Kamis, 12 April 2012

MEMAHAMI SULUK-SULUK SUNAN BONANG


MEMAHAMI SULUK-SULUK SUNAN BONANG.

Dalam mengkaji suluk-suluk karya Sunan Bonang, demikian pula suluk-suluk Sunan Kalijaga, yang dibuat antara periode akhir abad 15 dan awal abad 16, seyogyanya memahami lebih dulu gambaran kehidupan masyarakat di masa itu, termasuk  bahasa sastra yang berlaku, yang merupakan peralihan bahasa Jawa Kuno ke Jawa Madya (Pertengahan). Karena dalam suluk-suluknya tidak jarang beliau menggunakan kiasan, perumpaan dan simbol-simbol yang diambil dari budaya lokal.
Kecenderungan tersebut menurut Prof.Dr.Abdul Hadi WM, lazim berlaku pula dalam sastra sufi Arab, Persia, Turki, Urdu, Sindi, Melayu dan lain-lain. “Sebagaimana puisi para sufi secara umum, jika tidak bersifat didaktis, suluk-suluk Sunan Bonang  ada yang bersifat lirik. Pengalaman dan gagasan  ketasawufan yang dikemukakan, seperti dalam karya penyair sufi di mana pun, biasanya disampaikan melalui ungkapan simbolik (tamzil) dan ungkapan metaforis (mutasyabihat)”. Lantaran tasawuf merupakan jalan cinta, maka sering hubungan anatara seorang salik (penempuh suluk) dengan Yang Satu, dilukiskan atau diumpamakan sebagai hubungan antara Sang Pencinta dengan Sang Kekasih.

Mengenai jumlah karya suluknya, susungguhnya cukup banyak dan indah-indah, namun sayang sekali tidak mudah dijumpai masyarakat umum. Demikian pula minat para pakar dan peneliti sastra Jawa, tasawuf maupun komunikasi dan dakwah terhadap itu juga sangat kurang. Naskah-naskah Sunan Bonang yang ditulis dalam huruf Jawa, banyak tersimpan di Museum Perpustakaan Leiden. Bersyukur ada peneliti Belanda G.W.J. Drewes, ada Hussein Djajadiningrat dan Purbatjaraka (keduanya melakukan penelitian di masa sebelum kemerdekaan Indonesia), dan di awal abad 21 ini ada Prof.Dr.Abdul Hadi yang mengkaji serta mengulas hasil-hasil penelitian tersebut.
Berikut adalah beberapa kutipan atas ulasan terhadap sejumlah suluk Sunan Bonang:

  1. Gita Suluk Lastri, yang ditulis dalam bentuk tembang wirangrong, menggambarkan seorang pencinta yang gelisah menunggu kedatangan Kekasihnya. Semakin larut malam kerinduan dan kegelisahannya semakin mengusiknya, dan semakin larut malam pula berahinya (‘syq) semakin berkobar. Tatkala Sang Kekasih tiba, dia menjadi lupa segalanya, kecuali keindahan wajah Sang Kekasih. Demikianlah, setelah itu sang pencinta kahirnya hanyut dibawa ombak dalam lautan ketakterhinggaan wujud.
  2. Suluk Khalifah, menceritakan kisah-kisah kerohanian para wali dan pengalaman mereka mengajarkan kepada orang yang ingin memeluk Islam. Dalam suluk ini Sunan Bonang menceritakan pengalamannya selama berada di Pasai serta perjalanannya menunaikan ibadah haji.
3.      Suluk Gentur atau Suluk Bentur. Gentur atau bentur dalam ulasan di atas berarti lengkap atau sempurna. Namun penulis (Tasawuf Djawa), lebih memilih mengartikan tekun dan bersemangat, sebagaimana penulis selama ini menghayati makna “gentur topone”. Suluk ini menggambarkan jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk mencapai kesadaran tertinggi. Dalam perjalanannya itu ia akan berhadapan dengan maut dan akan diikuti oleh sang maut ke mana pun ia melangkah. Ujian terbesar sang penempuh adalah syahadat “dacim qacim”, yaitu kesaksian tanpa bicara sepatah kata pun dalam waktu yang lama, sambil mengamati gerak-gerik jasmaninya dalam menyampaikan isyarat kebenaran dan keunikan Tuhan. Garam jatuh ke laut dan lenyap, tetapi tidak dapat dikatakan menjadi laut. Pun tidak hilang dalam kekosongan (suwung). Demikian pula apabila manusia mencapai keadaan fana’, maka tidak lantas tercerap dalam Wujud Mutlak. Yang lenyap ialah kesadaran akan keberadaan atau kewujudan jasmaninya. Syahadat dacim qacim adalah kurnia yang dilimpahkan Tuhan kepada seseorang sehingga ia menyadari dan menyaksikan dirinya bersatu dengan kehendak Tuhan.
Dalam suluk ini Sunan Bonang juga menyatakan bahwa pencapaian tertinggi seorang penempuh ialah fana’ ruh bidafi, yaitu “keadaan dapat melihat peralihan atau pertukaran segala bentuk lahir dan gejala lahir, yang di dalamnya kesadaran intuitif atau makrifat menyempurnakan penglihatannya tentang Allah sebagai Yang Kekal dan Yang Tunggal. Dalam fana’ ruh idafi seseorang sepenuhnya menyaksikan kebenaran hakiki ayat Al Qur’an 28:88,”Segala sesuatu binasa kecuali Wajah-Nya (Allah)”
  1. Gita Suluk Wali, merupakan untaian puisi-puisi yang memikat . Dipaparkan bahwa            hati seorang yang ditawan oleh rasa cinta itu bagaikan laut pasang yang menghanyutkan, atau seperti api yang membakar sesuatu sampai hangus. Untaian puisi ini diakhiri dengan pepatah sufi “ Qalb al mukmin baik Allah, hati seorang mukmin adalah tempat kediaman Tuhan”. Subhanallah.
  2. Suluk Jebeng, ditulis dalam tembang Dhandanggula yang merdu, dan dimulai dengan perbincangan  mengenai wujud manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi, dan dicipta menyerupai gambaran-Nya. Hakekat diri  yang sejati ini mesti dikenal supaya perilaku  dan amal perbuatan seseorang di dunia mencerminkan kebenaran. Persatuan manusia dengan Tuhan diumpamakan sebagai gema dengan suara. Manusua harus mengenal suksma (ruh) yang berada di dalam tubuhnya. Ruh dihubungkan dengan wjud tersembunyi, yang pemunculannya tidak mudah diketahui:
               “ Puncak ilmu yang sempurna
                  Seperti apa berkobar
                  Hanya bara dan nyalanya
                  Hanya kilatan cahaya
                  Hanya asapnya kelihatan
                  Ketahuilah wujud sebelum api menyala
                  Dan sesudah api padam
                  Karena serba diliputi rahasia
                  Adakah kata-kata yang bisa menyebutkan?  

                  Jangan tinggikan diri melampaui ukuran
                  Berlindunglah semata kepada-Nya
                  Ketahui, rumah jasad sebenarnya ialah ruh
                  Jangan bertanya
                  Jangan memuja nabi dan wali-wal
                 Jangan mengaku Tuhan
                 Jangan mengaku tidak ada padahal ada
                 Sebaiknya diam
                 Jangan sampai digoncang
                 Oleh kebingungan

                 Pencapaian sempurna
                 Bagaikan orang yang sedang tidur
                 Dengan seorang perempuan, kala bercinta
                 Mereka karam dalam asyik, terlena
                 Hanyut dalam berahi
                 Anakku, terimalah
                 Dan pahami dengan baik
                 Ilmu ini memang sukar dicerna”.
  1. Suluk Wijil. Diantara sejumlah suluk Sunan Bonang, yang paling dikenal
            ialah Suluk Wujil. Suluk ini benar-benar menggambakan suasana peralihan zaman
            Hindu ke Islam, dan sekarang naskahnya sudah berada kembali di Indonesia dan      
            disimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta.
            Sebagai karya zaman peralihan, pentingnya karya Sunan Bonang ini tampak
            dalam hal-hal seperti berikut: Pertama, menggamarkan suasana kehidupan buda-
            ya, intelektual dan keagamaan di Jawa pada akhir abad ke-15, yang sedang beralih
            kepercayaan dari Hindu ke Islam. Di arena politikperalihan itu ditandai dengan
            runtuhnya Majapahit, kerajaan besar Hindu terakhir di Jawa, dan bangunnya kera-
            jaan Demak, kerajaan Islam pertama.
            Di lapangan sastra, peralihan itu dapat dilihat dari berhentinya kegiatan        
            sastra Jawa Kuno setelah penyair terakhir Majapahit, Mpu Tantular dan Mpu
            Tanakung meninggal dunia pada pertengahan abad ke-15 tanpa penerus yang kuat
            Bahasa sastra secara bertahap bergeser, dan muncul bahasa Jawa Madya atau
            Tengahan. Sunan Bonang tidak sertamerta meninggalkan suasana dan sastra Jawa
            Kuno, melainkan melakukan perubahan secara bertahap, sehingga kehadiran
            karya-karyanya tidak dirasakan sebagai sesuatu yang asing, tetapi sebagai suatu
            kesinambungan.
            Kedua, Suluk Wujil merupakan perenungan tentang masalah hakiki di sekitar
            Wujud dan rahasia terdalam ajaran agama, memuaskan dahaga kaum terpelajar
            Jawa yang pada umumnya menyukai mistisme atau metafisika, dan seluk-beluk
            ajaran keruhanian. Suluk ini dimulai dengan pertanyaan metafisik yang esensial
            dan menggoda sepanjang zaman, di Timur maupun Barat.

            Mengingat kebiasaan-kebiasaan membaca naskah di jejaring sosial terutama yang
            menggunakan telpon genggam, berikut ini kami kutipkan 3 (tiga) bait terjemahan
            Suluk Wujil sebagai berikut:
             “ Ingatlah Wujil, waspadalah
                Hidup di dunia ini
                Jangan ceroboh dan gegabah
                Sadarilah dirimu
                Bukan yang Haqq

                Dan yang Haqq bukan dirimu
                Orang yang mengenal dirinya
                Akan mengenal Tuhan
                Asal-usul semua kejadian
                Inilah jalan makrifat sejati (bait 11).

                 Oleh karena itu, Wujil, kenali dirimu
                 Kenali dirimu yang sejati
                 Ingkari benda
                 Agar nafsumu tidur terlena
                 Dia yang mengenal diri
                 Nafsunya akan terkendali
                 Dan terlindungi dari jalan
                 Sesat dan kebingungan
                 Kenal diri, tahu kelemahan diri
                 Selalu awas terhadap tindak tanduknya (bait 22).

                 Bila kau mengenal dirimu
                 Kau akan mengenal Tuhanmu
                 Orang yang mengenal Tuhan
                 Bicara tidak sembarangan
                 Ada yang menempuh jalan panjang
                 Dan penuh kesukaran
                 Sebelum akhirnya menemukan dirinya
                 Dia tak pernah membiarkan dirinya
                 Sesat di jalan kesalahan
                 Jalan yang ditempuhnya benar (bait 23).

                 Orang berilmu
                 Beribadah tanpa kenal waktu
                 Seluruh gerak hidupnya
                 Ialah beribadah
                 Diamnya, bicaranya
                 Dan tindak tanduknya
                 Malahan getaran bulu roma tubuhnya
                 Seluruh anggota badannya
                 Digerakkan untuk beribadah
                 Inilah kemauan murni (bait 39).

Demikianlah saudaraku, sedikit pengantar untuk mengenal Sunan Bonang dan ajaran-ajaran tasawuf Jawanya. Semoga beliau bahagia di sisi-Nya, melihat kita mengkaji dengan rendah hati, hakikat tuntunannya. Aamiin.

Beji, 04 April 2012.
            
           
            

             
            
                 


 








0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda