Minggu, 14 Agustus 2011

KEPEMIMPINAN SBY CERMINAN RAKYATNYA

Ada nasihat dari seorang ulama sekaligus filsuf, pemikir dan konseptor besar Al Ghazali (1058 – 1111M) tentang pemimpin dan rakyatnya, yang relevan dengan keadaan kita sekarang, yaitu: “Pemimpin adalah cerminan dari rakyatnya”. Ini sejalan dengan nasihat leluhur kita dulu yang menyatakan, pemimpin para harimau adalah harimau; pemimpin para monyet adalah monyet; pemimpin para kerbau adalah kerbau.
Almarhumah ibu saya sering membuat tamsil serta penjabaran yang mudah atas nasihat tadi, dengan mengatakan: “ Burung emprit berkumpul dengan sesama emprit. Burung gagak sesama burung gagak. Rajawali berkumpul dengan sesama rajawali. Demikian pula para emprit dipimpin burung emprit, para rajawali dipimpin rajawali. Tidak mungkin para emprit dipimpin rajawali atau sebaliknya.”
Demikianlah, ibu mengajarkan dua hal dari tamsil di atas. Pertama, makna yang tersurat sebagaimana adanya. Kedua, makna yang lebih luas dan dalam. Manusia adalah makhluk utama, yang dilahirkan bagaikan kain putih bersih. Kehidupannya di kemudian hari bak lukisan yang ditorehkan oleh orang tua-guru-masyarakat dan dirinya sendiri di atas kain putih tersebut. Lukisan itu bisa bergambar harimau, rajawali, gagak, emprit atau kerbau. Karena itu kalau kita ingin menjadi rajawali, goreskanlah rajawali. Tempalah diri kita menjadi rajawali, dan bergaulah dengan para rajawali, bukan dengan kerbau, gagak apalagi emprit. Ini sejalan dengan nasihat Kanjeng Nabi Muhammad, kalau ingin bau wangi maka bergaulah dengan pembuat atau penjual minyak wangi. Sedangkan jika dengan pandai besi maka badan kita akan bau asap dan jelaga besi.
Mengenai tamsil burung gagak berkumpul dengan sesama gagak, dimaksudkan agar kita bisa menilai sesorang dari teman bergaulnya, dari kawanannya. Setiap jenis, mencari teman sejenisnya. Maka jangan heran jika punya kenalan yang berwatak tidak terpuji, sudah bisa dipastikan sebagian besar teman bergaul kenalan tersebut adalah orang-orang yang berwatak tidak terpuji. Teman main penjudi adalah penjudi. Teman pembual adalah pembual.
Nah, kini Indonesia memiliki pemimpin yang oleh banyak pengamat dinilai peragu dan cengeng bahkan nyinyir plus sejumlah hal buruk lainnya.. Sebetulnya penilaian ini juga bak menepuk air di dulang terpercik muka sendiri. Muka kita semua.
Bulan lalu, sahabat saya Beta Ketaren menulis di fesbuk grup Forum Studi Nusantara Raya, “Tujuh Ciri Budaya & Karakter Bangsa Indonesia”, dengan mengutip pandangan tokoh pers almarhum Mochtar Lubis yaitu: (1) hipokrit, (2) enggan bertanggungjawab bahkan suka mencari kambinghitam, (3) feodalis, (4) percaya takhayul, (5) artistik dan dekat dengan alam, (6) berwatak lemah, kurang kuat mempertahankan pendapat dan suka meniru, (7) kurang sabar, cepat cemburu dan dengki.
Dalam buku “Pengembaraan Batin Orang Jawa Di Lorong Kehidupan”, saya juga banyak menulis mengenai pengalaman hidup saya, dan dalam hal pergaulan sosial serta karakter bangsa, kesimpulan saya sebagian sama dengan Mochtar Lubis. Orde Baru di samping menghasilkan sejumlah keberhasilan, ternyata juga telah mengabaikan pembangunan karakter bangsa, bahkan mengobarkan nilai-nilai materialisme, hedonis-individualis yang menggilas-meluluhlantakkan nilai-nilai idealis. Hasilnya adalah manusia-manusia (insya Allah tidak semua) yang oportunis, munafik, tidak peduli halal haram, mau cepat dan enaknya sendiri, melupakan budi luhur tapi juga suka opera sabun yang dangkal. Uniknya, secara umum masyarakat kita masih tetap masyarakat yang soft-culture, yang lembek, nrimo sekaligus juga suka ngegrundel di belakang. Kalau hanya soal ekonomi, kelaparan, dibohongi atau nggak diurusin Pemimpinnya, jangan harap masyarakat menjadi marah dan mudah dihasut. Tapi kalau soal ketidakadilan dan kezoliman, lebih-lebih harga diri, suku dan agama, awas hati-hati, mula-mula bisa keluar kata-kata: “ora pateken (nggak bakal kudisan)”. Namun jika berlanjut, maka bisa menimbulkan amuk massa yang mengerikan. “Sedumuk batuk senyari bumi, tak labuhi pecahing dada wutahing ludiro (jika menyangkut penghinaan dan harga diri, rela dada pecah dan darah tumpah)”. Naudzubillah.
Marilah kita jujur, mawasdiri mengakui segala kelemahan kita, karena yakinlah, kita juga masih punya sejumlah nilai positif yang jika dibangkitkan, akan membuat kita menjadi bangsa yang besar, sejahtera-jaya-sentosa. Dengan memahai kelemahan, kekuatan, ancaman dan peluang kita, Allahuma amien, kita bisa mengobati penyakit sosial-budaya kita, memperbaiki kelemahan dan menggalang kekuatan guna merebut peluang masa depan nan gemilang.
Kembali tentang halnya kepemimpinan nasional dewasa ini, yaaa begitulah adanya. Para emprit akan dipimpin emprit. Para rajawali dipimpin rajawali. Para kerbau? Ya dipimpin kerbaulah. Mosyok mau dipimpin macan atau rajawali, ya mustahil. Karena itu kalau ingin dipimpin macan, marilah kita bersama-sama memperbaiki diri, bermetamorfosa bagai ulat menjadi kupu-kupu, meninggalkan ciri kerbau yang kata Pak SBY, gemuk, bodoh dan lamban, menjadi harimau yang atletis, cekatan dan garang. Mumpung sekarang masuk tahun macan, mengaumlah sekuat-kuatnya wahai macan-macan Indonesia Raya! Amin. (B.Wiwoho, 04/02.2010).
· · Share · Delete

    • Soemantri Hassan jadi malu...hiks...hiks
      February 4, 2010 at 3:05pm ·
    • Wahyudi Hr Pak wi, kalau sudah seperti itu, akhirnya untuk meneteramkan hati kita masing-masing adalah mawas diri sekaligus introspeksi diri. Kalau kita beragurmen terus tak akan ada yang mampu berpikir jernih, sama halnya ketika kita berdebat mana yang lebih dahulu telur atau ayam
      February 4, 2010 at 4:59pm ·
    • Hendy Hendro beberapa studi mengatakan ... negara2 yg masih terbelakang & berkembang cenderung dipimpin oleh militer atau mantan militer ..negara2 maju sebagian besar dipimpin oleh sipil ..sebenarnya Gus Dur sudah mendobrak tradisi kepemimpinan di Ind dg ..membubarkan dwi fungsi ABRI .. ABRI must go to barrack ... eeee ..lha kok sekarang malah mbalik lagi .....
      February 4, 2010 at 7:39pm ·
    • Ronggeng Jaya Manggilingan tulisan yang inspiratif dan motivatif. Mari kita mengaum seperti macan. Dan terima kasih kirimannya mas.
      February 4, 2010 at 9:09pm ·
    • Soemantri Hassan
      guru ngaji saya bilang tingkat rasionalitas tertinggi adalah irasionalitas,karena ada fenomena dan nomena menginsafi Imannuel Kant, maka melihat kesemrawutan ini perlu ketenangan. Pemimpin harus bisa mengangkap gejala-gejala baru dalam masyarakat, seperti Gus Dur.JUJUR dan JENAKA saja, bukan pada tempatnya pemimpin berkeluh kesah namun abai dengan isi dari gejala-gejala itu. Gejala itu ANGGGAPAN UMUM TENTANG KERBAU. Piss ahh
      February 4, 2010 at 9:17pm ·
    • Nurmimi Tjunty Velley's
      Perenungan sejatinya diawali dialog bathin yang netral. Sesungguhnya orang yang suka menghinakan, tak lebih mulia dari orang yang dihinakan. Saya kok lebih suka hidup di negara antah berantah: penduduknya hidup rukun dan damai, bicara santun dan sangat tenggang rasa.Tirani minoritas, tak serta merta membuat mayoritas penduduk negeri antah berantah merasa menyerupai permisalan yang keliru dari kaum yang tersisihkan. Sudah menjadi sifat banyak orang memang, saat kepentingannya merasa terusik, atau terabaikan, maka subjektifitasnya akan lebih menonjol dari objektivitas yang sebenarnya ada dalam dirinya.Tapi hidup akan terus berjalan, suka atau tidak suka seorang pemimpin tetaplah orang yang diutamakan, dia bisa sampai ke kursi kepemimpinannya tak semata karena mayoritas rakyat di negeri ini menilai dia memang pantas jadi pemimpin, tapi juga ada RAHASIA ILAHI dibalik itu semua. Kenapa Orang Buta bisa dipilih, kenapa pilihan jatuh kembali pada pensiunan tentara, kenapa sipil tak bisa langgeng, pasti ada rahasia dari semuanya itu yang hanya bisa dilihat dengan kacamata hati yang bersih, tawadu'. Sejatinya agama itu mengajarkan kita melalui petunjuk tertulis (Al Qur'an, Al Kitab, Taurat, Zabur dsbnya),selain itu juga dengan ayat2 yang tertulis, kejadian sekitar kita, tanda2 alam. Bahkan trend yang ada di masyarakatpun umumnya ingin menunjukkan tentang: Ini gejala apa??? maka benarlah pertanyaan yang banyak dimuat dalam Al Qur'an: Menagapa kamu tidak berpikir? Sinkronkan logika dengan jiwa, maka insyallah kita tak terbawa arus yang tanpa diundang terkadang suka menyeret-nyeret kita ke arah yang tak jelas, salam!
      February 4, 2010 at 11:11pm ·
    • Sukmadji Indro Tjahyono
      Yang penting sebenarnya pemimpin yang muncul dari kancah perjuangan rakyat dalam mencapai hakekat kehidupannya. Bukan pemimpin yang merengek dukungan karena "didzalimi" atau minta dikasihani.Dominasi kapital pada media massa memang dapat mencetak pemimpin2 yang setelah memegang tampuk kekuasaan bersikap anti rakyat. Inilah bentuk dari politik media massa dalam memformat kekuasaan dengan cara sekenanya. Mereka menginginkan kekuasaan yang akomodatif terhadap kepentingannya.
      February 5, 2010 at 4:57am ·
    • Bambang Wiwoho Komentar2 yg saling memperkaya, shgg tdk perlu dikomentari balik. Terima kasih semuanya.
      February 6, 2010 at 1:30pm ·
    • Tashudi Yanto
      ‎: Ada beberapa kemungkinan seseorang diangkat jadi PEMIMPI(N)--terlepas apakah dia jadi PEMIMPIN KARENA CURANG DALAM PILPRES atau karena dia itu JUJUR & AMANAH sehingga rakyat memilihnya. <i>Pertama</i>, PEMIMPIN SEBAGAI COBAAN/UJIAN baik bagi pribadinya sendiri (misal, apakah dia amanah, jujur, ikhlas, dan adil) maupun juga bagi rakyatnya (misal, apakah rakyat mampu sabar dan tahan dengan kemiskinan, kelaparan, nganggur sampai mati, dst). <i>Kedua</i>, PEMIMPIN SEBAGAI BERKAH di suatu negara sehingga rakyatnya hidup makmur, sejahtera, damai, berkarya dalam suatu <i>baldatun thoyyibatun wa robbun ghafour</i>... Nah, melihat kenyataan di negara kita, ada BATITA DIKURUNG DI RUMAH PETAK SELAMA 5 HARI GAK MAKAN, ADA KOIN PRITA, ADA KOIN BILQIS, ADA KOIN SINAR, maka Presiden SBY itu masuk pemimpin yang mana, ya?
      February 6, 2010 at 2:18pm ·
    • Bambang Wiwoho Mas Tashudi, skrg org banyak ngomong etika sampai2 subsantsi dikalahkan. Apakah mereka sendiri scr pribadi sdh punya etika yg baik? Sy kok ragu. Apalagi ttg kritik dan pertanyaan yg berestetika, apa pula ini????? Naudzubillah.
      February 7, 2010 at 8:21am ·
    • Tashudi Yanto
      ‎: Saya lihat di kehidupan bernegara kita saja, semoga saya salah total, terutama para "elite"-nya, agama (al-dien) yang dianut tidak lagi menampakkan adanya kandungan "al-akhlaq" -- yaitu hatinya terguncang karena ada di antara RAKYAT yang dipimpinnya BUNUH DIRI KARENA DUITNYA DIRAMPOK OLEH BANK CENTURY, BUNUH DIRI KARENA TERLIBAT RENTENIR, ada RAKYAT-nya yang membiarkan anaknya dikunci & tidak makan berhari-hari karena miskin & nganggur, dst. -- dan apalagi aspek "ketuhanan" -- yaitu hatinya takut kepada Allah karena sebagai PEMIMPIN NEGARA pasti diminta pertanggung-jawabannya! Lho, ini ORANG BAWA KERBAU MALAH JADI ISU NASIONAL?!!! Apa masalah anak-anak yang dibiarkan lapar selama berhari-hari bukan masalah nasional? Berapa juta anak-anak mengalami KEKERASAN EKONOMI, SOSIAL, BUDAYA, karena orangtua mereka miskin & nganggur?!!! Bukankah ini KEKERASAN NEGARA TERHADAP RAKYAT-nya??? Di mana rasa kemanusiaanya sebagai PEMIMPIN NEGERI ini...?!!! Astaghfirullah...!!!
      February 7, 2010 at 10:47am ·
    • Bambang Wiwoho Ya, di mana etika dan tanggungjawabnya sbg pemimpin yang dibiayai oleh uang pajak dr rakyat tatkala membeli air mineral, mie instan, rokok, tahu-tempe + sejumlah PPN dll? Termasuk zolim apa ggak sih itu?
      February 7, 2010 at 1:40pm ·

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda