Sabtu, 20 Agustus 2011

MASIHKAH ANDA, SAYA + KITA SEMUA MEMILIKI KEPEDULIAN SOSIAL & DAYA KRITIS?


Harian Kompas hari ini, Senin 15 Agustus 2011 di halaman 25, sebanyak separuh halaman memberitakan kisah tragis bunuh diri sepasang suami isteri di Bekasi, lantaran tidak kuat menahan kemiskinan yang mendera keluarganya. Menyertai berita tersebut juga diturunkan ulasan para pakar ilmu sosial dan psikologi mengenai fenomena sosial masyarakat kita, yang menyebabkan maraknya kasus bunuh diri.

“Anak-anakku sayang, maafkan Bapak sama Mama sudah pergi. Tolong jagain adik-adik. Ada uang tigaratus ribu di Yoman. Cinta sejati” Itulah isi surat wasiat Kaepi (41) dan isterinya Yati Suryati (31) kepada tiga orang anaknya. Mereka bunuh diri dengan gantung diri tanpa busana Sabtu pagi (13/8). Kepala Kepolisian Sektor Bekasi Timur Komisaris Yana Darmayana mengatakan, tidak ditemukan tanda kekerasan pada kedua jenazah. Bahkan penyidik yakin,korban saling mencintai serta melakukan hubungan intim sebelum gantung diri.

Kaepi yang berasal dari Desa Tanjungsari, Kecamatan Binong, Kabupaten Subang itu Cuma bersekolah hingga kelas tiga SD, dan bekerja serabutan sebagai buruh kasar serta pengeruk puing di lahan bangunan baru. Sementara Yati isterinya, berasal dari Desa Kadungora, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, lulus Sekolah Menengah Pertama dan bekerja serabutan sebagai buruh cuci pakaian warga perumahan di Bekasi Jaya.

50.000 ORANG INDONESIA BUNUH DIRI SETIAP TAHUN.

Kasus Kaepi -Yati pernah dilakukan pasangan Samad - Titi yang gantung diri pada satu tali dalam keadaan berpelukan di Desa Sirnajaya, Kecamatan Serang Baru, Kabupaten Bekasi, 12 Mei 2007. Penyebabnya sama yaitu impitan kemiskinan.

Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya mendata, dalam kurun waktu Januari – Agustus 2011 ada 58 kasus bunuh diri yang 55 diantaranya gantung diri. Pada 2010, dari 176 kasus bunuh diri, 83 kasus adalah gantung diri. Menurut laporan Kompas, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2005 melansir, sekitar 50.000 orang Indonesia bunuh diri setiap tahun.

Beberapa bulan yang lalu, hanya selang beberapa hari setelah berkobar Revolusi Tunisia yang disulut oleh peristiwa bunuh diri dengan bakar diri seorang pedagang keliling, di kawasan Menteng, kawasan hunian orang-orang kaya Jakarta juga terjadi perisiwa bunuh diri seorang ibu gelandangan yang tak tahan menderita sakit+kemiskinan. Tatkala peristiwa tersebut saya tulis di facebook, respon fesbuker tidak seramai dibanding posting-posting bercandaan. Itu pun bahkan sebagian “agak mencemooh”.

Ironis sekali, perstiwa bunuh diri akibat kemiskinan yang semakin marak di negeri yang mayoritas penduduknya mengaku mslim ini, justru terjadi di bulan suci Ramadhan dan hanya kurang empat hari sebelum kita memperingati 66 tahun Proklamasi Kemerdekaan.

Secara jauh ke depan, para Bapak Bangsa kita telah merumuskan cita-cita dan semangat kemerdekaan tersebut ke dalam visi dan misi, yang dituangkan dengan indah dan gambling ke dalam Mukadimah UUD 45, yaitu dengan kemerdekaan kita ngin mewujudkan Negara Bangsa yang merdeka, bersatu dan berdaulat, yang rakyat dan masyarakatnya hidup adil makmur.

Demi muwujudkan visi tadi selanjutnya ditetapkan misinya yaitu: (1) membentuk suatu Pemerintahan Negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. (2). Memajukan kesejahteraan umum. (3). Mencerdaskan kehidupan bangsa. (4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Sebagai muslim, kita juga dipandu untuk menapaki kehidupan pribadi maupun bermasyarakat dengan akhlakul karimah, misalkan mengingatkan janganlah kita tidur nyenyak dengan perut kenyang, bahkan janganlah pergi berhaji, sementara ada tetangga kita yan g kelaparan. Juga betapa berat tanggungjawab seorang pemimpin masyarakat, pemimpin negeri yang tidak bisa mewujudkan keadilan, yang hidup enak-enakan sementara masih ada rakyatnya yang hidup dalam kemiskinan. Lha ini para pemimpin kita, rambutnya makin kelimis, badannya makin tambun, pipinya montok-montok bagai buah apel, bajunya selalu berganti baru dalam setiap pemunculan ke publik, dan sering heboh memperjuangakan kenaikan gajinya?

Padahal Rasulullah, Kanjeng Nabi Muhammad Saw perutnya kempes dan untuk menutupi dari pandangan sahabat-sahabatnya terpaksa harus diganjal batu; tidurnya hanya beralasakan tikar dari pelepah kurma dengan bantal dari kulit binatang berisi serabut kurma, sehingga para sahabatnya iba serta membujuknya untuk menyediakan kasur yang empuk, namun ditolaknya. Rasulullah juga tidak menyimpan sesuatu harta benda berharga dan makanan untuk esok hari bagi diri dan keluarganya. Sedangkan sekarang, berlomba-lomba korupsi demi simpanan tujuh turunan.

Demikan pula sahabat-sahabatnya. Para Khalifah Empat yang termasyhur, hidup hanya dengan dua lembar pakaian yang penuh tambalan, makan roti dari tepung kasar yang diolesi minyak dengan alasan solider terhadap rakyatnya yang masih dalam taraf kehidupan seperti itu. Bahkan, Khalifah Umar harus memaksakan dirinya memanggul sekantong gandum serta memasakkan sendiri untuk satu keluarga miskin yang dijumpainya, sebagai bentuk hukuman atas dirinya sendiri selaku Kepala Negara yang tidak bisa menyejahterakan rakyatnya. Sementara dia sedang meniup api agar tungku terus menyala sehingga mukanya penuh abu, Si Ibu yang dimasakkan, yang tidak tahu siapa diri Umar yang sesungguhnya, mencela kepemimpinan Umar yang membiarkan atau tak peduli keluarga Si Ibu hidup miskin.

Kita tentulah tidak menuntut Presiden, para Menteri , para elite dan keluarganya hidup spartan persis seperti Rasulllah dan para sahabatnya. Kita juga tidak menuntut agar orang Indonesia jangan pergi haji atau umroh selama di Iindonesia masih banyak orang miskin. Tapi marilah kita galang kepedulian sosial dan daya kritis kita, menyikapi fenomena kemiskinan struktural yang menyebabkan kasus-kasus bunuh diri itu. Marilah bagi yang muslim, kita berjuang meneladani setahap demi setahap semangat kepedulian serta kesederhaan sunah Rasul tersebut.
Bagi seluruh warga bangsa, marilah kita bangun daya kritis kita agar cita-cita dan semangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sungguh-sungguh dapat diwujudkan, dan jangan puas hanya sekedar merayakan dengan lomba lari karung, makan krupuk atau panjat pinang. Sungguh, bukan itu tujuan serta esensi Kemerdekaan.

Tapi ngomong-ngomong nanti sore buka puasa apa kita? Kolak, bubur kampiun, kurma impor, pastel, kroket, pidza, teramizu, kambing guling, bebek goreng, sirlon steak, sapi lada hitam dan tim ikan sebelah? Subhanallah, maasyaa Allaah. (B.WIWOHO).

(Gbr : Orang Gantung Diri dari Google Images)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda