiliki komitmen profesional yang kuat dan syarat-syarat lain yang dituntut dari seorang tokoh komunikasi massa dan pers yang sudah teruji.

Lahir di Pati, Jawa Tengah, pada 13 Juni 1948, BW adalah mantan wartawan surat kabar harian Golongan Karya, Suara Karya, Jakarta, persisnya wartawan dan redaktur bidang ekonomi-ilmu dan teknologi di masa dua dasawarsa pertama pemerintahan Suharto. Selain itu ia juga bertugas menggali dan menyajikan informasi tentang kegiatan-kegiatan presiden di Istana Merdeka, Istana Negara, dan atau tempat kerja sehari- harinya, Bina Graha. Juga tentang sejumlah pembantu teras kepala negara di kompleks istana itu. Tak ingin meninggalkan dunia pers dan sebagai pemimpin umum (tahun 1996-2001 dan 2019-sampai sekarang), BW melanjutkan penerbitan majalah Panji Masyarakat, Jakarta (kini beralih jadi media online). Didirikan oleh tokoh pers perjuangan dan ulama Buya Hamka bersama beberapa sahabat pada bulan Juli 1959, Panji Masyarakat dibredel Presiden Sukarno pada Mei 1960.


                               Tribuana mendampingi Presiden Soeharto dalam suatu acara.

Meluaskan kiprah

Setelah keluar dari Suara Karya untuk menjadi wartawan freelance dan penulis buku, BW meluaskan kiprahnya dengan memprakarsai, bersama kawan-kawan, berdirinya Yayasan Bina Pembangunan (YBP), sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di mana dia merangkap ketua pengelola. Kelompok wartawan tersebut dipercaya oleh Pemerintah Indonesia (dalam hal ini Menteri Keuangan bersama Direktur Jenderal Pajak) menjadi pelaksana kampanye reformasi perpajakan atau resminya disebut Kampanye Pembaruan Sistem Perpajakan Nasional, disingkat PSPN, sejak tahun 1984 hingga 1999.

Guna menunjang kampanye tersebut, seorang profesional seperti BW memerlukan lobi dan jejaring strategis dari tingkat Pusat hingga sejumlah daerah penting. Tetapi berkat kinerjanya bertahun-tahun sebagai praktisi pers dan pegiat komunikasi massa, buat BW soal lobi dan jejaring tinggal menambah atau memperbarui daftar nama-nama elit politik- ekonomi-budaya nasional di Ibukota. Dalam daftarnya itu tercatat nama- nama para menteri dan mantan menteri dalam kabinet (khususnya menteri-menteri ekonomi dan keuangan serta para pejabat eselon satu mereka), para penasihat dan pembantu khusus presiden, serta para pemuka partai di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Di lingkungan non-pemerintah daftar lobi dan jejaring meliputi para direktur utama dan direktur perusahan negara dan swasta nasional terpenting. Berikutnya, para pakar nasional dari dalam dan luar perguruan tinggi terkemuka, para akademisi, serta para tokoh masyarakat dan aktivis LSM di Pusat dan daerah-daerah selaku pemangku kepentingan.

Begitupun, semua itu tidak cukup jika suara rakyat tidak betul-bertul terwakili, sebab bagi BW pajak adalah uang rakyat. (Catatan: Selama satu dasawarsa terakhir daftar lobi dan jejaring wartawan merupakan salah satu materi uji kompetensi bagi tiap peserta Uji Kompetensi Wartawan, disingkat UKW, yang ditetapkan oleh Dewan Pers. Untuk informasi lengkap, lihat dewanpers.or.id).

Tentu pantang dilupakan adalah rekan-rekan sejawat BW di media pers, seperti para pimpinan redaksi dan wartawan senior surat kabar nasional berpengaruh. Sebagian dari rekan-rekan pimpinan redaksi, selain para wartawan/reporter di pos liputan Istana Merdeka, Istana Negara dan Bina Graha, serta di kementerian-kementerian terkait, juga merupakan mitra aktif kampanye reformasi perpajakan dalam bentuk pemberitaan isu-isu penting dan penulisan opini di media masing-masing.

Beberapa di antara rekan-rekan wartawan peliput kegiatan presiden tersebut sebenarnya sudah sejak pertengahan tahun 1970-an membahas gagasan untuk mendirikan lembaga yang bergerak di bidang komunikasi informasi dan pengkajian pembangunan. Gagasan tersebut sempat pula dikonsultasikan secara intensif antara lain dengan Prof. Dr. Widjojo Nitisastro, Drs. Radius Prawiro, Yoga Sugomo, Drs. Moerdiono, Harmoko, serta Zulharman Said, dan lain-lain. Kecuali Zulharman (1933-1993), pendiri sekaligus penerbit surat kabar ekonomi, Neraca, Jakarta, para tokoh  tersebut adalah pejabat-pejabat tinggi terkemuka pemerintah. YBP akhirnya diresmikan berdiri dengan akte notaris tanggal 16 Desember 1983. Para pendiri disepakati hanya dari unsur wartawan (pada mulanya tercatat nama-nama wartawan Sudjono, Aswab Mahasin, Darmansyah Darwis, Riyanto D.W. dan BW).


 Tribuana Said selaku panitia lomba penulisan perpajakan (no 2 dari kiri) mengumumkan para pemenang sayembara, didampingi Direktur Jenderal Pajak Dr.Fuad Bawazir dan Kepala Pusat Penyuluhan Perpajakan Ditjen PajaYohad Hardjosumitro. (kanan) serta B.Wiwoho (kiri).

Berikutnya, YBP membentuk Pusat Pengkajian Perpajakan dan Keuangan (Center for Fiscal and Monetary Studies, disingkat CFMS). CFMS dinyatakan sebagai pengembangan Kelompok Pengamat/Penyuluh Pepajakan yang dibentuk sebelumnya dan telah mendapat pengukuhan dari menteri keuangan pada 27 Februari 1987. CFMS juga menerbitkan jurnal berkala berisi esei-esei tentang masalah-masalah perpajakan dan fiskal.

Adapun anggota pengurus CFMS adalah Drs.Soemarso SR sebagai ketua dengan anggota pengurus lainnya, yaitu Drs. Bomer Pasaribu SH, DR Guritno Mangkoesoebroto, BW, H. Agus Tagor, saya, dan beberapa pegiat lainnya (Pengurus CFMS periode 1988-1991 disahkan di Jakarta, pada 13 September 1988).

Satu lagi organisasi yang ditangani oleh YBP adalah lembaga non-struktural pemerintah, National Development Information Office, disingkat NDIO. NDIO telah beroperasi jauh sebelum tahun 1980-an. Selama 16 tahun (1977-1993) sebuah perusahaan Amerika di New York bernama Hill & Knowlton (disingkat H&K), yang bergerak di bidang komunikasi dan public relations, dikontrak tiap tahun oleh pengelola NDIO masa itu untuk menyusun strategi komunikasi dan melakukan kegiatan-kegiatan guna membangkitkan kesadaran serta apresiasi terhadap ekonomi Indonesia dan prospek-prospek yang menarik bagi hubungan kemitraan di bidang-bidang perdagangan, investasi dan ekonomi.

Setelah kontrak dengan H&K berakhir pemerintah menyerahkan pengelolaan dan pelaksanaan program kerja NDIO kepada BW sebagai direktur dengan tugas pokok “Penggalangan Citra Baik Indonesia di Luar Negeri”. BW didukung Tribuana Said sebagai sekretaris eksekutif dan beberapa penasihat adhoc serta staf redaksi dan sekretariat. Di samping melakukan lobi serta penggalangan terhadap komunitas diaspora dan para simpatisan atau pemerhati Indonesia, BW dan tim meneruskan program rupa-rupa publikasi berkualitas ditambah video dalam bahasa Inggris dan pendistribusiannya ke seluruh perwakilan diplomatik Indonesia dan mitra ekonomi Indonesia di luar negeri, serta korps diplomatik dan pengusaha asing di Indonesia. Apabila diperlukan, NDIO juga membantu persiapan acara-acara pejabat Indonesia di forum internasional, termasuk pengorganisasisan event-event internasional di Indonesia.

Meski pun sudah sejak awal 1966 berkerja di beberapa penerbitan Grup Merdeka (di harian Merdeka awalnya redaktur berita (1967-1974), kemudian pemimpin redaksi (1974-1979, menyusul 1995-1999); harian berbahasa Inggris Indonesian Observer (redaktur dan penulis tajuk pengganti 1967-1979); majalah mingguan berita Topik (pemimpin umum 1972-1979), dan majalah bulanan Keluarga (wakil pemimpin umum 1981- 1982), saya dan BW belum saling mengenal.


 Tribuana (paling kanan) sedang rapat Centre for Fiscal and Monetary Studies, di sampingnya, anggota DPR Bomer Pasaribu, B.Wiwoho dan Dr,Guritno Mangkusuwondo dan Yullia Himawati.

Setelah menyelesaikan dua studi pasca-sarjana berturut-turut di Belanda tahun 1979-1981 dan kembali ke Jakarta, saya menemui ketua PWI Jaya, Zulharmans, dengan niat mengundurkan diri sebagai anggota pengurus PWI Pusat. Pasalnya, saya telah keluar dari Grup Merdeka sejak berangkat ke Belanda tahun 1979. Tetapi Zulharman langsung mengucapkan tiga kata: “Salah kau… Tri!” dan terus mengemukakan pendapatnya tentang PWI, kurang lebih sebagaimana kemudian dicanangkan dalam Keppres Nomor 5 Tahun 1985 tentang Hari Pers Nasional 9 Februari terkait “fakta-fakta sejarah pers nasional sebagai pelaku komunikasi perjuangan mulai dari masa kebangkitan dan pergerakan nasional dan sebagai pelaku komunikasi pembangunan pada masa sekarang dan yang akan datang”, dan seterusnya (Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila. Jakarta: CV Haji Masagung, 1988: 8). Singkat cerita, saya urung berhenti sebagai anggota pengurus PWI Pusat.

Pada acara penutupan kongres PWI ke-17 tahun 1983 di Manado, Zulharman mengumumkan susunan pengurus PWI Pusat lima tahun ke depan dengan dia sendiri menjabat ketua umum dan saya wakil sekretaris jenderal. Hasil kongres tersebut mengingatkan saya pada pembicaraan kami hampir dua tahun sebelumnya. Adakah hal tersebut berkaitan dengan tugas- tugas saya sebagai wakil sekretaris jenderal PWI Pusat, antara lain mendukung BW dalam gerakan pembaruan sistem perpajakan nasional, dll.? Wallahu a’lam bishawab.

“Revolusi” perpajakan

Sinyal gerakan reformasi perpajakan nasional telah dimulai oleh pemerintah, pertama, dalam pembahasan rencana Garis-garis Besar Haluan Negara bulan Maret 1983 dan, kedua, dalam pidato kenegaraan Presiden Suharto di DPR/MPR pada 16 Agustus 1983. Tiga bulan kemudian Menteri Keuangan Radius Prawiro mengajukan tiga RUU PSPN Paket I ke Sidang Paripurna DPR, sementara dua RRU dalam Paket II diajukan dua tahun berikutnya pada 4 November 1985. Dengan kata lain pada kedua waktu dalam tahun 1983 telah diluncurkan “revolusi” perpajakan di era Indonesia merdeka, setidaknya langkah tersebut layak dielu-elukan sebagai kelanjutan Revolusi Nasional 1945. Sebab, dengan menyampaikan dua paket RUU yang perlu disepakati dengan parlemen, pemerintah hendak menyingkirkan bukan saja sistem perpajakan kuno, melainkan juga tiga warisan rezim kolonial Belanda (Ordonansi Pajak Perseroan 1925, Ordonansi Pajak Kekayaan 1932 dan Ordonansi Pajak Pendapatan 1944).

Paket I PSPN disahkan pada 31 Desember 1983. Terdiri dari UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, mulai berlaku 1 Januari 1984; UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan mulai berlaku 1 Januari 1984; dan UU No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah mulai berlaku 1 April 1985. Paket II terdiri dari UU No.12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan mulai berlaku 1 Januari 1986 dan UU No.13 Tahun 1985 tentang Bea Materai juga mulai berlaku 1 Janauari 1986.

Lalu, bagaimana hasil pelaksanaan kampanye PSPN? Terlepas dari sejumlah hambatan-hambatan yang dihadapi, dan harus diatasi di tahun- tahun mendatang, kampanye pembaruan perpajakan telah berhasil melipatgandakan baik jumlah Wajib Pajak maupun penerimaan negara dari pajak dalam jumlah yang juga terus meningkat pesat. Dari data yang ada terbukti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) bisa menjadi “mesin uang”. Berarti sejarah mencatat dengan tinta emas kemajuan negara (salah satu lembaga riset fiskal di Jakarta bukan menyebutnya kemajuan negara melainkan “Tinta Emas Reformasi Pajak (1984-1997)”. Dan tidak dapat disangkal, sejarah juga mencatat jasa BW dan kawan-kawan dalam pengkajian, persiapan, peluncuran dan hasil-hasil pelaksanaan kampanye pajak tersebut. Saya bersyukur berkesempatan mendampingi BW dalam kegiatan tersebut serta beberapa kegiatan komunikasi pembangunan lainnya, misalkan membantu Dirjen Pariwisata Yoop Ave mendisain kampanye kunjungan wisata ke Indonesia beserta program Sapta Pesonanya.

Berikutnya bagaimana ke depan? Apakah para ahli di perguruan tinggi dan atau lembaga pengkajian independen di negara ini sudah siap membuat strategi lengkap untuk menunjang pembangunan nasional di bidang-bidang atau sektor-sektor tertentu? Tanpa negara perlu mengundang para pakar asing? Sebutlah salah satunya pemulihan pariwisata nasional pasca pandemi Covid 19. Contoh-contoh lain: Pemulihan dan modernisasi pelayanan kesehatan nasional pasca pandemi Covid 19; Pembangunan sistem transportasi nasional melalui rute-rute jalan tol, dll. Ada beberapa pertanyaan lain yang perlu kita bahas.                                                      Mungkin pada lain kesempatan.                                                                

(Tribuana Said memulai karir pers di Medan sejak kembali dari studi di London dan Bonn tahun 1963. Seperti ditulis dalam bukunya, Perlawanan Pers Indonesia BPS Terhadap Gerakan PKI (Penerbit Sinar Harapan, 1983), menjelang pertengahan tahun 1964 konflik pers  Pro-PKI vs Anti-PKI makin memanas. Puncaknya, awal 1965 Presiden Sukarno menekan grup Anti-PKI, termasuk memerintahkan pembredelan pers BPS yang anti-PKI seperti harian Waspada. Waspada baru terbit kembali 17 Agustus 1966, sementara Tribuana sebelumnya telah pindah ke harian Merdeka, Jakarta).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda