Selasa, 15 Februari 2022

Prof.Dr.Salim Haji Said : ADA POTENSI YANG MENGGANGU STABILITAS POLITIK

 

Prof.Dr.Salim Haji Said :

ADA POTENSI YANG MENGGANGU STABILITAS  POLITIK

panjimasyarakat.com


        
Salim Haji Said bersama Pangkopkamtib Jenderal Soemitro

Ada potensi yang bisa mengganggu stabilitas politik, yakni dukungan dari Rainbow Coalition, koalisi kaum sekuler dan nonmuslim kepada ABRI (sekarang TNI/Polri),  yang mengakibatkan Islam kembali terpuruk menjadi golongan yang selalu dicurigai, yang bisa menjadi potensi konflik berkepanjangan.  Demikian sambutan Prof.Dr.Salim Haji Said,MA,MAIA, Guru Besar Imu politik Univesitas Pertahanan, Sekolah Staf Angkatan Laut dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, dalam buku 3 trilogi Tonggak-Tonggak Orde Baru: KEJATUHAN SOEHARTO DAN ANCAMAN PEMBELAHAN BANGSA

    Setelah membaca naskah trilogi Tonggak-Tonggak Orde Baru ini, “saya jadi teringat buku saya, Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto, yang diterbitkan oleh Mizan pertama kali pada Agustus 2016.” Ada benang merah yang kuranglebih sama  tentang kekuasaan di pusat pemerintahan negara, dengan sejarahnya yang cepat berulang termasuk pembajakan atas demokrasi. Pada awal Orde Baru kami para aktivis mahasiswa berulang ulang mengingatkan penguasa agar Orde Baru jangan sampai hanya menjadi Orde Lama minus PKI.

   Jika kita cermati tonggak-tonggak sejarah perjalanan bangsa, sejarah politik Indonesia, maka sampai sekarang ada lima tonggak perubahan politik terpenting. Pertama adalah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

   Kedua, keputusan Presiden Soekarno (dengan dukungan dan dorongan aktif Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal A.H.Nasution) memberlakukan  kembali  UUD 1945, membubarkan Dewan Konstituante dan membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), membubarkan  Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Hasil Pemilu 1955 untuk kemudian membentuk DPR Gotong Royong yang anggotanya dipilih sendiri oleh Soekarno. Lewat perubahan itu Soekarno berkuasa nyaris mutlak sebagai penguasa otoriter Indonesia.

   Perubahan politik penting yang ketiga, adalah runtuh dan berakhirnya rezim Orde Lama dengan Demokrasi Terpimpinnya. Runtuh secara dramatis dan berdarah-darah setelah Gerakan 30 September menyusul perlawanan tentara dan masyarakat. Sebagai wartawan muda, Salim Said menjadi saksi pergolakan yang terjadi, semenjak pra, sewaktu dan pasca G30S, baik di Jakarta maupun di daerah-daerah, sebagai yang  dipaparkan  B.Wiwoho dalam buku pertama triloginya.

   Perubahan tragis itu membuka gerbang bagi Jenderal Soeharto menaiki singgasana kekuasaan. Dan Almarhum  bertahta  di sana selama 30 tahun.

      Mahasiswa Salim Said (X) dalam aksi mahasiswa Angkatan 66

   Tak berselang lama setelah Soekarno jatuh, banyak kesalahan yang tadinya dilakukan rezim Soekarno seperti pelanggaran konstitusi, kultus individu dan korupsi, diulang  kembali oleh Presiden Soeharto. Bahkan mungkin dalam skala lebih besar dan yang pasti dalam waktu yang lebih lama. Soeharto secara teratur  memusatkan kekuasaan pada dirinya, menjadi makin otoriter,  menyempurnakan  KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme)  para anggota keluarga  dan anggota keluarganya.

   Lengsernya Soeharto dan semangat reformasi untuk mengembalikan demokrasi sebagai dari-oleh-dan untuk rakyat serta membasmi KKN, adalah perubahan politik penting keempat. Salah satu yang menonjol dari reformasi ini adalah keputusan militer (secara nyaris sukarela) menanggalkan peran politik mereka yang terkenal sebagai praktek Dwifungsi ABRI.

   Tetapi, di samping hilangnya Dwifungsi ABRI, Era Reformasi juga membuat  perubahan politik penting kelima,  berkebalikan dengan perubahan kedua, yaitu perubahan drastis (kecuali Pembukaan) terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945. Perubahan yang disebut sebagai amandemen UUD 1945 itu berlangsung sebanyak empat kali, yakni amandemen I pada Oktober 1999; amandemen II pada Agustus 2000; amandemen III pada November 2001 dan amandemen IV pada Agustus 2002.

   UUD Amandemen 2002 ini ditindaklanjuti dengan berbagai undang-undang turunannya, antara lain yang mengatur tentang sistem perekonomian dan sistem politik dengan praktek-praktek pemilunya. Yang memprihatinkan adalah kedua sistem tersebut telah berkelindan membentuk apa yang ditengarahi banyak orang sebagi praktek oligarki.

                         Salim Haji Said bersama Nyonya.
 

   Dwifungsi ABRI memang sudah ditinggalkan oleh ABRI sendiri, tapi kini timbul Dwifungsi gaya baru dengan pemain baru.Pemain baru oligarki adalah pengusaha  bersekongkol dengan para penguasa.  Tangan-tangan oligarki untuk lebih kaya, mereka memperkaya diri dengan cenderung menyerahkan penguasaan sumber daya alam Nusantara ke tangan kekuatan modal, (asing atau aseng).

   Sebagaimana pula pernah Salim Haji Said ingatkan dalam beberapa kesempatan,  yang memang menjadi ancaman terhadap reformasi dan demokratisasi di Indonesia adalah para elite yang menguasai partai-partai. Ditambah lagi dengan berbagai skandal  korupsi para politisi baik di pusat maupun di daerah-daerah, ”saya tengarai mulai menimbulkan semacam democratic fatigue, kelelahan demokrasi dalam masyarakat, yang pada gilirannya bukan tidak mungkin membuka kesempatan bagi lahirnya kebutuhan akan ‘orang kuat’ dan bukan sistem yang kuat, yang dianggap dan diharapkan menjadi juru selamat. Jika ini terjadi, maka TNI bakal menghadapi ujian berat, tergoda menyediakan orang kuat atau setia kepada janji dan tekadnya menghindarkan diri dari praktik politik praktis.”

   Tentang semakin merajalelanya skandal korupsi para elit, Wiwoho di buku ketiga, mengutip keprihatinan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, yang menyatakan korupsi saat ini jauh lebih gila dibandingkan era Orde Baru. Hal itu dikatakan Mahfud dalam dialog dengan Rektor Universitas Gajah Mada dan pimpinan Perguruan Tinggi Negeri/Perguruan Tinggi Swasta seluruh Yogyakarta Sabtu (5/6/2021). "Korupsi sekarang semakin meluas. Lebih meluas dari zaman Orde Baru. Saya katakan, saya tidak akan meralat pernyataan itu. Kenyatannya saja, sekarang, hari ini korupsi itu jauh lebih gila dari zaman Orde Baru,” katanya. Sungguh sangat mengkhawatirkan, karena itu akan semakin cepat mendorong hilangnya kepercayaan rakyat kepada para politisi.

    Dalam buku Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (halaman 17 - 22),  Salim Said telah menggarisbawahi pelajaran penting yang bisa kita petik dari pengalaman di bawah pemerintahan otoriter Indonesia selama hampir 40 tahun (Orde Lama dan Orde Baru), yaitu menyangkut soal konstitusi, peranan politik tentara dan pemerintahan otoriter yang selalu berkecenderungan memperpanjang masa berkuasanya. Di banyak negara, perpanjangan masa berkuasa menjadi akar dan landasan pembangunan dinasti. Pelajaran sekaligus peringatan ini berlaku sepanjang masa, dan bagi siapa saja termasuk Indonesia di Era Reformasi.

     Konstitusi Indonesia kini telah membatasi , seorang Presiden hanya bisa berkuasa selama 2 kali masa jabatan, atau total selama 10 tahun. Kendati demikian, dengan seribu satu alasan, kemungkinan bangkitnya otoritarianisme di negeri ini belumlah mutlak tertutup. “Dalam konteks Indonesia masa kini, ijinkan saya mengingatkan agar kita jangan bermain-main dengan usaha-usaha untuk mengubah UUD (amandemen UUD) dengan niat memperpanjang masa berkuasa pemerintah.

Dalam buku ini sdr Wiwoho juga mengkhawatirkan kecenderungan yang sedang terjadi terhadap pembelahan bangsa berdasarkan kelompok identitas bernuansa SARA. Saya mengalami sendiri suasana pembelahan ideologi berikut dampaknya yang tak terperikan pada tahun 1965. Pembelahan berdasarkan kelompok identitas yang bernuansa SARA, harus bisa segera dihentikan dan jangan dibiarkan berlarut-larut, karena akibatnya bisa jauh lebih besar dibandingkan pembelahan tahun 1965.”

   Dalam buku Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (220 – 221), ia mengingatkan pula potensi yang bisa mengganggu stabilitas politik, yakni dukungan dari Rainbow Coalition, koalisi kaum sekuler dan nonmuslim kepada ABRI (sekarang TNI/Polri),  yang mengakibatkan Islam kembali terpuruk menjadi golongan yang selalu dicurigai, yang bisa menjadi potensi konflik berkepanjangan. Mudah-mudahan ini bisa segera kita atasi dan hindarkan, tulis Prof.Dr.Salim Haji Said.

(Info dan nara hubung buku TONGGAK-TONGGAK ORDE BARU KE WA 08174892033).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda